PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 08

 



   Akan tetapi maklum bahwa Bu-tek Sin-liong adalah seorang datuk aneh dan dia sama sekali tidak boleh bersikap lemah dan mengalah, dia pun bangkit dari bangku, memberi hormat kepada Cu Liong dan berkata.

   "Mohon perkenan Lo-cianpwe."

   "Lawanlah ia!" kata Cu Liong singkat.

   Cun Giok melangkah menghampiri Cu Ai Yin. Kini mereka berdiri berhadapan. Cun Giok sudah merasakan kehebatan tenaga Cu Liong, maka dia dapat menduga bahwa puteri datuk itu pun tentu memiliki ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dia tidak berani memandang rendah, bersikap tenang namun waspada.

   "Nona Cu, aku sudah siap!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kaki berjingkat. Kuda-kuda ini disebut Burung Merak Siap Terbang dan biasa digunakan oleh seorang ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh). Dengan berdiri mengangkat tumit dan hanya bertumpu pada jari-jari kaki, maka tubuhnya siap untuk melompat dan berkelebatan cepat.

   "Lihat serangan!" Ai Yin sudah berseru dan ia pun mulai menyerang dengan pukulan kedua tangannya. Tangan kanan menusuk dengan dua jari ke arah tenggorokan lawan dan tangan kiri memukul ke arah perut. Gerakannya cepat dan mengandung hawa pukulan yang kuat. Akan tetapi dengan amat lincahnya Cun Giok berhasil mengelak dan teringat akan ucapan gadis itu tadi, dia pun segera membalas dengan tamparan ke arah pundak Ai Yin! Gadis itu terkejut melihat cepatnya gerakan pemuda itu maka ia lalu menangkis sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti).

   "Dukkk......!" Cun Giok kagum bukan main ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu. Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun ini telah memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Akan tetapi dia tidak sempat berlama-lama terheran dan terkagum karena Ai Yin sudah menerjangnya lagi dan menyerang bertubi-tubi dengan dahsyatnya.

   Cun Giok harus mencurahkan perhatiannya. Dia mengeluarkan ilmu silat Ngo-heng-kun-hoat (Silat Lima Unsur) untuk mengimbangi gerakan gadis itu yang juga amat hebat. Cu Ai Yin juga berusaha keras untuk memenangkan pertandingan itu dengan memainkan ilmu silat Jit-seng-kun (Silat Tujuh Bintang). Mereka saling pukul, saling tendang, akan tetapi semua serangan mereka dapat dielakkan atau ditangkis lawan.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong yang menonton pertandingan itu dengan penuh perhatian, beberapa kali mengangguk-angguk. Dia pun kagum melihat gerakan tangan Cun Giok. Pemuda itu benar-benar lihai, mampu mengimbangi puterinya yang amat berbakat. Empatpuluh jurus lewat dan belum
tampak siapa yang akan menang dalam pertandingan itu. Cu Liong sudah menganggap pemuda itu lulus ujian dan cukup berharga untuk menjadi tamunya.

   Tiba-tiba Cu Liong membelalakkan matanya karena dia melihat betapa Cun Giok mengubah gerakannya dan tubuhnva seolah berubah menjadi bayang-bayang yang bergerak cepat bukan main. Dia mendengar beberapa kali puterinya mengeluarkan seruan kaget. Mendadak saja bayangan Cun Giok melompat dan menjauhi Ai Yin. Pemuda itu sudah berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan kepada Ai Yin lalu berkata.

   "Nona Cu, aku merasa kagum sekali, ilmu silatmu sungguh lihai!"

   Ai Yin terbelalak memandang ke arah tangan kanan pemuda itu lalu meraba rambutnya.

   "Ihh......!" la berseru karena ternyata yang dipegang tangan pemuda itu adalah bunga putih hiasan rambutnya! Dengan bukti ini saja sudah mudah diketahui bahwa dalam pertandingan ilmu silat tadi Cun Giok telah memperoleh kemenangan, karena kalau tangan yang mencabut hiasan itu diubah menjadi totokan, tentu ia akan roboh tewas atau setidaknya terluka berat!

   "Maafkan aku, Nona!" Cun Giok berseru dan tangan kanannya bergerak. Hiasan rambut berupa bunga putih itu meluncur dan tahu-tahu telah menancap kembali di rambut Ai Yin!

   "Hemm, Pouw Cun Giok, engkau `menang dalam pertandingan adu silat tangan kosong. Akan tetapi aku belum kalah. Cabut senjatamu, kita bertanding menggunakan senjata!" kata Ai Yin dan ia sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu pedang pendek yang berkilauan saking tajamnya.

   Cun Giok ragu-ragu.

   "Nona Cu, perlukah itu? Biarlah aku mengaku kalah, tidak perlu kita bertanding menggunakan senjata tajam."

   "Hemm, apakah engkau ingin disebut penakut dan pengecut?" tanya Ai Yin.

   "Aturan dalam pibu (adu ilmu silat), siapa yang menang baru ditentukan kalau ada yang sudah mengaku kalah. Aku belum mengaku kalah sebelum engkau mengalahkan sepasang pedangku ini!"

   Wajah Cun Giok menjadi merah dan alisnya berkerut. Dia menoleh ke arah Cu Liong. Akan tetapi Cu Liong tidak membantunya, bahkan orang tua itu berkata.

   "Perlihatkan ilmu pedangmu, orang muda!"

   Terpaksa Cun Giok mencabut pedangnya. Sinar emas berkelehat menyilaukan mata dan pada saat itu, seorang pemuda memasuki ruangan lian-bu-thia dan berseru nyaring.

   "Kim-kong-kiam! Ah, dialah si pembunuh jahanam keparat itu!" Pemuda tinggi besar gagah berpakaian indah itu langsung saja menyerang Cun Giok dengan sebatang pedang. Serangannya cepat dan kuat sekali.

   Cun Giok yang tidak mengenal orang itu, melompat jauh ke belakang.

   "Suheng! Ada apa ini?" Cu Ai Yin membentak, wajahnya merah karena marah melihat gangguan ini.

   "Sumoi, bantu aku membunuh pemberontak jahanam ini! Dialah Suma Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu! Dia telah membunuh banyak orang termasuk Ayah!" Setelah berkata demikian pemuda itu hendak menyerang lagi.

   "Kong Sek, tahan! Jelaskan dulu apa urusannya! Jangan melanggar aturan!" Bu-tek Sin-liong membentak dan pemuda tinggi besar itu lalu menghadapi kakek itu.

   "Suhu...... ah, Suhu, bantulah teecu (murid) menangkap penjahat keji ini. Dia telah membunuh Ayahku, membunuh pula belasan orang pengawal, juga dia telah membunuh Pangeran Lu Kok Kong!"

   Mendengar ini, tentu saja Cu Liong dan Cu Ai Yin terkejut bukan main. Mereka berdua memandang kepada Cun Giok yang bersikap tetap tenang. Akan tetapi diam-diam dia heran dan menduga-duga siapakah pemuda ini. Putera siapakah dia?

   "Pouw Cun Giok! Benarkah itu?" tanya Cun Liong.

   "Suhu, dia Suma Cun Giok, bukan bermarga Pouw!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Kong Sek, putera mendiang Kong Tek Kok yang menjadi murid Bu-tek Sin-liong Cu Liong.

   "Hah? Benarkah engkau memalsukan margamu?" tanya pula majikan Bukit Merak itu.

   "Marga saya Pouw, Lo-cianpwe, saya memang menggunakan nama Marga Suma seperti Ayah angkatku."

   "Hayo ceritakan, benarkah engkau membunuh Panglima Kong Tek Kok dan banyak pengawal?"

   "Memang benar, Lo-cianpwe. Saya yang membunuh Panglima Kong Tek Kok dan para pengawal yang membantunya," jawab Cun Giok dengan jujur dan sikapnya tetap tenang.

   "Jadi engkau luka-luka dan pingsan itu karena habis berkelahi melawan mereka?" seru Ai Yin.

   Cun Giok mengangguk tanpa menjawab.

   "Pouw Cun Giok, hayo ceritakan mengapa engkau membunuh sahabatku Panglima Kong Tek Kok dan yang lain-lain!"

   Diam-diam Cun Giok maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kiranya para penolongnya ini adalah sahabat baik Panglima Kong Tek Kok, bahkan agaknya pemuda tinggi besar itu adalah putera mendiang Panglima Kong Tek Kok dan menjadi murid Bu-tek Sin-liong!

   "Lo-cianpwe, sekitar duapuluh satu tahun yang lalu, hampir seluruh keluarga Pouw, di So-couw dibasmi oleh pasukan yang dipimpin Panglima Kong Tek Kok. Kakek dan Nenek saya, Ayah dan Ibu saya, dibunuhnya dengan kejam. Seluruh anggauta dalam rumah dibunuh dan gedung keluarga Pouw dibakar. Ibuku dapat tertolong dan ketika itu Ibuku sedang mengandung. Kemudian Ibu melahirkan saya dan tewas. Saya menjadi anak atau cucu angkat penolong Ibuku, she (marga) Suma. Nah, setelah saya dewasa, setelah mempelajari ilmu silat, saya mencari musuh besar yang membasmi keluarga Pouw itu dan membalas dendam. Yang hendak saya balas dan bunuh adalah Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi karena banyak sekali pengawal yang mengeroyok saya, maka saya merobohkan banyak pengawal. Saya terluka akan tetapi sempat melarikan diri. Demikianlah yang sesungguhnya terjadi, Lo-cianpwe."

   "Suhu, dia itu seorang pemberontak dan dia telah membunuh Ayahku. Tolonglah, Suhu dan Sumoi, bantu saya menangkap jahanam ini!" Kong Sek berkata.

   "Hemm......, hemm......!" Datuk Majikan Bukit Merak itu menggumam ragu.

   "Ayah, dalam peraturan yang Ayah buat sendiri, kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain. Juga kita tidak boleh mencampuri urusan pemerintah! Andaikata benar dia memberontak, itu bukan urusan kita, dan urusan antara Suheng Kong Sek dan Pouw Cun Giok adalah urusan dendam-mendendam pribadi. Biarlah urusan itu mereka selesaikan sendiri!" kata Cun Ai Yin dengan suara tegas.

   Kong Sek yang sudah naik darah melihat musuh besarnya yang dia ketahui dari pedang Kim-kong-kiam di tangan Cun Giok, menjadi tidak sabar lagi mendengar ucapan gurunya dan sumoinya.

   "Jahanam busuk, engkau harus menebus kematian Ayahku!" bentaknya dan dia lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan Kim-kong-kiam.

   "Tranggg......!" Pedang di tangan Kong Sek juga bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang yang kuat dan ampuh walaupun tidak sebaik Kim-kong-kiam, maka pedang itu tidak patah ketika bertemu Kim-kong-kiam walaupun Kong Sek terhuyung ke belakang karena kalah kuat. Akan tetapi pemuda yang dipenuhi dendam kebencian ini menjadi nekat dan dia menyerang terus dengan membabi buta. Kenekatannya ini terutama karena dia yakin bahwa tidak mungkin gurunya akan tinggal diam saja dan pasti akan membantunya atau setidaknya melindunginya kalau dia terancam bahaya. Akan tetapi, walaupun di dalam hatinya tentu saja Bu-tek Sin-liong Cu Liong ada keinginan membela dan membantu muridnya, namun di situ ada puterinya, Cu Ai Yin yang mengingatkannya akan peraturan atau pendirian yang dibuatnya. sendiri. Dengan peringatan itu dia menjadi tidak berdaya karena dia merasa malu untuk melanggar peraturannya sendiri!

   Seperti telah diduga oleh Cu Liong dan Cu Ai Yin, Kong Sek bukan lawan yang sepadan bagi Pouw Cun Giok. Selama duapuluh jurus lebih Cun Giok hanya mengalah, akan tetapi ketika melihat bahwa Kong Sek masih terus menyerangnya seperti orang gila, dia bergerak cepat sekali sehingga Kong Sek menjadi bingung karena dia tidak dapat mengikuti gerakan Cun Giok. Bayangan lawannya berkelebatan sedemikian cepatnya sehingga tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya, bahkan terkadang lenyap.

   Selagi dia kebingungan, terdengar suara Cun Giok berkata.

   "Dendamku hanya kepada Panglima Kong Tek Kok, aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergilah!"

   Tiba-tiba tubuh Kong Sek terlempar dan terjengkang roboh. Ketika bangkit lagi, dia menyeringai karena lutut kaki kanannya terasa nyeri. Tadi lutut itu tercium ujung kaki Cun Giok sehingga dia terpincang-pincang.

   Melihat ini, wajah Bu-tek Sin-liong berubah merah dan matanya mengeluarkan sinar kemarahan. Dia merasa terhina melihat murid dan tadi puterinya dikalahkan dengan mudah oleh Cun Giok. Selain itu, bagaimanapun juga hatinya condong memihak muridnya. Maka dia cepat bangkit dan mengambil Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas), sepasang senjatanya yang ampuh, juga indah karena senjata itu merupakan golok besar dan disepuh emas!

   "Pouw Cun Giok, akulah lawanmu!" katanya sambil melangkah menghampiri Cun Giok.

   "Ayah, mengapa Ayah hendak mencampuri? Itu adalah urusan pribadi mereka! Kita tidak sepatutnya mencampuri!"

   Cu Liong menggeram.

   "Hemm, bocah ini telah membunuh Panglima Kong Tek Kok sahabatku, juga membunuh banyak pengawal! Dia harus ditangkap dan diadili!"

   "Ayah akan mulai membela pemerintah Kerajaan Goan?" Ai Yin mengingatkan.

   "Berarti Ayah melanggar peraturan sendiri!"

   "Aku tidak melanggar peraturan!" Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu membentak.

   "Aku tidak mencampuri pemerintah, juga tidak mencampuri urusan dendam pribadi. Akan tetapi Pouw Cun Giok sudah melakukan kejahatan, membunuh banyak orang. Kalau aku diam saja berarti aku membantu penjahat. Dia harus ditangkap dan dihadapkan pengadilan di kota raja!"

   "Benar sekali ucapan Suhu yang bijaksana!" Kong Sek segera membenarkan gurunya.

   "Ayah, orang ini merupakan tanggung jawabku! Aku yang membawanya ke sini setelah aku menolongnya. Maka akulah yang berhak atas dirinya!" Ai Yin membantah dengan teriakan lantang.

   "Engkau berhak menolong orang, akan tetapi engkau tidak berhak membela orang jahat!"

   "Dia bukan orang jahat......."

   "Diam!" Tiba-tiba Bu-tek Sin-liong membentak puterinya.

   Cun Giok merasa tidak enak sekali. Dia, yang telah ditolong oleh mereka, kini menjadi penyebab ayah dan anak itu bertengkar. Maka dia menyarungkan pedangnya dan berkata lembut.

   "Maaf, Lo-cianpwe dan Nona Cu, harap jangan bertengkar. Sekarang, apakah yang Lo-cianpwe kehendaki?"

   "Pouw Cun Giok! Menyerahlah untuk ditangkap dan dibawa ke kota raja untuk diadili!" Majikan Bukit Merak itu membentak.

   "Cun Giok, larilah!" teriak Ai Yin karena ia tahu bahwa kalau pemuda yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) itu melarikan diri, ayahnya sendiri pun tidak akan mampu menangkapnya.

   Akan tetapi Cun Giok berkata.

   "Nona Cu, aku akan menyerah, aku tidak ingin bermusuhan dengan Ayahmu. Lo-cianpwe, silakan, saya menyerah."

   Kong Sek sudah maju dengan pedang di tangan, agaknya siap untuk membunuh pemuda yang sudah menyerah itu. Akan tetapi tiba-tiba Ai Yin membentak.

   "Kong-suheng (Kakak Seperguruan Kong), dia hanya boleh ditangkap dan dibawa ke kota raja, sama sekali tidak boleh dilukai, apalagi dibunuh. Kalau engkau melukai atau membunuh orang yang sudah menyerah, aku akan membuat perhitungan denganmu!!"

   "Kong Sek, tangkap dia dan bawa ke pengadilan. Tidak boleh disakiti atau dibunuh sebelum diadili!" Bu-tek Sin-liong juga berkata dengan suara yang tegas.

   "Baik, Suhu," kata Kong Sek.

   Pemuda itu lalu mengambil rantai dan membelenggu kaki tangan Cun Giok. Setelah itu, dia menuntun dua ekor kuda dari kandang di mana terdapat belasan ekor kuda peliharaan gurunya. Dia menyiapkan kuda untuk Cun Giok, dibantu selosin orang perajurit pengawal yang tadi mengikutinya dan menanti di luar pekarangan.

   Setelah semua siap, Kong Sek mengambil pedang Kim-kong-kiam dari pinggang Cun Giok dan setelah mengucapkan terima kasih kepada gurunya, juga kepada sumoinya yang sama sekali tidak dijawab gadis itu yang sejak tadi cemberut marah. Kong Sek lalu pergi, diikuti selosin perajurit pengawal. Cun Giok yang didudukkan di atas seekor kuda dengan kedua kaki dan lengan terbelenggu rantai, berada di tengah.

   Setelah rombongan itu pergi, Ai Yin mengomel kepada ayahnya.

   "Pouw Cun Giok itu membalas dendam atas kematian keluarga Pouw yang dibasmi, mengapa Ayah sekarang membela Suheng Kong Sek? Apakah itu adil?"

   "Tentu saja adil. Yang terbunuh adalah sahabatku, dan aku hanya menangkap pembunuhnya untuk diadili. Pula, Kong Sek itu bukan orang lain. Dia muridku dan juga calon mantuku!"

   "Apa......? Calon mantu? Apa maksud Ayah?"

   "Hemm, engkau masih berpura-pura, Ai Yin? Sudah lama mendiang Panglima Kong dan aku bersepakat untuk menjodohkan Kong Sek denganmu, hanya belum diresmikan pinangannya. Sekarang, setelah Panglima Kong meninggal dunia, lebih baik pertunangan kalian diresmikan!"

   "Tidak! Aku tidak mau!" Ai Yin menjerit dan lari memasuki kamarnya.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang dan termenung. Sejak ditinggal mati isterinya, dia mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada puterinya. Dia melihat bahwa kalau puterinya menikah dengan Kong Sek, puterinya akan hidup bahagia. Kong Sek seorang pemuda gagah dan tampan, berdarah bangsawan pula, dan dia yakin pemuda itu akan memperoleh kedudukan tinggi di kota raja. Puterinya akan hidup berkecukupan, dihormati dan dimuliakan banyak orang. Akan tetapi kini Ai Ying marah dan menentangnya! Tidak ada hal yang lebih memusingkan kepalanya dari pada sikap puterinya yang marah dan menentangnya itu! Karena pusing dan berduka teringat isterinya, datuk yang gagah perkasa itu kemudian tertidur di atas kursinya!

   Ketika dia terbangun, hari sudah siang. Dia teringat akan puterinya yang marah, maka cepat dia menuju ke kamar puterinya. Ketika dia membuka daun pintu, ternyata Ai Yin tidak berada di kamarnya. Cu Liong memanggil para pelayan, akan tetapi hanya ada seorang pelayan pengurus taman yang memberi keterangan bahwa pagi tadi, ketika dia membersihkan halaman depan rumah, dia melihat Nona Cu meninggalkan puncak bukit dengan cepat seperti orang berlari-lari.

   Cu Liong mengerutkan alisnya. Baginya, sudah biasa mendengar puterinya pergi tanpa pamit karena gadis itu memang terkadang suka turun bukit. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa tidak nyaman adalah karena puterinya itu pergi dengan hati marah kepadanya.

   Rombongan duabelas orang perajurit pengawal yang mengiringkan Kong Sek dan mengawal Cun Giok, tidak dapat melarikan kuda dengan cepat. Cun Giok menunggang kuda dengan kaki tangan terbelenggu, maka tentu saja kuda itu tidak dapat dibalapkan karena hal ini tentu akan membuat tubuh pemuda itu terguling.

   Rombongan itu adalah para perajurit pengawal yang selalu diajak Kong Sek untuk mengawalnya, apalagi setelah kemarin dulu ayahnya terbunuh. Dia merasa tidak aman pergi seorang diri seperti biasa. Pasukan kecil itu bukan terdiri dari perajurit-perajurit biasa. Mereka adalah orang-orang pilihan yang sebetulnya sudah menduduki tingkat yang lebih tinggi daripada perajurit biasa. Setidaknva mereka itu masing-masing berhak memimpin seregu perajurit. Senjata mereka pun bukan golok atau tombak seperti perajurit biasa, melainkan sebatang pedang. Seorang dari mereka, yang paling dekat hubungannya dengan Kong Sek, bersama pemuda bangsawan itu, memimpin paling depan. Kuda mereka berendeng dan pada saat itu, Kong Sek mengomel.

   "Ah, kalau perjalanan dilakukan selambat ini, kapan kita akan sampai di kota raja? Sialan, jahanam itu tidak dapat membalapkan kuda. Bagaimana kalau kita ikat saja dia di atas punggung kuda dengan menelungkupkannya melintang di atas punggung kuda? Dengan demikian perjalanan dapat dilakukan dengan cepat tanpa khawatir dia terjatuh."

   "Kongcu, jahanam itu adalah pembunuh Kong Thai-ciangkun (Panglima Besar Kong), juga banyak pengawal dan Pangeran Lu juga dibunuhnya. Dosa kejahatannya sudah lebih dari cukup untuk membuat dia dihukum mati seratus kali!"

   Kong Sek menggigit bibir dan termenung sejenak mendengar ucapan perwira pengawal itu.

   "Akan tetapi rasanya kurang jantan dan tidak enak membunuh musuh yang telah ditawan dan diborgol dalam keadaan tidak berdaya! Apalagi, aku ingin dia dibunuh di depan makam ayah agar arwah ayahku tidak akan menjadi penasaran."

   "Kongcu, ingatlah bahwa penjahat ini lihai sekali! Bahkan ayah Kongcu yang demikian lihainya juga tidak mampu mengalahkannya dan mati olehnya. Berbahaya sekali dia itu kalau tidak cepat dibunuh sekarang. Pula, dengan memenggal batang lehernya dan membawa kepalanya, Kongcu masih dapat menggunakan kepalanya untuk bersembahyang di depan makam mendiang Kong Thai-ciangkun!" Perwira ini membujuk terutama sekali karena dia khawatir kalau-kalau tawanan yang amat lihai itu akan dapat terlepas dalam perjalanan itu.

   "Begitukah pendapatmu?" tanya Kong Sek dengan alis berkerut, mulai terpengaruh bujukan itu.

   "Tentu saja, Kongcu. Itulah jalan terbaik dan teraman bagi kita, terutama bagi Kongcu. Coba bayangkan, bagaimana kalau tawanan yang amat lihai itu sampai dapat terlepas di dalam perjalanan? Tentu kita semua akan dibunuhnya seperti dia mengamuk di tanah kuburan umum itu!"

   Keraguan mulai menghilang dari wajah Kong Sek. Pada saat itu mereka telah tiba di sebuah hutan kecil. Dia menghentikan kudanya, menoleh ke belakang dan mengangkat tangan kiri ke atas. Perwira yang mendampinginya meneriakkan aba-aba untuk berhenti. Semua penunggang kuda berhenti. Kuda yang ditunggangi Cun Giok juga berhenti. Perwira itu menyuruh kawan-kawannya untuk menarik Cun Giok turun dari atas kuda.

   Cun Giok kini duduk di atas tanah, kaki tangannya masih terbelenggu rantai baja. Wajahnya tetap tenang, bahkan ada bayangan senyum tersungging di ujung bibirnya. Para pengawal turun dari kuda dan membuat lingkaran besar mengepung Cun Giok.

   Kini Kong Sek yang sudah lebih dulu turun, memasuki lingkaran sampai di depan Cun Giok dalam jarak tiga langkah lebar, menatap tajam pembunuh ayahnya itu. Teringat akan kematian, ayahnya yang menurut laporan tubuh ayahnya tercincang menjadi onggokan daging, kebencian berkobar dalam hatinya dan wajah yang tampan gagah itu tampak beringas menyeramkan. Matanya seperti berapi, hidungnya kembang kempis dan mulutnya menjadi garis melintang yang membayangkan kemarahan yang luar biasa.

   Para pengawal yang duabelas orang jumlahnya dan kini duduk membentuk lingkaran lebar itu menonton dengan hati tegang. Mereka tahu betapa marahnya Kong Sek yang hendak membalas dendam sakit hati ayahnya yang terbunuh pemuda ini. Akan tetapi, diam-diam mereka kagum sekali kepada Cun Giok. Biarpun kematian sudah membayang di depan mata, pemuda itu masih duduk tenang saja, wajahnya sama sekali tidak takut atau khawatir, bahkan senyumnya kini tampak jelas.

   Suara Kong Sek terdengar menggetar penuh perasaan ketika dia bicara lantang dan dengan nada membentak.

   "Suma Cun Giok! Engkau tentu sudah menyadari akan dosamu terhadap Ayahku!"

   Dengan suara lembut tanpa tanda takut atau sedih, Cun Giok berkata.

   "Aku sama sekali tidak berdosa terhadap mendiang Panglima Kong Tek Kok. Dialah yang berdosa besar sekali kepada keluarga Pouw, keluarga Ayah dan Kakekku."

   "Pembunuh jahat! Engkau telah membunuh Ayahku! Sudah menjadi kewajiban sebagai anak yang berbakti untuk membalas kematiannya padamu. Akan kusembahyangi makam Ayahku dengan kepalamu!"

   Setelah berkata demikian, dengan wajah yang ganas Kong Sek mengangkat Kim-kong-kiam dan membentak.

   "Pedang ini berlumuran darah Ayahku, harus kucuci dengan darahmu!" Dia lalu menggerakkan pedangnya ke bawah, hendak memenggal batang leher Cun Giok!

   "Tranggg...... aahhh......!" Tiba-tiba pedang itu terlepas dan terpental dari tangan Kong Sek.

   Sebatang pedang terbang tadi meluncur dan menyambar pedang itu dengan cepat dan kuat sekali. Karena Kong Sek sama sekali tidak pernah menyangkanya, maka dia terkejut dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Kong Sek dan duabelas orang pengawal itu menengok dan mereka melihat Cu Ai Yin berdiri tidak jauh di luar lingkaran. Gadis inilah yang tadi membuat pedang yang sedianya hendak memenggal leher Cun Giok itu terpental!

   "Sumoi......!" Kong Sek terkejut dan dengan marah dia melangkah cepat menghampiri gadis itu. Duabelas orang pengawal mengikutinya dan selagi Kong Sek berhadapan dengan Ai Yin, duabelas orang itu mengepung, siap membantu Kong Sek.

   "Sumoi, mengapa engkau melakukan itu?!" Kong Sek bertanya heran. Dia telah jatuh hati kepada adik seperguruannya ini semenjak Ai Yin masih remaja, maka biarpun hatinya marah dan penasaran, pertanyaannya dikeluarkan dengan nada suara lembut.

   "Suheng, seharusnya akulah yang bertanya! Mengapa engkau tadi hendak membunuh tawanan? Bukankah engkau seharusnya membawanya ke kota raja dan dilarang melukai apa lagi membunuh?"

   "Akan tetapi, Sumoi! Dia itu penjahat, pemberontak dan dia sudah membunuh Ayahku dengan sangat kejam! Aku ingin memenggal lehernya dan membawa kepalanya ke makam Ayahku!"

   "Aku tidak peduli semua itu! Akan tetapi engkau sudah ber janji kepada Ayahku, dan menurut aturan, engkau tidak boleh melanggar janji!"

   "Sumoi, ingatlah. Kita adalah saudara seperguruan dan dia itu pembunuh Ayahku. Sudah sepatutnya kalau engkau membantu aku, bukan membela dia!" Suara Kong Sek mulai tidak sabar.

   "Aku tidak membela siapa-siapa. Aku membela kebenaran dan yang melanggar janji dan peraturan adalah tidak benar dan harus kutentang!"

   "Sumoi, aku tidak suka bertentangan dengan orang yang paling kucinta, akan tetapi sebagai seorang anak yang berbakti, aku harus membalaskan kematian Ayah dan kalau engkau hendak melindungi pembunuh Ayahku itu, terpaksa aku menentangmu." Setelah berkata demikian, Kong Sek berkata kepada perwira yang bicara dengannya tadi.

   "Cepat penggal batang lehernya!"

   Perwira itu melangkah ke arah Cun GJok yang masih duduk di atas tanah dengan kaki tangan terikat rantai. Melihat ini, Ai Yin mencabut sepasang pedangnya dan hendak melompat untuk menghalangi perwira itu membunuh Cun Giok. Akan tetapi Kong Sek menghadang dan dia sudah mencabut pedangnya sendiri. Sebelas orang anak buahnya juga mengepung Ai Yin.

   "Bagus! Engkau juga memusuhi aku? Sambut ini!" Ia menyerang dengan sepasang pedangnya.

   Kong Sek menangkis dan Ai Yin segera dikeroyok Kong Sek dan sebelas orang pembantunya. Kong Sek seorang diri tentu tidak akan menang bertanding melawan Ai Yin. Akan tetapi selisih tingkat mereka tidak terlalu banyak. Kini Kong Sek dibantu sebelas orang perajurit pilihan, tentu saja Ai Yin segera terdesak.

   Sementara itu, perwira yang disuruh memenggal leher Cun Giok sudah dekat pemuda itu. Sambil tersenyum mengejek dia mencabut pedangnya dan berkata sambil mengayun pedang.

   "Pemberontak, mampuslah!" Pedang diayun menyambar ke arah leher Cun Giok.

   "Desss......!!" Bukan leher Cun Giok yang buntung disambar pedang, melainkan tubuh perwira itu yang terlempar ke belakang karena perutnya disambar dua kaki Cun Giok yang mendahului gerakan pedang dan kedua kakinya mencuat dengan cepat dan dahsyat, mengenai ulu hati perwira itu. Tubuh itu terbanting ke atas tanah dan tidak berkutik lagi, entah pingsan atau mati! Kini Cun Giok menggerakkan kaki tangannya dan terdengar suara nyaring ketika rantai besi yang membelenggu kaki tangannya itu patah-patah!

   Dia melompat, memungut Kim-kong-kiam yang tadi terlepas dari tangan Kong Sek dan menggeletak di atas tanah. Dia menyimpan pedang itu di pinggangnya, lalu menyerbu ke arah para pengeroyok. Kaki tangannya menyambar-nyambar dan sebelas orang itu roboh berpelantingan dalam keadaan tulang patah atau muka bengkak dan perut mulas! Kini tinggal Kong Sek sendiri yang masih bertanding pedang melawan Ai Yin, Cun Giok berdiri dan menonton saja, tidak mau mencampuri.

   Kong Sek terkejut, marah akan tetapi juga jerih melihat betapa Cun Giok tiba-tiba mengamuk dan merobohkan para pengawal dengan kaki tangan tidak terbelenggu lagi! Karena jerih, maka gerakan pedangnya kacau dan tiba-tiba ujung pedang kanan Ai Yin menggores lengannya sehingga pedangnya terlepas. Akan tetapi Ai Yin tidak menyerang lagi dan hanya berdiri memandang dengan sepasang mata mencorong.

   "Karena engkau murid Ayah maka aku tidak mau melukai apalagi membunuhmu. Pergilah, Suheng!" kata Ai Yin.

   


   
Kong Sek berdiri dengan muka pucat, memandang wajah sumoinya, lalu menoleh dan memandang wajah Cun Giok penuh kebencian, dan menoleh ke kanan kiri melihat anak buahnya yang mulai merangkak bangun. Dia merasa marah, kecewa dan malu sekali. Dia membungkuk, mengambil pedangnya dan sekali lagi menatap wajah sumoinya.

   "Baik, Sumoi. Aku akan melapor kepada Suhu!" Setelah berkata demikian, dia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu menuju kota raja. Selosin pengawal itu saling bantu dan akhirnya mereka pun naik kuda masing-masing dan pergi sambil merintih-rintih. Masih untung bagi mereka bahwa Cun Giok tidak membunuh mereka.

   Setelah derap kaki kuda rombongan itu tidak terdengar lagi, Ai Yin berkata dengan cemberut dan pandang mata marah.

   "Engkau menipuku! Engkau pura-pura tak berdaya dan terbelenggu. Ternyata engkau hanya pura-pura dan dengan mudah engkau dapat melepaskan diri kalau kau kehendaki! Huh, engkau membodohi aku, ataukah hendak pamer kepandaianmu, ya?"

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Sama sekali tidak, Nona Cu. Aku menyerah di sana tadi karena aku tidak berani menentang Ayahmu yang telah begitu baik bersamamu menolongku dan menerimaku sebagai tamu. Aku pura-pura menyerah di depan Ayahmu. Kalau aku ketika itu melarikan diri dari depan Ayahmu seperti yang kau anjurkan, berarti aku mempermalukan Ayahmu karena aku dapat lolos di depannya! Akan tetapi kalau aku meloloskan diri di tengah perjalanan, ini di luar tanggung jawab Ayahmu. Nah, bukan sekali-kali aku membodohimu atau pamer kekuatan karena aku sama sekali tidak mengira bahwa engkau membayangi rombongan itu. Ah, Nona Cu, berulang kali engkau menolongku. Mengapa engkau menolongku ketika Kongcu (Tuan Muda) tadi hendak memenggal leherku?"

   "Huh, tanpa kucegah sekalipun engkau pasti tidak akan menyerahkan nyawamu begitu saja!"

   "Memang benar. Akan tetapi mengapa engkau mencegah dia membunuhku? Mengapa engkau menolongku, Nona Cu?"

   Mulut gadis itu berjebi.

   "Huh, kau jangan mengira macam-macam, ya? Aku mencegah Suheng melanggar janjinya dan melanggar peraturan, sama sekali bukan untuk menolongmu! Hemm, kau kira kenapa aku menolongmu?"

   "Maafkan aku yang salah bicara. Nona Cu. Sungguh aku tidak menduga macam-macam. Aku yakin bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang budiman dan tadi engkau melihat orang yang sudah dibelenggu dan tidak mampu melawan akan dibunuh begitu saja tentu timbul jiwa pendekarmu dan mencegahnya. Sekali lagi terima kasih, Nona. Budimu amat besar dan aku tidak akan melupakannya."

   Cun Giok memberi hormat dan menjura.

   Agaknya kata-kata dan sikap Cun Giok itu meredakan kemarahan gadis itu. Ia menghela napas dan pandang matanya tampak berduka.

   "Hemm, gara-gara engkau aku bertentangan dengan Ayahku. Setelah apa yang terjadi tadi, tentu Suheng Kong Sek akan melapor kepada Ayah dan Ayah tentu akan marah sekali kepadaku. Ahh, aku tidak berani pulang, bukan takut kepada Ayah. Ayah terlalu mengasihi aku dan tidak akan mau menghukum dan menyakiti aku. Akan tetapi hatiku akan sedih sekali kalau melihat Ayah marah dan berduka. Aku tidak tahan melihatnya berduka......" Lalu ia cemberut lagi, memandang kepada Cun Giok dan mencela.

   "Engkau sih yang menjadi gara-gara. Andaikata aku tidak bertemu denganmu yang menggeletak pingsan di tepi sungai dan engkau tidak menjadi tamu kami, sekarang tentu aku dan Ayah tidak saling bertentangan!"

   Cun Giok merasa menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa pertemuannya dengan gadis itu menimbulkan masalah besar pada gadis cantik dan gagah itu.

   "Aih, aku menyesal sekali, Nona Cu. Kalau saja engkau ketika itu tidak melihatku, tidak menolongku dan membawa aku ke rumahmu, aku pasti sudah mati dan tidak timbul bermacam-macam urusan ini! Ah, diriku ini membawa kesialan saja kepada semua orang!"

   Ucapan pemuda itu menyadarkan Ai Yin bahwa ia terlalu menyalahkan pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa itu.

   "Bukan, bukan itu sebetulnya yang membuat aku kesal dan terpaksa bertentangan dengan Ayahku. Yang membuat aku kesal adalah karena aku...... karena Ayah...... hendak menjodohkan aku dengan Suheng......."

   "Dengan Kong Sek itu?"

   Cu Ai Yin teringat akan pertentangannya dengan ayahnya dan ia tidak dapat menahan mengalirnya air mata ke atas sepasang pipinya.

   "Ah, jangan bersedih, Nona Cu. Aku kira Ayahmu itu seorang yang bijaksana dan amat menyayangmu. Kalau dia menghendaki engkau berjodoh, aku yakin dia akan memilihkan pasangan yang terbaik bagimu. Aku yakin bahwa Kong Sek seorang pemuda yang amat baik. Wajahnya tampan dan gagah, dia berbakti kepada orang tua, taat kepada guru dan dia Suhengmu sendiri. Berarti engkau sudah bergaul lama dengan dia dan sudah mengenal wataknya, bukan?"

   "Huh, aku tidak butuh ketampanan, kegagahan, kaya raya atau keturunan panglima! Yang jelas, hatiku tidak suka dan aku tidak ingin menjadi isterinya. Apalagi setelah aku mendengar betapa jahat Ayahhnya, mendiang Panglima Kong itu!"

   Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa kalau Ai Yin mendengar lebih banyak lagi tentang Panglima Kong Tek Kok, ia tentu akan semakin membencinya.

   "Memang, mendiang Panglima Kong adalah seorang yang kejam dan jahat. Akan tetapi menilai seseorang jangan dari ayahnya. Banyak saja terdapat pendeta dan orang-orang yang baik budi mempunyai anak yang tersesat dan menjadi jahat. Sebaliknya banyak pula orang-orang yang termasuk golongan penjahat mempunyai anak yang baik dan bijaksana."

   "Sudahlah! Aku tidak suka menjadi isterinya, titik, dan tidak ada seorang pun di dunia ini boleh memaksa aku menjadi isteri Suheng Kong Sek, Ayahku pun tidak boleh! Nah, aku pergi!" kata gadis itu sambil membalikkan tubuhnya.

   "Nona Cu, kalau engkau tidak berani pulang, engkau hendak pergi ke manakah?" tanya Cun Giok dengan hati iba.

   "Ke mana saja!" gadis itu menjawab, akan tetapi ia sudah lari jauh.

   Cun Giok berdiri termenung, lalu melangkah pergi. Ah, betapa dalam kehidupan ini banyak sekali terjadi hal-hal yang menyedihkan. Dia sendiri merasa tertekan batinnya oleh kematian Siang Ni yang begitu menyedihkan. Dia merasa amat iba kepada adik misannya itu, satu-satunya keluarganya yang masih hidup. Akan tetapi, adik misannya itu pun kini tiada lagi, tewas dengan cara membunuh diri di depan makam orang tuanya!

   Dan sekarang, dia melihat Cu Ai Yin yang telah menolongnya itu juga dalam keadaan yang menyedihkan! Anak tunggal yang bertentangan dengan ayahnya karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda di luar keinginannya. Kini gadis itu tidak mau pulang dan dia dapat membayangkan betapa sengsaranya seorang gadis yang biasa hidup serba kecukupan seperti Ai Yin kini merantau seorang diri!

   Sejak pertahanan para panglima yang setia kepada Kerajaan Sung dikalahkan pasukan Mongol, bahkan pertahanan terakhir di Kanton juga dihancurkan, Kaisar yang masih kecil yang diangkat oleh para panglima itu akhirnya oleh seorang panglima dibawa loncat ke lautan dan tenggelam ketika kapal mereka diserbu oleh pasukan Mongol yang mengejarnya, yaitu pada tahun 1279, Cina dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Mongol yang mendirikan Kerajaan atau Wangsa Goan (1279-1368).

   Pada saat ini, Pouw Cun Giok telah berusia duapuluh satu tahun. Yang menjadi kaisar adalah Kubilai Khan, kaisar yang namanya tercatat dalam sejarah sebagai seorang Kaisar Mongol yang hebat dan besar setelah Jenghis Khan, pendiri Kerajaan Goan. Seperti juga Jenghis Khan, Kubilai Khan juga seorang ahli perang dan gila perang. Dia mengirim pasukan Mongol yang terkenal ganas itu ke negeri seberang. Walaupun hasilnya tidak sebesar ketika Jenghis Khan memimpin pasukannya, namun tetap saja gerakan-gerakan Kubilai Khan membuatnya tersohor di dunia.

   Setelah Kanton jatuh dan Kubilai Khan menjadi Kaisar dari seluruh daratan Cina, dia telah melakukan banyak hal yang hebat, sehingga nama besar Kubilai Khan sebagai penerus kakeknya, Jenghis Khan dikenal di seluruh dunia. Belum pernah tercatat dalam sejarah ada Kerajaan di Cina yang berhasil menyerang, menalukkan demikian banyak negara sampai jauh seperti di jaman Kerajaan Goan yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan.

   Bagaikan seekor burung rajawali yang memiliki paruh dan cakar yang amat kuat dan ganas, pasukan Mongol yang ahli menunggang kuda dan ahli perang itu sudah memperlebar sayapnya ke empat penjuru. Di utara, mereka menyerbu dan menguasai sampai ke Siberia dan bagian selatan Russia, di timur mereka menaklukkan Mancuria, Korea bahkan pernah menyerbu Jepang walaupun mengalami kegagalan. Kekuasaan Kerajaan Mongol di timur sampai ke lautan antara daratan Cina dan Jepang. Di barat, gerakan pasukan Mongol amat luas dan jauh.

   Bahkan menjelajah daerah yang hampir seluas daratan Cina sendiri. Pasukan mereka menyerbu Turkestan, Persia sampai memasuki Baghdad dan Irak, bahkan sudah mencapai sebagian Europa timur seperti Anatolia. Dunia Timur Tengah dan Europa menjadi gempar! Kemudian gerakan pasukan Mongol ke selatan juga menggemparkan. Mereka menguasai Tibet, bagian utara dari India, Birma, juga Champa (Kamboja)!

   Akan tetapi setelah Kubilai menarik kembali semua pasukannya, karena daerah yang ditaklukkannya itu terlampau luas dan daerah-daerah barat yang sudah ditalukkan itu masih terus melakukan perlawanan, yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Goan hanya sampai daerah Tibet dan Nepal saja.

   Di Cina sendiri, harus diakui bahwa Kaisar Kubilai Khan melakukan banyak hal yang menggemparkan, baik yang akibatnya mengagumkan maupun yang akibatnya kesengsaraan bagi rakyat jelata. Dia membangun banyak istana yang serba indah dan mewah, mendatangkan para ahli bangunan dari segala bangsa. Kubilai Khan adalah seorang yang tidak membeda-bedakan bangsa atau agama. Yang dapat dia pergunakan tenaga dan keahliannya, tentu dia beri kedudukan yang pantas dan sesuai dengan jasa mereka. Karena itu, seperti tercatat dalam sejarah, di bawah pemerintahan Kubilai Khan terdapat pejabat-pejabat pemerintah terdiri dari bermacam bangsa yang beragama Islam, Kristen, Buddha, atau Agama To.

   Sesungguhnya, hal ini bukan merupakan sikap yang luar biasa bagi rakyat Cina karena sejak jaman Dinasti Han, para penguasa tidak pernah membedakan agama karena yang dinilai adalah manusianya, yang tampak dari sikap dan perbuatannya, bukan Agamanya. Hanya bedanya antara kerajaan-kerajaan yang dipimpin bangsa Pribumi dan Kerajaan Mongol adalah bahwa Kerajaan Goan tidak membedakan bangsa dan agama dan memberi kedudukan yang penting kepada banyak orang asing, namun terhadap bangsa Pribumi mereka memilih dengan ketat. Tidak sembarang orang Han (Pribumi) yang dapat memperoleh kedudukan tinggi, kecuali orang-orang yang sudah diyakini kesetiaannya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kekhawatiran kalau-kalau ada orang Han yang setelah memperoleh kedudukan tinggi, akan membuat gerakan pemberontakan!

   Dengan sendirinya, para pembesar yang berbangsa Han dan terpilih oleh Kerajaan Mongol, merasa dirinya dipilih sehingga mereka menjadi sombong karena merasa lebih daripada orang-orang biasa! Rakyat jelata menganggap para pembesar Pribumi yang hidup mewah karena korupsi itu sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dan diam-diam membenci mereka, bahkan melebihi kebencian mereka terhadap orang Mongol sendiri.

   Untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan besar-besaran, biarpun hal itu di satu pihak baik, namun di lain pihak mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat. Pada jaman Kerajaan Sui lalu diteruskan dalam Kerajaan Sung, telah digali Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho. Kini, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan agar digali Terusan yang menghubungkan kota raja Peking dengan Sungai Kuning (Huang-ho), yaitu melanjutkan Terusan yang sudah ada dari Sungai Yang-ce ke Sungai Huang-ho. Hal ini untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi, terutama beras, yang terdapat melimpah di Lembah Yang-ce.

   Untuk dapat melaksanakan perintah Kaisar yang merupakan pekerjaan amat besar itu, tentu saja dibutuhkan banyak sekali tenaga manusia. Para pembesar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memperkaya diri. Biaya dari kerajaan yang disediakan untuk membayar para pekerja, seperti sudah umum terjadi pada masa itu, dikorup secara besar-besaran. Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk memerintahkan para kepala dusun agar para kepala dusun mengerahkan rakyat petani yang miskin. Para petani itu, puluhan bahkan ratusan ribu jumlahnya dari berbagai daerah, dipaksa oleh kepala dusun mereka untuk meninggalkan sawah ladang dan dipaksa bekerja pada penggalian Terusan.

   Para petugas dusun juga mempergunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan sebesarnya. Siapa yang mampu membayar uang sogokan, tentu dapat ditangguhkan atau bahkan dibebaskan sama sekali dari "kewajiban" membangun Terusan. Akan tetapi mereka yang tidak mampu, dipaksa dengan ancaman untuk berangkat membantu kerajaan yang dipropagandakan akan menyejahterakan rakyat dengan adanya Terusan dari Terusan Lama ke Peking itu. Terjadilah penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh hamba-hamba kerajaan yang sekaligus menjadi hamba-hamba nafsu mereka sendiri.

   Segala peristiwa keji terjadi dalam masa itu. Ada petani yang terpaksa mengorbankan segalanya agar terbebas dari kerja-paksa itu karena takut setelah mendengar betapa banyaknya mereka yang melakukan kerja-paksa mati di tempat mereka bekerja. Mati karena kelelahan, mati karena kurang makan, mati karena siksaan para mandor, atau mati karena timbulnya penyakit, juga ada yang karena kecelakaan ketika melakukan penggalian di daerah-daerah yang sukar.

   Ada yang mengorbankan sawah ladangnya, dijual dengan harga murah kepada para tuan tanah yang sudah bersekongkol dengan para pejabat pemerintah, uangnya untuk menyogok agar bebas dari kerja paksa. Bahkan ada yang rela menyerahkan isterinya atau anak gadisnya, kalau isteri atau anak itu cantik menarik.

   Kaisar Kubilai Khan sebetulnya tidak menghendaki terjadinya tindakan keji akibat korupsi dan penyelewengan yang dilakukan para pejabat. Hampir semua pejabat itu bekerja sama, saling merahasiakan penyelewengan mereka sehingga laporan yang sampai ke telinga Kaisar hanyalah yang terbaik saja. Di sana beres, di sini tidak ada halangan, semua berjalan sesuai dengan yang dikehendaki kaisar, rakyat dalam keadaan aman sejahtera! Memang, dalam kenyataannya, hampir semua pejabat menyeleweng. Bukan berarti tidak ada pejabat yang bijaksana dan jujur, namun mereka yang bersih itu biasanya tersingkir, kalah pengaruh dan kuasa oleh yang kotor karena kalah banyak dan kalah suara. Dengan demikian, maka yang bersih bergaul dengan yang kotor dan yang lebih banyak, dengan sendirinya juga terkena kotoran.

   Keadaan ini membuat rakyat kecil amat membenci para pejabat Kerajaan Mongol. Bukan saja kepada penjajah rakyat membenci, melainkan juga kepada para hartawan yang menumpuk kekayaan secara curang, memeras rakyat dan bersekongkol dengan para pejabat. Para hartawan itu, tentu tidak seluruhnya, terutama yang tinggal di dusun-dusun, memberi pinjaman kepada rakyat yang hendak menebus diri dari kerja-paksa. Pinjaman itu disertai bunga yang mencekik leher sehingga dalam waktu beberapa tahun saja si petani terpaksa membayar hutangnya dengan disitanya sawah dan ladangnya, atau juga dengan menyerahkan gadisnya yang berwajah cantik untuk menjadi alat pemuas berahi para hartawan dan pejabat.

   Melihat keadaan rakyat yang tertindas oleh pejabat daerah dan hartawan pemeras, tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan para pendekar yang masih bersih budi pekertinya, yang tidak ikut menggila dengan keadaan di mana manusia sudah dipermainkan oleh uang. Maka di sana sini timbullah perlawanan. Pembela-pembela rakyat tertindas mulai menentang para pejabat daerah sehingga di sana sini timbul pertempuran kecil. Biarpun diam-diam rakyat bersyukur dengan aksi para pendekar yang membela mereka, namun nasib mereka tidak banyak berubah.

   Pihak lawan, yaitu para pejabat dan para hartawan dengan pemberian hadiah uang, berhasil mengundang banyak pendekar dan mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadikan mereka sebagai pengawal dan tukang pukul sehingga seringkali terjadi bentrokan antara para pembela rakyat dan pembela pejabat dan hartawan!

   Kota Cin-yang di Propinsi Shan-tung juga dilanda keadaan yang meresahkan rakyat itu. Dalam sebuah rumah yang sederhana namun cukup besar tinggal Chao Kung dan keluarganya. Chao Kung adalah seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan namun tidak buruk, bahkan sikapnya gagah walaupun tubuhnya tinggi kurus. Dia berdagang rempah-rempah secara kecil-kecilan dan hasilnya hanya cukup untuk keperluan hidup sehari-hari dengan keluarganya. Biarpun kurus dan tampak lemah, Chao Kung ini cukup pandai ilmu silat dan karena itu dia membayangkan ketabahan dan kegagahan.

   Keluarganya terdiri dari isterinya yang bernama Siok Hwa, berusia sekitar duapuluh tujuh tahun. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menikah, akan tetapi belum juga mempunyai anak. Tadinya, Chao Kung hanya hidup berdua dengan isterinya, dibantu oleh seorang pelayan wanita setengah tua yang sesungguhnya masih merupakan bibi jauh dari Chao Kung. Siok Hwa seorang wanita yang sebetulnya cukup cantik, akan tetapi sayang, ketika kecilnya ia terserang penyakit cacar sehingga kini masih ada bekas pada wajahnya, menjadi bopeng.

   Akan tetapi, semenjak kurang lebih tiga tahun yang lalu, suami isteri ini kedatangan tamu dua orang. Mereka adalah Siok Kan, ayah dari Siok Hwa yang sudah duda bersama adik Siok Hwa yang bernama Siok Eng.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siok Kan dan puterinya, Siok Eng yang ketika itu berusia sekitar enambelas tahun, diantar oleh Suma Tiang Bun yang bersama Cun Giok menyelamatkan gadis itu dari tangan seorang putera Pembesar Mongol yang hendak memaksanya menjadi selirnya. Ayah dan anak gadisnya itu lalu mengungsi ke kota Cin-yang di Shan-tung di mana tinggal puteri sulungnya Siok Hwa dan mantunya, Chao Kung yang menerima mereka dengan senang hati.

   Seperti kita ketahui, di rumah ini Siok Kan mengusulkan perjodohan antara Siok Eng dan Cun Giok. Biarpun ketika itu Cun Giok baru berusia tujuhbelas tahun lebih dan Siok Eng berusia limabelas tahun lebih, namun keduanya menurut saja keinginan orang-orang tua yang menjodohkan mereka. Sebagai tanda ikatan, Cun Giok memberikan sebatang pedangnya, sedangkan Siok Eng memberikan sebuah hiasan rambut berbentuk pohon Yang-liu dari perak.

   Siok Kan dan Siok Eng lalu tinggal di situ. Siok Kan membantu pekerjaan mantunya, sedangkan Siok Eng membantu encinya di rumah. Mereka hidup cukup bahagia dan selama tiga tahun lebih ini Siok Eng tumbuh menjadi seorang gadis dewasa berusia sembilan belas tahun yang cantik jelita!

   Ada suatu hal yang seringkali membuat Siok Kan mengerutkan alis dan menghela napas panjang berulang-ulang, dan membuat Siok Eng diam-diam menangis dalam kamarnya. Hal ini adalah tidak adanya berita dari Cun Giok! Juga dari Suma Tiang Bun tidak pernah ada beritanya. Padahal, sudah banyak pemuda di Cin-yang tertarik kepada Siok Eng yang cantik manis. Sampai kesal dan lelah Siok Kan menolak pinangan-pinangan yang diajukan melalui comblang, menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa Siok Eng sudah mempunyai calon suami.

   Hal ini membuat Chao Kung, mantu Siok Kan, menjadi khawatir sekali. Adik iparnya itu adalah seorang gadis dewasa yang cantik menarik, dan pada masa itu kecantikan pada wajah seorang wanita seringkali malah mendatangkan malapetaka pada dirinya. Yang terbaik bagi seorang gadis cantik adalah menikah secepatnya karena walaupun seorang wanita muda cantik yang sudah bersuami itu tidak merupakan jaminan keamanannya, setidaknya para penggodanya tidaklah sebanyak yang dihadapi seorang gadis cantik.

   "Gak-hu (Ayah Mertua)," pada suatu sore Chao Kung yang didampingi Siok Hwa, bicara bertiga di ruangan tengah. Siok Eng sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam dan kesempatan itu dipergunakan suami isteri ini untuk bicara dengan ayah mereka mengenai diri Siok Eng.

   "Mari kita rundingkan masak-masak!"

   "Ayah, kami berdua bukan sekadar membujuk untuk kepentingan diri kami atau diri Ayah dan Adik Eng saja, melainkan demi keselamatan dan keamanan hidup kita semua. Kukira apa yang dikatakan suamiku benar dan memerlukan pertimbangan Ayah secara mendalam," kata Siok Hwa kepada Siok Kan yang hanya menghela napas.

   "Akan tetapi bagaimana dengan pertunangannya dengan pendekar Suma Cun Giok? Cun Giok dan kakeknya, Suma Tiang Bun, adalah penolong kami. Kalau tidak ada mereka mungkin Siok Eng sekarang juga sudah tewas membunuh diri, seperti adikmu Siok Li."

   "Karena itulah, Gak-hu, kita perlu membicarakan masalah ini agar jangan menyesal setelah terlambat. Kita semua menyadari bahwa Eng-moi (Adik Eng) telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik menarik. Buktinya, sudah puluhan kali orang datang melamar yang selalu Gak-hu tolak."

   "Bagaimana tidak harus kutolak, Chao Kung? Adik iparmu itu sudah ditunangkan, sudah menjadi calon isteri orang!"
"Akan tetapi, Ayah," bantah Siok Hwa.

   "Kalau Suma Cun Giok itu memang benar-benar menghendaki agar Eng-moi menjadi isterinya, mengapa telah tiga tahun dia tidak datang menjenguk atau memberi kabar? Eng-moi tidak mungkin harus menunggu terus sampai tua!" Mengingat hal ini Siok Hwa panas hatinya.

   "Biarpun dia itu seorang pendekar, namun agaknya dia tidak setia kepada janjinya dan kini mungkin saja telah melupakan Eng-moi!"

   "Aku tidak percaya Suma Cun Giok akan bersikap seperti itu!" kata Siok Kan menggelengkan kepalanya.

   "Memang mungkin sekali tidak. Akan tetapi dia ada kemungkinan lain yang lebih gawat, Gak-hu," kata Chao Kung.

   "Apa itu?"

   "Kita mengetahui bahwa Suma Cun Giok dan kakeknya itu adalah pendekar-pendekar petualang. Mereka telah berani menentang bahkan membunuh putera Pembesar Bhong di kota Lan-hui. Perbuatan nekat itu tentu membuat dia dianggap pemberontak oleh pemerintah Kerajaan Goan dan menjadi orang buruan. Siapa tahu sekarang dia bahkan sudah ditangkap, dipenjara atau mungkin juga dihukum mati sebagai pemberontak dan penjahat."

   "Huh, dia bukan penjahat! Yang jahat adalah bangsawan-bangsawan macam Jaksa Bhong dan Bhong-kongcu itu!" Siok Kan membantah.

   "Kita tahu bahwa Suma Cun Giok adalah seorang pendekar yang membela rakyat dan menentang penguasa yang jahat. Akan tetapi pemerintah tidak menganggapnya demikian. Ingat, Gak-hu, kalau Adik Eng menjadi isteri Suma Cun Giok, hidupnya tentu juga tidak tenteram, tidak aman. Kalau suaminya dicari-cari dan dijadikan orang buruan pemerintah, bagaimana mungkin Adik Eng dapat hidup tenang dan bahagia?"

   Siok Kan menundukkan mukanya, alisnya berkerut dan berulang-ulang dia menghela napas panjang. Suami isteri itu saling pandang dan Siok Hwa memberi isyarat kepada suaminya agar jangan terlalu menekan ayahnya. Chao Kung menghela napas dan berkata dengan lembut.

   "Gak-hu, maafkan kelancangan saya. Akan tetapi, saya melihat kenyataan-kenyataan yang amat mengkhawatirkan. Karena Adik Eng selalu menolak pinangan orang, para pemuda yang ditolak itu tentu saja menjadi kecewa dan marah. Kalau sampai ada putera pembesar yang tertarik kepada Adik Eng...... ah, saya sungguh khawatir apa yang Gak-hu alami di dusun Ci-bun dulu akan terulang kembali. Terus terang saja, kemarin dulu ketika saya menyetorkan rempa-rempa yang dipesan orang, pulangnya saya singgah di rumah makan sekadar membeli bakmi dan minum arak manis. Di rumah makan itu saya dipanggil dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu. Mereka membayar makanan dan minuman yang saya pesan dan mereka mengajak saya bicara tentang Adik Eng yang mereka puji-puji kecantikannya. Mereka sudah mendengar bahwa Adik Eng menolak pinangan banyak pemuda, dan mereka menyinggung tentang pertunangan Adik Eng. Mereka bertanya apakah benar Adik Eng sudah ditunangkan, kalau sudah kapan menikahnya dan mengapa selama ini tunangannya tidak pernah muncul di kota ini. Mereka agaknya curiga, Gak-hu. Mereka mengatakan bahwa Adik Eng sudah lebih dari dewasa untuk menikah dan agaknya dua orang itu kagum dan tertarik kepada Adik Eng."

   "Hemm, siapakah mereka itu?" tanya Siok Kan sambil mengerutkan alisnya.

   "Kim-kongcu adalah putera Panglima Kim Bayan yang menjadi panglima yang menguasai pasukan yang berada di Propinsi Shan-tung, sedangkan Kui-kongcu adalah putera Kui-thaijin (Pembesar Kui) yang menjadi Kepala Pengadilan di kota ini. Semua orang di Cin-yang ini sudah tahu bahwa Kim-kongcu suka bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukan ayahnya. Bahkan para pejabat pun takut kepada Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim). Demikianlah, Gak-hu, saya kira kalau Adik Eng sudah menikah, bahayanya tidak akan sebesar kalau ia masih gadis dan menjadi incaran para pemuda di sini."

   Siok Kan mengerutkan alisnya dan dia pun mulai merasa khawatir sekali.

   "Aku mengerti apa yang kalian maksudkan dan memang pendapat kalian itu benar. Memang sudah sebaiknya kalau adik kalian Siok Eng menikah sehingga mengurangi ancaman. Akan tetapi, bagaimana kalau sewaktu-waktu Suma Cun Giok datang bersama gurunya? Ah, ke mana akan kutaruh mukaku ini? Memutuskan pertalian perjodohan secara sepihak! Padahal mereka itu pernah menyelamatkan Adikmu dari bencana, bahkan membalaskan kematian Adikmu Siok Li? Aku merasa malu sekali dan takut!"

   "Gak-hu, saya percaya bahwa orang-orang gagah yang disebut pendekar seperti Suma Cun Giok dan gurunya itu akan dapat memahami kalau kita bicara terus terang tentang bahaya yang mengancam kita sehingga terpaksa Adik Eng kita jodohkan dengan laki-laki lain demi keselamatan kita semua. Biarlah saya yang akan memberi penjelasan kepada mereka kalau sewaktu-waktu mereka datang."

   Siok Kan menghela napas panjang.

   "Kalau begitu, terserah saja. Akan tetapi bagaimana kalau Siok Eng tidak mau menikah dengan orang lain?"

   "Ayah, biarlah aku yang akan menjelaskan dan membujuk Adik Eng. Kukira ia akan mengerti dan mau menikah dengan orang lain demi keselamatan kita semua," kata Siok Hwa.

   Akan tetapi ketika malam hari itu Siok Hwa membicarakan urusan ini dengan Siok Eng, gadis itu menangis. Ia tidak dapat menyatakan setuju atau menolak. Hatinya bingung dan sedih bukan main. Telah tiga tahun lamanya ia menganggap dirinya sebagai calon isteri Cun Giok, menanti-nantinya dengar sabar dan setia dan sudah tumbuh perasaan cinta dan setianya kepada pemuda itu. Sukar bagi hatinya untuk memutuskan tali perjodohan itu dan menjadi isteri pria lain. Akan tetapi mendengar penjelasan encinya, ia pun mengerti bahwa sukar pula baginya untuk tidak menyetujui pendapat keluarganya. Karena itu, ia tidak dapat memberi jawaban pasti, hanya menyerahkan segalanya kepada ayahnya, encinya dan ci-hunya (kakak iparnya). Akan tetapi sejak malam itu, ia selalu mengurung diri, menangis dan menangis!

   Kota Cin-yang mulai gempar ketika tangan-tangan kotor para pejabat yang bertugas mengumpulkan tenaga kerja-paksa mulai menggerayangi daerah itu! Untuk menangani pengumpulan tenaga kerja ini, yang memegang pimpinan adalah Hakim Kui Hok, seorang pembesar bangsa Pribumi Han yang pandai menyenangkan hati para pejabat tinggi Kerajaan Mongol sehingga dia memperoleh kedudukan Hakim yang berkuasa penuh di Cin-yang. Dialah yang membuat daftar nama orang-orang penduduk daerah itu yang dipilih menjadi tenaga kerja membantu pembangunan Terusan. Tentu saja tidak disebut sebagai kerja paksa, melainkan kerja bakti, merupakan kebaktian rakyat kepada pemerintahnya!

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)