PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 07

 



   Cun Giok juga menyerang dengan pedangnya dan tentu saja Panglima Kong Tek Kok segera menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Sekarang panglima itu baru merasa menyesal. Karena terlalu sayang kepada Siang Ni, apalagi setelah gadis itu menyerahkan diri kepadanya dan menjadi kekasihnya, dia telah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada muridnya itu sehingga biarpun dia masih dapat mengalahkan Siang Ni karena dia lebih berpengalaman, namun tetap saja gadis itu merupakan seorang lawan tangguh yang tidak mungkin dapat dia robohkan dalam waktu singkat.

   Apalagi sekarang di situ muncul Suma Cun Giok, pemuda yang tingkat kepandaiannya sudah Iebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Menghadapi pemuda ini seorang diri saja amat sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Sekarang dua orang muda itu bergabung dan mengeroyoknya dan mereka menyerang seperti kesetanan, penuh kebencian sehingga Panglima Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Dia merasa cemas dan segera dia bersuit nyaring, memberi tanda kepada para pengawalnya yang tentu kini sudah berkumpul di luar tanah kuburan.

   Akan tetapi perhitungannya kali ini meleset. Tadi dia terlalu tergesa-gesa sehingga para pengawal yang menyusulnya ketinggalan jauh. Mereka pun tidak tahu mengapa harus berkumpul di tempat yang menyeramkan itu, maka mereka bersikap ayal-ayalan dan ogah-ogahan sehingga kurang cepat. Oleh karena itu, ketika Panglima Kong Tek Kok bersult memberi tanda bahaya, para pengawal itu belum tiba di tempat itu.
Siang Ni dan Cun Giok maklum apa artinya suitan itu, maka mereka menyerang lebih hebat dan mengerahkan seluruh kepandaian untuk merobohkan musuh besar yang tangguh itu. Siang Ni melompat ke belakang lalu menyerang bekas gurunya dengan panah tangan bertubi-tubi.

   Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Sebagai seorang ahli panah, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari panah-panah yang menyerangnya, akan tetapi karena di situ terdapat Cun Giok yang mendesak dengan ilmu pedangnya yang lihai, maka Kong Tek Kok harus memecah perhatiannya. Hal ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi lemah dan akhirnya sebatang anak panah mengenai pundaknya!

   "Aduhh......!" Kong Tek Kok berteriak kesakitan, lalu dia bersuit lagi berkali-kali. Akhirnya dari jauh terdengar suitan balasan.

   "Para pengawal datang!" Cun Giok memperingatkan Siang Ni dan pedangnya bergerak lebih cepat.

   Kong Tek Kok melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kesempatan ini dipergunakan oleh Siang Ni yang meluncurkan tiga batang anak panah. Panglima Kong Tek Kok maklum akan datangnya tiga batang anak panah ini. Akan tetapi pada saat itu Cun Giok sudah menusukkan pedangnya dengan kecepatan kilat. Panglima Kong Tek Kok tidak sempat menghindarkan diri lagi.

   "Capp!" Pedang itu menusuk lambungnya.

   "Auhhh......!" Panglima Kong Tek Kok menekan lambungnya yang mengucurkan darah dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat dia sempoyongan itu, tiga batang anak panah menyambar dan menancap di dadanya. Panglima itu terpelanting roboh, sepasang pedangnya terlepas dari pegangannya.

   Terdengar isak tangis Siang Ni dan gadis itu sudah berkelebat mendekati Panglima Kong Tek Kok yang sudah terluka dan tidak berdaya itu. Ia meludahi kepala panglima itu dan memaki-maki penuh kebencian, makian bercampur isak.

   "Anjing rendah, jahanam keparat busuk! Manusia terkutuk! Ini rasakan pembalasan untuk Kakek dan Nenek Pouw!" Pedang sinar emas membabat dan Panglima Kong Tek Kok menjerit dua kali. Kedua kakinya buntung terbabat pedang, buntung sebatas lutut!

   "Jahanam, rasakan ini pembalasanku untuk Paman Pouw Keng In dan isterinya!" Kembali sinar emas berkelebat dua kali disusul jeritan yang masih nyaring dari Panglima Kong Tek Kok. Kini kedua lengannya yang buntung sebatas siku! Panglima itu mandi darah dan hanya dapat menggerakkan kepala ke kanan kiri dan merintih-rintih minta ampun!

   "Dan ini pembalasan untuk Ibuku!" Kembali sinar emas berkelebat dan kini sinar pedang itu membabat buntung sepasang daun telinga dan hidung panglima itu! Panglima Kong Tek Kok hanya dapat mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan mukanya penuh darah segar.

   "Ini untuk pembalasan sakit hatiku!" Siang Ni membacok ke arah bawah perut dan sekali ini Panglima Kong Tek Kok tak dapat mengeluarkan suara lagi, sisa tubuhnya berkelejotan. Akan tetapi sambil menangis, Siang Ni masih terus menggerakkan pedangnya, menusuk, membacok sekuat tenaga.

   Cun Giok memejamkan matanya. Ngeri hatinya melihat pemandangan itu. Siang Ni seperti gila! Sepasang matanya merah dan bercucuran air mata. Pedangnya terus digerakkan mencincang tubuh panglima itu sehingga darahnya muncrat ke mana-mana. Pakaian gadis itu penuh darah yang terpercik ke kanan kiri, namun ia tidak peduli. Seperti orang mencincang daging ia terus membacokkan pedangnya sambil menangis dan memaki.

   "Mampus kau anjing busuk! Mampus kau keparat!" Tubuh panglima itu kini hanya sebagai seonggok daging yang tercincang. Bahkan tulang-tulangnya juga ikut terpotong-potong. Mengerikan sekali!

   "Piauw-moi, larilah! Para pengawal sudah datang!" Cun Giok berteriak.

   Akan tetapi Siang Ni seperti tidak mendengar suaranya dan masih terus membacoki tubuh bekas gurunya yang sudah menjadi onggokan daging dan darah.

   Dua orang pengawal muncul. Melihat Cun Giok, mereka segera menggunakan golok menyerang. Akan tetapi, dengan lincahnya Cun Giok mengelak. Dua orang pengawal itu mengeroyok dan hanya dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal itu.

   "Piauw-moi, larilah......!" Cun Giok berteriak lagi ketika berkelebatnya banyak bayangan para pengawal. Akan tetapi Siang Ni sudah kesetanan. Bahkan kini tangan kirinya mengambil sebatang pedang yang tadi dipergunakan Panglima Kong Tek Kok dan menghancur-lumatkan bekas tubuh panglima itu dengan sepasang pedang!

   Para pengawal berdatangan dan melihat bahwa onggokan daging itu adalah bekas tubuh Panglima Kong Tek Kok, mereka menjadi marah sekali lalu menyerang gadis itu. Melihat bahwa gadis itu adalah Lu Siang Ni, murid panglima itu sendiri, para pengawal memandang dengan terheran-heran. Akan tetapi mereka tidak sempat bertanya, karena sudah terbukti bahwa gadis itu membunuh komandan mereka, para pengawal langsung saja mengeroyok. Sebagian lagi mengeroyok Cun Giok.

   "He-he-he-hi-hik, ha-ha-ha!" Siang Ni tertawa. Suara tawanya terdengar mengerikan, bergema di tanah kuburan itu, bukan seperti suara manusia lagi. Setelah mengeluarkan suara tawa mengerikan itu, Siang Ni mengamuk dengan sepasang pedangnya.

   Bukan main hebatnya pertempuran itu yang terbagi menjadi dua rombongan. Terdengar suara senjata beradu mengeluarkan suara berdentang, diselingi teriakan dan pekik kesakitan. Darah mengucur deras setiap kali pedang Siang Ni atau pedang Cun Giok merobohkan seorang pengeroyok.

   Akan tetapi pasukan pengawal itu berdatangan lagi dan kini jumlah mereka menjadi banyak, sampai puluhan orang. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan pengawal-pengawal istana yang mendengar kabar bahwa pembunuh Pangeran Lu bersembunyi di tanah kuburan.

   "Piauw-moi, mari kita lari!" berulang kali Cun Giok mengajak Siang Ni untuk melarikan diri. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak peduli. Tubuh Siang Ni yang langsing itu sudah penuh Iuka yang agaknya tidak dirasakan atau dipedulikannya. Perajurit dan perwira pengeroyok yang roboh oleh sepasang pedangnya bukan main banyaknya. Mayat mereka berserakan malang melintang dan darah mengalir dan tergenang, mengerikan.

   Cun Giok juga sudah menderita beberapa luka ringan akan tetapi yang mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya mulai terasa lemas. Dia melihat betapa keadaan Siang Ni jauh lebih parah daripada dirinya, akan tetapi gadis itu masih terus mengamuk dan gerakannya tidak pernah mengendur. Ia bagaikan seekor harimau terluka dikeroyok banyak anjing dan biarpun harimau sudah menderita banyak luka gigitan anjing-anjing itu, setiap kali ia bergerak pasti ada seekor anjing lagi yang roboh dan mati! Cun Giok merasa khawatir sekali, akan tetapi dia tidak sempat membantu karena dia sendiri juga sibuk membela diri terhadap pengeroyokan banyak perajurit. Namun kini dia membagi perhatiannya, mengerling arah gadis yang masih mengamuk itu.

   Tiba-tiba sebatang tombak yang ditusukkan dari belakang tepat mengenai pundak kanan gadis itu. Terdengar suara tulang patah dan pedang di tangan kanan Siang Ni terlepas, lengan kanannya tergantung lumpuh!

   "Siang Ni......!" Cun Giok berteriak, akan tetapi Siang Ni bahkan tertawa nyaring, tubuhnya terhuyung-huyung namun ia masih memutar pedang kirinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang menyerangnya bagaikan hujan.

   "Jangan bunuh gadis liar itu! Tangkap ia hidup-hidup!" terdengar seruan komandan pasukan dan Siang Ni dikepung ketat. Para perajurit kini hendak mencari kesempatan baik agar dapat meringkus gadis yang akan ditangkap hidup-hidup itu.

   Siang Ni masih mengamuk dan tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan. Pekiknya seolah memberinya tenaga baru. Pedang di tangan kirinya membentuk gulungan sinar emas dan menyambar-nyambar sehingga dua orang di sebelah kirinya roboh mandi darah. Dengan gerakan liar Siang Ni terhuyung, terkadang menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Akhirnya ia tiba di depan makam ibunya. Kiranya gadis itu memang sambil melawan dengan tenaga terakhir menghampiri makam itu.

   "Tangkap hidup-hidup! Terlalu enak kalau iblis betina itu dibunuh begitu saja!" teriak pula komandan pasukan yang marah sekali, bukan saja melihat panglimanya dibunuh dan mayatnya dicincang oleh Siang Ni, akan tetapi juga melihat betapa banyaknya anak buahnya tewas di tangan gadis yang amat lihai itu.

   Setelah tiba di depan makan ibunya, Siang Ni yang tubuhnya lemas sekali karena menderita banyak luka dan kehabisan banyak darah, berseru lantang.

   "Ibuuuu......, tungguuuu anakmu, Ibuuu......! Aku menyusulmu......!" Tiba-tiba sinar emas berkelebat ke arah lehernya dan ia pun roboh dan tewas mandi darah dengan leher hampir putus terbabat pedang di tangan kirinya sendiri. Pedang Kim-kong-kiam!

   Melihat ini, Cun Giok mengeluarkan pekik melengking seperti seekor naga terluka. Pedangnya menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga empat orang perajurit Mongol terjungkal roboh mandi darah. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah makam dan empat orang perajurit lain yang berani mencoba menghadangnya, roboh disambar kilatan pedangnya.

   Di lain saat pemuda itu telah menyambar pedang Kim-kong-kiam yang masih dipegang tangan kiri jenazah Siang Ni, menyimpan pedang pusaka yang dulu menjadi milik gurunya, dan dia berjongkok, dengan lembut menggunakan tangannya untuk mengusap muka Siang Ni sehingga sepasang mata yang tadinya terbuka itu dapat terpejam.

   "Siang Ni...... ahh, Siang Ni......!" Cun Giok mengeluh dengan perasaan hati seperti tertusuk. Rasa sedih, iba, dan penasaran menyesak di dadanya. Tangan kirinya membelai wajah yang cantik jelita, pucat, basah oleh keringat dan darah itu.

   "Siang Ni...... Piauw-moi (Adik Misan Perempuan)......" Cun Giok mengeluh. Pada saat itu, dia merasakan adanya sambaran senjata dari belakang, kanan dan kiri. Cepat dia melompat dan membalik, pedangnya berkelebat dan tiga orang perajurit Mongol roboh mandi darah diantar teriakan kematian mereka.

   Cun Giok mengamuk, akan tetapi melihat betapa semakin banyak perajurit Mongol berdatangan, dia maklum bahwa kalau dia terus melawan, akhirnya dia tidak akan dapat bertahan. Dia lalu memutar pedangnya dan menerobos keluar dari kepungan para perajurit. Untuk dapat lolos dia harus merobohkan belasan orang perajurit lagi, akan tetapi dia sendiri pun menderita luka-luka, walaupun tidak ada yang parah. Akhirnya, dengan mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan kelihaian ilmu pedangnya, Cun Giok berhasil lolos dari kepungan dan menghilang di antara banyak bong-pai (batu nisan) tanah kuburan itu, ditelan kegelapan malam!

   Pada keesokan harinya, kota raja menjadi geger dengan terjadinya peristiwa hebat di tanah kuburan semalam. Duapuluh orang lebih perajurit Mongol yang lihai tewas dalam pertempuran itu. Para pejabat tinggi menjadi bingung dan ketakutan.

   Kaisar Kubilai Khan yang mendengar laporan para perwira tentang peristiwa itu lalu mengumumkan bahwa Panglima Besar Kong Tek Kok bersama muridnya, Lu Siang Ni puteri Pangeran Lu Kok Kong yang tewas terbunuh pemberontak, kini tewas pula dalam tangan penjahat ketika mereka berdua bertugas menangkap penjahat pemberontak!

   Tentu saja pengumuman kaisar ini dilakukan untuk melindungi kehormatan Keluarga Istana, agar rahasia memalukan antara Panglima Besar Kong Tek Kok dan keluarga Pangeran Lu tidak sampai terdengar orang luar. Juga bukan hanya jenazah Jenderal Kong Tek Kok yang dikuburkan dengan upacara kehormatan, juga jenazah Lu Siang Ni dikubur di samping makam Pangeran Lu Kok Kong dan Pouw Sui Hong, ayah dan ibu gadis itu. Para perwira dan perajurit yang ikut bertempur di tanah kuburan malam itu, yang lolos dari maut, diancam agar jangan membicarakan peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Besar Kong Tek Kok oleh Siang Ni, muridnya sendiri yang juga puteri Pangeran Lu Kok Kong.

   Pada keesokan harinya, setelah ayam mulai berkeruyuk sahut-sahutan dan burung-burung berceloteh dengan kicau gembira menyambut sinar matahari fajar yang kemerahan, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai yang mengalir di sebelah selatan kota raja Peking.

   Pemuda itu adalah Cun Giok. Dia tampak amat menyedihkan. Rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut kumal ternoda darah kering dan keringat bercampur debu. Tubuhnya lemas lunglai, sehingga langkahnya lambat, satu-satu seolah-olah dia hampir tidak kuat lagi melangkah. Bukan kelelahan semata yang membuat dia demikian lemah lunglai, melainkan terutama sekali karena badannya kehilangan banyak darah dan batinnya tertekan oleh kesedihan yang mendalam. Wajahnya yang tampan gagah itu kini agak pucat, dan dari kedua matanya yang sayu layu itu kadang-kadang mengalir air mata yang menetes ke atas kedua pipinya.

   "Siang Ni......!" Nama ini berulang-ulang disebutnya dalam keluhannya.

   Terbayang wajah gadis adik misannya yang cantik jelita itu, sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang, senyumnya yang manis, sikapnya yang ugal-ugalan, kekerasan hati dan kegagahannya, yang sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang perajurit Mongol, dan yang memilih bunuh diri daripada tertangkap hidup-hidup dan mengalami penghinaan.

   "Siang Ni......!" Dia mengeluh lemah dan tiba-tiba tubuhnya terkulai di tepi sungai.

   Sejenak dia membiarkan dirinya rebah telentang di atas tanah berumput dan dia merasakan kesejukan embun di rumput yang seolah menembus kulitnya. Dia membiarkan lamunannya melayang-layang membayangkan segala peristiwa yang dia alami, terutama sekali yang mengenai diri Siang Ni.

   Lu Siang Ni adalah puteri Pangeran Lu Kok Kong yang menjadi suami bibinya, yaitu Pouw Sui Hong. Dan dialah yang menjadi orang pertama yang menghancurkan kehidupan Siang Ni! Dia telah salah sangka, mengira bahwa bibinya, Pouw Sui Hong dipaksa menjadi selir Pangeran Lu sehingga dia membunuh pangeran itu yang dianggap musuh keluarga Pouw! Tidak tahunya bahwa bibinya itu, Pouw Sui Hong, hidup sebagai selir terkasih dan ia mencinta suaminya, apalagi karena dari pernikahan itu ia telah melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Lu Siang Ni! Dan dia telah membunuh Pangeran Lu, ayah kandung Siang Ni! Dia sama sekali salah sangka.

   Tadinya dia membunuh Pangeran Lu untuk membalaskan sakit hati bibinya, Pouw Sui Hong, agar bibinya menjadi puas, terhibur dan bahagia. Akan tetapi, ternyata bahwa dia malah mendatangkan malapetaka bagi bibinya sendiri. Dia membunuh Pangeran Lu Kok Kong yang sama sekali tidak bersalah sehingga bibinya, Pouw Sui Hong, jatuh sakit dan mati karena terguncang hatinya. Dia yang membuat Siang Ni menjadi yatim piatu! Dia bersama Siang Ni memang telah berhasil membalas dendam kepada Panglima Besar Kong Tek Kok, akan tetapi Siang Ni juga menjadi korban dan tewas oleh pengeroyokan pasukan Mongol.

   "Siang Ni......!" Kembali Cun Giok mengeluh sedih.

   Keluarganya, keluarga Pouw, telah punah, terbasmi habis. Tinggal dia satu-satunya keturunan keluarga Pouw, bahkan dia yang menjadi keturunan tunggal itu selama ini menggunakan she (marga) Suma, yaitu marga mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, yang juga menjadi ayah angkatnya. Tidak, mulai sekarang dia harus menggunakan marga nenek moyangnya, yaitu she Pouw, agar keturunan Pouw tidak musnah. Kini dia bersama Pouw Cun Giok, bukan lagi Suma Cun Giok.

   Terkenang akan keluarga ayahnya, yaitu keluarga Pouw, hati pemuda itu terasa semakin pedih. Semenjak ratusan tahun keluarga Pouw terkenal sebagai sebuah keluarga besar, keturunan bangsawan tinggi Kerajaan Sung (960-1279), terkenal sebagai pahlawan-pahlawan bangsa. Dahulu seluruh rakyat Kerajaan Sung mengenal dua orang bersaudara Pouw yang dihormati dan dikagumi. Kedua orang kakek canggahnya itu adalah Pouw Goan Keng yang menjabat Menteri Kesusastraan dan adiknya Pouw Cong Keng yang dulu dengan gagahnya memimpin pasukan melawan musuh, yaitu bangsa Kin.

   Cun Giok melanjutkan kenangannya yang semakin mengalir. Dari mendiang gurunya dia mendengar akan riwayat nenek moyangnya. Kakeknya, Pouw Seng Ki, mempunyai dua orang anak, yaitu ayahnya, Pouw Keng In dan bibinya, Pouw Sui Hong. Akan tetapi kakek dan neneknya meninggal dunia karena penyakit ketika ayah dan bibinya masih kecil sehingga ayah dan anak bibinya itu ikut kakeknya yang bernama Pouw Bun yang pernah menjadi pejabat sebelum Kerajaan Sung jatuh ke tangan bangsa Mongol.

   Ayahnya Pouw Keng In telah menikah dengan ibunya, Tan Bi Lan, yang telah mengandung delapan bulan, ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw. Ayahnya, Pouw Keng In yang berjiwa patriot penasaran sekali melihat bangsa Mongol menjajah tanah airnya. Dia sering menulis sajak yang isinya mengutuk penjajah bangsa Mongol.

   Seorang bekas pelayan bernama Can Sui dikeluarkan oleh keluarga Pouw karena hendak kurang ajar terhadap Pouw Sui Hong. Can Sui lalu mencuri sajak tulisan Pouw Keng In dan menyerahkannya kepada Pembesar Mongol. Maka, malapetaka pun menimpa keluarga Pouw. Kakek dan Nenek Pouw Bun dibunuh. Pouw Keng In mengajak isterinya yang mengandung delapan bulan dan adiknya, Pouw Sui Hong yang berusia delapanbelas tahun, melarikan diri. Mereka bertiga dikejar pasukan yang dipimpin Jenderal Kong Tek Kok. Akhirnya, Pouw Keng In tewas terkena panah, panglima besar itu, dan Pouw Sui Hong tertawan! Ibunya terluka pundaknya akan tetapi ia dapat ditolong Suma Tiang Bun.

   "Kasihan Ibuku". kasihan Ayah, Kong-kong dan Nenek, kasihan sekali Bibi Pouw Sui Hong! Kasihan sekali Adik Siang Ni......" Cun Giok mengeluh.

   Kenangannya semakin kabur. Dahulu, gurunya, Suma Tiang Bun yang menceritakan itu semua. Kemudian ibunya melahirkan dia dan ibunya meninggal dunia setelah melahirkan. Dia diangkat anak oleh gurunya, diberi she Suma. Setelah dia dewasa dan hendak membalas dendam, ternyata dia salah sangka dan membunuh Pangeran Lu yang mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai selir kesembilan! Karena pembunuhan itu, bibinya meninggal dunia karena duka! Kemudian, Siang Ni yang nekat juga tewas secara menyedihkan. Dia merasa, seolah dia yang menghancurkan keluarga bibinya!

   Tiba-tiba kenangan yang makin kabur itu lenyap, terganti awan hitam, gelap dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Cun Giok pingsan menggeletak telentang di tepi sungai.

   Cun Giok mengerang lirih. Dia merasa kepalanya dibasahi orang dengan kain basah dingin. Rasa dingin itu mengurangi hawa panas yang amat mengganggunya dan membuatnya pening. Lalu ada jari tangan menotok jalan darah di kedua pundaknya, lalu mengurut ulu hatinya. Hidungnya mencium keharuman seribu bunga, lembut dan sedap. Jari-jari tangan itu masih mengurut dan menekan tubuhnya. Dia merasa betapa jari-jari tangan itu menekan dan mengurut jalan darah dengan tepat sekali. Pasti seorang ahli dan orang itu sedang berusaha untuk melancarkan jalan darahnya. Mimpikah dia?

   Cun Giok tidak mau membuka kedua matanya, khawatir kalau mimpinya hilang. Dia teringat bahwa dia tadi rebah di atas tanah berumput, di tepi sungai. Tekanan dan urutan jari tangan itu terasa lembut dan menyenangkan, juga bau harum itu membuat dia merasa nyaman. Sayang kalau dia membuka mata lalu mimpi ini hilang!

   Tiba-tiba terdengar langkah kaki berdebum membuat dia merasa tergetar. Seolah ada seekor gajah di dekatnya! Cun Giok membuka matanya dan dia merasa heran sekali melihat dia rebah di dalam sebuah kamar yang besar, di atas pembaringan yang indah dan lunak. Kamar itu mewah sekali dan ketika pandang matanya bertemu dengan orang yang duduk di tepi pembaringan itu, dia terbelalak dan menggosok-gosok kedua matanya.

   Setelah membuka matanya dan melihat gadis yang duduk di tepi pembaringan itu, dia merasa bahwa sekarang baru dia mimpi benar-benar! Bukan saja kamar mewah itu yang membuatnya terheran, akan tetapi terutama sekali melihat gadis itu, dia yakin bahwa dia sedang mimpi. Seorang gadis yang berpakaian indah dari sutera merah muda, dihias garis-garis dan bunga-bunga berwarna kuning dan hijau. Terutama wajahnya! Tentu seorang bidadari!

   Wajah itu dalam pandangannya demikian cantik jelita sehingga lebih pantas kalau disebut bidadari. Usianya sekitar delapanbelas tahun. Sepasang matanya demikian indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas, dengan bulu mata lentik dan dipayungi sepasang alis yang hitam kecil panjang, hidungnya mancung dan mulutnya itu! Entah mana yang lebih indah menggairahkan antara mulut dan mata itu. Tubuh itu pun dalam penilaian Cun Giok amat sempurna, tubuh yang menjelang dewasa bagaikan buah sedang ranum atau bunga mulai mekar, dengan lekuk lengkung sempurna sehingga pakaian dari sutera yang agak ketat itu tidak dapat menyembunyikannya dengan baik. Demikian terpesona Cun Giok memandang gadis itu sehingga dia tidak melihat yang lain lagi.

   Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.

   "Siapa suruh orang asing masuk ke sini tanpa ijin? Dia tentu mempunyai niat jahat!" Kemudian menyusul angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Cun Giok!

   "Wuuuttt......brakkk!" Cun Giok mengelak sambil melompat turun ke samping dan sebuah tangan yang besar menyambar lewat kepalanya dan mengenai pembaringan yang seketika pecah berantakan terkena pukulan tangan itu!

   Cun Giok dapat menghindarkan diri dari pukulan maut itu, akan tetapi dia berdiri di lantai dengan terhuyung karena gerakan mengelak tadi membuat kepalanya pening dan tubuhnya terasa tidak ada tenaganya dan lemas. Ketika dia memandang penyerangnya, ternyata yang menyerangnya adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, wajahnya tampan gagah berkulit merah, usianya sekitar limapuluh lima tahun. Pakaiannya mewah seperti seorang hartawan dan muka yang tampan itu tampak keren dan gagah dengan adanya kumis dan jenggot hitam yang pendek dan terawat.

   Melihat Cun Giok dapat menghindarkan pukulannya tadi, kakek itu agaknya siap untuk mengirim serangan susulan.

   Biarpun Cun Giok merasa kepalanya pening dan tubuhnya gemetar, namun dia segera memasang kuda-kuda dan siap menghadapi serangan lawan yang dia tahu memiliki tenaga yang amat kuat.

   "Jangan melawan!" tiba-tiba gadis berpakaian merah itu berkelebat mendekati Cun Giok dan secepat kilat tangannya berkelebat dan Cun Giok terkulai lemas karena jalan darah Thian-hu-hiat di tubuhnya telah terkena totokan yang ampuh. Sebelum tubuhnya yang terkulai itu roboh, tangan gadis itu, yang kecil lembut namun kuat bukan main, telah menangkap pangkal lengan Cun Giok sehingga dia tidak sampai jatuh. Gadis itu lalu menarik dan mendudukkan Cun Giok ke atas sebuah kursi. Cun Giok terduduk dan hanya dapat memandang kepada gadis jelita dan laki-laki gagah perkasa itu.

   Kini gadis itu menghadang di antara Cun Giok dan laki-laki itu.

   "Ayah tentu tidak akan melanggar hakku! Aku yang membawanya ke sini, maka aku pula yang bertanggung jawab atas dirinya. Tidak seorang pun, termasuk Ayah boleh melanggar hakku!"

   "Ai Yin, engkau telah bertindak lancang sekali!" laki-laki itu berkata, suaranya besar dan nadanya menunjukkan bahwa laki-laki tinggi besar itu berwatak keras.

   "Apakah engkau mengenal orang ini? Siapa dia dan mengapa engkau membawanya ke sini tanpa memberitahu kepadaku?"

   "Ayah, aku melihat dia menggeletak pingsan di tepi sungai. Dia menderita banyak luka senjata tajam, walaupun tidak ada yang parah namun dia kehilangan banyak darah. Kalau tidak kutolong, dia pasti akan terus pingsan dan tidak akan bangun kembali. Maka, aku membawanya ke sini dan ketika aku datang, ayah tidak berada di rumah. Salahkah perbuatanku itu?"

   "Hemmm," kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa dan sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam ketika dia memandang wajah Cun Giok yang masih duduk kursi dan tidak mampu bergerak karena tadi ditotok gadis itu.

   "Akan tetapi aku harus mengetahui dulu macam apa orang ini, pantas mendapat pertolonganmu atau tidak, aku harus mengujinya."

   "Silakan, Ayah. Aku pun tidak akan sudi menolong orang yang tidak memenuhi syarat kita."

   Kakek itu mengeluarkan sebuah guci keramik kecil dari saku jubahnya, membuka tutup guci dan mengeluarkan tiga butir pel merah sebesar kuku jari kelingking.

   "Nih, untuk memulihkan darahnya," Dia menyerahkan tiga butir pel itu kepada puterinya.

   "Ah, bukankah obat penambah darah dan penguat tubuh ini merupakan obat langka simpanan Ayah untuk kesehatan Ayah sendiri?" gadis itu membantah.

   "Berikanlah padanya, aku masih mempunyai sisanya yang cukup. Tanpa itu, akan terlalu lama tenaganya pulih dan kalau dia selemah ini, bagaimana aku dapat mengujinya?" Kakek itu lalu melangkah keluar kamar. Langkahnya berdebum seperti langkah gajah yang marah!

   Gadis itu menghampiri Cun Giok dan membebaskan totokannya sehingga pemuda itu dapat bergerak kembali. Cun Giok memandang gadis itu dengan heran.

   "Maaf, Nona. Engkau siapakah dan mengapa engkau melakukan semua ini kepadaku?"

   Gadis itu mengerutkan alisnya.

   "Nanti saja kita bicara. Sekarang engkau mengasolah dulu dan tidurlah untuk memulihkan kesehatanmu."

   Cun Giok merasa heran. Kini dia baru mengerti bahwa ketika dia rebah telentang di tepi sungai itu, dia jatuh pingsan sehingga ketika dia diketemukan gadis ini dan dibawa pulang, dia sama sekali tidak sadar. Gadis itu telah menolongnya, bukan hanya menolong ketika dia tergolek pingsan di tepi sungai, malah tadi membela dan melindunginya dari ancaman ayah gadis itu yang agaknya marah melihat dia berada di situ. Maka, mendengar gadis itu minta dia mengaso dengan nada suara memerintah, dia pun tidak membantah dan segera bangkit, menghampiri pembaringan dan berdiri bingung melihat pembaringan itu telah hancur terkena pukulan kakek tadi.

   "Sana, engkau boleh tidur di pembaringanku!" kata gadis itu sambil menuding ke arah sudut kamar yang luas itu.

   Cun Giok memandang dan melihat sebuah tempat tidur yang mewah dan indah di sudut. Tentu saja dia meragu untuk tidur di pembaringan gadis itu!

   "Biarlah aku tidur di lantai saja, Nona. Aku tidak berani tidur di pembaringanmu."

   "Hemm, mengapa tidak berani? Aku yang menyuruhmu tidur di pembaringan dan aku akan menemanimu!"

   Cun Giok membelalakkan matanya ketika dia memandang gadis itu. Tidak salahkah pendengarannya? Gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun ini akan menemaninya tidur sepembaringan! Tentu ia main-main atau mengejek. Akan tetapi ketika dia memandang wajahnya, gadis itu bersungguh-sungguh dan sepasang matanya memandang kepadanya dengan tajam penuh selidik.

   "Tidak, Nona!" katanya tegas.

   "Aku tidak mau tidur di sana, aku tidur di lantai atau di luar kamar ini saja!"

   "Hemm, apakah engkau menganggap aku kurang cantik dan tidak menarik sehingga engkau tidak mau tidur sepembaringan denganku?" tanya gadis itu, akan tetapi biarpun pertanyaannya itu seolah mengandung ajakan, namun sikapnya biasa saja, bahkan suaranya dingin, sama sekali bukan wajah seorang gadis yang genit atau mengandung bujuk rayu.

   "Bukan begitu, Nona. Akan tetapi bagaimana aku berani bersikap tidak sopan dan tidak pantas terhadap seorang gadis yang telah menolongku? Bahkan andaikata Nona tidak telah begitu baik menolong aku pun, aku tidak berani kurang ajar tinggal sekamar dengan seorang gadis, apalagi tinggal dan tidur sepembaringan." Cun Giok yang tiba-tiba merasa lemas dan lelah telah berdiri dan bicara agak lama, lalu duduk di atas lantai, kemudian merebahkan diri di lantai!

   "Ah, maaf, kepalaku pening dan tubuhku lemas, biar aku rebah di sini saja."

   "Hemm, apa kata orang kalau mendengar aku membiarkan tamuku tidur di lantai?" Gadis itu lalu berkata dengan suara memerintah.

   "Hayo bangkitlah dan pindahlah tidur di pembaringan itu!" Ia menuding ke arah pembaringan yang berada di sudut kamar.

   Cun Giok berkeras menolak.

   "Tidak, Nona. Aku tidak berani tidur di pembaringanmu!"

   "Tolol kau! Kaukira kami hanya memiliki sebuah kamar tidur ini? Dan apa kaukira aku sudi tidur dengan seorang laki-laki? Hayo engkau tidur di sana, aku masih memiliki banyak kamar yang lebih bagus dari kamar ini!"

   Mendengar ini, Cun Giok bangkit duduk dan memandang wajah yang tampak semakin menarik karena kedua pipi itu kemerahan, agaknya ia marah.

   "Benarkah itu, nona?"

   "Aku bukan pembohong!" bentak gadis itu.

   Cun Giok bangkit berdiri lalu melangkah perlahan ke arah pembaringan yang lebih besar dan lebih mewah daripada pembaringan di mana dia tidur, yang kini telah patah-patah. Dia duduk di tepi pembaringan itu, merasa sungkan sekali.

   Seorang pelayan wanita yang masih muda dan berwajah manis mengetuk daun pintu kamar yang terbuka. Setelah gadis itu menoleh dan mengangguk, ia masuk membawa sebuah baki (talam) terisi sebuah mangkok, sebuah cawan dan poci teh. Dengan cermat dan lembut ia menata mangkok, cawan dan poci itu ke atas meja. Setelah selesai menata semua itu, ia keluar lagi sambil memberi hormat dengan membungkuk kepada gadis itu.

   Gadis itu mengambil mangkok yang terisi cairan berwarna coklat, yaitu air rebusan obat dan membawanya kepada Cun Giok.

   "Duduklah dan minum obat ini sampai habis." katanya.

   Cun Giok kini dapat menduga bahwa gadis ini ingin menolongnya dan wataknya keras dan galak. Dia tidak bertanya atau membantah, lalu bangkit duduk dan menerima mangkok itu lalu diminumnya air obat itu sampai habis.

   "Sekarang telan tiga butir pel ini. Jangan memandang remeh pel ini. Ini adalah obat istimewa dari Ayah yang diberikan untukmu. Telanlah, kuambilkan air teh." Ia membawa mangkok kosong ke meja dan menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan lalu membawanya kepada Cun Giok.

   Dengan taat Cun Giok menelan tiga butir pel merah itu. Bau amis menyengat hidungnya dan tiga butir pel itu setelah memasuki lambungnya, seolah berubah menjadi hawa panas yang membuat jantungnya berdenyut keras dan debar jantungnya terasa sampai ke jari kaki dan ke ubun-ubun kepala. Dia menjadi pening dan dia lalu merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan, memejamkan mata dengan hati pasrah. Dia yakin bahwa gadis itu tidak meracuninya, karena kalau hanya untuk dibunuh, mengapa susah-susah membawanya ke sini dan merawatnya? Akhirnya dia tertidur pulas tanpa disadarinya, seperti orang terbius! Dan memang obat yang diminumkan tadi mengandung pembius agar Cun Giok dapat beristirahat dengan baik.

   Pada keesokan harinya, baru Cun Giok terbangun dari tidurnya yang amat nyenyak sejak sore kemarin. Begitu terbangun, Cun Giok teringat akan semua yang terjadi padanya dan dia bangkit duduk. Tubuhnya terasa segar dan sehat dan luka-luka di lengan, pundak, dan pahanya telah mengering. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main!

   Daun pintu diketuk dari luar, lalu pelayan wanita muda yang kemarin datang membawakan obat dan air teh, mendorong daun pintu yang tidak terpalang itu dari luar dan memasuki kamar. Ia membawa seperangkat pakaian bersih dan meletakkannya di atas meja.

   "Selamat pagi, Kongcu. Kongcu dipersilakan mandi di kamar mandi sebelah kamar ini, setelah itu Siocia (Nona) mengajak Kongcu (Tuan Muda) makan pagi bersama." Setelah berkata demikian, pelayan itu membungkuk dan melangkah ke pintu.

   "Nanti dulu!" Cun Giok berseru dan cepat melompat dan berdiri menghadang di depan pelayan itu.

   "Katakan dulu padaku, siapakah nama Nonamu itu?"

   Pelayan itu memandang kepada Cun Giok dengan alis berkerut lalu ia menggeleng kepalanya.

   "Maaf, Kongcu. Saya tidak berani menjawab."

   "Hemm, mengapa takut? Apa sih salahnya kalau engkau memberitahu padaku siapa nama Nonamu? Sebagai tamu, sudah sepatutnya kalau aku mengetahui nama nona rumah yang telah berbuat baik kepadaku. Katakanlah dan jangan takut."

   "Nona akan marah kalau saya bicara, Kongcu."

   "Biar aku yang bertanggung jawab kalau ia marah!" kata Cun Giok penasaran. Memberitahu nama majikan bukan dosa, mengapa pelayan ini begitu ketakutan?

   Kembali pelayan itu mengamati wajah Cun Giok. Agaknya ia percaya kepada pemuda itu, maka dengan suara lirih ia berkata.

   "Siocia bernama Cu Ai Yin, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih). Sudahlah, Kongcu, biarkan saya pergi, harap Kongcu segera mandi dan bertukar pakaian."

   "Nanti dulu, engkau belum menceritakan, siapa ayah dari Nona Cu Ai Yin itu dan apa pekerjaannya. Hayo katakan, aku hanya ingin tahu siapa penolongku, tidak mempunyai niat buruk," Cun Giok membujuk sambil tersenyum ramah.

   


   
"Lo-ya (Tuan Tua) bernama Cu Liong, julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding) dan beliau adalah majikan yang memiliki Bukit Merak ini. Sudah, Kongcu, saya takut mendapat marah." Pelayan itu lalu setengah berlari meninggalkan kamar itu.

   Cun Giok tersenyum. Puas bahwa dia telah mengetahui nama tuan rumah dan puterinya yang jelita. Dia lalu pergi ke kamar mandi di sebelah kamar itu, mandi sehingga tubuhnya terasa semakin segar akan tetapi perutnya semakin lapar, dan berganti pakaian yang dibawa pelayan tadi. Pakaian dari sutera biru muda yang mahal dan masih baru!

   Ketika dia kembali ke kamarnya, dia melihat Cu Ai Yin sudah berada dalam kamarnya. Cantik jelita dan manis, pakaiannya sutera merah muda dan rambutnya yang digelung rapi ke atas itu dihias setangkai bunga berwarna putih. Pantas ia disebut Pek-hwa Sianli karena ketika berdiri di situ dengan pakaian baru merah muda dan rambutnya dihias bunga putih, ia memang tampak seperti seorang bidadari berbunga putih! Sebaliknya, gadis itu pun memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata tajam penuh kagum. Cun Giok memang tampak tampan dan gagah setelah berganti pakaian dan keadaannya tidak kusut seperti kemarin.

   "Selamat pagi, Nona Cu Ai Yin. Sungguh keadaanmu tepat sekali dengan julukan Pek-hwa Sianli!" kata Cun Giok sambil tersenyum.

   "Dan lagi-lagi terima kasih banyak atas kebaikan budimu, Cu-siocia!"

   "Engkau telah mengetahui nama dan julukanku?" Ai Yin bertanya heran.

   "Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama besar Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, puteri dari Bu-tek Sin-liong Cu Liong yang gagah perkasa, majikan Bukit Merak? Sungguh aku merasa kagum sekali!"

   Tiba-tiba Ai Yin mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tadinya berseri itu tiba-tiba menjadi merah, sinar matanya menunjukkan bahwa ia marah. Ia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar pintu kamar masuklah pelayan wanita yang tadi melayani Cun Giok. Begitu masuk, pelayan itu berdiri di depan Ai Yin dan membungkuk dengan hormat.

   "Saya menunggu perintah Siocia."

   "Siauw-ming, apakah engkau menyadari dosamu?" Ai Yin bertanya dengan suara keren.

   Gadis pelayan itu melirik sejenak kepada Cun Giok lalu menjawab sambil menundukkan kepalanya.

   "Saya mengaku bersalah melakukan pelanggaran dan siap menerima hukuman dengan ikhlas, Siocia."

   "Sekarang juga masuk ke Kamar Penyesalan Dosa dan tinggal di sana sampai besok pagi baru boleh keluar!" bentak Ai Yin.

   Pelayan itu mengangguk dan berkata lirih.

   "Baik, saya menaati perintah, Siocia." Dengan kepala masih menunduk, pelayan itu meninggalkan kamar.

   Cun Giok merasa penasaran.

   "Eh, Nona Cu Ai Yin, mengapa engkau menghukum pelayan itu? Kesalahan apakah yang ia lakukan sehingga engkau menghukumnya selama sehari semalam?"

   "Ia telah melanggar larangan yang telah merupakan peraturan yang ia ketahui, yaitu memperkenalkan namaku dan nama ayah kepada orang lain!"

   "Tapi, bukankah hal itu wajar saja? Pula, tadinya ia takut untuk memberi tahu, dan aku yang membujuknya sehingga akhirnya ia memberitahu kepadaku siapa namamu dan nama ayahmu. Apakah yang begitu dianggap dosa?"

   "Hemm, engkau sendiri belum memperkenalkan nama, bagaimana engkau lancang hendak mengetahui nama kami?"

   "Ah, maafkan aku, Nona Cu Ai Yin. Karena selama ini aku berada dalam keadaan lemah dan setengah sadar, aku lupa memperkenalkan diriku. Aku bernama Pouw Cun Giok, yatim piatu sebatang kara, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Nah, aku sudah memperkenalkan diri, jadi sudah sepatutnya kalau aku juga mengenal namamu dan nama Ayahmu. Pelayan tadi memperkenalkan namamu setelah kudesak dan kubujuk. Jadi yang bersalah aku. Mengapa engkau menghukumnya sehari semalam untuk urusan yang kecil itu, Nona? Bukankah itu terlalu kejam?"

   "Hemm, kalau semua orang selemah engkau ini, dunia akan menjadi kacau! Apa artinya ada peraturan atau hukum, kalau tidak ditaati oleh yang menerima peraturan dan yang membuat peraturan? Peraturan diadakan untuk ketertiban dan pelanggarnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang ada. Kalau peraturan itu tidak dijalankan oleh kami yang membuat peraturan, mana mungkin para karyawan kami akan menaati peraturan? Tidak taat berarti timbul ketidak-tertiban? Mereka akan memandang rendah peraturan yang ada! Memaafkan pelanggar peraturan sama dengan mendorong mereka untuk mengulang-ulang pelanggaran! Tiada maaf bagi pelanggar, inilah yang menjamin ketertiban!"

   Cun Giok bungkam. Bagaimanapun juga, dia harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. Para pelayan sudah tahu bahwa mereka tidak boleh memperkenalkan nama majikan mereka, Biarpun hal itu kecil, namun pelanggaran tetap pelanggaran. Kalau pelanggaran kecil dimaafkan, maka pelanggaran besar pun akan terjadi.

   Banyak dia melihat hal itu terjadi di kota-kota besar. Pemerintah mengadakan larangan-larangan, mengadakan peraturan dan hukum. Namun para pejabat tidak memegang teguh hukum yang diadakan. Mereka menerima uang sogokan dan peraturan itu dapat diubah, bahkan diputar-balikkan. Karena itu, rakyat memandang ringan peraturan karena dengan uang, segala peraturan dapat dilanggar. Hal ini menimbulkan penyakit parah pada rakyat dan pada para pejabat. Rakyat mengabaikan peraturan dan suka menyogok atau menyuap para pejabat, dan para pejabat suka menerima uang sogokan dan mengesampingkan peraturan. Kekacauan pun timbullah!

   "Maafkan aku, Nona Cu. Sekarang aku mengerti dan pendapatmu itu memang benar dan tidak dapat kubantah. Akan tetapi, sungguh aku merasa menyesal sekali dan bersalah terhadap pelayan itu. Ia dihukum karena memenuhi permintaanku. Sesungguhnya, akulah yang bersalah."

   "Engkau seorang tamu yang tidak terikat oleh peraturan kami itu, Pouw Cun Giok, dan sebagai tamu juga engkau tidak berhak mencampuri urusan dan peraturan keluarga kami. Nah, mari kita sarapan pagi. Ayahku sudah menanti di ruangan makan."

   Cun Giok tidak membantah lagi karena memang dia merasa betapa sejak bangun tidur tadi, perutnya mengamuk, menjerit-jerit minta diisi. Dia teringat bahwa ketika dia mulai tidak ingat diri adalah di waktu pagi, kemarin dulu. Lalu tahu-tahu pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah berada di kamar ini. Dia diberi minum obat dan tertidur sampai keesokan harinya lagi. Berarti, dia sudah dua hari dua malam tidak makan! Pantas saja perutnya berkeruyuk terus sejak tadi.

   Mereka berjalan menuju ke ruangan makan melalui banyak ruangan dan lorong dalam rumah yang amat besar dan megah itu. Setelah tiba di ruangan makan, Bu-tek Sin-liong Cu Liong sudah duduk di kepala meja. Meja itu lonjong, terbuat dari batu marmer yang indah.

   Melihat puterinya datang memasuki ruangan yang luas itu bersama Cun Giok, Cu Liong yang gagah perkasa itu bersikap tidak acuh. Tangannya menyambar sebuah bangku dan sekali tangan itu dia gerakkan, bangku itu melayang ke arah Cun Giok.

   "Ini tempat dudukmu!" dia berseru dan bangku itu menyambar dengan cepat sekali ke arah Cun Giok.

   Pemuda itu maklum bahwa pemberian bangku itu merupakan serangan, mungkin untuk mengujinya. Maka dia pun mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan menyambut bangku dengan kedua tangannya. Terasa betapa kuatnya tenaga dorongan itu sehingga terpaksa dia melangkah ke belakang dua kali untuk mengatur keseimbangan dirinya yang agak goyah. Dari lontaran bangku itu saja Cun Giok maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga yang amat kuat!

   Dengan tenang seperti tak pernah terjadi sesuatu, Cun Giok menghampiri meja, menaruh bangku tadi di dekat meja, berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong Cu Liong, lalu dia mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil membungkuk.

   "Lo-cianpwe (Orang Tua Terhormat), saya Pouw Cun Giok mohon maaf kalau kehadiran saya ini merepotkan keluarga dan mengganggu ketenteraman Lo-cianpwe, dan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe!"

   Tanpa berdiri dari tempat duduknya, Cu Liong merangkap kedua tangan depan dada dan diacungkan ke arah pemuda itu.

   "Terimalah salamku kembali!" Tiba-tiba Cun Giok merasa ada hawa dahsyat menyambar dari gerakan kedua tangan kakek itu. Dia cepat memperkokoh berdirinya dan mengerahkan sin-kang untuk melindungi diri dari serangan jarak jauh itu.

   "Wuuuttt...... derrrrr......!" Cun Giok merasa betapa tubuhnya tergetar hebat, akan tetapi dia dapat bertahan dan hanya terpaksa melangkah mundur dua kali menahan guncangan.

   "Terima kasih," katanya dan dia pun duduk di atas bangku tadi dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

   Cu Ai Yin juga mengambil tempat duduk di sebelah kanan ayahnya. Pemuda itu berada di sebelah kanannya dan Cun Giok berhadapan dengan Cu Liong yarg memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.

   Ai Yin bertepuk tangan tiga kali dan empat orang gadis pelayan memasuki ruangan makan itu dengan langkah ringan dan lembut, masing-masing membawa baki berisi mangkok-mangkok dan piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan bau sedap masakan itu membuat Cun Giok merasa semakin lapar. Agaknya cacing-cacing dalam perut dapat mencium pula bau masakan itu sehingga mereka menari-nari kegirangan ingin segera menyambutnya!

   Setelah menata mangkok piring berikut sumpit terbuat dari gading di atas meja, empat orang gadis pelayan itu lalu duduk di empat sudut ruangan itu, mepet dinding dan mereka waspada dan siap untuk melayani majikan-majikan mereka dan tamunya. Diam-diam Cun Giok bertanya dalam hati di mana adanya ibu gadis itu. Mengapa tidak hadir dan makan bersama? Akan tetapi tentu saja dia tidak berani lancang bertanya.

   Agaknya Bu-tek Sin-liong masih belum puas setelah dia menguji Cun Giok dengan lemparan bangku kemudian serangan jarak jauh sambil membalas penghormatan. Kini dia mengambil guci arak dari meja, menuangkan arak ke dalam sebuah cawan dan menyodorkan cawan penuh arak itu kepada Cun Giok.

   Pemuda itu diam-diam terkejut melihat betapa arak dalam cawan itu mengepulkan uap dan tampak gelembung-gelembung seperti dipanggang di atas api dan mendidih! Maklumlah dia bahwa kakek itu telah mengerahkan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga menimbulkan hawa panas, membuat arak dalam cawan yang dipegangnya itu mendidih!

   "Orang muda, terimalah ucapan selamat datang kami dengan secawan arak ini!"

   Cun Giok terpaksa menerima secawan arak yang mendidih itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan menjulurkan tangan menerima cawan arak yang amat panas itu. Karena dia mengerahkan tenaga "Im" yang mengeluarkan hawa dingin, maka ketika dia menerima cawan arak itu, dia tidak merasakan panas, bahkan perlahan-lahan arak yang mendidih itu menjadi dingin kembali.

   Dengan tangan kanan memegang cawan, Cun Giok menggunakan tangan kirinya menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong.

   "Silakan Nona dan Lo-cianpwe minum bersama untuk menerima pernyataan terima kasih saya!" kata Cun Giok.

   Bu-tek Sin-liong dan Cu Ai Yin tersenyum dan mereka bertiga lalu minum arak dari cawan masing-masing. Diam-diam kakek itu mulai merasa gembira karena kini tidak diragukan lagi bahwa pemuda yang ditolong puterinya itu bukan pemuda biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia masih belum merasa puas. Untuk diterima menjadi orang segolongan, pemuda itu harus benar-benar memenuhi syarat! Dia lalu mempersilakan pemuda itu mulai makan minum. Dia dan puterinya memperhatikan dan melihat betapa Cun Giok hanya mengambil masakan setelah kakek dan puterinya itu memakan masakan itu! Biarpun tidak kentara, namun mereka berdua maklum bahwa pemuda ini cukup berhati-hati dan waspada, sikap yang amat penting dimiliki seorang pendekar.

   Melihat sikap Cun Giok, diam-diam Cu Liong merasa suka kepada pemuda itu. Dia adalah seorang datuk besar yang namanya terkenal di dunia persilatan. Julukannya saja menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang amat lihai. Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding), sebuah julukan besar yang juga membayangkan kesombongan, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya! Akan tetapi julukannya itu adalah pemberian orang-orang di dunia kang-ouw yang seolah mengakui kehebatannya.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong hidup di puncak Bukit Merak dan dikenal sebagai Majikan yang memiliki bukit yang tanahnya subur itu. Pemerintah baru Kerajaan Goan (Mongol) mengakui dan memberi hak kepadanya untuk memiliki Bukit Merak. Hal ini seolah merupakan hadiah dari pemerintah Mongol karena selama ini Bu-tek Sin-liong tidak pernah memusuhi Kerajaan Goan, walaupun dia juga tidak mau menjadi antek penjajah. Beberapa kali para pejabat tinggi di kota raja menawarkan kedudukan tinggi kepadanya, namun dengan baik-baik ditolaknya. Dia seorang yang netral, tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan dan perang. Sikapnya yang tidak memusuhi pemerintah itu membuat para penguasa di Kerajaan Mongol suka kepadanya dan menganggap dia sebagai sahabat.

   Banyak pejabat tinggi kota raja, terutama para panglimanya, yang menjadi kenalan baik datuk ini. Akan tetapi yang hubungannya paling dekat dengannya adalah Panglima Kong Tek Kok, yang menjadi panglima besar. Hubungan keduanya akrab karena sama-sama memiliki kepandaian silat tinggi. Ketika Kong Tek Kok melihat betapa dalam bimbingannya, putera tunggalnya yang bernama Kong Sek tidak mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silatnya, bahkan puteranya itu kalah dibandingkan muridnya, yaitu Siang Ni, Panglima Kong Tek Kok membawa puteranya ke Bukit Merak untuk menjadi murid Bu-tek Sin-liong Cu Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada tingkatnya.

   Benar saja, dibawah gemblengan Cu Liong, Kong Sek mendapatkan kemajuan pesat. Hal ini terjadi karena pemuda itu diam-diam jatuh cinta kepada puteri gurunya, yaitu Cu Ai Yin. Selama empat tahun Kong Sek menjadi murid Bu-tek Sin-liong dan kini usianya sudah duapuluh empat tahun. Panglima Kong Tek Kok setahun yang lalu melihat puteranya jatuh cinta kepada Cu Ai Yin, membicarakannya dengan Cu Liong. Dia menyatakan keinginannya untuk menjodohkan puteranya dengar Cu Ai Yin.

   Akan tetapi Bu-tek Sin-liong dengan tegas mengatakan bahwa puterinya diberi kebebasan untuk memilih jodohnya sendiri. Kalau Ai Yin mencinta Kong Sek, dia pun tidak akan menghalangi puterinya menjadi isteri Kong Sek. Pinangan resmi memang belum dilakukan, akan tetapi baik Kong Sek maupun Cu Ai Yin, sudah mendengar bahwa orang tua mereka hendak menjodohkan mereka.

   Ai Yin bersikap tidak acuh, sebaliknya Kong Sek sudah menganggap Sumoi (Adik Seperguruan) itu sebagai calon isterinya! Bahkan sejak urusan perjodohan itu dibicarakan, setahun yang lalu, kini Kong Sek lebih sering berada di Bukit Merak daripada di kota raja!

   Cu Ai Yin amat berbakat dalam ilmu silat. Karena itu, biarpun Kong Sek enam tahun lebih tua daripadanya, dalam hal ilmu silat, putera panglima itu masih belum mampu menandinginya! Juga sejak berusia limabelas tahun, Cu Ai Yin memperlihatkan sikap sebagai seorang pendekar wanita yang selain cantik jelita, juga lihai dan seringkali menghajar dan membasmi gerombolan penjahat yang suka mengganggu daerah sekitar Bukit Merak. Penampilannya yang jelita dan gagah membuat ia memperoleh julukan Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih), sesuai dengan penampilannya yang selalu mengenakan hiasan rambut berupa setangkai bunga putih.

   Gadis ini berwatak keras, jujur dan pemberani, bahkan agak liar. Senjatanya sepasang pedang pendek yang dapat ia pergunakan sebagai Hui-kiam (Pedang Terbang) dengan cara melontarkannya. Kepandaiannya dalam melontarkan pedang ini amat dahsyat dan ia sudah mewarisi ilmu ini sebaiknya dari ayahnya. Di samping ilmu silatnya yang lihai, gadis jelita ini pun pandai bernyanyi dan menari, pandai pula memainkan alat musik suling dan yang-kim. Wajahnya manis sekali, berbentuk bulat telur, mata dan mulutnya menggairahkan, terutama matanya yang amat indah. Setitik tahi lalat di sudut bibir kanan menambah kejelitaannya.

   Demikianlah, gadis itu kebetulan menemukan Pouw Cun Giok yang menggeletak pingsan di tepi sungai dan menolongnya, membawanya pulang. Kini mereka bertiga, Pouw Cun Giok, Cu Ai Yin dan ayahnya, Cu Liong, duduk makan minum tanpa bicara. Karena perutnya memang lapar sekali dan masakan-masakan yang dihidangkan itu amat mewah dan serba enak, pemuda itu tidak merasa sungkan lagi dan makan sekenyangnya. Agaknya sikap ini menyenangkan hati ayah dan puterinya itu, yang biasa bersikap terbuka dan tidak suka pura-pura.

   Setelah mereka selesai makan, Bu-tek Sin-liong mengajak puterinya dan tamunya ke ruangan lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang luas dan berada dekat taman bunga. Mereka duduk di bangku-bangku yang berderet di dekat tembok. Ruangan yang luas itu tidak mempunyai perabot lain kecuali bangku-bangku dan sebuah rak senjata di mana terdapat delapanbelas senjata untuk berlatih silat. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Cun Giok maklum bahwa dia diajak ke dalam sebuah lian-bu-thia yang luas.

   "Siapakah namamu?" tanya Cu Liong dengan suaranya yang besar dan lantang sambil menatap wajah Cun Giok penuh selidik.

   "Nama saya Pouw Cun Giok, Lo-cianpwe (sebutan menghormat pada orang tua yang gagah)."

   Kakek tinggi besar bermuka merah gagah itu membelalakkan matanya "Hemm, she (marga) Pouw? Bukan anggauta keluarga Pouw di So-couw, yang dulu amat terkenal itu?"

   Pouw Cun Giok maklum bahwa nama besar keluarga Pouw di So-couw kini telah dikenal sebagai musuh Pemerintah Mongol. Dia tidak perlu mencari perkara dengan membawa nama keluarganya yang telah terbasmi semua, tinggal dia seorang diri! Maka, tanpa menjawab dia menggeleng kepala perlahan.

   "Hemm, aku tahu engkau memiliki kepandaian silat lumayan. Siapa gurumu?"

   Cun Giok berpikir. Gurunya, Suma Tiang Bun terkenal sekali dahulu sebagai seorang patriot sejati yang menentang orang Mongol. Tidak baik menceritakannya kepada kakek yang sikapnya aneh dan keras, dan belum dikenalnya benar ini. Sebaliknya, kakek gurunya tidak pernah mencampuri urusan dunia maka lebih aman kalau menyebut namanya. Dia tidak berbohong karena memang kakek gurunya itu yang merupakan guru kedua baginya.

   "Guru saya adalah Pak Kong Lojin yang bertapa di Ta-pie-san, Lo-cianpwe." Hatinya lega karena nama kakek gurunya yang bertapa dan menjauhi urusan dunia itu agaknya tidak dikenal datuk ini yang sikapnya biasa saja mendengar nama Pak Kong Lojin.

   "Kesehatanmu sudah pulih benar sekarang?" tanya lagi kakek itu.

   Pouw Cun Giok memberi hormat.

   "Sudah, Lo-cianpwe, dan terima kasih kepada Lo-cianpwe dan Cu-siocia (Nona Cu) yang telah menolong saya."

   "Pouw Cun Giok, anakku Cu Ai Yin telah menolongmu dan membawamu ke sini. Kami sekarang ingin melihat apakah engkau ini pantas ditolong dan menjadi tamu kami ataukah tidak. Ai Yin akan menguji kepandaian silatmu. Kalau engkau memang pantas menjadi tamu, aku tidak akan mencela tindakan anakku itu. Akan tetapi kalau ternyata engkau tidak patut menjadi tamu kami, engkau harus pergi sekarang juga dan jangan memperlihatkan mukamu lagi di sini! Ai Yin, mulailah, sesuai perjanjian kita kemarin!"

   Gadis itu bangkit dan berkata kepada Cun Giok.

   "Saudara Pouw Cun Giok, mari perlihatkan ilmu silatmu kepada kami. Awas, jangan engkau mengalah karena aku akan memukulmu sungguh-sungguh sekuat tenaga. Kalau engkau mengalah, aku dan Ayah akan marah sekali kepadamu karena sikapmu mengalah itu berarti memandang rendah dan menghina kami. Nah, bersiaplah!" Gadis itu sudah melompat ke tengah ruangan dan berdiri tegak dengan sikap gagah sekali.

   Cun Giok maklum bahwa ayah dan anak yang berwatak keras ini ingin mengujinya dan dia pun tahu bahwa bagi orang yang memiliki harga diri tinggi, dipandang rendah orang lain merupakan penghinaan. Dia menjadi serba salah. Kalau tidak sungguh-sungguh dia dianggap menghina. Kalau bersungguh-sungguh, bagaimana dia dapat menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis dan gadis itu bahkan telah menolongnya, menyelamatkan nyawanya? Juga dia merupakan seorang tamu yang tidak diundang, diperlakukan dengan baik, bagaimana dia dapat menggunakan kekuatan untuk mengalahkan nona rumah?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)