HARTA KARUN KERAJAAN SUNG





















































HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 01




   Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan pun pulang ke sarang mereka. Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit.

   Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka. Sebaliknya, mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!

   Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa mengeluh! Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.

   Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali. Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cin-yang. Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun.

   Mereka yang mengenal panglima ini, berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara lirih dan gentar.

   "Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang!"

   Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk bersembunyi!

   Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka hitam.

   Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya meliputi daerah yang luas, di mana dia sering melakukan kunjungan untuk menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Lebih dari satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.

   Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con, yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami penghinaan, disiksa dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah. Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar jera.

   Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak mengejek dan sinis.

   Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar mengeluarkan sinar penuh kemarahan.

   "Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap Anakku?!"

   "Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah."

   Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.

   "Pek-eng Sianli? Itu adalah julukan dari Liu Ceng! Keparat! Gadis itu berani menghinamu seperti itu? Mengapa ia berbuat seperti itu?"

   "Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu."

   "Keparat! Kapan hal itu terjadi?"

   "Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu."

   "Hemm, kenapa engkau diam saja? Setelah Liu Ceng pergi, mengapa engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?"

   "Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang. Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan itu." Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan, perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan diserahkan kepada dia dan Kui Con.

   "Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam! Dia kira dia itu siapa berani menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis pemberontak itu? Mari kita datangi dia!" Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung.

   Para perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin.

   Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat menjadi kepala daerah di Cin-yang. Pemerintah Kerajaan Mongol memang pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yo-thaijin ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat dan membela rakyatnya.

   Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan, seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yo-thaijin cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap hormat.

   "Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang berkunjung! Silakan duduk, Ciangkun!"

   Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu dengan mata melotot marah.

   "Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang lalu! Hayo jawab!"

   Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab.

   "Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya."

   "Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok!" tiba-tiba Kim Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.

   "Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis pendekar itu dan Kim-kongcu......"

   "Gadis pendekar? Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis pemberontak!" bentak Kim Bayan.

   "Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak mempunyai hubungan dengannya dan apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti, sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan, setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya, bukan? Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah, Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu."

   "Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula! Dan engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak! Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina! Hayo cepat berlutut dan minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu!" bentak Panglima Besar Kim Bayan.

   Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun? Tentu saja dia tidak sudi melakukannya!

   Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.

   "Kim Thai-ciangkun!" katanya dengan sikap tegak dan gagah.

   "Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf? Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak bersalah apa-apa."

   "Engkau tidak mau berlutut minta ampun?" bentak Kim Bayan dan kemarahannya memuncak.

   "Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun!"

   "Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak! Engkau berani menentang dan melawan aku?"

   "Saya tidak menentang Ciangkun......"

   "Jahanam!" Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam! Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat.

   "Syuuuuttt...... desss!!" Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur dari mulut, hidung dan telinganya!
Setelah memukul mati Yo Bun Sam, kemarahan Kim Bayan mereda.

   "Hayo kita pulang!" katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu.

   Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata.

   "Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada keluarga. Siok!"

   "Hemm, terserah!" Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena yang selosin ditahan Kim Magu.

   Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak sahabat baiknya itu untuk "membalas dendam" kepada keluarga Siok. Tentu saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.

   Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.

   Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung. Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.

   Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.

   Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tiba-tiba selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah berada di depan toko! Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko!

   Chao Kung yang tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya dengan sikap sopan namun suaranya tegas.

   "Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai keperluan apakah?"
Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah.

   "Kalian keluarga pemberontak! Kalian sudah memberontak terhadap pemerintah! Kami datang untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam toko.

   Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah menyerangnya. Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia roboh mandi darah dan tewas seketika.

   Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con meringkus Siok Hwa. Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas, disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.

   Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok!

   Ketika peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah. Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.

   Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri, takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.

   Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.

   "Jahanam busuk, manusia terkutuk!" ia memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya. Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.

   Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke atas pembaringan.

   Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka, tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya, masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua harapannya. Ia maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar.

   Pada saat itu, sambil memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.

   Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak dan berujung runcing.

   Ia sengaja tidak mengelak ketika bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam dan merangkul, menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu. Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.

   "Crottt......!"

   "Aduhhhh......!" Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya mendekap mata kirinya di mana masih menancap tusuk konde yang panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik membabi buta.

   Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk, memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani, lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk dinodai dan dihina!

   Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya! Tidak ada tabib di Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam, kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.

   Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu. Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan ia tewas seketika!

   Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya mereka tewas dalam keadaan mengerikan.

   Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya jahat malah berbahagia? Adilkah itu?
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil! Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda? Yang satu dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu? Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil?

   Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang! Akan tetapi kuasaNya, keadilanNya, kasihNya tidak dapat diukur dengan pengertian manusia! Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu baru adil! Baru ada kasih! Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga bisa disambut pujian atau keluhan.

   Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat. Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan. Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang dulu dia tanam sendiri! Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya! Orang bijaksana yang menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat) sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri!

   Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan! Orang yang membanggakan perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan sanjungan dan kebanggaan! Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan semua mahluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan kewajibannya! Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya! Akan tetapi kalau kita melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban, maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.

   Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!

   Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar bahwa Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para pemberontak. Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.

   Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada siapa? Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati kutu dan kalah dalam perkara mereka.

   Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti, penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek, menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak menggunakan cara itu.

   Sekitar dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cin-yang. Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya, Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.

   Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya dua tahun lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya dengan hati bimbang dan sedih.

   "Eng-moi......!" Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao Kung di mana tunangannya tinggal.

   Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu, setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya, tertutup! Dengan hati agak ragu dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.

   "Tok-tok-tok""!"

   Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia mengetuk

   "Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok!"

   Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.

   "Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?" tanya wanita itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.

   "Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?" kata Cun Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.

   "Pouw Cun Giok...... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng......?"

   "Benar, Ciu-ma. Di manakah semua keluarga? Mengapa pintu ditutup dan dalam rumah tampak begini sepi?"

   "Masuklah, Kongcu, masuklah......" Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis. Setelah Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air matanya.

   Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di depannya.

   "Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Di mana adanya semua orang?"

   "Aduh, Kongcu...... mereka semua mati mereka semua mati......"

   "Ahh......!" Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.

   "Apa yang terjadi? Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas!" Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi, sesenggukan sampai sesak napas.

   Cun Giok segera menyadari bahwa dia bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang dan sabar.

   "Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi, dari awal mula."

   Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu ia bercerita.

   "Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan, yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim dan Kui-kongcu putera Kepala Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka, Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang wanita itu hendak dibawa dengan paksa. Akan tetapi muncul seorang gadis pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya, kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin."

   "Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?"

   "Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu ke mana perginya."

   "Hemm......" Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga! "Lalu bagaimana, Ciu-ma? Lanjutkan ceritamu."

   Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati!

   "Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu, tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok Eng mereka culik......" Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.

   "Keparat......!!" Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah. Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata,

   "Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona Siok Eng?"

   Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya.

   "Aduh, Kongcu...... saya hanya dapat meratap dan menangis...... pada keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa ke sini...... sudah...... menjadi mayat......"

   "Jahanam busuk!" Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu bersama keluarganya!

   "Ahhh...... Ciu-ma, kenapa mereka...... tewas pula?" tanyanya dengan suara gemetar.

   "Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri...... Saya dibantu para tetangga hanya dapat mengurus penguburan mereka semua."

Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya.

   "Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang bijaksana itu melindungi keluarga ini? Bagaimana sampai dapat terjadi pembunuhan-pembunuhan itu?"

   "Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu."

   Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani mengeluarkan suara.

   Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan kepada Ciu-ma di mana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu dan di mana dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian, dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.

   "Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu," kata Ciu-ma.

   Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia sia-siakan selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma dengan lirih.

   "Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak."

   Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.

   Setelah berada seorang diri di kamar tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.

   "Eng-moi...... maafkan aku, Eng-moi...... aku berdosa besar padamu...... Eng-moi, engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi, percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan suaminya......"

   Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah pingsan di atas pembaringan Siok Eng.

   Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam kamar di rumah masing-masing.

   Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diam-diam. Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.

   Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk menyelidiki, di mana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu di mana adanya mereka itu.

   Ia segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua tempat ini, dan mengetahui pula di mana adanya kuburan keluarga Siok, malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan pepohonan.

   Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya menjadi buta. Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk.

   Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan itu, mencuci piring mangkok.

   Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah. Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit, Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.

   Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang melangkah memasuki ruangan itu.
Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat Cun Giok yang melangkah dengan santai.

   "Eh, siapa dia?" mereka berseru heran.

   Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok. Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan seorang perajurit atau pengawal ayahnya.

   "Heh, siapa kamu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.

   Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu, orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata sebelah itu dengan pertanyaan juga.

   "Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu?"

   Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.

   "Orang kurang ajar! Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin!"

   "Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?" kembali Cun Giok bertanya.

   Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok.

   "Heh, orang muda yang tidak tahu aturan! Sudah tahu berhadapan dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat? Apakah engkau sudah bosan hidup?"

   Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu. Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depannya dan sebelum dia mengetahui ke mana perginya pemuda itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak kanan Cun Giok!

   Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya.

   "Tolonggg"" tolong"". ada penjahat""!"
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.

   Dia membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan di mana makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru. Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.

   Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup besar dan didepannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan Rumah Pelesir Bunga Merah.

   Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri. Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para pengurusnya.

   Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kui-kongcu bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan. Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenang-senang minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi langganannya.

   Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan.

   Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang wanita cantik itu.

   

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 02






   Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok! Dua orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con menjadi marah sekali.

   Dia bukan seorang pemuda lemah karena bersama Kim Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan mencabut golok itu.

   "Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?" bentaknya.

   "Apakah engkau yang bernama Kui Con? Aku diutus oleh Kim Magu untuk menemuimu."

   Kui Con tertegun heran.

   "Kim-kongcu mengutusmu menemui aku? Benar, aku adalah Kui Con. Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?"

   "Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya."

   Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.

   "Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini! Hayo katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?"

   Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata,

   "Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau!"

   Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari tangan
Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.

   Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang.

   Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahu-tahu tubuh mereka terlempar dan berpelantingan. Mereka hanya dapat berteriak mengaduh dan setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah, merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan peristiwa itu.

   Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.

   Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka.

   Kurang puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang. Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka itu.

   Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hati-hati dia bertanya.

   "Sobat, siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau menangkapku dan membawaku ke sini? Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?"

   Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain sutera itu.

   "Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan mereka yang jenazahnya dikubur di sini!" Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu.

   Kim Magu terbelalak memandang empat batu nisan itu.

   "Ini...... ini"" kuburan siapakah? Aku tidak mengenal mereka......"

   "Tidak mengenal mereka? Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?"

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar. Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk membela diri.

   "Ya, aku ingat sekarang! Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak ini."

   "Hemm, begitukah?"

   "Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak! Aku tidak bersalah......" kata Kim Magu penuh harap. Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan, ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.

   "Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng? Hayo jawab!"

   Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng. Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela diri.

   "Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng aku merasa kasihan dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk dengan tusuk kondenya."

   Cun Giok menahan kemarahannya.

   "Lalu engkau membunuhnya?"

   "Tentu saja! Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi, keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap."

   "Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan sebelah matamu?"

   Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan dengannya, maka dia tersenyum.

   "Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya, sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu salahku sendiri karena aku lengah......" Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang menjadi buta.

   "Mengapa berhenti? Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya, maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?" Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin ragu dan mulai ketakutan lagi.

   "Tidak...... tidak......"

   Cun Giok sudah tidak sabar lagi.

   "Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini!" Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu.

   Tiba-tiba Kim Magu terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.

   "Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi!" Dia menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit kesakitan.

   Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.

   "Aduhh...... aduhhh...... baik, baik...... aku mengaku......"

   Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.

   "Memang...... aku...... aku cinta padanya, aku...... hendak memaksanya untuk melayaniku agar ia mau menjadi selirku, akan tetapi tiba-tiba ia menyerangku......"

   "Jahanam busuk! Kim Magu, tahukah engkau siapa aku? Aku adalah tunangan mendiang Nona Siok Eng!"

   "Uhhhh......" Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.

   "Taihiap...... ampunkan aku...... ampun......"

   "Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup. Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng!" Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu menjerit-jerit.
"Aduhh...... tolooonggg...... tolooonggg......!" Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok putus! Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.

   Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali. Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap, ampunkan saya...... ampunkan saya......"

   "Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong!"

   "Saya...... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari hukuman, maka ia saya bawa pulang...... dan...... dan...... maksud saya hendak menjadikan ia sebagai selir tercinta...... akan tetapi...... ia...... ia membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding...... ampunkan saya, Thai-hiap......"

   Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.

   "Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan? Hayo jawab dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu tadi!"

   "Saya...... saya...... cinta padanya...... saya memang menggaulinya...... saya tidak mengira ia membunuh diri......"

   "Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini!" Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki!
Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih."

   "Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau akan kuakui sebagai isteriku." Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.

   "Nanti dulu......, engkau...... katakan siapa namamu kalau memang engkau gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak!"

   Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan darah yang tadi keluar dari mata kanannya.

   Mendengar ucapan itu, Cun Giok berkata lantang.

   "Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah kuburan itu.

   Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih.

   Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa nyeri.

   "Kui Con, bagaimana keadaanmu? Apa yang diperbuat penjahat keji itu terhadap dirimu?"

   Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.

   "Kim-twako, celaka...... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas pergelangan dan...... dan...... hidungku juga dibacok hingga putus......" Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng (sengau)!

   Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya Kim Magu tiba-tiba merasa agak terhibur! Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung! Di lain pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi!

   Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan terhibur!

   "Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama Pouw Cun Giok!" kata Kim Magu gemas.

   "Pendekar Tanpa Bayangan? Twako, bukankah dia yang menjadi pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?"

   "Benar dan dia...... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah...... ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan. Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu dan menolong kita."

   Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.

   Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat. Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka. Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.

   Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.

   Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena perbuatannya sendiri.

   Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kui-thaijin untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan. Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah masing-masing.

   Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan. Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat pemuda itu.

   Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci masyarakat itu.

   Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.

   Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.

   Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum Kim-kongcu dan Kui-kongcu.

   Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan duduk di tepi sungai di mana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam lamunan.

   Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai, kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.

   Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan.
Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan merintih.

   "Eng-moi"" aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu...... akan tetapi lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi, sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku......"

   Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng. Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasia-rahasia tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.

   Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu.

   Pernah gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con? Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.

   Benarkah bahwa dia terlalu kejam? Dipengaruhi nafsu mendendam? Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.

   Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.

   "Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku."

   Dia mengamati tusuk sanggul perak di tangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.

   "Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar."

   Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.

   "Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku."

   Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.

   Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai.

   Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak! Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu? Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu.

   Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru.

   "Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku? Kembalikan pakaianku!"

   Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.

   "Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!"

   Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.

   "Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!" Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!

   "Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!" terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.

   "Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu? Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!"

   "Nanti dulu!" terdengar suara seorang gadis lain.

   "Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!"

   Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu.

   "Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!"

   Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!

   Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi.

   "Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!" teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.

   Kembali dua orang gadis itu cekikikan.

   "Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya? Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami."

   Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi.

   Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.

   Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!

   Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.


   Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.

   "Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!"

   "Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!" kata gadis kedua.

   "Aih, dia tampan juga, Enci Lan!" kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.

   Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.

   "Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!" Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.

   Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!

   Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka.

   Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.

   "Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kami tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?"

   Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut.

   "Hemm, siapa yang mengganggu? Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!"

   Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya.

   "Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan? Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu? Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?"

   Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata.

   "Huh, berlagak bodoh, ya? Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya? Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!"

   "Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian? Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu? Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!"

   "Hemm, engkau belum merasa bersalah?" kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong.

   "Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kaulakukan terhadap orang itu?"

   "Aku tidak mempunyai rumah," kata Cun Giok,

   "akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu."

   "Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?" kata Kui Lin.

   Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya!

   "Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku." Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

   "Enak saja minta maaf!" Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!"

   Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.

   Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini.

   Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat. Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri!

   "Hayo cepat mulai!" bentaknya dan kerling matanya makin tajam.

   "Mulai apa, Nona?" tanya Cun Giok.

   Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!

   "Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!" katanya gemas, mulutnya cemberut.

   "Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona."

   "Mana siap? kuda-kuda kok begitu?"

   "Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!"

   "Kalau sudah siap, mulailah menyerang!" tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.

   "Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!"

   "Hoho! Engkau mau menipuku, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!" Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok.

   Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat! Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput.

   Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!

   Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.

   Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tigapuluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!

   Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!

   Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!

   "Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!" Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!

   Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu' berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.

   Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata.

   "Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!"

   Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan menerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.

   Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.

   "Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya.

   Ternyata pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!

   "Hek-liong-kiam yang ampuh!" katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.

   "Engkau mengenal Hek-liong-kiam?" gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.

   "Kim-kong-kiamkah itu?"

   "Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak," kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.

   "Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!" setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.

   "Cringgg......!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.

   Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.

   Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).

   Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.

   "Balas seranganku!" bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.

   "Takk!" Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan...... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.

   "Maafkan aku, Nona," katanya lembut.

   Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata.

   "Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu."

   Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata.

   "Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona."

   "Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?" kata gadis kedua yang lincah.

   Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok.

   "Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami."

   Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata.

   "Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya? Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing."

   The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu? Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya.

   Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenalkan dirinya.

   "Namaku Pouw Cun Giok," katanya singkat.

   "Di mana tempat tinggalmu?" tanya Kui Lin.

   "Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal."

   "Siapa orang tuamu?"

   "Orang tuaku sudah meninggal dunia."

   "Jadi engkau yatim piatu? Tiada sanak keluarga?"

   "Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi."

   "Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?"

   "Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku."

   "Apakah......"

   "Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!" tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.

   "Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?" Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.

   Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok.

   "Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan."

   "Hemm, mau enaknya sendiri saja!" kata Kui Lin.

   "Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?"

   "Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona."

   "Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona? Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan."

   Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar
dan galak. Dia tersenyum dan berkata,

   "Baiklah, Lin-moi, asal saja...... Lan-moi tidak keberatan!"

   Dengan tenang Kui Lan menjawab,

   "Mengapa keberatan? Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko."

   "Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh."

   "Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu," kata Kui Lin.


HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 03





   Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.

   Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!

   Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah yang menembus ke tepi hutan di mana dia mandi tadi.

   "Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu," kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.

   "Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagiku?"

   "Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko," kata pula Kui Lan.

   "Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau bisa, Twako!" kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.

   Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong. Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka?

   "Akan kucoba untuk mengikuti kalian," katanya.

   Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka. Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka ke manapun juga mereka pergi! Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman? Gadis-gadis itu terlalu memandang rendah padanya.

   Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka! Biar mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan mendahului mereka tiba di rumah itu!

   Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu telah lenyap!

   "Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku tetap akan dapat mendahului kalian!" katanya sambil menahan tawa.

   Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuh-tumbuhan menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.

   Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan...... gedung itu tidak tampak lagi berada di depannya! Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak sedekat tadi, melainkan semakin jauh.

   Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati! Kini gedung itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya, semakin jauh!

   Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi? Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang membalik tanpa disadarinya? Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung. Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh!

   Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka! Kiranya Taman Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan! Dia mulai merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung yang sudah tampak dari situ.

   "Giok-ko, engkau berada di mana?" terdengar pertanyaan yang melengking dari arah gedung itu. Dia mengenal suara yang lembut serius itu. Pasti Kui Lan yang mengeluarkan pertanyaan itu.

   "Aku di sini, Lan-moi!" katanya dengan girang dan dia pun lari lagi menuju ke arah suara yang datangnya dari gedung itu. Kembali dia harus melewati tumbuh-tumbuhan yang cukup tinggi sehingga penglihatannya terhalang. Setelah dapat melihat kembali ke depan, gedung itu lenyap dan berubah menjadi padang rumput yang menghadang di depannya. Setelah dia mencari-cari, gedung itu tampak berada di sebelah kanannya! Dia berhenti lagi, mulai bingung.

   "Heii, Giok-ko? Kenapa engkau begitu lemah? Apakah engkau merangkak seperti siput maka begitu lama aku harus menunggu di sini?" Teriakan yang nadanya mengejek itu pasti suara Kui Lin! Gila, dia dipermainkan oleh gadis-gadis yang masih hijau!

   "Tunggu, Lin-moi! Aku pasti akan sampai ke situ!" serunya sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar menggema di seluruh penjuru. Yang membuat hatinya panas adalah ketika dia melihat Kui Lin, biarpun dari jauh, berdiri di atas atap gedung dan melambai-lambaikan tangan dengan tertawa-tawa mengejek!

   Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah berhenti berlari, ternyata dia hanya berputar-putar dan beberapa kali mengenal jalan setapak yang tadi pernah dilaluinya! Sampai sore dia berlari-lari tanpa henti, namun tak pernah berhasil. Akhirnya dia melompat ke atas cabang sebatang pohon, duduk di atas cabang sambil memandang ke sekeliling.

   Dari situ tampak betapa indahnya taman itu. Beraneka bunga memenuhi taman, juga pohon-pohon semak-semak, rumpun-rumpun bambu, semua serba teratur rapi dan indah. Dari situ tampak pula gedung itu dan dia sungguh merasa heran bagaimana dia selalu gagal menuju ke sana! Kalau dia memakai jalan pintas dan membabati tanaman-tanaman di taman itu, mungkin dia akan sampai di gedung. Akan tetapi tidak mungkin dia mau merusak taman orang! Dari atas pohon dia melihat jalan setapak yang berliku-liku dan baru dia teringat bahwa jalan setapak itu berubah-ubah warnanya. Ada yang putih, lalu ada yang merah, biru, kuning, hijau dan bermacam-macam warna lagi.

   Tiba-tiba terdengar suara wanita bernyanyi. Merdu dan lembut suara itu, terdengar dari arah gedung, sayup sampai terbawa angin, namun kata-katanya cukup jelas dapat ditangkap pendengaran Cun Giok.

   "Bayangan wahai bayangan
Didekati, dicari, makin menjauh
Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini
Bersatu dengan diri.
Hanya orang bodoh yang tidak mengerti"""

   Cun Giok mengenal syair itu, ditulis oleh seorang penyair di jaman Kerajaan Tang. Penyair itu seorang Tosu bernama Cu Tek. Yang dimaksudkan dengan bayangan itu adalah To atau Kekuasaan Tuhan. Dicari dengan akal pikiran tidak akan bisa didapatkan, tanpa dicari sudah ada karena Kekuasaan Tuhan itu tidak pernah terpisah dari diri manusia. Akan tetapi apa artinya syair itu dinyanyikan orang di sini? Apakah ada hubungannya dengan rahasia taman ini?

   Tiba-tiba Cun Giok memejamkan mata dan mencoba untuk mengingat-ingat tentang pelajaran dalam Agama To. Didekati dan dicari, malah makin menjauh. Ah, ini cocok dengan keadaan di taman. Gedung itu, makin didekati semakin menjauh! Dia sudah berusaha mendekati sampai setengah hari, akan tetapi sama sekali tidak berhasil karena gedung itu makin menjauh saja! Andaikata yang dimaksudkan dengan "bayangan" itu adalah rumah gedung di Lembah Seribu Bunga, maka mendekati dan mencarinya tentu akan gagal seperti yang telah dialaminya.

   Lalu bagaimana rahasianya untuk dapat menemukannya? "Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini bersatu dengan diri". Hemm, tidak usah didekati, malah dijauhi? Apa artinya itu. Tiba-tiba Cun Giok teringat. Sejak tadi dia memang berusaha mendekati gedung dan selalu mengambil jalan yang menuju ke gedung dan hasilnya, jalan itu membawanya makin menjauhi gedung. Inikah rahasianya? Dia tidak yakin, akan tetapi apa salahnya dicoba?

   Timbul harapan di hati Cun Giok. Kalau sekali ini tidak berhasil, sudah saja, dia akan meninggalkan taman ini. Akan tetapi dia lalu teringat, bagaimana dapat meninggalkannya? Dia pun tidak tahu jalan keluar, seperti juga tidak tahu jalan menuju ke gedung itu.

   Cun Giok melompat turun dari atas pohon, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang berwarna biru. Jalan setapak itu mempunyai banyak simpangan, ada perempatan dari berbagai warna. Setelah tiba di tempat terbuka dia melihat bahwa gedung itu kini berada di sebelah kirinya, cukup jauh. Maka tanpa menggunakan akal pikiran lagi, langsung saja dia mengambil jalan setapak yang ke kanan, berarti menjauhi atau berlawanan dengan arah gedung itu. Kini jalan setapak itu berwarna merah. Setelah agak lama berjalan dengan pohon-pohon menghalangi di kanan kiri jalan sehingga dia tidak melihat jauh, jalan setapak itu membawanya ke tempat terbuka di mana terdapat perempatan jalan.

   Dia berhenti dan memandang sekeliling. Gedung itu tiba-tiba saja sudah pindah di sebelah kanannya, tidak begitu jauh lagi. Tanpa berpikir lagi Cun Giok mengambil jalan ke kiri, berlawanan dengan letak gedung. Kembali dia melewati lorong panjang yang dipenuhi semak-semak di kanan kiri sehingga dia tidak dapat melihat di mana letak gedung itu. Jalan setapak itu berliku-liku sehingga Cun Giok tidak tahu lagi ke arah mana dia berjalan, ke utara, selatan, timur, atau barat!

   Kembali dia berada di tempat terbuka dan kini gedung itu tahu-tahu tampak dekat sekali di sebelah kirinya! Agaknya dengan melompati beberapa semak belukar dan melewati beberapa batang pohon saja dia sudah akan sampai di sana! Akan tetapi Cun Giok tidak mau melakukan hal itu. Sebaliknya dia lalu mengambil jalan ke arah kanan dan kini dia menginjak jalan setapak berwarna putih. Demikianlah, setiap tiba di tempat terbuka dan melihat gedung itu semakin dekat saja, Cun Giok segera mengambil jalan ke arah yang berlawanan seolah meninggalkan gedung itu dan setelah berjalan membelak-belok beberapa lamanya, tiba-tiba saja dia dapat keluar dari taman dan sudah berdiri di halaman gedung itu!

   "Selamat datang di rumah kami, Giok-ko." Tiba-tiba terdengar suara Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu sudah muncul di situ.

   "Wah, engkau lambat sekali, Giok-ko. Kalau saja ibuku tidak memberi petunjuk kepadamu, aku berani bertaruh bahwa sampai kapan pun engkau tidak akan berhasil keluar dari taman Seribu Bunga," kata Kui Lin sambil tersenyum. Senyumnya memang manis sekali, akan tetapi menyakitkan karena senyum itu mengandung ejekan.

   Akan tetapi mendengar ucapan Kui Lin, mengertilah dia bahwa yang menyanyikan syair tadi adalah ibu kedua orang gadis kembar itu, maka dia lalu cepat merangkap kedua tangan di depan dadanya dan berseru walaupun tidak melihat adanya ibu mereka di situ.

   "Banyak terima kasih saya ucapkan kepada The Toanio yang telah memberi petunjuk kepada saya. Saya Pouw Cun Giok menghaturkan salam hormat kepada The Toanio."

   Dari dalam rumah itu terdengar suara wanita yang lembut.

   "Pouw Sicu (Orang Gagah Pouw), anak-anakku mempersilakan engkau sebagai tamu. Masuklah!"

   "Terima kasih, Toanio," kata Cun Giok.
"Silakan, Giok-ko," kata Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu lalu mengajak Cun Giok memasuki pintu depan yang besar dan kuat.

   Setelah memasuki ruangan depan gedung itu, Cun Giok memandang ke sekelilingnya dan dia kagum sekali. Ternyata walaupun dari luar gedung itu tampak biasa saja, namun ternyata di dalamnya terdapat perabot rumah yang serba indah dan mahal. Selain perabot-perabotnya yang indah dan mahal, juga terdapat lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan kuno yang amat indah, baik kata-katanya maupun bentuk tulisannya.

   Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada seorang wanita yang telah duduk di dalam sebuah ruangan di samping ruangan depan yang agaknya dijadikan sebagai ruangan tamu gedung itu.

   Wanita itu berusia sekitar limapuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih tampak cantik dan tubuhnya juga masih ramping padat sehingga tampaknya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Melihat sekilas pandang saja, mudah diduga bahwa ia tentu ibu dari sepasang gadis kembar itu karena wajah sepasang gadis kembar itu jelas merupakan hasil cetakan wajah Sang Ibu. Wanita yang tadinya duduk dan menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka dan memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata penuh selidik.

   Cun Giok segera mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan membungkuk untuk memberi hormat.

   "Toanio, harap suka memaafkan saya yang lancang berani datang menghadap tanpa diundang. Terimalah hormat saya Pouw Cun Giok, Toanio."

   Wanita itu tersenyum, dan senyumnya juga persis senyuman Kui Lin walaupun senyum itu lembut seperti sifat Kui Lan, tidak kasar dan lincah seperti Kui Lin.

   "Pouw-sicu, aku sudah mendengar dari anak-anakku bahwa engkau adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga dapat mengalahkan ilmu silat tangan kosong Kui Lin, bahkan mengalahkan ilmu pedang dari Kui Lan. Sungguh membuat aku kagum karena sesungguhnya, pada waktu ini jarang ada orang muda yang akan mampu mengalahkan kedua orang puteriku ini."

   "Aih, Ibu! Bikin malu saja memuji-muji kami padahal kami sama sekali tidak mampu menandingi Giok-ko," kata Kui Lin, sedangkan Kui Lan lalu berkata kepada pemuda itu yang masih berdiri.

   "Giok-ko, silakan duduk," ia menunjuk sebuah kursi yang berhadapan dengan ibunya.

   "Terima kasih," kata Cun Giok yang lalu duduk di atas kursi itu. Setelah Cun Giok duduk, dua orang gadis itu pun segera mengambil tempat duduk di atas kursi yang berada di kanan kiri ibu mereka.

   Setelah mereka duduk, Nyonya The sambil memandang penuh selidik kepada Cun Giok, bertanya.

   "Sicu, kedua orang puteriku hanya dapat memberitahu bahwa engkau bernama Pouw Cun Giok, akan tetapi mereka tidak tahu akan riwayatmu. Dapatkah engkau memberitahu, di mana orang tuamu, siapa mereka dan di mana mereka tinggal?"

   "Ayah Ibu saya telah meninggal dunia, Toanio. Kami dulu tinggal di So-couw, akan tetapi keluarga saya habis terbunuh oleh pasukan Mongol sehingga saya sekarang hidup sebatang kara."

   Wanita itu mengerutkan alisnya.

   "Ah, apakah engkau ini masih keturunan keluarga Pouw yang merupakan orang-orang gagah perkasa dan pembela Kerajaan Sung? Aku pernah mendengar akan kebesaran nama keluarga Pouw, seperti Pouw Goan Keng dan Pouw Cong Keng."

   "Mereka adalah nenek moyang saya, Toanio."

   "Aih! Kalau begitu, siapakah Ayahmu? Apakah yang bernama Pouw Bun yang menjadi pejabat yang adil di kota raja pada jaman Kerajaan Sung?"

   "Beliau adalah kakek buyut saya, Toanio."

   "Ah, lalu Ayahmu? Siapa namanya?"

   "Mendiang Ayah saya bernama Pouw Keng In."

   Wanita itu mengangguk-angguk.

   "Bagus, kiranya engkau keturunan keluarga Pouw yang namanya amat terkenal sebagai patriot-patriot gagah perkasa itu. Engkau pantas menjadi tamu kami, pantas menjadi sahabat anak-anakku, Pouw-sicu. Akan tetapi, Kui Lan memberi tahu kepadaku bahwa engkau memiliki sebatang pedang yang bersinar keemasan. Bolehkah sebentar saja aku melihatnya?"

   "Tentu saja, Toanio!" Cun Giok tanpa ragu-ragu lalu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Nyonya The.

   Lalu terjadi hal yang membuat Pouw Cun Giok terheran-heran, bahkan dua orang gadis itu pun terkejut dan heran. Ibu mereka, setelah menerima pedang itu, mengamatinya sebentar, lalu mendekap pedang itu di dadanya dan menangis!

   Kui Lan dan Kui Lin mendekati ibunya.

   "Ibu, ada apakah?" mereka bertanya, akan tetapi Nyonya The tidak menjawab dan masih menangis.

   Cun Giok juga memandang dengan khawatir.

   "The Toanio, maafkan kalau pedang saya itu membuat Toanio bersedih."

   Dirangkul dua orang puterinya yang tampak khawatir itu, The Toanio dapat menguasai perasaannya. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas dan menyuruh dua orang puterinya duduk kembali. Kemudian ia memandang kepada Cun Giok dan bertanya, suaranya seperti menuntut.

   "Pouw-sicu, katakan sejujurnya. Dari mana dan bagaimana engkau mendapatkan pedang Kim-kong-kiam ini?"

   Cun Giok terkejut karena sinar mata wanita itu dan suaranya penuh tuntutan. Maka dia segera menjawab sejujurnya.

   "Toanio, Kim-kong-kiam ini saya terima sebagai pemberian dari Guru saya."

   "Gurumu......? Siapa namanya......?" Kini pandang mata dan sikap Nyonya The penuh keinginan tahu dan harapan.

   "Nama Suhu adalah Suma Tiang Bun, Toanio."

   Wajah wanita itu menjadi pucat dan bibirnya gemetar ketika ia bertanya.

   "Suma Tiang Bun......? Di mana...... di mana dia sekarang?"

   Cun Giok tertegun. Tentu ada hubungan erat antara gurunya dan wanita ini, pikirnya.

   "Suhu sudah meninggal dunia sekitar tiga tahun yang lalu, Toanio."

   Nyonya The yang tadinya mengangkat tubuhnya dalam kursinya, begitu mendengar ucapan Cun Giok ini, seketika lemas dan terkulai sambil memeluk Kim-kong-kiam di dadanya lalu mulai menangis lagi. Dua orang puterinya segera merangkul ibu mereka dan Kui Lin menoleh kepada Cun Giok lalu berkata ketus.
"Pouw Cun Giok! Manusia tak mengenal budi! Engkau kami terima sebagai tamu, tapi kedatanganmu hanya mendatangkan kekacauan dan membuat Ibuku bersedih. Pergilah kau dari sini dan bawa pedangmu!"

   "Lin-moi, jangan begitu......!" Kui Lan mencela adiknya.

   Kembali Nyonya The menghapus air matanya dan berkata,

   "Kui Lin, Pouw-sicu tidak bersalah apa-apa, jangan engkau bersikap kasar kepadanya."

   Setelah menyuruh dua orang puterinya duduk kembali dan ia sudah dapat menenangkan hatinya, The Toanio lalu menyerahkan Kim-kong-kiam kepada Cun Giok dan ia sudah menghapus semua air mata dari kedua pipinya. Wajahnya sudah pulih dan merah kembali.

   Pada saat itu, seorang wanita setengah tua yang berpakaian sebagai pembantu rumah tangga, masuk membawa baki terisi empat buah cawan, sepoci besar air teh dan beberapa macam kue kering di atas piring. Setelah mengatur suguhan itu di atas meja, wanita pelayan itu mengundurkan diri dan The Toanio berpesan kepadanya.

   "Akin, engkau dan para pelayan lain tidak boleh memasuki kamar ini sebelum kupanggil."

   Pelayan wanita itu memberi hormat dengan membungkuk lalu keluar dari kamar atau ruangan tamu itu, tidak lupa menutupkan daun pintu ketika ia keluar.

   Setelah mempersilakan Cun Giok minum air teh yang dituangkan dalam cawan oleh Kui Lan, The Toanio lalu berkata.

   "Maafkan aku, Pouw-sicu, aku tidak dapat menahan kesedihan melihat Kim-kong-kiam, lebih-lebih mendengar gurumu itu telah meninggal dunia......"

   "Apakah Ibu mengenal guru Giok-ko yang telah meninggal dunia itu?" tanya Kui Lan.

   "Ibu, siapakah Suma Tiang Bun itu, dan mengapa Ibu bersedih mendengar dia meninggal dunia?" tanya Kui Lin.

   Nyonya The menghela napas panjang.

   "Kalau saja Pouw-sicu tidak muncul bersama Kim-kong-kiam ini, rahasia ini tentu akan kubawa sampai mati karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Akan tetapi sekarang aku tidak ingin membuat kalian bertiga menduga yang bukan-bukan, maka sebaiknya kuceritakan pengalamanku di waktu aku masih gadis dan belum menikah dengan Ayah kalian berdua. Akan tetapi sebelumnya, aku ingin tahu lebih dulu, Pouw-sicu. Bagaimana Suma Tiang Bun bisa mati? Dia belum tua benar, usianya sekarang baru sekitar enampuluh tahun dan dia memiliki tubuh yang amat kuat, ilmu silatnya juga lihai sekali."

   "Suhu tewas dikeroyok seorang panglima besar Kerajaan Mongol bersama pasukannya, Toanio."

   "Hem, siapakah panglima itu?"

   "Namanya Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi saya dan adik misan saya sudah berhasil membalas dendam dan membunuhnya."

   "Ah, syukurlah kalau begitu. Kalau belum terbalas, akulah yang akan membunuh panglima yang mengeroyok dan menewaskan Suma Tiang Bun. Nah, sekarang dengarlah riwayatku. Dahulu, sebelum aku menikah dengan mendiang suamiku ayah kedua anakku ini, aku bersahabat baik dengan Suma Tiang Bun. Kami berdua melakukan perjalanan bersama dan menentang orang-orang Mongol yang mulai menyerang Kerajaan Sung. Bahkan kami berdua sudah saling berjanji akan menjadi jodoh masing-masing kelak."

   "Wah, jadi dia itu dulu pacar Ibu?" tanya Kui Lin.

   "Ih, Lin-moi, diam dan dengarkan cerita Ibu!" Kui Lan menegur adiknya.

   Nyonya The tersenyum mendengar pertanyaan Kui Lin walaupun sinar matanya masih membayangkan kesedihan.

   "Memang benar, ketika itu aku dan Suma Tiang Bun saling mencinta. Mencinta bukan hal yang buruk, bukan hal yang tidak pantas atau patut disembunyikan. Memang pada waktu itu, aku dan Suma Tiang Bun menganggap kita menjadi calon jodoh masing-masing. Akan tetapi, kemudian kota raja diserbu pasukan musuh dan Kaisar dilarikan mengungsi ke selatan. Di antara mereka yang membela dan menyelamatkan Kaisar adalah Suma Tiang Bun. Ketika Kaisar tewas terjun ke laut, dan banyak perwira dan pendekar yang ikut tewas ketika membela Kaisar, tersiar berita bahwa Suma Tiang Bun juga tewas. Selama setahun aku berkabung, sama sekali tidak mengira bahwa Suma Tiang Bun menghilang karena dia menjadi buruan kerajaan musuh sehingga terpaksa menyembunyikan diri ke gunung-gunung dan tempat sepi. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan The Kim Kiong yang juga seorang pendekar. Kami menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin yang terlahir kembar ini. Baru kemudian aku mendengar bahwa Suma Tiang Bun belum mati dan menjadi orang buruan. Akan tetapi aku tidak menyesal karena aku sudah menjadi isteri orang lain, bahkan merasa bersyukur bahwa Suma Tiang Bun masih hidup. Mungkin dia juga mendengar bahwa aku telah menikah dengan The Kim Kiong dan dia sengaja tidak pernah datang menjengukku. Aku mengenal betul akan wataknya yang bijaksana. Nah, demikianlah, anak-anakku dan engkau juga, Pouw-sicu, riwayatku sehingga tentu saja aku terkejut sekali ketika melihat Kim-kong-kiam."

   "Saya dapat mengerti mengapa Toanio menikah dengan orang lain karena mengira bahwa mendiang Suhu yang menjadi calon suami Toanio telah tewas. Kalau boleh saya bertanya, di mana adanya suami Toanio yang bernama The Kim Kiong itu?"

   Nyonya The menghela napas panjang.

   "Memang nasibku yang buruk. Ketika Kui Lan dan Kui Lin berusia sepuluh tahun, ayah mereka tewas ketika melawan pasukan Mongol. Dia memang menjadi seorang di antara para pendekar yang dianggap pemberontak dan dimusuhi Kerajaan Mongol. Dia berhasil menewaskan banyak perajurit, akan tetapi akhirnya tewas. Aku sempat menyelamatkan anak-anak kami melarikan diri."

   "Ibu tidak pernah mau menceritakan siapa panglima yang memimpin pasukan yang telah menewaskan Ayah!" Kui Lin berkata dengan nada penasaran.

   "Kuceritakan juga, apa yang dapat kalian lakukan? Panglima itu membunuh Ayah kalian bukan karena urusan permusuhan pribadi. Dia mewakili Kerajaan Mongol maka yang membunuh Ayah kalian adalah Kerajaan Mongol."

   "Ibu berkata benar," kata Kui Lan.

   "Akan tetapi ada baiknya kalau kami mengetahui namanya."

   "Panglima itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, juga dia seorang panglima besar yang memimpin ratusan ribu perajurit. Namanya Panglima Kim Bayan."

   "Ahhh......!!" Cun Giok demikian kaget sehingga tanpa disadarinya dia mengeluarkan seruan itu. Ibu dan kedua orang puterinya itu kini memandang kepadanya dengan tajam.

   "Sicu, apakah engkau mengenal Kim Bayan?" tanya Nyonya The.

   "Mengenalnya, Toanio? Lebih dari mengenalnya, bahkan sudah beberapa kali saya bermusuhan dan bentrok dengan dia dan kaki tangannya. Bagi saya, Kim Bayan adalah seorang yang keji dan licik jahat akan tetapi juga berbahaya. Kalau diberi kesempatan, saya ingin sekali membunuhnya. Belum lama ini saya pernah menjadi tawanannya. Masih untung saya dapat menyelamatkan diri dari Kim Bayan yang dibantu oleh orang-orang sakti seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li."

   "Wah, menarik sekali!" teriak Kui Lin.

   "Giok-ko, ceritakanlah apa yang kau alami ketika bermusuhan dengan Kim Bayan, pembunuh Ayahku itu!"

   Cun Giok lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bersama Ceng Ceng dan Li Hong berhadapan dengan Kim Bayan dan kaki tangannya dalam memperebutkan harta karun Kerajaan Sung.

   "Peta harta karun itu adalah peninggalan Locianpwe Liu Bok Eng yang juga terbunuh oleh Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong. Peta itu ditinggalkan kepada puterinya yang bernama Liu Ceng Ceng."

   "Ah, aku pernah mendengar nama besar Liu Bok Eng yang dulu menjadi panglima Kerajaan Sung. Aku masih ingat bahwa ilmu toyanya jarang menemui tandingan," kata Nyonya The.

   "Lagi-lagi Kim Bayan yang membunuhnya. Panglima yang satu ini agaknya memang ingin membasmi semua pendekar yang berjiwa patriot."

   "Giok-ko, lalu bagaimana dengan peta itu?" tanya Kui Lan.

   Cun Giok lalu menceritakan betapa dia dan Tan Li Hong membantu Liu Ceng Ceng untuk menyelidiki tentang harta karun itu menurut petunjuk peta yang ditinggalkan mendiang Liu Bok Eng.

   "Giok-ko, apakah engkau dan Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong ingin mendapatkan harta karun itu dan kalian bagi bertiga?" tanya Kui Lin.

   "Lin-moi, jangan lancang!" tegur Kui Lan dan adiknya cemberut.

   Cun Giok tersenyum.

   "Sama sekali tidak, Lin-moi. Kami bertiga mencari harta itu dengan niat kalau sudah ditemukan akan kami serahkan kepada yang berhak seperti dikehendaki mendiang Locianpwe Liu Bok Eng."

   

   "Siapa yang berhak menerima harta karun itu?" tanya pula Kui Lin.

   "Menurut Liu Ceng Ceng, Ayahnya menghendaki agar harta karun itu kelak dipergunakan untuk biaya pasukan pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah penjajah Mongol."

   "Bagus sekali! Sampai matinya Liu Bok Eng tetap seorang pendekar patriot, bahkan jiwa kependekarannya diturunkan kepada puterinya!" Nyonya The memuji.

   "Lalu bagaimana, Sicu? Apakah kalian bertiga berhasil menemukan harta karun itu?"

   "Sebelum kami menemukan tempat harta karun itu menurut petunjuk peta, kami telah terjatuh ke tangan Kim Bayan dan anak buahnya dan kami tertawan."

   "Ah, keparat Kim Bayan!" Kui Lin berseru sambil mengepal tinjunya dengan marah.

   "Lin-moi, biarlah Giok-ko melanjutkan ceritanya," Kui Lan mencela adik kembarnya.

   "Karena Kim Bayan mengancam akan membunuh Adik Tan Li Hong, maka Liu Ceng Ceng terpaksa menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan untuk menyelamatkan Li Hong."

   "Aih, sungguh pantas menjadi puteri Pendekar Liu Bok Eng!" kata Nyonya The, gembira mendengar orang-orang gagah yang memang ia kagumi sejak dulu.

   "Akan tetapi, gadis yang seorang lagi, yang membantu Nona Liu Ceng Ceng dan bernama Tan Li Hong itu, siapakah ia, Sicu? Agaknya ia juga seorang pendekar wanita."

   "Benar, Toanio. Tan Li Hong adalah seorang pendekar wanita yang lihai juga. Ia adalah murid dari Ban-tok Niocu, majikan Pulau Ular."

   "Majikan Pulau Ular? Seingatku, Coa-tocu (Majikan Pulau Ular) berjuluk Ban-tok Kui-bo!" seru Nyonya The.

   "Memang benar, Toanio. Semula ia berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun), akan tetapi sekarang ia telah sadar dan mengubah julukannya menjadi Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun) dan tetap menjadi majikan Pulau Ular."

   "Ah, tentu Tan Li Hong itu lihai sekali karena dulu pun gurunya itu disegani para tokoh kang-ouw. Ceritamu semakin menarik, Sicu, lanjutkanlah."

   Cun Giok melanjutkan ceritanya tentang tindakan Kim Bayan yang menyerang Li Hong'dan memaksa dia dan Ceng Ceng untuk membantu mereka menemukan letak penyimpanan harta karun menurut petunjuk peta. Karena keselamatan Li Hong terancam, terpaksa dia dan Ceng Ceng memenuhi permintaan ini dan mereka berdua membantu Kim Bayan mencari harta karun itu. Akhirnya kami menemukan tempat penyimpanan harta karun itu dan dapat mengeluarkan peti harta karun......"

   "Ah, celaka!" seru Kui Lin.

   "Sayang sekali harta karun Kerajaan Sung itu terjatuh ke tangan jahanam Kim Bayan!"

   "Benarkah harta karun itu terjatuh ke tangan Kim Bayan, Sicu?" tanya Nyonya The dengan nada kecewa.

   "Tidak, Toanio. Ketika peta harta karun itu dibuka, tidak ada sepotong pun harta benda, yang ada hanya dua buah huruf di dasar peti itu yang berbunyi THAI SAN."

   "Heh-he-heh-hi-hik!" Kui Lin terkekeh senang dan geli.

   "Rasakan engkau, jahanam Kim Bayan!"

   "Ah, mengapa peti itu kosong? Dan bagaimana engkau dan dua orang gadis itu dapat meloloskan diri, Pouw-sicu?"

   "Selagi Kim Bayan dan kawan-kawannya merasa kebingungan, kecewa dan marah-marah, saya dan Ceng Ceng larikan diri dan membebaskan Li Hong dari penjara, kemudian kami bertiga melarikan diri, kata Cun Giok. Dia tidak menceritakan persoalan antara Li Hong, Ceng Ceng dan dia.

   "Hemm, ceritamu menarik sekali, Sicu. Kiranya engkau seorang pendekar yang selalu menentang para pembesar Mongol yang bertindak sewenang-wenang dan yang jahat. Engkau tidak mengecewakan menjadi putera keturunan keluarga Pouw! Juga Tan Li Hong murid Ban-tok Niocu dan Liu Ceng Ceng puteri pendekar Liu Bok Eng itu amat mengagumkan! Beruntunglah tanah air kita yang kini dikuasai penjajah Mongol memiliki pendekar-pendekar muda seperti kalian bertiga. Selama masih ada pendekar-pendekar pejuang seperti kalian, aku yakin, cepat atau lambat, tanah air dan bangsa pasti akan dapat dibebaskan dari cengkeraman pemberontak Mongol!"

   "Ah, Ibu selalu melarang kami untuk keluar dari Lembah Seribu Bunga sehingga kami tidak dapat membantu para pendekar pejuang menentang orang-orang jahat macam Kim Bayan!" kata Kui Lin merajuk.

   "Giok-ko, lalu bagaimana dengan harta karun itu? Kukira kalau harta itu dapat diberikan kepada para pejuang, akan besar sekali manfaatnya bagi perjuangan menentang penjajah Mongol," kata Kui Lan.
"Benar apa yang dikatakan Kui Lan, Pouw-sicu, lalu bagaimana dengan harta karun itu?" tanya Nyonya The.

   "Tidak ada yang tahu di mana adanya harta karun itu, Toanio. Semua orang hanya menduga bahwa harta karun itu tentu sudah ada yang mengambilnya dan melihat huruf THAI SAN yang dituliskan di dasar peti, saya hanya menduga bahwa yang mengambilnya tentu seorang lihai yang tinggal di Thai-san."

   Nyonya The mengangguk-angguk.

   "Memang itu merupakan satu-satunya kemungkinan. Lalu apa yang hendak kau lakukan, Sicu?"

   "Saya bermaksud pergi ke Thai-san dan menyelidikinya."

   "Ibu, menurut Ibu, siapa kiranya tokoh Thai-san yang dapat mengambil harta karun itu?" tanya Kui Lan.
"Hemm, setahuku yang berada di sana hanyalah aliran Perguruan Silat Thai-san-pai yang diketuai Thai-san Sianjin Thio Kong. Dia memang lihai sekali, juga dibantu lima orang sute (adik seperguruan) yang terkenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Akan tetapi, aku sangsi apakah tosu-tosu di Thai-san itu mau melakukan pencurian. Thai-san adalah sebuah pegunungan yang besar dan luas, memiliki ratusan buah bukit dengan puncak masing-masing. Di sana tentu terdapat banyak pertapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri atau bertapa."

   "Ibu, aku ingin mencari harta karun itu di Thai-san!" tiba-tiba Kui Lin berseru kepada ibunya.

   "Aku akan menemani Lin-moi, Ibu," kata pula Kui Lan.

   "Kami berdua telah belajar silat dari Ibu selama bertahun-tahun. Sekaranglah saatnya memanfaatkan ilmu itu. Kami juga ingin membantu para pejuang."
Nyonya The menghela napas panjang.

   "Kalau kalian berdua pergi, laIu bagaimana aku dapat hidup tenang seorang diri di sini? Kui Lan dan Kui Lin, bukannya aku melarang kalian pergi membantu para pendekar menentang penjajah Mongol, akan tetapi walaupun kalian pernah belajar silat dan sudah menguasai ilmu bela diri yang cukup kuat, kalian sama sekali belum berpengalaman. Di luar sana terdapat banyak orang jahat yang bukan saja memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi terutama sekali yang berwatak curang dan penuh muslihat licik dan jahat. Bagaimana hatiku dapat tenang melepas kalian pergi mengembara?"

   "Ibu, di sini ada Kakak Pouw Cun Giok yang sudah berpengalaman dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tentu tidak keberatan kalau kami berdua membantunya mencari harta karun ltu. Giok-ko, apakah engkau berkeberatan kalau kami Enci dan Adik melakukan perjalanan bersama dan membantumu mencari harta Kerajaan Sung itu?" kata Kui Lin dengan lincahnya.

   Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak dan tidak berani mengatakan tidak mau atau keberatan. Jawaban demikian akan tampak sama sekali tidak sopan. Maka, walaupun dalam hatinya dia merasa ragu untuk melakukan perjalanan bersama dua orang gadis kembar itu, terpaksa dia menjawab.

   "Tentu saja aku tidak merasa keberatan, Lin-moi."

   "Nah, benar kan, Ibu? Kalau kami pergi bersama Glok-ko, tentu Ibu tidak akan merasa khawatir lagi, bukan?" Kui Lin mendesak ibunya.

   "Lin-moi, jangan mendesak Ibu. Kalau Ibu tidak setuju, kita tidak akan pergi," kata Kui Lan yang seolah bersikap sebagai pengendali adiknya yang liar.

   "Tentu saja, Lan-ci! Kalau Ibu percaya bahwa Giok-ko pasti akan melindungi kita, dan kita sendiri pun mampu membela diri, tentu Ibu menyetujui keinginan kita untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa!" kata Kui Lin dengan gembira, lalu disambungnya dan sekali ini tiba-tiba suaranya terdengar sedih, bahkan seperti hendak menangis.

   "Akan tetapi kalau Ibu tidak percaya kepada kita dan kepada Giok-ko, dan melarang kami pergi, biarlah kami akan menaati kehendak Ibu, tidak akan meninggalkan Lembah Seribu Bunga ini sampai tua......"

   Nyonya The menahan tawanya dan tersenyum sambil memandang Kui Lin.

   "Anak nakal! Macam-macam saja akalmu! Tidak perlu engkau merayu seperti itu, aku tentu akan mempertimbangkan semua keinginan kalian berdua......"

   "Terima kasih, Ibu! Ibu setuju, bukan?" Kui Lin sudah menghampiri dan merangkul ibunya.

   Nyonya The mengangguk.

   "Baiklah, setelah mempertimbangkannya, kurasa memang sudah waktunya kalian menyumbangkan tenaga untuk membantu para pejuang. Aku yakin Sicu Pouw Cun Giok akan membimbing kalian dan mudah-mudahan saja kalian akan berhasil membantu Pouw-sicu menemukan harta karun Kerajaan Sung itu. Akan tetapi, Kui Lin, engkau harus berjanji akan menaati semua nasehat encimu."

   "Tentu saja, Ibu. Aku akan taat sekali kepada Enci Lan!"

   "Dan kalian berdua harus menurut semua petunjuk yang diberikan Pouw-sicu. Selain dari itu, aku memberi waktu kepada kalian selama satu tahun. Setelah satu tahun kalian mengembara, kalian harus pulang ke sini!"

   "Baik, Ibu, kami berjanji," kata Kui Lan.

   Dua orang gadis kembar itu lalu berkemas dan malam itu Cun Giok bermalam di gedung Lembah Seribu Bunga. Dalam kesempatan selagi Nyonya The berdua saja dengan Cun Giok karena kedua orang puterinya sedang sibuk berkemas, Nyonya The bertanya kepada Cun Giok.

   "Pouw-sicu, setelah kedua orang tuamu tidak ada lagi, siapakah yang menjadi anggauta keluarga terdekat? Tentu engkau mempunyai sanak keluarga, Paman, Bibi, atau Saudara misan. Di mana mereka dan siapakah mereka?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya dan hatinya merasa sedih.

   "Saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi, Toanio. Semua Paman dan Bibi saya, juga Saudara misan, semua telah tewas oleh bangsa Mongol. Mendiang Ibu saya bermarga Tan, akan tetapi saya tidak pernah mendengar apakah Ibu saya mempunyai keluarga ataukah tidak! Bahkan saya tidak pernah mengenal Ayah Ibu kandung saya, karena Ayah terbunuh ketika saya masih dalam kandungan dan Ibu meninggal ketika melahirkan saya." Dengan singkat Cun Giok menceritakan riwayat keluarganya yang terbasmi oleh mendiang Panglima Kong Tek Kok.

   "Demikianlah, Toanio, saya tidak tahu apakah mendiang Ibu mempunyai sanak keluarga. Sejak lahir saya hanya mengenal Suhu Suma Tiang Bun sebagai satu-satunya orang yang hidup dengan saya, kemudian setelah Suhu tewas, saya melanjutkan latihan silat kepada Sukong (Kakek Guru) Pak-kong Lojin yang sekarang masih bertapa di Ta-pie-san. Beliau itulah kini satu-satunya keluarga saya."

   "Aduh, riwayatmu sungguh menyedihkan, Sicu. Memang jahat sekali bangsa Mongol. Mereka menjajah tanah air kita dan entah berapa banyak bangsa kita menjadi korban dan keluarga-keluarga berantakan karena kekejaman mereka." Kemudian Nyonya The melanjutkan kata-katanya dan bertanya,

   "Sicu, apakah engkau juga tidak mempunyai tunangan yang menjadi calon jodohmu?"

   Cun Giok menghela napas panjang. Hatinya menjadi pedih ketika dia teringat kepada Siok Eng. Sampai lama dia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebetulnya, dia sama sekali tidak berniat untuk menceritakan tentang Siok Eng kepada siapa pun juga. Akan tetapi kalau sekarang dia tidak menjawab pertanyaan Nyonya The, hal itu akan membuat dia merasa tidak enak dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena dia merahasiakan sesuatu. Setelah dapat menekan kesedihannya, dia berkata lirih.

   "Saya pernah mempunyai seorang tunangan yang menjadi calon jodoh saya, Toanio. Akan tetapi tunangan saya itu pun tewas di tangan seorang putera Panglima Kim Bayan yang bernama Kim Magu."

   "Keparat! Mendengar akan kejahatan Kim Bayan dan puteranya itu, mengingat pula bahwa suamiku juga terbunuh oleh pasukan yang dipimpin Kim Bayan, rasanya ingin sekali aku terjun ke dunia kang-ouw untuk mencari dan membunuhnya! Akan tetapi karena sudah puluhan tahun aku terbiasa tinggal di tempat sunyi yang tenang tenteram ini, aku merasa enggan pergi ke dunia ramai. Biarlah kedua orang puteriku yang akan membantumu menghadapi orang-orang Mongol jahat seperti Kim Bayan itu."

   Setelah mendengar bahwa tunangan Cun Giok telah tewas, berarti pemuda itu bebas tidak ada ikatan, timbul dalam hati Nyonya The untuk menjodohkan seorang puterinya dengan Pouw Cun Giok! Pemuda itu adalah putera keluarga Pouw yang terkenal gagah perkasa, juga murid Suma Tiang Bun dan dia melihat betapa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi, juga baik budi. Akan tetapi karena ia dan puterinya baru hari itu bertemu dan berkenalan dengan Cun Giok, tentu saja amat tidak enak untuk membicarakan urusan perjodohan.

   Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang puterinya yang menggendong buntalan pakaian dan membawa pedang, berangkat bersama Pouw Cun Giok, Nyonya The hanya memesan kepada dua orang anak kembarnya agar mereka berhati-hati, menaati petunjuk Cun Giok setelah dalam setahun mengembara harus segera pulang ke Lembah Seribu Bunga. Hanya di dalam hatinya ia mengharapkan agar dalam waktu satu tahun itu seorang di antara dua orang puterinya akan saling jatuh cinta dengan Cun Giok.

   Perahu kecil itu melaju pesat, padahal hanya didayung oleh dua orang gadis yang tampak lemah-lembut dan cantik jelita. Mereka tadi meninggalkan pantai daratan dan mendayung perahu meluncur pesat menuju Pulau Ular yang tampak kecil dari jauh.

   Dua orang gadis itu masih muda, sekitar sembilanbelas tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh denok sedang, kulitnya putih mulus, wajahnya berbentuk bulat telur, matanya tajam namun lembut, anak rambut yang berjuntai di dahi dan pelipis membuat wajah itu tampak semakin manis, apalagi ditambah lesung pipi kanan dan bibir indah yang selalu mengembangkan senyum ramah. Gadis jelita itu berpakaian sutera serba putih sehingga tampak seperti sekuntum bunga mawar putih yang indah bentuknya dan semerbak harum.

   Gadis kedua juga amat cantik jelita walaupun sifat kecantikannya berbeda, bahkan agak berlawanan dengan gadis pertama. Gadis kedua berpakaian indah dan wajahnya yang cantik itu tampak lincah karena sepasang matanya seperti bintang. Bibirnya merah dan bentuk mulutnya menggairahkan dan ia tidak tampak lemah gemulai seperti gadis pertama, melainkan tampak mengandung kegagahan dan keberanian. Bagaikan setangkai bunga, ia adalah setangkai bunga hutan yang liar dan tumbuh bebas.

   Kalau gadis pertama berpakaian putih tidak tampak membawa senjata, hanya buntalan pakaian yang tergantung di punggung, gadis kedua ini membawa pula sebatang pedang yang tergantung di punggung dengan buntalan pakaiannya. Rambutnya pun tidak seperti gadis pertama yang disanggul sederhana. Gadis kedua ini menyanggul rambutnya ke atas seperti model rambut para puteri bangsawan di kota!

   Mereka adalah Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong. Setelah keduanya berpisah dengan Pouw Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong mengambil keputusan untuk melanjutkan tugas Ceng Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung seperti dipesan mendiang ayahnya. Harta karun itu telah hilang dari tempat persembunyiannya, diambil orang yang meninggalkan huruf THAI SAN di peti yang telah kosong.

   Setelah mendayung perahu beberapa lamanya, mereka melihat gugusan pulau-pulau di depan. Ceng Ceng yang berbaju putih itu bertanya kepada Li Hong, gadis lincah yang telah mengangkat saudara dan kini menjadi adik angkatnya.

   "Hong-moi (Adik Hong), yang manakah pulau tempat tinggalmu? Aku melihat begitu banyak pulau di depan itu," kata Ceng Ceng sambil memandang ke arah gugusan pulau-pulau itu.

   "Aih, Enci Ceng, apakah engkau tidak dapat menduga? Hayo, aku uji kecerdikanmu. Coba terka yang mana yang Coa-to (Pulau Ular) tempat tinggal Ibuku. Masa engkau tidak dapat menebak? Bukankah engkau pernah bersama Giok-ko berkunjung ke pulau kami?"

   "Benar, akan tetapi ketika itu kami diantar seorang nelayan dan tidak memperhatikan keadaan seperti sekarang. Akan tetapi, kalau tidak keliru tebakanku, agaknya Pulau Ular itu yang terletak paling kanan itu, bukan?"

   "Wah, tebakanmu tepat, Enci Ceng! Bagaimana engkau dapat menebak begitu tepat?"

   "Mudah saja. Pulau itu berbeda bentuknya dengan pulau-pulau lainnya. Bentuknya memanjang dan berlekuk-lekuk seperti ular."

   "Benar sekali perkiraanmu, Enci Ceng. Pulau itu dinamai Pulau Ular oleh para nelayan karena bentuknya."

   "Akan tetapi di sana memang terdapat banyak ular. Bukankah kekayaannya akan ular itu yang membuatnya disebut Pulau Ular?"

   "Bukan. Sebelum Ibuku tinggal di sana, pulau itu sama dengan pulau kecil lainnya, tidak ada ularnya. Setelah Ibu mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, untuk menyesuaikan nama pulau itu dan juga untuk keperluan mengambil racunnya, Ibuku yang juga guruku itu membawa ribuan ular, di antaranya banyak yang berbisa, dan dilepas di pulau itu."

   Karena kini datang ke Coa-to bersama Li Hong, maka tentu saja dengan mudahnya mereka mendarat di Pulau Ular dan dapat mengambil jalan yang aman dari jebakan menuju ke perkampungan yang berada di tengah pulau.

   Setelah tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.

   Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak kepada orang tuanya! Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri!

   "Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak kami, Adikmu itu," kata Tan Kun Tek.

   Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng.

   "Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi."

   Ban-tok Niocu juga berkata,

   "Ceng Ceng, bangga sekali hatiku mendapatkan seorang anak seperti engkau!"

   Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak!

   Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum, mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama hampir satu tahun lamanya.

   Dengan gayanya yang lincah Li Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.

   "Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu. Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan! Li Hong cepat menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.

   "Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng Ceng lalu menyerahkan peta dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan sandera."

   "Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng!" Ibu Li Hong berseru terharu.

   "Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih sekali," kata Tan Kun Tek.

   "Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?" tanya Ban-tok Niocu kepada Li Hong.

   "Tempat di mana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong dan di dasar peti terdapat tulisan huruf THAI SAN. Giok-ko dan Enci Ceng Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat melarikan diri dari sarang mereka." Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.

   "Saya bertekad untuk mencari harta karun itu, ...... Ibu, dan Hong-moi hendak membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta karun itu." Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.

   "Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai
persilatan besar yang gagah perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk kebaikan!"

   "Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka. Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang," kata Li Hong.

   "Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI SAN itu di dalam peti karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya adalah seorang yang sombong. Tulisan itu seolah merupakan tantangan."

   "Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-san-pai yang mengambilnya," kata Tan Kun Tek.

   "Aku pun berpendapat begitu," kata Ban-tok Niocu.

   "Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai."

   "Huh, patut dicurigai orang itu!" kata Li Hong.

   "Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?" tanya Ceng Ceng.

   "Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka.

   Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat di mana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya di mana terdapat ketuanya yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)! Nah, yang empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya."

   "Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat!" kata Li Hong.

   "Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati, Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan mereka yang harus diwaspadai," kata Tan Kun Tek.

   "Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki banyak anak buah," kata Ban-tok Niocu.

   "Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat seperti itu, dapat berbahaya sekali."

   "Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan! Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh...... tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang...... dia telah pergi......"

   "Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu? Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu menandinginya."





HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 04



   "Ah, Ibu terlalu memuji saya," kata Ceng Ceng.

   "Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat mengaguminya itu?" tanya Tan Kun Tek.

   "Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi......" Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.

   "Akan tetapi apa, Li Hong?" tanya ayahnya.

   "Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar."

   "Keturunan keluarga Pouw? Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?" tanya Kun Tek dan tampaknya terkejut.

   Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab.

   "Benar sekali...... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang terkenal sekali dan tinggal di So-couw."

   "Akan tetapi...... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?"

   "Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah," kata Ceng Ceng tenang.

   "Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?" Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah Ceng Ceng penuh perhatian.

   "Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama ibunya Tan Bi Lian......"

   "Tidak mungkin""!!" Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua terkejut.

   "Ayah, apa artinya ini? Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang tua Giok-ko?"

   Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir mereka bertanya berbareng.

   "Apa artinya semua ini?"

   "Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In! Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas, mereka belum mempunyai anak."

   "Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau Ibu?" tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.

   Tan Kun Tek menghela napas.

   "Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian, telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kau dengar dari Pouw Cun Giok? Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?"

   "Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi ibunya ditolong oleh seorang pendekar......"

   "Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong? Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?" Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Pouw Cun Giok itu kakak misannya!

   "Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi...... ia meninggal ketika melahirkan dan puteranya itu adalah......"

   "Pouw Cun Giok! Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian! Aku mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)!" Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah dicintanya itu adalah kakak misannya.

   Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan bayangan duka menyelimuti wajahnya.

   "Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana selanjutnya."

   Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima itu.
Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru.

   "Terima kasih Tuhan! Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti Pouw Cun Giok!" Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib adiknya.

   "Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi! Kakak Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng saling mencinta""!"

   "Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

   "Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat, dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara!" Ban-tok Niocu tertawa.

   "Bagus sekali! Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu menjadi jodohmu, Ceng Ceng!" kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.

   "Akan tetapi, ......bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita? Mereka bersaudara misan......" Nyonya Tan ragu.

   "Mengapa tidak boleh? Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Cun Giok!"

   "Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira," kata Nyonya Tan.

   "Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini lagi karena...... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan."

   "Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku marah sekali dan menyerangnya! Karena itulah maka kami berdua berpisah darinya!" kata Li Hong cemberut.

   "Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok."

   Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi hormat dengan membungkuk.

   Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya!

   Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.

   "Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil ada kepentingan apakah?"

   "Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari Niocu."

   "Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol!" kata Li Hong yang sudah bangkit berdiri. Ibu atau gurunya mengangguk.

   "Mari kita lihat!"

   Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggl, tidak ikut dan berdiam di rumah saja.

   Setelah tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar, mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit Mongol.

   "Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu!" kata Tan Kun Tek.

   Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung cepat menuju ke tempat di mana perkelahian masih berlangsung seru.

   Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak. Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para perajurit berkumpul di sebuah perahu di mana pemuda itu dikeroyok sehingga kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol.

   Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan perahu agar jangan hanyut oleh ombak.

   Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil itu! Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya sudah terjungkal ke air laut!

   "Ah, dia terkena anak panah!" seru Li Hong.

   "Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya!" kata Tan Kun Tek yang mempunyai keahlian renang. Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li Hong dan Ceng Ceng.

   Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Ban-tok Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar. Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu roboh!

   Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.

   Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju pulau.

   Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.

   Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat tampan! Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun yang sederhana.

   Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan pemuda itu masih memegang pedangnya! Kini pedang itu oleh Kun Tek diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan untuk merampas senjata lawan.

   Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding! Akan tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.

   "Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu, mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air," kata Tan Kun Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang pemuda itu.

   "Ini pedangmu, terimalah."

   Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan menjatuhkan diri berlutut.

   "Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa. Banyak terima kasih saya haturkan......" Tiba-tiba dia terkulai dan terguling roboh. Pingsan!

   Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.

   "Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?" tanya Li Hong yang sejak tadi memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu tampan, dan gagah menarik sekali.

   "Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan nyawanya."

   Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng Ceng.

   "Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya."

   "Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun, melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya."

   Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan mereka.

   Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan di mana pemuda itu rebah telentang.

   Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.

   Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya terkandung logat asing yang aneh.

   "Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang menyelamatkan nyawaku." Dia memberi hormat sambil berlutut.

   Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang menerima penghormatan seorang manusia biasa.

   "Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa. Bangunlah dan bersikaplah wajar saja!"

   "Hi-hik, engkau memang benar, sobat! Ia memang seorang dewi yang berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati mulia!" Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.

   "Engkau sudah sembuh? Bagus, sekarang engkau harus menceritakan siapa namamu, di mana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok pasukan Mongol itu?" Li Hong menghujankan pertanyaannya.

   "Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah. Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong, membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.

   Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.

   "Di mana tamunya yang tidur di kamar ini?"

   "Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia keluar memasuki taman, Nona."
Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.

   "Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali." Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu Ceng Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.

   "Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali!" Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun bambu.

   Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam.

   "Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona."

   "Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu yang hebat!" kata Li Hong dengan gembira.

   "Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk dari Nona berdua," kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.

   Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu. Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang belum dikenalnya ini.

   "Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya sepagi ini sudah berada di ruangan depan," kata Ceng Ceng.

   Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung. Benar saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi. Tan Kun Tek bersama dua orang isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja di mana dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil.

   Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu mereka, Kun Tek berkata dengan gembira,

   "Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar!"

   Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan lembut.

   "Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan menyelamatkan saya."

   "Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi pasukan Mongol."

   Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.

   "Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan Mongol itu."

   "Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Lo-cianpwe yang gagah perkasa......"

   "Mengapa menyebut Lo-cianpwe? Ayahku akan lebih senang kalau engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?" kata Li Hong.

   "Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang dilakukan oleh para pembesar Mongol?"

   "Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun."

   "Aduh kasihan"' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang.

   "Lalu bagaimana selanjutnya? di mana orang tuamu?"

   "Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh dusun terbakar dan...... Ayah Ibu saya...... menjadi korban, tewas di tangan pasukan Mongol," kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.

   "Jahanam benar pasukan Mongol!" Li Hong berseru marah.

   "Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban!"

   "Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan ceritanya," kata Ceng Ceng.

   "Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena usia tua."

   "Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana asalmu."

   "Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet."

   "Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong.

   "Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing. Kiranya engkau berasal dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan Tibet," kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan dikeroyok pasukan Mongol!" tanya Ban-tok Niocu.

   Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya.

   "Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet. Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah ibu saya, tewas oleh pasukan Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar Mongol di mana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung. Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana. Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah. Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air......"

   "Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri," kata Ban-tok Niocu.

   "Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cu-wi (Anda Sekalian)." Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.

   Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu.

   "Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong. Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai. Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu itu, Yauw Tek?" kata Tan Kun Tek dengan ramah.

   "Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu."

   "Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong memuji. Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya.

   " Ayah dan ibu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali!"

   

   

   "Harta karun......??" Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.

   "Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?" tanya Li Hong.

   Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot, apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.

   "Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang dan merobohkan kekuasaan orang Mongol."

   "Ah, baik sekali itu!" seru Yauw Tek.

   "Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?"

   "Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng untuk mencari harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu."

   "Bu-eng-cu? Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan sedangkan Bu-beng-cu berarti Si Tanpa Nama," kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali mendengar cerita Li Hong.

   Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI SAN di dasar peti.

   "Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol. Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu kami berdua untuk mencari harta karun itu?"

   Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya.

   "Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi mengijinkannya."

   "Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan? Kalau Yauw-twako mau membantu kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu," kata Li Hong yang lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu.

   "Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya......?" Ia merengek manja. Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan Ibu kandungnya juga tidak keberatan.

   Ban-tok Niocu tersenyum.

   "Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Oleh karena itu, Yauw Tek ini baru ada gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah, Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?"

   Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li.

   "Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya."

   Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu, menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang menyenangkan dari seseorang.

   "Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?"

   "Saya siap, Bibi."

   "Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat)," kata Tan Kun Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan tempat latihan yang cukup luas.

   "Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan dia!" Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek maka dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.

   "Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako!" Li Hong mengajak pemuda itu dan ia sudah menuju ke tengah ruangan.
Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata.

   "Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan tangan maut."

   Li Hong tersenyum.

   "Bersiaplah, Twako." Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.

   "Twako, sambut seranganku!" Ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan kuat ke arah dada Yauw Tek.

   Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu menyentuhnya.

   Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang, lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat tinggi dan mengandung kekuatan besar.

   Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.

   "Haiiiittt......!" Kini ia menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang menangkisnya.

   "Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku!" Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.

   "Haiiiittt""!" Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan)! Gerakannya cepat sekali, tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru, kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan, pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan lawan. Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini.

   "Bagus!" Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti gasing! Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.

   "Silat Angin Puyuh!" Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari daerah barat, terutama dari Tibet!

   Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening!

   "Haiiitt......!" Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali.

   Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.

   "Plakk......!" Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek!

   Ia berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang, akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya! Betapa pun kuat usahanya untuk melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong sehingga mereka saling berhadapan lagi.

   "Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak mengalah," kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.

   Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek!

   "Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai sekali dan aku merasa kalah," kata Li Hong dan ia pun lari mendekati keluarganya dan duduk pula di atas bangku.

   "Bagus! Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (IImu Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu!" seru Ban-tok Niocu.

   "Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum!" kata pula Tan Kun Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.
"Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak petunjuk dari Paman sekalian," kata Yauw Tek merendah.

   "Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek!" kata Ban-tok Niocu dengan gembira.

   Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu sebagai pengganti pedang. Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.

   "Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako."

   Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia bertanya,

   "Ceng-moi, mana pedangmu? Mengapa engkau hanya membawa sebatang ranting kayu?"

   Ceng Ceng tersenyum,

   "Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang. Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan menggunakan ini sebagai pengganti pedang."

   Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki ilmu yang amat tinggi! Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang, lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.

   "Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu aku memeriksa ranting yang kaujadikan senjata itu?"

   "Eh? Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako? Kalau engkau ingin memeriksanya, boleh saja!" Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.

   "Crakk!!" Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan membujur! Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil tersenyum dan berkata,

   "Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing menggunakan sebatang ranting."

   Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil tersenyum.

   Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata,

   "Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twako. Mari kita bermain pedang dengan ranting ini!" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat.
Setelah Yauw Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main. Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah pertandingan adu ilmu pedang yang seru.

   Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan. Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).

   "Trik-trik-trikk......!" Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar!

   Makin lama pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke sana-sini.

   Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambar-nyambar ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan moncongnya.

   "Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli Bayangan Putih), lihat betapa cepat gerakannya!" kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.

   "Bocah she Yauw itu pun hebat," kata Gak Li atau Ban-tok Niocu.

   "Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti Menyabetkan Ekornya)."

   Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap keringat dari leher dan dahinya.

   Yauw Tek juga melompat ke depannya dan menjura.

   "Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum sekali. Aku mengaku kalah."

   Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata.

   "Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah. Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu."
Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil "mencuri" dan membuat pita rambut itu terlepas!

   Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah ibunya.

   "Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng! Dia pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?"

   Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang, walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat sekali.

   "Mari kita bicarakan hal ini di dalam," kata Tan Kun Tek dan mereka semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang bundar.

"Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas. Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah," kata Gak Li. Lalu ia menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thai-san seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu.

   Setelah mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw Tek berkata.

   "Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?"

   Gak Li menghela napas panjang.

   "Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI SAN dalam peti harta. Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan, sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar, siapa orangnya."

   Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokoh-tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.

   Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat menghadapi penyerbuan dari luar.

   Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san. Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.

   Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak misannya itu!

   Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal. Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas kursi yang diukir dengan kepala singa.

   Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak mengatakan bahwa dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya!

   Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa tanding pula!

   Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.

   Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi pembesar Mongol.

   Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia saling mengagumi ilmu silat masing-masing.

   Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.

   

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 05



   "Benarkah laporanmu itu? Hayo coba ulangi!" kata datuk itu sambil meraba-raba jenggotnya.

   Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan tawanan itu!

   "Sumoi ( Adik Seperguruan ) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid)."

   "Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu? Membela orang luar dan menentang ayahnya sendiri?"

   "Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang. Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar, mencari dan menangkapnya." Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih membujuk.

   "Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan segera pernikahan kami? Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya."

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk lemah dan pandang matanya tampak ragu.

   "Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu......" Dia lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.

   "Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan, minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu."

   Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja.

   Setelah muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya. Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika usianya hampir empatpuluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya. Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.

   Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selir-selirnya, bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi anak buahnya di Bukit Merak.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok, suhengnya sendiri.

   Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin. Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak disetujui Ai Yin.

   Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di samping membunuh banyak perajurit. Pemuda itu adalah seorang pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan dan dihormati.

   Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia. Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya Cu Ai Yin seorang dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan mencari puterinya, akan tetapi ke mana? Anaknya pergi tanpa pamit dan dia tidak dapat menduganya ke mana anaknya pergi.

   Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya.

   Pada suatu hari dia memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka.

   "Kalian berempat jagalah rumah baik-baik, Aku akan pergi meninggalkan Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul di sini."

   Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar peraturan.

   Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan seorang anak buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil berlari-lari datang ke ruangan depan gedung di mana para anak buah berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.

   "Thai-ya (Tuan Besar)...... Siocia (Nona) telah pulang!"

   Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu.

   Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.

   "Anak nakal!" Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega.

   "Ke mana saja engkau pergi? Hayo kita bicara di dalam!"

   Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.

   Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalau-kalau puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka duduk, dia bertanya.

   "Ai Yin, ke mana saja engkau pergi selama ini?"

   Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin menjawab,

   "Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah Bukit Merak. Aku pergi merantau."

   "Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?"

   "Maafkan aku, Ayah......" Ai Yin merengek.

   "Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada Ayahmu?"

   "Karena aku...... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah."

   "Eh? Marah dan jengkel? Kepadaku? Mengapa?"

   "Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng......"

   "Hemm, siapa yang memaksa? Aku hanya ingin engkau menjadi isteri bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek? Dia seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab."

   "Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?"

   "Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai lengan Suhengmu sendiri? Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun Giok mati-matian?"

   Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk "Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu kepada Ayah, bukan? Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang yang curang dan pembohong besar!"

   "Eh? Apa maksudmu, Ai Yin? Engkau malah memaki dia curang dan pembohong besar?"

   "Ayah, Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya. Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah mencampuri urusan mereka dan membela Suheng."

   "Tentu saja!" bantah Cu Liong.

   "Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?"

   "Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh Panglima Kong Tek Kok! Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu? Kemudian ketika diserang Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau, tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng! Dia tidak mau mengaitkan Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja. Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia merasa telah ditolong Ayah maka tidak mau membantah dan menentang kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?"

   Cu Liong mengangguk-angguk.

   "Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela Cun Giok' mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?"

   "Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah! Ayah telah dikelabuhi kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah. Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri sendiri! Jelas dia di sini mengalah dan mau ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti, mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami berdua melakukan perlawanan dan aku melukai, lengan Suheng. Kalau aku tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan, melainkan memenggal lehernya! Akhirnya dia melarikan diri bersama pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah." Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak! Melihat puterinya menangis, Bu-tek Sin-liong merangkulnya.

   "Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan memarahinya!"

   "Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin mengambil dia sebagai mantu?" tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.

   "Hemm, untuk itu...... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan memaksamu."

   "Ah, terima kasih, Ayah! Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun Giok memang benar sekali!"

   "Eh? Cun Giok benar sekali? Apa maksudmu?"

   "Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar mereka dan membunuh dua orang di antara mereka akan tetapi yang seorang dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu, tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai."

   "Ah......! Keparat pasukan itu! Lalu bagaimana, Ai Yin?"

   "Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut dan mengobati luka di punggungku."

   "Bagus, siapa orang itu?"

   "Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah."

   "Ahh! Dia? Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau juga menyelamatkan nyawanya."

   "Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek, Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu, Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka."

   Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum.

   "Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?"

   Wajah gadis itu menjadi kemerahan.

   "Aku...... aku mana tahu, Ayah? Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi tentang hal itu, aku...... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?"

   "Hemm, apakah engkau mencintanya?"

   Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum menjawab.

   "Ini...... aku pun tidak tahu, Ayah! Dia memang baik sekali dan aku kagum padanya, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana."

   "Ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu. Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok."

   "Ih, Ayah! Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu! Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarlk mendengarnya."

   "Berita tentang apa, Ai Yin?"

   "Tentang Harta Karun Kerajaan Sung!"

   "Harta karun Kerajaan Sung? Apa itu dan bagaimana ceritanya?" Bu-tek Sin-long tertarik sekali.

   Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan, harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan huruf THAI SAN.

   "Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim (Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum sesat) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari pencuri harta dan merebutnya."

   "Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?"

   "Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawan-kawannya dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya telah lenyap, tinggal peti kosong di mana terdapat tulisan THAI SAN."

   "Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku sudah cukup."

   "Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun, berarti dialah yang paling kuat!"

   Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik.

   "Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?"

   "Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan mungkin juga Suheng Kong Sek dan mereka ini berusaha mendapatkan harta karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan kekuasaan penjajah Mongol."

   Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik.

   "Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin? Apakah engkau juga ingin mencari harta itu?"

   "Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali, Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan aman?"

   "Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun Giok?" tanya Sang Ayah.

   "Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku akan membantunya memperebutkan harta itu."

   "Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang? Bukankah kita ini orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?"

   "Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku akan membantu Ayah."

   "Baik, kita pergi ke Thai-san!" akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding)! Ai Yin gembira sekali mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.

   
Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thai-san memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya, pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur, namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thai-san-pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat, utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.

   Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini, karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian (Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya, baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api!

   Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang. Mereka tinggal di sebuah perkampungan bersama keluarga para anak buahnya dan Huo Lo-sian sendiri tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan dapat tinggal bersama seorang seperti dia.

   Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat keluar dari situ dengan selamat!

   Adapun tokoh yang menguasai bagian Utara pegunungan itu adalah sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko (Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang, juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh, putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya. Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.

   Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut Bukit Merah, maka bagian Utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko inl dlkenal dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang.

   Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar, bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san. Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar limapuluh lima tahun yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal kurang lebih seratus orang murid atau anggautanya.

   Perkumpulan ini dahulunya juga merupakan perkumpulan orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kui-tung Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.

   Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar.

   Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio (Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, dipimpin oleh para tosu (Pendeta Agama To).

   Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga saktinya.

   Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya (sepasang pedang nya). Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adik-adik seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi. Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan) mereka.

   Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan, namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama, yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu. Sungguhpun semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.

   Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda. Namun, biarpun cara atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama, biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.

   Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng, bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang aseli! Masing-masing memperebutkan Kebenaran, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sudah tidak benar lagi.

   Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu. Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.

   Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali terjadi perang di antara mereka.

   Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki watak jahat.

   Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang dicurigai mencuri harta karun. Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.

   Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-san-pai, tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka, minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun itu ke Thai-san.

   Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas, Kui Lin berkata dengan alis berkerut.

   "Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu? Untuk menjelajahi pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan dapat selesai!"

   "Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi," kata Cun Giok.

   "Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thai-san-pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauw-lim-pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-pai yang terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan dari mereka."

   "Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai, Giok-ko!" kata Kui Lan.

   Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan karena semua orang di daerah itu tahu belaka di mana adanya markas Thai-san-pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu.

   Demikianlah, pagi hari itu, Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin mendaki bukit yang menjadi asrama Thai-san-pai. Keindahan pemandangan alam di sekeliling mereka ketika mereka mendaki bukit di pagi hari itu membuat mereka berjalan dengan santai sambil menikmati keindahan panorama sepuas hati. Kui Lin yang berwatak riang dan lincah itu berulang-ulang mengeluarkan seruan kagum memuji keindahan itu.

   Setelah tiba di lereng paling tinggi, mereka bertiga memandang takjub. Bukan main luasnya pegunungan itu. Puncak-puncak bukit menjulang di sekelilingnya dan mereka merasa betapa di setiap bukit itu mungkin saja menjadi kediaman si pencuri harta karun! Akan tetapi yang mana? Benar Kui Lin tadi, kalau harus dikunjungi satu demi satu, mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun!

   Akhirnya mereka itu tiba di depan perkampungan Thai-san-pai. Terdapat sebuah gapura besar dan di atas gapura terdapat papan nama THAI-SAN-PAI yang ditulis dengan huruf-huruf besar yang gagah dan indah.

   Tiba-tiba dari dalam gapura itu berloncatan tujuh orang laki-laki yang memegang pedang terhunus. Mereka adalah anak murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan dua orang gadis mendaki puncak, mereka bersembunyi di balik gapura dan mengintai gerak-gerik mereka. Melihat tiga orang pengunjung itu tampak santai dan tidak menimbulkan kesan mencurigakan, setelah Cun Giok dan dua orang gadis kembar tiba di depan gapura, mereka bertujuh berlompatan keluar dan menghadang di depan tiga orang pengunjung itu.

   "Berhenti!" Seorang di antara mereka yang paling tua, berusia sekitar empatpuluh tahun, menegur dengan suara lantang.

   "Kalian bertiga melanggar wilayah Thai-san-pai! Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke tempat kami?"

   Sikap tujuh orang yang memandang penuh kecurigaan itu membuat Kui Lin merasa jengkel.

   "Uih, Giok-ko, apakah mereka ini murid-murid Thai-san-pai yang kaubilang terdiri dari para pendekar? Sikapnya lebih mendekati penjahat daripada pendekar!"

   Biasanya, kalau atasan bersikap keras kepada bawahannya, maka si bawahan itupun bersikap keras kepada yang lebih rendah kedudukannya, dan yang paling bawah tentu bersikap keras pula kepada orang lain. Tujuh orang murid atau anak buah Thai-san-pai ini pun demikian. Karena sudah terbiasa menghadapi sikap keras dari atasan mereka, kini mereka pun memuntahkan sikap keras mereka terhadap orang lain.

   

   
"Kami adalah murid-murid Thai-san-pai yang gagah, dan kalian bertiga tentulah orang-orang yang tidak mempunyai niat baik. Maka, menyerahlah kalian untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami!" hardik kepala regu penjaga itu. Dia memandang dengan mata melotot dan tujuh orang murid itu melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri mereka bertolak pinggang.

   Kui Lin yang lincah dan galak itu bertolak pinggang dengan kedua tangannya, melangkah maju dengan sikap menantang dan berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Apa? Tikus-tikus macam kalian ini hendak menangkap kami? Tidak usah menangkap kami bertiga, kalian coba tangkap aku saja, kalau kalian berhasil baru kalian patut menjadi murid-murid Thai-san-pai!" Tantangan dengan sikap mengejek dan merendahkan ini tentu saja membuat tujuh orang murid Thai-san-pai itu marah sekali.

   "Tangkap gadis sombong ini!" teriak kepala regu itu dan tujuh orang murid Thai-san-pai itu bergerak maju setelah menyimpan pedang masing-masing. Tangan-tangan mereka meluncur seolah berebutan untuk dapat menangkap gadis yang tertawa-tawa mengejek itu.

   "Lin-moi, jangan lukai orang!" seru Kui Lan yang khawatir kalau-kalau adiknya melukai dan membunuh orang. Padahal mereka datang berkunjung ke Thai-san-pai bukan dengan niat bermusuhan.

   Biarpun wataknya keras, namun Kui Lin bukan seorang gadis kejam dan dia selalu taat kepada kakak kembarnya. Maka, ketika tujuh orang itu menyerbu, ia pun mengandalkan kelincahan gerakannya, mengerahkan gin-kang dan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya. Jari-jari tangannya yang lembut dan kecil runcing itu pun menotok ke kanan kiri dan tubuh tujuh orang murid Thai-san-pai itu pun berpelantingan roboh dan tidak dapat berkutik pula karena jalan darah mereka tertotok sehingga tubuh mereka lemas tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki lagi!

   Kui Lin mengusap-usap dan mengebut-ngebutkan kedua telapak tangannya seolah hendak membersihkan bekas sentuhan tangannya kepada tubuh tujuh orang pengeroyok itu.

   Tiba-tiba terdengar seruan "Siancai......!" dan tampak bayangan lima orang berkelebat. Tahu-tahu di situ muncul lima orang berpakaian tosu (Pendeta To) yang masing-masing mempunyai pedang di punggung mereka. Seorang di antara mereka yang paling tua, usianya sekitar limapuluh dua tahun, berjenggot panjang dan rambutnya diikat ke atas dengan sehelai pita putih, memandang ke arah tiga orang muda itu, lalu memandang kepada tujuh orang murid yang rebah tanpa luka namun tidak mampu bergerak itu. Dia lalu menghampiri para murid dan jari tangannya menotok mereka satu demi satu. Tujuh orang murid itu dapat bangkit berdiri dan dengan suara ribut mereka berkata.

   "Suhu, gadis liar ini......"

   Tosu itu membentak dengan suara tegas.

   "Kalian mundur! Bikin malu saja!" Mendapatkan bentakan ini, tujuh orang murid itu pun mundur dengan patuh setelah membungkuk dengan hormat.

   Kui Lin terkekeh senang.

   "Nah, bagus! Murid-murid kurang ajar harus mendapatkan teguran keras!"

   Tosu itu adalah Song Bu Tosu, orang pertama dari Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Kui Lin yang masih tersenyum.

   "Nona, engkaukah yang menghina murid-murid kami dan menotok mereka?"

   Sebelum Kui Lin menjawab, Cun Giok yang tidak ingin gadis lincah galak itu memperburuk keadaan dengan sikapnya yang keras, cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat.

   "To-tiang (Bapak Pendeta), harap maafkan kelancangan Adik kami. Kami datang tidak dengan niat buruk, melainkan hendak menghadap Lo-cianpwe Thai-san Sianjin. Akan tetapi tujuh orang murid tadi bersikeras hendak menangkap kami sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Adik kami ini. Maafkan kami, To-tiang dan perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."

   Song Bu Tosu yang tadinya marah kepada Kui Lin, menjadi agak reda kemarahannya melihat sikap dan kata-kata Cun Giok yang lembut dan sopan.

   "Orang muda, kalian bertiga ini siapakah dan apa keperluan kalian ingin bicara dengan Ketua Thai-san-pai?"

   "Perkenalkan, To-tiang, saya bernama Pouw Cun Giok......"

   "Siapa gurumu?" Song Bu Tosu memotong, seolah nama pemuda itu tidak ada artinya baginya, maka dia menanyakan gurunya.

   "Suhu adalah mendiang Suma Tiang Bun, kemudian Kakek Guru saya Pek-kong Lojin membimbing saya."

   Mendengar nama dua orang tokoh itu, lima orang tosu itu agak terkejut juga.

   "Hemm, siapa tidak mengenal nama besar Suma Tiang Bun, pendekar pahlawan bangsa murid Siauw-lim-pai itu? Sayang sungguh sayang, sekarang Siauw-lim-pai bukan lagi perkumpulan pahlawan bangsa, melainkan penjilat bangsa Mongol! Siapa dua orang gadis kembar ini? Apakah juga murid-murid Siauw-lim-pai?"

   "Kami bukan murid Siauw-lim-pai!" Kui Lin berseru.

   "Kami adalah puteri Ibu kami yang menjadi majikan Lembah Seribu Bunga!"

   Mendengar ini, lima orang tosu itu saling pandang dan mereka merasa terkejut. Mereka sudah pernah mendengar tentang Lembah Seribu Bunga yang kabarnya merupakan tempat yang amat gawat, tempat yang amat sukar didatangi karena mengandung banyak alat rahasia dan jebakan berbahaya. Juga mereka mendengar bahwa majikan Lembah Seribu Bunga yang disebut The Toanio adalah seorang wanita aneh yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi.

   "To-tiang, sekali lagi kami bertiga mohon maaf atas kelancangan kami berkunjung ke Thai-san-pai dan mohon Totiang memberi kesempatan kepada kami untuk bertemu dan menghadap Ketua Thai-san-pai," kata Cun Giok.

   "Siancai! Suheng kami Ketua Thai-san-pai tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan sembarang orang. Akan tetapi mendengar bahwa kalian bertiga adalah murid-murid orang pandai, kami hendak menguji kebenaran keterangan kalian."

   Tosu itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

   "Kalau engkau sebagai wakil kalian bertiga mampu menandingi ilmu pedang pinto (aku) selama lebih dari tigapuluh jurus, maka kalian cukup berharga untuk menghadap Ketua Thai-san-pai."

   "Giok-ko, biarkan aku yang maju menandinginya!" kata Kui Lin.

   "Lin-moi, biar aku yang mewakili kalian," kata Cun Giok.

   "Giok-ko, aku tidak takut padanya!" kata Kui Lin.

   "Lin-moi, jangan mencampuri. Biarkan Giok-ko yang mengambil keputusan!" kata Kui Lan menegur adiknya dan Kui Lin tidak membantah lagi, hanya memandang kepada lima tosu itu dengan mulut diruncingkan, cemberut.

   Cun Giok menjura kepada Song Bu Tosu.

   "Totiang, kami datang berkunjung bukan untuk menguji kepandaian. Kami percaya sepenuhnya bahwa ilmu pedang Totiang berlima pasti amat tinggi dan lihai. Kami tidak berani main-main dan harap Totiang perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."

   "Tidak bisa, kalau kalian tidak mau diuji tingkat kepandaian kalian atau seorang di antara kalian, maka terpaksa kami tidak dapat mengijinkan kalian memasuki markas kami."

   Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa lima orang tosu itu agaknya berwatak keras dan seperti kebanyakan ahli silat, selalu haus untuk menguji kepandaian dengan orang lain.

   "Baiklah, Totiang, saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi harap Totiang menaruh hati kasihan kepada saya yang bodoh." Setelah berkata demikian, dengan perlahan Cun Giok mencabut pedangnya dan tampaklah sinar keemasan ketika pedang Kim-kong-kiam berada di tangannya.

   "Kim-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Emas)?" kata Song Bu Tosu sambil memandang pedang di tangan Cun Giok dengan mata terbelalak.

   "Benar, Totiang. Pedang ini pemberian mendiang Suhu Suma Tiang Bun," jawab Cun Giok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

   Biarpun kaget melihat Kim-kong-kiam, Song Bu Tosu tentu saja tidak merasa gentar karena melihat bahwa calon lawannya itu masih amat muda usia sehingga betapapun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun! Dia membuat gerakan perlahan mengatur pasangan kuda-kuda ilmu pedang Thai-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang Thian-san), pedangnya menjulur lurus ke depan menyambung pundak dan dua jari tangan kirinya menunjuk ke atas.

   "Orang muda, bersiaplah dan coba tahan seranganku."

   "Saya sudah siap, Totiang. Harap Totiang tidak terlalu mendesak."

   "Sambutlah, hiaaaattt""!" Tosu itu menggerakkan tubuhnya dan pedangnya berubah menjadi sinar yang gemilang menyambar ke arah leher Cun Giok dengan jurus San-jin-sia-houw (Orang Gunung Menahan Harimau).

   Cun Giok maklum bahwa lawannya seorang ahli pedang yang amat tangguh, maka dia pun cepat memutar tubuh ke samping sambil mengelebatkan pedangnya untuk menangkis. Tentu saja dia membatasi tenaganya karena dia sadar akan keampuhan Kim-kong-kiam dan tidak ingin merusak pedang tosu itu.

   "Tranggg""!" Bunga api berpijar dan merasa betapa tangannya tergetar, Song Bu Tosu melangkah ke belakang untuk memeriksa pedangnya. Bagaimanapun juga, melihat Kim-kong-kiam tadi, dia merasa khawatir kalau pedangnya rusak walaupun pedangnya itu juga sebatang pedang pusaka yang ampuh. Melihat pedangnya masih utuh tidak rusak sama sekali, tosu itu berbesar hati dan mengira bahwa lawannya tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya akan tetapi pedangnya tidak sampai rusak. Nama besar Kim-kong-kiam itu agaknya hanya kosong belaka.

   "Hiaaattt""!" Dia menyerang lagi dengan jurus Cap-sha-kiam-ci-tian (Tigabelas Pedang Mengeluarkan Kilat). Ini merupakan jurus ampuh dari Thai-san Kiam-hoat. Merupakan serangan berantai yang kesemuanya terdiri dari tigabelas jurus serangan pedang yang susul menyusul dan amat sukar bagi lawan untuk dapat membebaskan diri dari serangan berantai susul menyusul yang amat cepat ini.

   Cun Giok membela diri dengan mengelak, berlompatan ke sana-sini, bahkan terkadang harus bergulingan dan ada kalanya pedangnya menangkis. Rangkaian serangan itu datang seperti hujan, seolah olah pedang di tangan tosu itu telah berubah menjadi tigabelas batang pedang yang menyambar-nyambar seperti kilat.

   Bukan main heran dan penasaran rasa hati tosu itu setelah tigabelas jurus serangannya sama sekali tidak mengenai tubuh lawan, dan semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya, namun semua hasilnya sia-sia belaka. Karena pemuda itu hanya mengelak dan menangkis, sama sekali tidak pernah membalas, dia merasa penasaran dan juga marah karena sikap pemuda itu seperti mempermainkan atau memandang rendah padanya. Maka, sambil mempercepat serangannya, dia berseru.

   "Orang muda, balaslah seranganku!" Tadinya dia mengira bahwa Cun Giok tidak mampu membalas karena terdesak olehnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangannya. Akan tetapi kini dia mulai menyadari bahwa pemuda itu mengalah dan tidak mau membalas. Hal ini membuat dia penasaran sekali.

   Kini Song Bu Tosu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu Sin-kiam-toat-beng (Pedang Sakti Pencabut Nyawa), yaitu ilmu pedang yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Yang menguasai ilmu pedang ini hanyalah Sang Ketua dan lima orang sutenya ini. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat ilmu pedang ini yang merupakan ilmu pedang simpanan dari para pimpinan Thai-san-pai dan hanya kalau keadaan amat mendesak, baru ilmu ini dikeluarkan. Agaknya, Song Bu Tosu yang berwatak keras itu lupa bahwa dia hanya ingin menguji kepandaian Cun Giok. Baginya, karena sejak tadi serangannya gagal, dia merasa dipermalukan kalau tidak mampu mengalahkan pemuda itu.

   Ketika dia mainkan ilmu pedang ini, terdengar suara berdesingan, dan angin gerakan pedang itu menyambar-nyambar, pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar putih yang melingkar-lingkar. Sepasang gadis kembar itu sampai merasa khawatir, bahkan Kui Lin yang biasanya tak kenal takut dan galak itu kini diam dan hanya memandang dengan mata terbelalak, demikian pula Kui Lan.

   Empat orang tosu itu pun terbelalak, bukan karena kehebatan ilmu pedang Song Bu Tosu yang juga mereka kuasai itu, melainkan karena kini tampak pemandangan yang luar biasa dalam pertandingan ilmu pedang itu. Tiba-tiba saja bayangan Cun Giok lenyap sama sekali dan yang ada hanya sinar kuning emas yang bergulung-gulung mengelilingi Song Bu Tosu dan gerakan pedangnya. Gulungan sinar pedang putih dari tosu itu makin lama semakin mengecil dan menciut, seolah terdesak dari luar oleh sinar kuning emas yang berputar mengelilinginya! Setelah beberapa lama saat lamanya, terdengar seruan Song Bu Tosu.

   "Siancai......! Cukup sudah......!" Bayangannya melompat jauh ke belakang dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan, lalu dimasukkannya pedangnya itu kembali ke sarung pedang di punggungnya. Gulungan sinar kuning emas itu pun lenyap dan tahu-tahu Cun Giok sudah berdiri di depan Song Bu Tosu dengan pedang sudah disimpannya kembali.

Kini Song Bu Tosu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Dia tadi kehilangan lawannya dan menjadi bingung, juga khawatir. Kalau lawannya menyerangnya, maka amat berbahaya baginya. Akan tetapi pemuda itu tidak menyerangnya sehingga dia melompat keluar dari medan perkelahian karena merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia pasti akan kalah.

   "Pouw-sicu (Orang Gagah Pouw), ilmu pedangmu sungguh luar biasa sekali!" katanya dengan nada suara sungguh-sungguh.

   "Totiang telah banyak mengalah. Terima kasih atas petunjuk Totiang," kata Cun Giok merendah.

   "Hemm, sekarang baru tahu akan kelihaian Bu-eng-cu!" kata Kui Lin dengan lantang.

   Mendengar disebutnya julukan ini, Song Bu Tosu membelalakkan matanya.

   "Ah, jadi engkaukah Bu-eng-cu yang menggemparkan kota raja itu?"

   "Tentu saja Giok-ko adalah Bu-eng-cu!" kata Kui Lin.

   "Sekarang bagaimana? Bolehkah kami bertemu Ketua Thai-san-pai ataukah kami enci adik juga akan kau uji?"

   Kini tahulah lima orang tosu itu bahwa tiga orang muda yang datang ini memang benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan mereka tidak ragu lagi bahwa dua orang gadis kembar itu juga benar-benar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Mereka kini bersikap lain dan Song Bu Tosu menghela napas panjang.

   "Pouw-sicu dan Ji-wi The-siocia (Kedua Nona The), apakah kedatangan kalian ini ada hubungannya dengan harta karun Kerajaan Sung yang ramai dibicarakan itu?"

   "Hei! Bagaimana Totiang tahu?" Kui Lin bertanya heran.

   "Berita itu kami dengar dibicarakan ramai di dunia kang-ouw, kabarnya harta karun itu dicuri orang yang bertempat tinggal di Thai-san-pai. Keadaan yang tidak menentu ini, yang mungkin membuat sebagian orang menduga bahwa kami yang menjadi pencurinya, membuat kami mencurigai siapa saja yang datang ke sini. Karena itu ketika kalian muncul, tentu saja kami menaruh curiga. Sekarang kami percaya bahwa engkau adalah Bu-eng-cu dan dua orang Nona ini puteri-puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Maka, marilah kalian kami antarkan menghadap Suheng Thai-san Sianjin."

   Mereka lalu memasuki perkampungan Thai-san-pai yang terdiri dari sebuah kuil besar dan beberapa bangunan kecil. Thai-san Sianjin, ketua Thai-san-pai yang tinggal di kuil itu menerima mereka dalam sebuah bangunan tanpa dinding yang berada di tengah sebuah taman. Ketua itu bersama lima orang sutenya mempersilakan Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin duduk dalam ruangan tanpa dinding yang kecil namun indah itu. Udara amat sejuknya dan keharuman bunga di taman itu menyambut mereka.

   Ketika Cun Giok bertiga memberi hormat kepada Thai-san Sianjin dan diperkenalkan oleh Song Bu Tosu, Thai-san Sianjin Thio Kong tersenyum mengangguk-angguk sambil merangkap kedua telapak tangan depan dada sebagai sambutan penghormatan.

   "Siancai......!" Dia berseru gembira.

   "Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali bagi Thai-san-pai dapat menyambut kunjungan murid Suma Tiang Bun dan Pek-kong Lojin, juga dua orang puteri Nyonya The dari Lembah Seribu Bunga. Duduklah, Pouw-sicu dan kalian juga, dua orang Nona, dan ceritakan apa keperluan kalian bertiga datang berkunjung ke Thai-san-pai dan ingin berjumpa dengan pinto (saya)."

   "Maafkan kami bertiga yang telah mengganggu ketenangan di sini, Lo-cianpwe. Terus terang saja kunjungan kami bertiga ini ada hubungannya dengan hilangnya harta karun Kejaraan Sung. Kami bertiga bertugas untuk mencarinya......"

   "Siancai......!" Ketua Thai-san-pai itu memotong sambil mengerutkan alisnya yang sudah beruban.

   "Berita yang menggemparkan itu sudah pinto dengar. Akan tetapi, apakah kalian tiga orang-orang muda ini mempunyai dugaan bahwa kami yang mencuri harta karun itu?" Suaranya mengandung penasaran karena kalau Thai-san-pai dituduh mencuri, hal itu sungguh merupakan penghinaan!

   "Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Justeru kedatangan kami menghadap Lo-cianpwe adalah untuk mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya pencuri yang berani mengambil harta karun yang menjadi hak para pejuang untuk membela tanah air dari penjajahan bangsa Mongol," kata Cun Giok.

   "Siancai, pinto tidak berani sembarangan menyangka seseorang sebelum mendengar bagaimana terjadinya pencurian itu, dan siapa yang memiliki peta harta karun sehingga jelas siapa yang berhak. Akan tetapi, besar kemungkinan yang merampas atau mencurinya tentulah pihak Pemerintah Mongol."

   "Saya kira bukan, Lo-cianpwe, karena mereka pun masih mencari."

   Cun Giok lalu menceritakan betapa dahulu Thaikam Bong dari Kerajaan Sung korup mencuri harta itu dari istana Sung dan menyembunyikan harta karun itu lalu membuat sehelai peta. Ketika mendiang Panglima Sung Liu Bok Eng membasminya, Liu Bok Eng mendapatkan peta itu dan sebelum dia dibunuh para panglima Mongol, dia meninggalkan peta itu kepada puterinya, yaitu Liu Ceng Ceng. Kemudian dia menceritakan dengan singkat betapa Liu Ceng Ceng, dia dan seorang gadis lain tertawan oleh Panglima Mongol Kim Bayan dan terpaksa mereka bertiga menyerahkan peta dan bahkan membantu panglima itu mencari harta karun. Harta karun itu akhirnya ditemukan, berada di Bukit Sorga di dekat kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.

   "Demikianlah, Lo-cianpwe. Tempat harta karun dapat ditemukan akan tetapi ketika digali, yang ada hanya peti harta yang sudah kosong dan di dalamnya terdapat tulisan THAI SAN. Maka, jelaslah bahwa pencuri itu bukan Pemerintah Mongol, kemungkinan besar pencurinya bertempat tinggal di Thai-san. Maka kami mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya yang patut dicurigai."

   Mendengar cerita Cun Giok tadi, Ketua Thai-san-pai dan lima orang sutenya saling pandang dan kini Thai-san Sianjin menghela napas panjang.

   "Siancai......! Panglima Kim Bayan itu dibantu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, sepasang iblis yang sakti dan amat jahat itu? Wah, kalau bukan Pemerintah Mongol yang mengambilnya, tentu dicuri orang yang berilmu tinggi! Akan tetapi mungkinkah ada pencuri yang mengakui tempat tinggalnya? Pinto kira pencuri harta karun yang amat berharga itu bukan orang yang demikian tololnya untuk memberitahukan tempat tinggalnya. Siapa tahu hal itu hanya untuk menyesatkan para pencarinya dan untuk menghilangkan jejaknya, Pouw-sicu."

   "Memang kami juga sudah memikirkan kemungkinan itu, Lo-cianpwe. Akan tetapi karena kami tidak tahu harus mencari ke mana, maka terpaksa kami melakukan penyelidikan ke Thai-san, siapa tahu pencuri itu memang seorang yang amat sombong sehingga dia berani menentang siapa saja yang hendak merampas harta karun dari tangannya."

   "Pouw-sicu dan The-siocia berdua, Thai-san-pai sejak dulu membenci penjajah Mongol. Tentu saja kami tidak dapat berbuat apa-apa karena apa artinya kekuatan kami yang hanya kurang lebih seratus orang dibandingkan balatentara mereka yang ratusan ribu jumlahnya. Akan tetapi, kalau ada usaha perjuangan menentang mereka, kami pasti akan mendukung dan membantu. Kami siap membantu kalian yang hendak mencari pencuri itu dan merampas kembali harta karun Kerajaan Sung yang sepatutnya diserahkan kepada para pejuang untuk membiayai perjuangan mereka mengusir penjajah Mongol dari tanah air."


HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 06




   "Bagus sekali!" Kui Lin berseru gembira.

   "Sekarang baru aku percaya bahwa Thai-san-pai adalah perkumpulan para pendekar!"

   "Lo-cianpwe, terima kasih atas kesiapan Thai-san-pai untuk membantu agar harta karun itu dapat dirampas kembali dan diserahkan kepada yang berhak. Sekarang kami mohon petunjuk, siapakah kiranya tokoh di daerah pegunungan ini yang pantas dicurigai."

   "Memang ada beberapa tokoh dari berbagai golongan yang bertempat tinggal di daerah pegunungan Thai-san ini. Akan tetapi, untuk menduga siapa yang kiranya mencuri harta karun itu, memang sukar. Huo Lo-sian (Dewa Api) yang tinggal di Bukit Merah sebelah Barat pegunungan ini memang merupakan datuk sesat. Akan tetapi dia seorang yang kaya raya sehingga meragukan juga kalau menyangka dia yang melakukan pencurian itu."

   "Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko (Sepasang Iblis Hitam Putih) itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lin.

   "Siancai, agaknya kalian sudah menyelidiki tentang tokoh-tokoh yang berada di pegunungan ini!" kata Ketua Thai-san-pai itu.

   "Sepasang Iblis Hitam Putih itu memang dapat digolongkan tokoh sesat juga. Mereka ganas, kejam, dan tinggal di Bukit Batu sebelah Utara pegunungan. Akan tetapi entahlah, apakah mereka berdua dengan anak buah mereka yang sekitar limapuluh orang banyaknya itu mencuri harta pusaka Kerajaan Sung. Mereka memang terkenal suka memaksakan kehendak sendiri dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan, akan tetapi pinto belum pernah mendengar mereka melakukan pencurian."

   "Dan Ang-tung Kai-pang itu bagaimana, Lo-cianpwe?" tanya Pouw Cun Giok.

   "Mereka itu golongan pengemis dan biasanya mereka itu membenci pencurian. Selain itu, biasanya mereka pun tidak suka kepada Pemerintah Penjajah Mongol. Ketuanya, Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) merupakan kenalan baik dari kami dan sukar menuduh mereka melakukan pencurian."

   "Selain mereka itu, apakah masih ada tokoh lain, Lo-cianpwe?"

   Ketua Thai-san-pai mengangguk-angguk.

   "Thai-san ini amatlah luasnya, Sicu dan terdapat banyak tempat yang sunyi dan baik sekali bagi mereka yang ingin mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa. Tentu banyak pertapa di daerah ini yang tidak mau mencampuri urusan dunia dan bukan mustahil kalau di antara mereka itu terdapat banyak orang-orang sakti. Sebaiknya sekarang kalian bertiga mengaso dulu. Pinto melihat kedua orang Nona ini sudah tampak kelelahan." Ketua Thai-san-pai lalu menoleh kepada Song Bu Tosu dan berkata.

   "Sute, ajaklah kedua orang Nona ini ke dalam dan suruh beberapa orang anggauta wanita menyiapkan kamar untuk mereka."

   Song Bu Tosu mengangguk, lalu dia bangkit berdiri dan berkata kepada sepasang gadis kembar itu dengan sikap hormat.

   "Marilah, Nona-nona, pinto antar ke bangunan samping yang memang menjadi bangunan untuk tamu yang kami hormati."

   Sepasang gadis kembar itu memandang kepada Cun Giok dan pemuda itu mengangguk.

   "Sebaiknya kalau kalian beristirahat, Lan-moi dan Lin-moi."

   Dua orang gadis itu lalu mengikuti Song Bu Tosu. Di bangunan samping tosu itu memanggil dua orang wanita yang menjadi anggauta Thai-san-pai, dan dua orang wanita setengah tua ini segera mengantar Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah kamar yang cukup rapi dan bersih.

   Kini Thai-san Sianjin berkata kepada lima orang sutenya setelah Song Bu Tosu kembali ke ruangan itu.

   "Sute, kalian lanjutkanlah mengatur penjagaan yang ketat, pinto masih ingin berbincang-bincang dengan Sicu Pouw Cun Giok."

   Setelah lima orang tosu itu keluar dari ruangan, Ketua Thai-san-pai berkata kepada Cun Giok.

   "Pouw-sicu, kalau Sicu tidak terlalu lelah, pinto ingin mengobrol denganmu. Banyak yang ingin pinto tanyakan tentang dunia ramai yang sudah lama sekali pinto tinggalkan. Sebelumnya, pinto ingin sekali mengetahui bagaimana Sicu yang menjadi murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin dapat melakukan perjalanan dengan gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga. Maukah engkau menceritakannya kepada pinto, Sicu?"

   Cun Giok hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis kembar itu di tepi sungai tak jauh dari Lembah Seribu Bunga. Mereka berkenalan dan dia diajak naik ke Lembah Seribu Bunga, bertemu dan berkenalan dengan Nyonya The, majikan lembah yang penuh rahasia itu.

   "Ketika mendengar bahwa saya hendak mencari pencuri yang mengambil harta karun Kerajaan Sung, dua orang gadis kembar itu lalu ingin ikut pergi membantu saya. Begitulah, Lo-cianpwe."

   "Siancai, pinto sudah menduga bahwa engkau adalah seorang pemuda yang jujur, polos dan baik hati. Terus terang saja, Sicu, pinto adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan pinto melihat bahwa kedua orang Nona kembar itu menaruh hati cinta kepadamu."

   "Eh? Bagaimana Lo-cianpwe dapat mengetahui atau menduga begitu?"

   "Sicu, dari pandang mata dan sikap mereka saja pinto yakin bahwa kakak beradik itu jatuh cinta kepadamu. Hal ini berbahaya karena mereka dapat bersaing untuk mendapatkan cintamu. Pinto dapat melihat pula bahwa tidak atau belum ada perasaan cinta dalam hati Sicu kepada mereka, hanya rasa suka sebagai sahabat saja."

   "Lo-cianpwe sungguh memiliki pandangan yang tajam dan waspada. Saya sendiri yakin bahwa agaknya tidak mungkin saya jatuh cinta kepada seorang wanita. Tidak lagi......" Cun Giok menghela napas panjang, hatinya terasa hampa.

   "Ah, semuda ini Sicu sudah mengalami gagal cinta agaknya. Apakah Sicu sudah menikah? Atau bertunangan?"

   "Saya pernah ditunangkan kepada seorang gadis oleh mendiang Guru saya. Akan tetapi, tunangan saya itu mati terbunuh. Saya sudah membalaskan kematiannya dengan memberi hajaran keras kepada pembunuhnya. Biarpun ia sudah mati, saya akan tetap menganggap ia itulah isteri saya."

   Tosu tua itu mengangguk-angguk.

   "Sicu, engkau seorang laki-laki yang setia. Akan tetapi kesetiaanmu itu tidak pada tempatnya. Pinto kira tunanganmu itu pun tidak akan tenang melihat engkau menutup dirimu terhadap cinta seorang wanita."

   "Lo-cianpwe, justeru cinta yang membuat saya merasa berdosa dan merana. Saya sudah ditunangkan dengan seorang gadis, akan tetapi saya jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Ah, Lo-cianpwe, benarkah pendapat bahwa cinta itu selain mendatangkan kebahagiaan, juga seringkali mendatangkan kedukaan?"

   Tosu itu tersenyum. Pertanyaan yang sebetulnya janggal karena urusan cinta ditanyakan kepada seorang tosu! Akan tetapi sebagai seorang yang banyak pengalaman dalam kehidupan, Ketua Thai-san-pai merasa berkewajiban untuk menerangkan apa yang dianggapnya benar.

   "Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang maupun susah walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah dari setiap mahluk hidup. Yang dapat mengumbang-ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah cinta kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak didasari cinta kasih."

   "Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan bagaimanakah yang dinamakan cinta kasih sejati itu?"

   "Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan diri sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan karena Kekuasaan Tuhan itulah ujud cinta kasih sejati. Dituntun cinta kasih, manusia akan merelakan diri sepenuhnya demi kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri, seperti halnya sinar matahari, keharuman bunga, kemerduan kicau burung, kesejukan angin, keindahan tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di situ terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi dan selalu bermanfaat bagi semua mahluk, terutama manusia. Seluruh alam dan isinya ini dicipta oleh Tuhan dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal pikiran kita. Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti benar karena dibimbing oleh Kekuasaan Tuhan, mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti sinar matahari, mendatangkan kehidupan dan kenikmatan kepada siapa saja, seperti keharuman bunga akan tetap harum ketika dicium siapapun juga tanpa memandang bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah sekalipun."

   "Alangkah indahnya, Lo-cianpwe. Lalu bagaimana sifat cinta berahi atau cinta nafsu?"

   "Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari kesenangan diri sendiri dan condong untuk menganggap orang yang dicintanya itu sebagai sumber kesenangan diri sendiri."

   "Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa kita membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu? Lebih baik dimatikan saja nafsu berahi seperti itu. Bukankah begitu, Lo-cianpwe?"

   "Siancai......!" Tosu itu tersenyum lebar.

   "Tidak begitu, Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan! Nafsu-nafsu memang sudah disertakan kepada manusia sejak lahir dan nafsu-nafsu itulah yang mendorong dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Bahkan nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting, terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di dunia. Akan tetapi kalau hubungan antara pria dan wanita hanya dilandasi nafsu berahi saja, tanpa adanya cinta kasih sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia itu sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang mencari kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki, mendatangkan cemburu dan dapat mengubah cintanya menjadi benci kalau yang dicinta tidak menyenangkannya lagi! Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih membuat orang bersikap menghormati, melindungi, menyayangi, menaruh iba, menanamkan kewajiban, kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama ditanggung."

   "Terima kasih, Lo-cianpwe. Apa yang saya dengar dari keterangan Lo-cianpwe menerangi hati saya yang selama ini dirundung kegelapan," kata Cun Giok yang teringat akan Ceng Ceng. Dia mencintai gadis itu sepenuh hati, mencinta selengkapnya.

   Memang terasa olehnya ada dua macam cinta dalam hatinya terhadap Ceng Ceng. Yang pertama adalah cinta kasih berahi yang timbul karena kecantikan gadis itu. Adapun yang kedua adalah cinta sejati seperti yang disinggung Ketua Thai-san-pai tadi, yang timbul karena kebijaksanaan dan budi pekerti gadis itu. Cinta berahi dapat saja menguap bahkan beralih kepada gadis lain, sebaliknya cinta sejati akan tetap ada, walaupun dia harus berpisah dari yang dicintanya dan tidak dapat menjadi satu.

   Dia dapat merasakan bahwa cinta kasih Ceng Ceng terhadap dirinya tentu merupakan cinta kasih sejati seperti yang diuraikan Ketua Thai-san-pai tadi. Buktinya, dulu Ceng Ceng pernah mengalah kepada Li Hong yang mencintanya, bahkan biarpun ia diserang oleh Li Hong kemudian dikhianati Li Hong yang memihak Kim Bayan, Ceng Ceng masih tetap membela Li Hong dan rela menyerahkan peta harta karun. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang memiliki cinta kasih murni seperti itu!

   Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah belakang gedung rumah induk Thai-san-pai itu.

   "Hemm, apa yang terjadi di sana?" kata Ketua Thai-san-pai dengan sikap masih tenang, namun alisnya berkerut, agaknya merasa tidak senang oleh gangguan itu.

   "Lo-cianpwe, pasti terjadi sesuatu di sana!"

   Tiba-tiba dua orang murid memasuki ruangan itu, memberi hormat kepada ketua mereka dan melapor.

   "Suhu, beberapa orang liar memasuki perpustakaan dan mengacau di sana, kini dihadapi oleh Lima Suhu."

   "Lo-cianpwe, biar saya yang melihat ke sana!" kata Cun Giok sambil bangkit dari tempat duduknya.

   Ketua Thai-san-pai mengangguk dan Cun Giok segera mengikuti dua orang murid itu menuju ke belakang. Di ruangan tengah dia bertemu Kui Lan dan Kui Lin yang juga mendengar keributan itu dan mereka keluar dari kamar mereka.

   "Ada apakah, Giok-ko?" tanya Kui Lin.

   "Menurut laporan dua orang ini, ada beberapa orang datang membuat kekacauan di sini!"

   "Mari kita pergi lihat!" kata Kui Lan dan mereka bertiga lalu mengikuti dua orang murid Thai-san-pai itu.

   Ketika mereka tiba di luar ruangan perpustakaan yang merupakan sebagian dari taman yang cukup luas, Cun Giok dan dua orang gadis kembar melihat kelima Thai-san Ngo-sin-kiam sedang berkelahi melawan lima orang laki-laki tinggi besar berusia sekitar empatpuluh tahun. Lima orang tinggi besar itu tampak garang dan pakaian mereka serba hijau dan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Ilmu silat mereka ternyata cukup hebat dan gerakan mereka liar dan aneh sehingga agaknya mereka mampu mengimbangi permainan pedang dari Lima Pedang Sakti Thai-san itu. Di sekitar tempat perkelahian itu tampak belasan orang murid Thai-san-pai yang sudah terluka dan sedang ditolong oleh para murid lainnya.

   Kui Lin yang galak sudah hendak menyerbu dan membantu Ngo-sin-kiam, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

   "Jangan, Lin-moi. Membantu mereka tanpa diminta akan menyinggung harga diri mereka, dan lihatlah, mereka tidak terdesak oleh lawan."

   Dicegah oleh Cun Giok yang memegang lengannya, Kui Lin tidak jadi menyerbu dan jantungnya berdebar, mukanya berubah kemerahan karena pegangan tangan itu pada lengannya seolah mengandung getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya! Ia menyimpan kembali pedangnya dan menonton perkelahian Ngo-sin-kiam melawan lima orang musuh mereka itu.

   Benar seperti yang dikatakan Cun Giok, biarpun lima orang berpakaian hijau itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dahsyat, golok mereka menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk, namun ilmu pedang Ngo-sin-kiam memang hebat. Mereka berlima telah menguasai ilmu pedang Thai-san-pai dengan baik sehingga mereka bukan saja mampu menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan terhadap serangan lawan, bahkan kini mereka mulai dapat mendesak orang-orang berpakaian hijau itu. Cun Giok melihat betapa Ngo-sin-kiam itu memiliki gerakan pedang yang teratur, saling dukung baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Mereka merupakan barisan pedang yang amat tangguh, jauh lebih tangguh daripada kalau mereka maju sendiri-sendiri.

   Setelah terus mendesak lawan, akhirnya Ngo-sin-kiam dapat merobohkan lima orang penyerbu itu. Ada yang terluka lengan atau pundaknya, ada yang terlempar goloknya, ada pula yang terkena pukulan tangan kiri atau tendangan. Ketika Thai-san Ngo-sin-kiam hendak melanjutkan serangan untuk menangkap lima orang penyerbu itu, tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara gerengan seperti binatang buas. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan lima orang tosu Thai-san-pai sudah berdiri seorang raksasa berusia sekitar limapuluh tahun dan keadaannya sungguh amat menyeramkan.

   Laki-laki tinggi besar ini mempunyai muka yang seperti singa bentuknya, penuh berewok dan yang mengerikan, rambut, kumis dan jenggotnya berwarna merah! Lalu sambil membentak dengan suara melengking, raksasa itu mendorongkan kedua tangannya yang besar beberapa kali dan lima orang tosu Thai-san-pai itu seolah terdorong angin yang amat kuat sehingga mereka berlima terhuyung-huyung ke belakang!

   Ketika Ngo-sin-kiam dapat menguasai diri, baru saja mereka hendak maju menghadapi lawan yang tinggi besar itu, Si Raksasa rambut merah kembali mendorongkan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan melengking-lengking. Dan, angin pukulan yang amat kuat kembali melanda lima orang tosu itu, membuat mereka yang sudah mempersiapkan diri itu tetap saja terdorong ke belakang, sehingga ada yang menjatuhkan diri dan bergulingan agar terhindar dari bantingan.

   "Hayo, serahkan harta karun itu kepadaku, kalau tidak, seluruh Thai-san-pai akan kubasmi habis!" Kakek rambut merah itu berteriak dan kini dia berdiri tegak sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu kini berubah merah seperti api membara dan asap putih membubung ke atas. Melihat ini, Ngo-sin-kiam terkejut dan Song Bu Tosu berkata heran.

   "Kiranya Huo Lo-sian (Dewa Api) yang sedang berkunjung! Di antara pihakmu dan pihak kami tidak pernah ada permusuhan, mengapa hari ini anak buahmu datang membuat kacau dan melukai beberapa orang murid kami?" Ngo-sin-kiam sudah lama mendengar akan nama besar Huo Lo-sian, akan tetapi baru sekarang mereka melihat orangnya yang sungguh menyeramkan.

   "Ho-ho-hoh! Thai-san-pai mendapatkan rejeki besar, sudah sepatutnya membagi-bagi rejeki itu dengan teman-teman sepegunungan. Serahkan harta karun itu, setidaknya setengah bagian, dan kami akan tetap tinggal menjadi tetangga yang baik. Kalau kalian murka dan hendak memilikinya sendiri, aku akan membasmi Thai-san-pai dan merampas harta karun itu!"

   Tiba-tiba Kui Lin yang sejak tadi sudah menahan-nahan rasa penasaran dan kemarahannya, melompat ke depan kakek rambut merah itu. Matanya yang jeli melotot, alisnya berkerut, mulutnya cemberut dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri menuding ke arah muka singa itu.

   "Hei, siluman jelek dan sombong! Jangan ngoceh asal membuka mulutmu yang lebar itu saja! Siapa yang mendapatkan harta karun? Andaikata ada yang mendapatkan sekalipun, siapa sudi membagi dengan siluman sombong macam engkau? Boleh jadi engkau dapat menakut-nakuti anak-anak kecil, akan tetapi aku The Kui Lin, puteri Lembah Seribu Bunga, sama sekali tidak gentar kepadamu!"

   Terlambat bagi Kui Lan maupun Cun Giok untuk mencegah gadis pemberani yang galak itu mengeluarkan ucapan menantang. Mereka berdua hanya maju mendekati Kui Lin untuk melindunginya karena mereka tahu betapa lihai dan berbahayanya raksasa itu.

   Huo Lo-sian (Dewa Api) terbelalak memandang kepada Kui Lin. Datuk ini lebih merasa heran daripada marah. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja semuda ini berani menantangnya! Dengan sikap dan kata-kata sombong pula! Saking herannya datuk ini sampai berdirl tercengang, kemudian kemarahannya mulai berkobar, membuat dia sukar mengeluarkan suara. Wajahnya yang seperti singa itu tampak semakin menyeramkan, rambut, kumis dan jenggotnya yang merah itu seperti bangkit berdiri!

   Sebagai seorang datuk besar, walaupun kini jarang terjun ke dunia persilatan, dia sudah mendengar akan nama besar Lembah Seribu Bunga. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang tekebur dan selalu mengagulkan diri sendiri memandang rendah orang lain, tentu saja dia tidak gentar. Apalagi yang muncul dari Lembah Seribu Bunga hanya seorang gadis remaja yang masih ingusan!

   "Kamu...... kamu bocah setan! Apa kamu sudah bosan hidup!?" bentaknya dengan mata melotot dan seperti mengeluarkan sinar berapi.

   Kui Lin tersenyum mengejek.

   "Kamulah yang bosan hidup! Memang kamu layak mampus karena selain sudah tua, juga dosamu sudah bertumpuk-tumpuk! Setan-setan sudah menunggumu di neraka!"

   "Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya. Ia menganggap adiknya itu seolah menyulut permusuhan dengan Dewa Api yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Buktinya, Thai-san Ngo-sin-kiam yang berilmu tinggi itu pun tadi kewalahan menghadapi dorongan tangan yang mengandung tenaga sakti amat kuatnya dari datuk itu.

   "Biarkan aku, Lan-ci (Kakak Lan)! Aku akan menghajar siluman tua ini agar dia tidak berani sombong lagi!" kata Kui Lin yang terlampau berani namun kurang perhitungan itu.

   Huo Lo-sian sudah habis kesabarannya.

   "Bocah gila, mampuslah kamu!" bentaknya dan dia sudah mendorongkan kedua tangannya yang merah membara itu ke arah dada Kui Lin!

   Dasar gadis muda yang hanya mengandalkan keberanian, seolah seekor burung muda yang baru keluar dari sarangnya, Kui Lin tidak menjadi gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Ia malah mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mendorongkan kedua tangan pula menyambut serangan lawan!

   Biarpun Kui Lan juga seperti adiknya, tidak mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun ia lebih cerdik dan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa tidak mungkin adik kembarnya mampu menahan serangan tenaga sakti lawan yang amat kuat itu dan bukan tidak mungkin nyawa adiknya terancam maut, maka cepat ia lalu menjulurkan kedua telapak tangannya, menempel punggung adiknya dari belakang dan menyalurkan sin-kangnya membantu adiknya sehingga kini yang menyambut serangan Huo Lo-sian adalah tenaga sinkang gabungan dua saudara kembar itu.

   "Wuuuuuttt......plakkk!" Kedua telapak tangan Huo Lo-sian yang seperti membara itu bertemu dengan kedua telapak tangan Kui Lin.

   Kalau saja gadis ini tidak dibantu encinya dan tenaga sepasang gadis kembar itu tidak bergabung, memang amat berbahaya bagi keselamatan Kui Lin. Namun gabungan dua tenaga itu cukup kuat untuk menahan gempuran lawan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan tenaga raksasa rambut merah itu, tetap saja tubuh kedua orang gadis kembar itu tergetar. Dari dua pasang telapak tangan yang saling menempel itu kini keluar asap, dan dua orang gadis kembar itu mandi keringat!

   "Wah, panas...... panas......!" Kui Lin menjerit-jerit ketika merasa betapa kedua telapak tangannya seperti menempel pada besi membara yang amat panas!

   Cun Giok maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk turun tangan membantu dan menyelamatkan dua orang gadis itu. Dia menjulurkan kedua tangannya dan kedua telapak tangannya menempel pada punggung Kui Lan. Dia mengerahkan sinkangnya dan berseru,

   "Lin-moi, dorong!"

   Kui Lin yang merasa kepanasan segera mendorong. Kekuatannya bergabung dengan kekuatan Kui Lan dan Cun Giok, maka dorongannya mengandung sin-kang yang amat kuat.

   "Wesss......!!" Tubuh Huo Lo-sian terpental dan dia terhuyung ke belakang sampai tujuh langkah! Sepasang matanya terbelalak kaget dan heran karena tadi dia merasa betapa dari telapak tangan halus dan kecil dari gadis remaja itu keluar tenaga yang amat dahsyat, yang bukan saja membuat kedua lengannya tergetar dan nyeri, bahkan membuat dia terpental ke belakang seperti dilontarkan! Dia merasa gentar juga. Baru tiga orang muda itu saja sudah demikian kuatnya. Apalagi Ketua Thai-san-pai! Maka, dia laiu menoleh kepada lima orang pembantunya.

   "Kita pergi!" Dan dia pun melompat jauh, diikuti lima orang berpakaian hijau itu dan sebentar saja mereka lenyap dari perkampungan Thai-san-pai.

   "Heii, siluman rambut merah! Mau lari ke mana kamu!" teriak Kui Lin yang hendak melakukan pengejaran, merasa seolah ia yang mengalahkan datuk tadi!

   Akan tetapi Kui Lan segera memegang lengannya.

   "Jangan dikejar!" katanya.

   "Wah, Enci Lan, siluman seperti dia itu yang amat sombong sebaiknya dibasmi saja. Kalau engkau tidak menahanku, tentu ia dapat kukejar dan kupenggal lehernya, betul tidak, Giok-ko?" kata Kui Lin sambil memandang pemuda itu.

   Cun Giok tersenyum.

   "Lin-moi, aku kagum akan keberanianmu."

   "Bukan berani, melainkan nekat dan ngawur!" Kui Lan mengomel karena ia tahu benar bahwa kalau tadi tidak dibantu Cun Giok, tenaga mereka berdua tidak cukup untuk mengalahkan Huo Lo-sian dan bukan tidak mungkin nyawa mereka terancam maut.

   Mereka bertiga lalu kembali ke dalam gedung induk bersama Ngo-sin-kiam, menghadap Ketua Thai-san-pai, dan lima orang tosu itu melaporkan kepada suheng mereka tentang munculnya Huo Lo-sian.

   "Siancai......! Urusan harta karun mulai menimbulkan kekacauan. Pinto kira ekornya akan menimbulkan persaingan dan perebutan."

   "Siapa tahu, kakek siluman itu malah yang menjadi pencurinya!" tiba-tiba Kui Lin berseru.

   "Kiranya hal itu tidak mungkin, Lin-moi," kata Kui Lan lembut.

   "Kalau dia yang mencuri harta karun, untuk apa dia dan para pembantunya menyerbu ke sini dan mencari di perpustakaan Thai-san-pai?"

   "Mungkin sekali, Enci Lan! Dia melakukan penyerbuan ke sini untuk mengalihkan perhatian agar yang disangka mencuri harta karun adalah Thai-san-pai! Huh, dikira aku tidak tahu akan akal bulusnya itu!" Kui Lin lalu memandang Cun Giok.

   "Betul tidak, Giok-ko?"

   "Memang segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa seperti yang disangka Lin-moi bahwa dia pencuri harta karun dan ingin mengalihkan perhatian kepada Thai-san-pai. Akan tetapi mungkin juga benar seperti yang dikatakan Lan-moi, dia hanya menduga bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun maka dia ingin mencari dan merampasnya." Cun Giok lalu memandang Ketua Thai-san-pai.

   "Lo-cianpwe, kami yang muda-muda hanya bingung dengan dugaan kami masing-masing. Bagaimana kalau menurut pendapat Lo-cianpwe. Harap suka memberi petunjuk kepada kami."

   "Siancai......!" Kakek itu mengelus jenggotnya.

   "Memang semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, Huo Lo-sian adalah seorang datuk sesat yang kasar dan mengandalkan kekuatan dan kelihaian ilmu silatnya. Orang berwatak kasar seperti dia, kiranya tidak akan dapat menggunakan cara-cara yang mengandung muslihat rumit. Maka, pinto kira bukan dia pencuri harta karun itu."

   "Kalau begitu, Lo-cianpwe, kita sudah mendapatkan dua kenyataan, yaitu dua di antara penghuni Thai-san, yang pertama Thai-san-pai dan kedua Huo Lo-sian, bukan pencuri harta karun. Dengan demikian, kita dapat menjuruskan penyelidikan kita kepada pihak lain yang berada di Thai-san ini," kata Cun Giok.

   "Wah, aku tahu sekarang! Sudah pasti yang mencurinya adalah sepasang iblis yang berjuluk Hek Pek Mo-ko itu! Bukankah sisa para tokoh di sini hanya tinggal dua, yaitu Hek Pek Mo-ko dan Ang-tung Kai-pang? Menurut keterangan Lo-cianpwe tadi, perkumpulan Pengemis Tongkat Merah itu tidak biasa bahkan membenci pencurian dan mereka juga menentang penjajah Mongol sehingga tidak sangat mencurigakan. Tinggal Hek Pek Mo-ko yang patut kita curigai," kata Kui Lin.

   "Hemm, pendapat Lin-moi itu benar sekali. Aku setuju dengan pendapatnya," kata Kui Lan.

   Hati Kui Lin gembira sekali. Biasanya, encinya itu selalu menegur dan menyalahkannya, akan tetapi sekali ini mendukung pendapatnya! Ia berseru girang dengan wajah berseri.

   "Nah, betul bukan pendapatku? Giok-ko, mengapa kita tunggu lebih lama? Mari kita pergi menyelidiki Iblis Hitam Putih itu!"

   "Tidak perlu tergesa-gesa, Nona," kata Ketua Thai-san-pai.

   "Sebentar lagi malam tiba dan perjalanan ke Bukit Batu, tempat tinggal Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka yang berada di bagian Utara pegunungan ini, tidaklah mudah dan cukup jauh. Kalian perlu mempelajari perjalanan yang akan kalian tempuh, dan sebaiknya dilakukan besok pagi."

   "Lo-cianpwe berkata benar. Kita tidak perlu tergesa-gesa, Lin-moi," kata Kui Lan.

   Malam itu, Cun Giok, Kui Lan, dan Kui Lin bermalam di markas Thai-san-pai dan mendengarkan keterangan tentang perjalanan ke sana dari para murid Thai-san-pai yang sudah pernah mengenal daerah Utara di mana terdapat Bukit Batu.

   Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong yang melakukan perjalanan jauh dari Pulau Ular yang berada di Lautan Po-hai menuju Pegunungan Thai-san, setelah makan waktu berbulan-bulan menunggang kuda, akhirnya mereka tiba di kaki pegunungan Thai-san. Mereka kini menjadi akrab sekali karena dalam perjalanan panjang yang makan waktu berbulan itu, Yauw Tek memperlihatkan sikap sopan dan budi yang baik sekali. Bahkan Ceng Ceng juga merasa tertarik dan kagum karena ketika beberapa kali mereka dihadang perampok dan diganggu, Yauw Tek selalu mencegah Li Hong kalau gadis itu hendak membunuh para penjahat. Kemudian pemuda itu mengalahkan semua perampok dengan mudah tanpa melukai mereka.

   "Ingat, Hong-moi. Mereka itu menjadi jahat oleh keadaan. Para penjajah itulah yang membuat kehidupan rakyat jelata menjadi susah dan serba kekurangan dan hal ini mendorong mereka untuk merampok! Bagaimanapun juga, mereka itu adalah bangsa kita sendiri, maka bersikaplah murah, jangan sembarangan membunuh mereka. Musuh utama kita adalah penjajah Mongol. Kalau kita sudah berhasil mengenyahkan penjajah, kuyakin kehidupan rakyat kita akan dapat membaik dan kejahatan pun pasti berkurang."

   Ceng Ceng mengagguk-anggukkan kepalanya.

   "Apa yang dikatakan Yauw-twako memang benar, Adik Hong. Banyak sekali kejahatan terjadi karena desakan keadaan, karena kekurangan dan penindasan. Yauw-twako berjiwa patriot dan cinta bangsa, hal itu patut dijadikan contoh."

   "Yauw-twako, bagaimana kalau kita bertemu pasukan Kerajaan Mongol? Apa yang akan kaulakukan?" tanya Li Hong.

   "Tentu bodoh sekali kalau kita menyerang pasukan yang besar jumlahnya, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi kalau ada pasukan kecil mengganggu kita, sudah sepatutnya kita basmi mereka."

   Dan Yauw Tek bukan hanya bicara saja untuk menyatakan permusuhannya dengan Pemerintah Mongol. Dalam perjalanan mereka, setiap kali mereka berada di kota atau desa di mana terdengar ada pembesar Mongol yang sewenang-wenang, pemuda itu pasti turun tangan memberi hajaran keras!

   Tiga orang muda itu tiba di kaki Pegunungan Thai-san bagian Selatan. Hari telah menjelang senja ketika mereka memasuki sebuah dusun di kaki gunung itu. Dusun Kok-lo merupakan dusun yang cukup ramai dan memiliki banyak penduduk. Kehidupan di dusun itu cukup makmur karena daerah ini merupakan daerah yang subur tanahnya sehingga para penduduk yang bekerja sebagai petani mendapatkan penghasilan yang lumayan. Bahkan banyak pedagang hasil bumi dan rempa-rempa dari kota berdatangan ke dusun itu untuk membeli dagangan.

   Hal ini membuat dusun itu semakin maju dan selain terdapat pedagang-pedagang barang dari kota raja untuk keperluan keluarga petani, di situ terdapat pula dua buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, berikut rumah makannya. Dua buah rumah penginapan berikut rumah makan ini untuk melayani para tamu pedagang yang terpaksa harus bermalam selama beberapa hari di situ.

   Tiga orang itu merasa lega, terutama sekali Li Hong yang selama lima hari ini mengomel terus karena mereka terpaksa bermalam di tempat terbuka karena tidak ada dusun yang menyediakan rumah penginapan dan rumah makan. Dusun-dusun yang mereka lewati selama belasan hari terdiri dari dusun-dusun kecil dan sepi. Kini, memasuki dusun yang cukup besar dan ramai, dan terdapat rumah penginapan berikut rumah makannya, tentu saja Li Hong merasa gembira sekali. Ia mendahului dua temannya dan memimpin di depan menuju ke sebuah rumah penginapan AN HOK.

   Semenjak memasuki dusun itu, mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Memang banyak di situ kedatangan orang-orang kota, namun belum pernah mereka melihat dua orang gadis sejelita itu dan melihat tiga ekor kuda yang besar dan bagus. Tiga orang muda itu memang sudah beberapa kali terpaksa berganti kuda karena kuda mereka sudah kelelahan melakukan perjalanan sejauh itu. Dan setiap kali berganti kuda, Li Hong pasti memilih kuda-kuda terbaik untuk mereka bertiga. Gadis ini membawa bekal yang cukup banyak pemberian orang tuanya di Pulau Ular.

   

   Setibanya di depan rumah penginapan, Li Hong melompat turun dari atas kudanya, diikuti Yauw Tek dan Ceng Ceng yang tersenyum melihat kegembiraan Li Hong. Di dalam hatinya, Yauw Tek dan Ceng Ceng merasa kasihan juga di samping geli melihat sikap Li Hong. Mereka tahu bahwa Li Hong banyak menderita dalam perjalanan itu. Gadis yang sudah biasa hidup enak di Pulau Ular itu, kini benar-benar menderita melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Pantaslah kalau kini ia demikian gembira mendapatkan sebuah dusun yang memiliki rumah penginapan dan rumah makan!

   Tiga orang pelayan rumah penginapan segera menyambut dan mengurus tiga ekor kuda itu yang mereka bawa ke kandang kuda di pekarangan belakang rumah penginapan. Rumah penginapan itu memang mempunyai banyak pelayan untuk melayani para pedagang yang bermalam di situ. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan sikap hormat dan ramah.

   "Selamat datang di rumah penginapan AN HOK kami, Kongcu (Tuan Muda) dan ji-wi Siocia (Nona Berdua). Apakah Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menyewa kamar?"

   "Ya, cepat siapkan sebuah kamar biasa dan sebuah yang agak besar untuk aku dan Enciku, akan tetapi pilih kamar yang paling bersih, ganti semua tilamnya dengan yang baru dan bersih!" kata Li Hong dengan sikap keren dan memerintah.

   "Baik, Nona, akan kami siapkan sekarang," kata pelayan itu dengan sikap hormat.

   Li Hong lalu mengambil sekeping uang dari balik ikat pinggangnya dan memberikan kepada pelayan itu. Pelayan itu menerima dengan mata terbelalak karena hadiah ini amat banyak dan tidak seperti biasanya para tamu memberi hadiah setelah akan meninggalkan penginapan.

   "Jangan lupa, sediakan air yang banyak untuk kami mandi, setelah itu siapkan makan malam dengan lauk-pauk komplit dari rumah makan," perintah Li Hong.

   "Baik-baik, Siocia, akan kami siapkan semua," kata pelayan itu yang lalu membawa mereka kedua buah kamar yang kosong. Dia memerintahkan pelayan lain untuk segera mengganti tilam-tilam di kedua kamar itu, bahkan menyuruh bersihkan lantai dan semua perabot dalam dua kamar itu.

   Tiga orang muda itu lalu mandi dan bertukar pakaian, lalu mereka makan hidangan yang sudah disediakan. Memenuhi pesanan Li Hong, hidangan itu cukup mewah sehingga Ceng Ceng setelah mereka selesai makan, berkata sambil tersenyum.

   "Wah, engkau royal sekali, Hong-moi, dan engkau minum banyak sekali arak. Akan tetapi kulihat engkau sama sekali tidak mabok!"

   "Ih, Enci Ceng, kalau puteri Pulau Ular mabok oleh minuman arak, sungguh memalukan! Bukankah engkau juga sama sekali tidak tampak mabok setelah minum cukup banyak pula? Lihatlah Yauw-twako itu! Mukanya menjadi merah seperti kepiting direbus, hi-hi-hik!"

   Yauw Tek yang memang merah mukanya karena melayani dua orang gadis yang amat kuat minum arak itu, tertawa pula.

   "Ha-ha, tentu saja aku tidak dapat menandingi kalian, Ceng-moi dan Hong-moi! Dahulu, ketika kecil dan menjadi pemuda remaja, aku hidup di antara pertapa dan pendeta, sama sekali tidak diperbolehkan minum arak. Kalian berdua tentu saja kuat minum. Ceng-moi seorang ahli pengobatan, tentu sebelumnya sudah menelan obat penjaga mabok, demikian pula engkau, Hong-moi. Pulau Ular terkenal dengan racun-racunnya yang berbahaya, tentu saja engkau dapat mengatasi pengaruh racun arak yang bagimu kecil tidak ada artinya itu!" kata Yauw Tek dan dari suaranya yang ringan, dua orang gadis itu dapat mengetahui bahwa pemuda itu memang agak teler (mabuk). Mereka berdua tertawa walaupun tawa Ceng Ceng tidak selebar dan selantang Li Hong.

   "Maaf, Yauw-twako, kami hanya berkelakar, bukan mentertawakanmu!" kata Li Hong.

   "Yang membuat aku heran, bagaimana engkau kulihat tidak pernah merasa janggal menanggapi segala kemewahan, seolah engkau sudah biasa dengan kamar yang nyaman dan makanan yang mewah."

   Ceng Ceng juga memandang pemuda itu karena baru sekarang ia teringat bahwa pemuda itu agaknya tak pernah tertarik atau heran menyaksikan kemewahan, bahkan pakaian pemuda ini juga terbuat dari sutera halus, seolah Yauw Tek seorang pemuda kaya raya yang biasa hidup mewah.

   Yauw Tek tersenyum.

   "Ah, itukah yang membuat kalian heran? Ceng-moi dan Hong-moi, ketahuilah bahwa selama tinggal di rumah para Pendeta Lhama di Tibet sebagai murid mereka, aku sudah terbiasa hidup mewah. Kalian tahu, banyak di antara pendeta Lhama itu memiliki gedung yang mewah, kehidupan mereka juga serba mewah dan kaya raya."

   Dua orang gadis itu kini baru mengerti. Tidak heran Yauw Tek bersikap biasa saja menghadapi hidangan mewah, kiranya pernah hidup di rumah para pendeta Lhama yang kaya raya. Mereka merasa heran juga mengapa para pendeta di Tibet dapat hidup mewah dan kaya, tidak seperti para hwesio (Pendeta Buddha) yang berada di kuil-kuil di Cina.

   Pada keesokan harinya mereka mendapat keterangan bahwa di atas bukit di depan, yaitu Bukit Cemara, terdapat pusat Perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah).

   Mereka bertiga berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Karena Ang-tung Kai-pang merupakan satu di antara golongan yang kuat dan mungkin menjadi pencuri harta karun, maka mereka sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan pengemis yang terkenal memiliki cabang di mana-mana. Pagi-pagi sekali tiga orang muda itu sudah keluar dari rumah penginapan dan berada di jalan umum depan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Tadi, mereka sudah sarapan bubur yang disiapkan oleh pelayan.

   Sepagi itu, jalan umum di depan rumah penginapan itu sudah ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang. Mereka adalah orang-orang yang memikul barang dagangan berupa hasil bumi daerah itu.

   Selagi mereka berdiri di tepi jalan, memandang ke arah Bukit Cemara yang menurut keterangan menjadi markas Ang-tung Kai-pang, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian pengemis, berbondong pergi ke arah timur. Mereka terdiri dari lima orang berpakaian tambal-tambalan dan masing-masing memegang sebatang tongkat yang berwarna merah. Mudah saja bagi Yauw Tek untuk menduga bahwa mereka berlima itu tentulah para anggauta Ang-tung Kai-pang. Karena mereka memang berniat mengunjungi dan menyelidiki keadaan perkumpulan pengemis itu, maka lima orang itu menarik perhatian mereka. Dengan saling pandang saja, ketiganya bersepakat untuk membayangi lima orang pengemis itu.

   Usia lima orang itu antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun. Biarpun di antara mereka, yang tiga orang bertubuh kurus seperti kebanyakan pengemis, sedangkan yang dua orang sedang-sedang saja, namun mereka itu sungguh jauh berbeda dari pengemis biasa. Pakaian mereka memang tambal-tambalan, namun bersih dan mudah diduga bahwa mereka tentu sering bertukar pakaian. Sepatu mereka yang berwarna hitam juga tidak butut seperti pengemis biasa.

   Gerak-gerik mereka ketika mereka berjalan tergesa-gesa itu pun membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lemah. Terutama sekali tongkat mereka yang berwarna merah itu mencolok dan membuat mereka tampak lebih mirip regu yang berpakaian seragam daripada serombongan pengemis. Juga keberadaan mereka di dusun yang ramai itu agaknya sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di jalan umum, hal ini menandakan bahwa kehadiran para pengemis di dusun itu merupakan hal yang biasa.

   Selain itu, sikap para penduduk yang tenang saja melihat mereka membuktikan bahwa golongan pengemis itu tidak ditakuti. Ini saja sudah membuat Yauw Tek dan dua orang gadis itu mengambil kesimpulan bahwa para pengemis tongkat merah itu bukan golongan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan mereka seperti dilakukan banyak anggauta perkumpulan yang merasa dirinya kuat.

   Lima orang pengemis itu melangkah lebar dan berjalan tanpa bicara. Setelah tiba di pintu gerbang dusun sebelah timur, mereka tidak berhenti dan berjalan terus. Terang bahwa mereka tidak hendak pergi ke Bukit Cemara yang menjadi tempat asrama mereka, karena Bukit Cemara berada di sebelah Barat sedangkan mereka kini melangkah terus menuju ke arah Timur. Tiga orang muda itu tetap mengikuti rombongan pengemis itu dari belakang, agak jauh karena mereka tidak ingin diketahui bahwa mereka sedang membayangi rombongan pengemis itu.

   Setelah keluar dari pintu gerbang dan berada di jalan yang sepi, lima orang pengemis itu mulai berlari! Yauw Tek, Ceng Ceng dan Li Hong juga berjalan cepat, terus membayangi.

   Tak lama kemudian mereka tiba di tepi sebuah hutan kecil dan dari jauh sudah tampak ada dua orang sedang berkelahi! Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun, tinggi kurus, pakaiannya serba putih dan dia menggunakan senjata sebatang pedang. Adapun lawannya adalah seorang pengemis berusia sekitar limapuluh tahun dan dia bersenjatakan sebatang tongkat merah. Jelaslah bahwa yang sedang berkelahi itu seorang anggauta Ang-tung Kai-pang melawan seorang yang berpakaian putih-putih dan yang memiliki ilmu pedang cukup tangguh. Perkelahian itu memang seimbang dan ramai, akan tetapi agaknya pengemis bertongkat merah itu mulai terdesak oleh permainan pedang lawannya.

   "Apakah lima orang pengemis itu hendak mengeroyok Si Baju Putih itu?" kata Ceng Ceng lirih.

   "Wah, biarpun aku tidak mengenal Si Baju Putih itu, kalau dia dikeroyok, aku pasti akan membelanya!" kata Li Hong.

   "Ceng-moi dan Hong-moi, kuharap kalian tidak tergesa-gesa bertindak sebelum kita mengetahui permasalahannya maka mereka itu berkelahi. Jangan sampai kita salah tangan," kata Yauw Tek.

   Mereka mendekati lalu mengintai dari balik pohon-pohon. Lima orang pengemis tongkat merah itu kini telah tiba dekat mereka yang bertanding, akan tetapi mereka berlima hanya berdiri menonton pertandingan itu dan agaknya tidak akan turun tangan membantu rekan mereka.

   Laki-laki berpakaian putih itu tampak terkejut ketika dia melihat munculnya lima orang pengemis tongkat merah. Dia agaknya tahu benar bahwa kalau lima orang itu mengeroyoknya, dia pasti akan terancam bahaya maut. Baru melawan seorang ini saja, dia hanya mampu mendesak setelah bertanding lebih dari limapuluh jurus dan ini pun baru mendesak, belum mampu melukai apalagi merobohkannya. Sebaliknya, pengemis yang sedang bertanding itu ketika melihat lima orang rekannya, bangkit semangatnya dan dia kini membalas desakan lawan dengan serangan-serangan maut. Tongkatnya yang berwarna merah itu membentuk gulungan sinar merah yang cepat dan kuat.

   Pria berpakaian putih itu melompat jauh ke belakang.

   "Huh, orang Ang-tung Kai-pang curang. Kalian hendak mengeroyok aku?" bentaknya sambil melintangkan pedang di depan dada.

   Pengemis yang tadi menjadi lawannya menudingkan tongkat merahnya dan menjawab.

   "Ang-tung Kai-pang bukan perkumpulan orang-orang yang curang dan suka main keroyokan!"

   Seorang di antara lima pengemis yang baru datang, berseru lantang.

   "Manusia sombong! Kalau kami melakukan pengeroyokan, apa kaukira sekarang engkau masih hidup?"

   Bagaimanapun Si Baju Putih itu agaknya sudah gentar menghadapi enam orang pengemis tongkat merah, maka dia lalu berkata dengan sikap menantang.

   "Baik, sekarang aku mengajukan tantangan atas nama kedua orang pimpinan kami. Esok lusa, setelah matahari terbit, pimpinan kami akan datang ke tempat ini dan menantang pimpinan kalian. Hendak kita lihat siapa yang lebih unggul dan yang patut mendapatkan harta karun, majikan Bukit Batu ataukan pimpinan Ang-tung Kai-pang di Bukit Cemara! Kalau esok lusa pimpinan kalian tidak muncul, berarti Ang-tung Kai-pang pengecut!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian putih itu melompat ke dalam hutan dan melarikan diri.

   Pengemis yang marah tadi mengepal tinjunya dengan marah.

   "Jahanam itu seharusnya tidak kita biarkan pergi!"

   Pengemis yang tadi berkelahi dan lebih tua di antara mereka, berkata.

   "Ah, tidak ada gunanya, Sute (Adik Seperguruan). Bukankah Pangcu (Ketua) berpesan agar kita tidak mengambil sikap bermusuhan dengan siapa saja yang tinggal di pegunungan ini? Sudahlah, tidak perlu penasaran, akan tetapi bagaimana kalian berlima dapat datang ke sini dan mengetahui bahwa aku sedang bertanding?"

   "Seorang rekan memberi tahu kami ketika kami sedang berada di dusun Kok-lo, bahwa engkau sedang bertengkar di sini dengan seorang anak buah Bukit Batu. Maka kami cepat menyusul ke sini, dan melihat Suheng (Kakak Seperguruan) tadi bertanding dengan Si Baju Putih brengsek itu. Suheng, kita tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Bukit Batu, bagaimana Suheng sampai bertengkar lalu berkelahi dengan orang itu?"

   Pengemis yang berjenggot seperti kambing itu menghela napas dan mengelus jenggotnya.

   "Aku pun tahu akan larangan Pangcu agar kita tidak mencari permusuhan. Akan tetapi orang itu ketika bertemu dengan aku di sini, langsung menghinaku dan mengatakan bahwa orang-orang Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri, mencuri harta karun dan tidak tahu malu. Tentu saja aku marah sekali dan kami lalu bertengkar dan berkelahi."

   "Jahanam sombongan itu! Mereka yang tak tahu malu, mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, malah menuduh kita! Biarpun pekerjaan kita mengemis, mencuri merupakan pantangan besar bagi kita. Semua orang juga mengetahuinya!" kata yang lain. Mereka berenam tampaknya marah dan penasaran sekali.

   "Mari, kita laporkan kepada Pangcu. Dikiranya kita takut menghadapi tantangan mereka!"

   Pada saat itu, Yauw Tek yang merasa sudah cukup mengintai, mengajak Ceng Ceng dan Li Hong keluar dari tempat pengintaian mereka tadi. Begitu melihat tiga orang muncul dari balik pohon-pohon, enam orang anggauta Ang-tung Kai-pang ini melompat dengan gerakan ringan dan mereka sudah berdiri di depan tiga orang muda itu dengan tongkat merah siap di tangan untuk menyerang.

   "Hemm, apakah kalian juga ingin mencari gara-gara dengan kami?" tanya pengemis tertua dengan pandang mata penuh kecurigaan.

   Yauw Tek cepat maju dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata lembut.

   "Maafkan, kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk. Tadi secara kebetulan kami melihat seorang di antara kalian berkelahi melawan orang berpakaian putih itu, maka kami tidak keluar dan bersembunyi di balik pohon. Setelah orang itu pergi, baru kami berani menghampirl kalian."

   Enam orang pengemis itu mengerutkan alisnya.

   "Kalian bertiga ini siapakah dan apa maksud kalian menghampiri dan memperhatikan kami?"

   Li Hong tidak sabar melihat sikap Yauw Tek demikian hormat kepada enam orang pengemis itu.

   "Kami tertarik mendengar ada orang menuduh kalian mencuri harta pusaka! Benarkah kalian mencuri harta karun itu?"

   "Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur adik angkatnya.

   "Nona, apakah engkau juga bermaksud menghina kami?" tanya pengemis tertua dengan suara kaku.

   Li Hong membelalakkan mata dan bertolak pinggang,

   "Siapa yang menghina siapa? Aku hanya bertanya, apa salahnya orang bertanya? Kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku mencuri harta karun, aku akan menjawab tidak karena aku tidak mencurinya. Kalau aku mencuri, tentu akan kuakui karena aku bukan pengecut!"

   Dijawab seperti itu, pengemis itu gelagapan, tidak mampu bicara. Yauw Tek yang melihat bahwa sikap dan ucapan Li Hong mungkin menyulut kemarahan dan permusuhan, segera memberi hormat kepada enam orang pengemis itu dan berkata dengan lembut.
"Harap Paman berenam suka memaafkan kami. Sesungguhnya, kami bertiga tertarik sekali mendengar orang baju putih tadi bicara tentang harta karun karena kami bertiga justeru hendak menyelidiki, siapa pencuri harta karun itu. Untuk penyelidikan kami inilah maka kami hendak pergi menghadap Ketua Ang-tung Kai-pang untuk mohon petunjuk."

   Ucapan Yauw Tek menyabarkan para pengemis itu. Pengemis tua lalu bertanya, suaranya kini juga halus.

   "Siapakah kalian bertiga dan mengapa pula kalian hendak menyelidiki tentang pencurian harta karun yang menggemparkan dunia kang-ouw itu?"

   "Lo-pek (Paman Tua), harta karun itu adalah peninggalan mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng yang harus diberikan kepada yang berhak, akan tetapi ternyata dicuri orang. Menjadi kewajiban kami bertiga untuk mencarinya. Ketahuilah bahwa Nona ini bernama Liu Ceng Ceng berjuluk Pek-eng Sianli, dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong puteri majikan Pulau Ular. Adapun aku sendiri bernama Yauw Tek, seorang pengembara yang membantu kedua orang gadis ini."

   Enam orang pengemis itu terbelalak. Mereka sudah mendengar bahwa harta karun itu kabarnya milik seorang gadis pendekar berjuluk Pek-eng Sianli dan kini gadis berpakaian serba putih di depan mereka itu adalah gadis yang nama julukannya amat terkenal setelah terjadinya geger tentang harta karun itu! Juga mereka mengenal betul Pulau Ular dengan majikannya yang berjuluk Ban-tok Kui-bo dan yang dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti. Pantas gadis itu demikian galak, kiranya puteri majikan Pulau Ular. Hanya nama pemuda itu yang tidak mereka kenal, akan tetapi sikap pemuda itu hormat dan lembut sehingga mendatangkan rasa suka dalam hati mereka.

   "Ah, kiranya kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang ternama. Maafkan sikap kami tadi dan kalau Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menghadap ketua kami, mari silakan, kami antarkan."

   Mereka bertiga lalu mengikuti enam orang pengemis itu mendaki Bukit Cemara. Ternyata bukit yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu merupakan daerah subur dan di situ terdapat banyak sawah ladang penuh dengan tanaman sayur dan buah-buahan. Dari keadaan ini saja tiga orang muda itu dapat mengetahui bahwa para pengemis itu ternyata juga bertani dan tampak belasan orang anggauta Ang-tung Kai-pang sedang sibuk bekerja di sawah ladang.

   Ketika mereka tiba di perkampungan Ang-tung Kai-pang di puncak bukit, mereka pun kagum melihat betapa perkampungan itu tidak seperti daerah kumuh yang biasa merupakan ciri tempat tinggal para pengemis. Perkampungan itu terdiri dari puluhan bangunan rumah yang kecil sederhana, namun teratur dan bersih, di halaman setiap rumah terdapat taman bunga sehingga kampung itu kelihatan indah dan bersih terpelihara. Rumah induk perkumpulan berada di tengah dan merupakan bangunan terbesar. Di situlah tinggal ketua perkumpulan itu dan Yauw Tek bertiga diajak masuk ke dalam rumah besar itu.

   Mereka bertiga diterima Ketua Ang-tung Kai-pang di ruangan depan yang luas. Pengemis tertua yang tadi berkelahi melawan orang berpakaian putih hadir pula dalam pertemuan itu. Yang lima lainnya tidak ikut hadir. Tiga orang muda itu memperhatikan Sang Ketua. Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya masih membayangkan ketampanan dan jenggotnya panjang terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana, juga tambal-tambalan namun bersih. Sikapnya penuh wibawa seorang yang biasa memimpin banyak anak buah.

   Yauw Tek dan dua orang gadis itu memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada, dibalas dengan hormat oleh ketua itu yang lalu mempersilakan mereka duduk berhadapan dengannya. Kemudian dia memberi kesempatan pertama kepada anak buahnya untuk membuat laporan.

   Pengemis itu lalu melaporkan tentang pertemuannya dengan Yauw Tek bertiga, setelah lebih dulu dia berkelahi melawan seorang anak buah dari Bukit Batu dan lawannya itu kemudian pergi sambil menantang agar Ketua Ang-tung Kai-pang berani bertanding melawan ketuanya pada esok lusa pagi hari di tempat di mana mereka berkelahi tadi.

   Kui-tung Sin-kai mengerutkan alisnya. Suaranya mengandung teguran ketika dia berkata kepada anak buahnya.

   "Hemm, bagaimana engkau berani mengabaikan pesanku agar jangan membuat permusuhan, sekarang bahkan menimbulkan pertentangan sehingga aku terbawa-bawa ditantang oleh Hek Pek Mo-ko?"

   Pengemis itu menjawab dengan sikap takut-takut.

   "Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi memaafkan saya."

   "Pangcu, kami yang menjadi saksi! Bukan Paman pengemis ini yang mulai dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua golongan adalah orang berbaju putih itu!" kata Li Hong dengan lantang.

   Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak buahnya.

   "Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu ini."

   Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga orang muda itu dan berkata,

   "Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian ini siapa?"

   Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab.

   "Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek."

   "Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?"

   Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu. Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan, akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu terdapat tulisan THAI SAN.

   "Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk, siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu."

   "Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri harta karun itu!"




HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 07




   "Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?" jawab Li Hong mendahului Yauw Tek. Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis muka, namun ia jujur.

   Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas.

   "Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orang-orang muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang memperebutkan harta seperti anjing-anjing kelaparan memperebutkan tulang!"

   "Apa? Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?" Li Hong sudah merah mukanya karena ia marah sekali.

   Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya memandangnya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus. Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang ramah.

   "Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol. Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu, sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol, maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk."

   Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis) itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah.

   "Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat puterinya! Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung! Bahkan kami bersama seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya, untuk membantu!"

   "Terima kasih, Pangcu!" kata Yauw Tek dengan gembira.

   "Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon pefunjuk Pangcu."

   "Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda. Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini dan yang kedua adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini." Pangcu itu menerangkan.

   "Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu anak buah Hek Pek Mo-ko?" tanya Li Hong.

   "Benar, Nona," kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak aneh karena ia berasal dari Pulau Ular! "Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan."

   "Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?" Ceng Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.

   Pangcu itu mengangguk.

   "Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua."

   "Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang seorang?" kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena merasa penasaran.

   "Jangan khawatir, Pangcu! Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua!" kata Li Hong bersemangat.

   "Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut!"

   "Tenanglah, Hong-moi," kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua itu.

   "Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?"

   "Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya, dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh. Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama sebagai pasangan yang amat kuat."

   "Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang akan menemani Pangcu menghadapi mereka," kata Yauw Tek.

   Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya. Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Ang-tung Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang."

   Kembali Li Hong berkata,

   "Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka!"

   Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan.

   "Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko."

   "Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung Kai-pang, Pangcu?" bantah Li Hong.

   "Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita."

   "Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami. Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu."

   Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Ang-tung Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka sendiri.

   "Pangcu," tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian setelah ketua itu bicara.

   "Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang menggunakan tongkat merah sebagai senjata?"

   Ketua itu mengangguk-angguk,

   "Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu. Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa."

   "Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar."

   Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan.

   "Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu."

   "Hei, Pangcu!" teriak Li Hong.

   "Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras menolak! Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami tawarkan? Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu membantu Ang-tung Kai Pangcu! Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang Ang-tung Kai-pang lagi!"

   "Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?" Ceng Ceng menegur sambil tersenyum.

   "Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita."

   Li Hong cemberut.

   "Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin hatiku menjadi gemas!"

   "Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?" tanya Yauw Tek.

   "Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?"

   Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab.

   "Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapanbelas macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan pakaian tambal-tambalan......" Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kui-tung Sin-kai.

   Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal. Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko, hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu, padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun. Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka patut dibela.

   "Aku ada akal!" Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka memandang kepada gadis lincah ini.

   "Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko. Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?"

   Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut.

   "Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu? Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku menghadapi mereka."

   "Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk kepadaku dalam ilmu tongkat," kata Yauw Tek.

   "Tepat sekali," kata Ceng Ceng.

   "Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako, kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk."

   Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas. Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu. Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.

   "Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku!"

   "Silakan, Pangcu!" kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan dada.

   "Sambut seranganku, Sicu!" Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai di mana tingkat kepandaian pennuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin pemuda itu celaka karena membantunya.

   "Syuuttt".. trak-trak-trak-trak-trak!" Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat! Dia terkejut bukan main akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan se-rangannya dengan jurus-jurus pilihan yang dahsyat sekali.

   Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali! Hati Kui-tung Sin-kai menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.

   Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas! Dia maklum akan hal ini dan merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.

   "Cukup, Sicu!" katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua tongkat itu bertemu kuat sekali. Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan tampak masih segar.

   "Bagaimana, Pangcu? Apakah aku memenuhi syarat?"

   Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap kedua tangan depan dada.

   "Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak melihat tingginya langit! Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali!"

   "Ah, Pangcu terlalu memuji," kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia melontarkan tongkat merah itu ke atas. Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga tongkat itu kembali ke tempatnya semula!

   Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang seolah mencari sasarannya! Dua orang gadis yang baru sekarang menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi, kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan lembut.

   "Wah, Yauw-twako! Ilmu aneh apakah yang kau perlihatkan dengan tongkatmu tadi? Tongkatmu seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!" Seru Li Hong sambil melompat bangkit berdiri.

   Yauw Tek tersenyum.

   "Ah, sama sekali tidak aneh. Itu adalah semacam Hoat-lek (llmu Sihir) yang pernah kupelajari dari para pendera Lhama di Tibet," katanya sederhana.

   "Akan tetapi...... bagaimana benda mati dapat bergerak seperti hidup?"

   "Benda itu digerakkan oleh kekuatan gelombang pikiran."

   "Apa dapat dikendalikan untuk menyerang musuh, Sicu?"

   "Tentu saja dapat, Pangcu."

   "Aduh, hebat sekali! Aku ingin mempelajari ilmu itu, Engkau ajari aku, ya?" kata Li Hong yang merasa kagum bukan main kepada pemuda yang selain tampan, lembut dan sopan, ternyata juga berkepandaian tinggi.

   Diam-diam ia teringat kepada kakak misannya, Pouw Cun Giok yang pernah dicintanya sebelum ia tahu bahwa pemuda itu kakak misannya. Dan ia membandingkan keduanya. Agaknya Yauw Tek ini tidak kalah hebat, baik ketampanannya, sikapnya maupun kepandaiannya. Dan Li Hong kini benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda yang dikaguminya itu!

   "Hong-moi, mempelajari ilmu yang tinggi bukan semudah membalikkan telapak tangan," kata Ceng Ceng.

   "Membutuhkan bakat, waktu, dan ketekunan. Yauw-twako mana bisa menggunakan banyak waktu untuk mengajarkan Hoat-lek kepadamu?"

   Yauw Tek tersenyum.

   "Benar seperti yang dikatakan Ceng-moi tadi, Hong-moi. Mempelajari itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan bertingkat. Pertama harus mampu menguasai diri sendiri, lalu menguasai orang lain, kemudian menguasai semua mahluk, baru dapat menguasai benda mati."

   Kui-tung Sin-kai dengan gembira lalu menyuruh anak buahnya menyiapkan dua buah kamar untuk tiga orang tamunya yang kini dia hormati. Tahulah dia bahwa bukan Yauw Tek saja yang lihai, juga dua orang gadis itu bukanlah ahli silat sembarangan. Dia juga mengadakan perjamuan untuk menghormati mereka dan sebelum saat pibu tiba, yaitu besok lusa, tiga orang tamu itu diberi kebebasan sepenuhnya tinggal di perkampungan Ang-tung Kai-pang.

   Malam itu bulan bersinar terang, hampir bundar sempurna. Langit cerah jernih tanpa ada awan menghalang sehingga permukaan Bukit Cemara itu tampak gemilang bermandikan cahaya bulan yang lembut. Udara sejuk dengan hembusan angin semilir lembut. Sejak bulan muncul tadi, anak-anak diperkampungan Ang-tung Kai-pang bermain-main di luar rumah, bernyanyi-nyanyi dan menari dengan gembira. Seluruh keluarga para anggauta Ang-tung Kai-pang bergembira bukan hanya karena malam itu cerah dan indah, akan tetapi juga mereka merasa gembira dan lega karena ketua mereka kini dibantu oleh tiga orang pendekar muda yang lihai sehingga tidak perlu khawatir dengan tantangan pi-bu dari Hek Pek Mo-ko.

   Setelah malam agak larut, anak-anak disuruh masuk rumah oleh orang tua mereka. Di dalam taman bunga di belakang gedung rumah induk tempat tinggal ketua Ang-tung Kai-pang, tampak Ceng Ceng duduk seorang diri. Taman itu indah sekali menerima sinar bulan, ditambah udara yang segar dan penuh keharuman bunga, membuat Ceng Ceng seperti dalam keadaan samadhi atau melamun. Ketika kenangan muncul dalam hatinya, teringat akan keadaan dirinya yang telah kehilangan orang tua, kehilangan guru, hidup sebatang kara dan kini bahkan pesan ayahnya tak dapat ia laksanakan dengan baik, perasaan sedih menyelimuti hatinya.

   Kemudian muncul bayangan Pouw Cun Giok, pemuda yang dicintanya dan yang mencintanya. Pemuda itu ternyata telah bertunangan dengan gadis lain. Ini berarti ia telah kehilangan segala-galanya, kehilangan orang-orang yang dicintanya. Hatinya semakin tertekan rasa duka. Akan tetapi kesadarannya mengingatkan bahwa membiarkan pikirannya sendiri memperdalam rasa iba diri, hal itu hanya akan melemahkan hatinya dan dapat berakibat mengganggu kesehatan tubuhnya. Maka, ia menghela napas panjang berulang kali, mengumpulkan hawa udara segar dan perlahan-lahan semua kesenduan hatinya dapat dikurangi.

   "Ceng-moi," Suara Yauw Tek lembut sekali memanggil di belakangnya.

   Ceng Ceng bangkit berdiri dari bangku dan memutar tubuhnya. Mereka berdiri berhadapan. Ceng Ceng melihat betapa sinar mata pemuda itu tampak aneh, tidak seperti biasanya. Sepasang mata itu bersinar tajam mencorong dan bibir itu tersenyum. Wajah Yauw Tek tampak tampan bukan main. Ada suatu dorongan kuat sekali yang membuat hati Ceng Ceng tertarik dan seolah terpesona oleh ketampanan wajah pemuda itu. Namun, ia kembali mengambil napas panjang dan dapat membebaskan diri dari pengaruh daya tarik ini, walaupun jantungnya masih berdebar aneh. Ia tahu bahwa perasaan tertarik ini terdorong nafsu berahi yang tidak wajar, maka ia segera melangkah mundur.

   "Ah, kiranya engkau, Yauw-twako," katanya lembut.

   "Sialakan duduk, Twako."

   Yeuw Tek tersenyum dan kini pandang matanya biasa lembut lagi, tidak mencorong mempesonakan seperti tadi.

   "Terima kasih, Ceng-moi. Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini dan maaf kalau aku mengganggu ketenanganmu."

   "Ah, sama sekali tidak, Twako. Aku sedang menikmati malam yang begini indah. Bulan bersinar terang, udara sejuk menyegarkan dan keharuman bunga sungguh membuat hati menjadi nyaman," kata Ceng Ceng bersungguh-sungguh sambil menyedot napas panjang.

   Yauw Tek memandang ke sekeliling, lalu menengadah memandang bulan dan dia pun menyedot udara yang segar itu sehingga dada dan perutnya penuh hawa segar.

   "Benar sekali, Ceng-moi. Malam ini sungguh teramat indah. Sesungguhnyalah kalau aku mengatakan bahwa selama hidupku yang duapuluh dua tahun ini, baru saat ini aku menyaksikan saat yang begini indah dan membahagiakan hatiku. Ceng-moi dapatkah engkau menerangkan kepadaku mengapa aku saat ini memiliki perasaan yang begini berbahagia dan segala sesuatu tampak indah sekali?"

   "Twako, sesungguhnyalah kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita. Kalau kita dapat menerima segala sesuatu seperti apa adanya tanpa menolak tanpa mengharapkan, maka bahagia juga akan selalu ada bersama dengan kita. Hanya kalau nafsu perasaan menguasai hati akal pikiran, maka segala sesuatu tidak akan terasa bahagia lagi karena muncul segala macam keinginan akan kesenangan yang tak kunjung habis ingin kita raih. Yauw-twako, engkau berbahagia saat ini karena engkau menikmati apa adanya dan tidak menginginkan apa pun yang tidak ada padamu. Bukankah demikian, Yauw-twako?"

   Yauw Tek mengangguk-angguk dan memandang kagum.

   "Pendapatmu itu memang benar sekali, Ceng-moi. Sungguh aku merasa heran dan kagum bagaimana seorang gadis muda seperti engkau ini memiliki pendapat tentang kebahagiaan yang sama dengan pendapat para pendeta Lhama di Tibet dan pendapat para pertapa di Himalaya. Akan tetapi kebahagiaan dan keindahan yang kurasakan saat ini bukan hanya disebabkan oleh penerimaan keadaan tanpa diganggu hati akal pikiran, Ceng-moi. Aku yakin betul bahwa kebahagiaan ini muncul dalam hatiku hanya oleh adanya suatu sebab."

   "Eh? Apakah yang menjadi sebabnya, Twako?" Ceng Ceng mengangkat muka menatap wajah pemuda itu.

   Yauw Tek juga sedang menatapnya dan dua pasang mata bertemu dan bertaut. Kembali Ceng Ceng merasa getaran yang amat kuat menyentuh perasaannya dan jantungnya berdebar.

   "Yang menyebabkan semua keindahan dan kebahagiaan ini adalah engkau, Ceng-moi, dirimu......" Kedua tangan Yauw Tek menyentuh kedua pundak gadis itu dan dia hendak menarik dan mendekapnya. Akan tetapi, sentuhan tangan itu bahkan seolah menyentak, membuat gadis itu terkejut dan lenyaplah getaran aneh yang amat menarik hatinya tadi. Dengan lembut namun cepat dan kuat, ia membebaskan kedua pundak dari pegangan tangan pemuda itu dan cepat melangkah ke belakang.

   "Tidak, Twako! Jangan sentuh aku. Sayang kalau seorang pemuda seperti Twako terseret oleh gelombang nafsu!" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan taman menuju rumah induk di mana ia bermalam.

   Yauw Tek masih berdiri dan pemuda itu menundukkan kepalanya, tak bergerak seperti sebuah patung. Agaknya sikap Ceng Ceng tadi membuat dia terkejut, heran, dan kecewa. Tak disangkanya sama sekali gadis itu akan menolak pendekatannya. Padahal setiap harinya, sikap Ceng Ceng demikian ramah dan akrab. Sejak pertemuan pertama dia memang sudah kagum sekali kepada Ceng Ceng.

   Tiba-tiba terdengar gerakan kaki orang di belakangnya. Yauw Tek menyadari keadaannya dan bersikap biasa kembali.

   "Yauw-twako......!"

   Yauw Tek cepat membalikkan badannya dan Li Hong sudah berdiri di depannya. Sepasang mata gadis itu bersinar dan alisnya yang hitam melengkung itu berkerut.

   "Eh, engkau, Hong-moi? Engkau juga tertarik oleh malam yang indah ini? Duduklah, Hong-moi," kata Yauw Tek dengan sikap ramah dan lembut seperti biasanya.

   Akan tetapi gadis itu tidak duduk dan matanya menatap wajah Yauw Tek dengan penuh selidik.

   "Twako, apa yang terjadi antara engkau dan Enci Ceng tadi?"

   Ditanya dengan nada marah itu, Yauw Tek tersenyum lebar.

   "Aih, Hong-moi apa maksudmu dengan pertanyaan ini?"

   "Tidak perlu menyangkal, Twako. Ketika aku memasuki taman ini tadi, aku melihat Enci Ceng berada di sini denganmu, lalu ia pergi. Apa yang kalian lakukan, berduaan di sini?"

   "Hong-moi, mengapa engkau bersikap seperti ini dan seperti menyangka yang bukan-bukan? Kami hanya bicara biasa, tidak terjadi sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi, kalau engkau masih penasaran, engkau tanyalah saja kepada Ceng-moi sendiri. Mengapa engkau tampak seperti orang marah, Hong-moi?" kata Yauw Tek yang sudah tahu akan watak Ceng Ceng sehingga dia yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak akan bicara tentang peristiwa dengannya tadi.

   "Betulkah tidak terjadi sesuatu antara kalian, Twako? Aku hanya khawatir. Aku harap engkau tidak mengganggu Enci Ceng. Ketahuilah bahwa selain ia Enciku yang tersayang, juga Enci Ceng telah mencinta seorang pemuda lain, yaitu Kakak Misanku sendiri!"

   Yauw Tek mengembangkan kedua lengannya dan tertawa.

   "Ha-ha, engkau ini lucu dan aneh. Hong-moi. Aku tidak berbuat apa-apa terhadap Ceng-moi dan syukurlah kalau ia sudah memiliki pilihan hati. Aku memang sayang ia sebagai seorang sahabat, Hong-moi, lain tidak!"

   "Dan engkau tidak sayang padaku?" Li Hong bertanya penuh iri.

   "Sayang padamu? Aih, Hong-moi, apakah selama ini engkau belum merasakan atau menyadari betapa besar rasa sayangku kepadamu?" Yauw Tek memandang wajah Li Hong dengan tajam dan mesra.

   Memang sejak pertemuan pertama dengan dua orang gadis itu, hati Yauw Tek sudah terpikat oleh keduanya. Baik Ceng Ceng maupun Li Hong amat cantik jelita dan mempesonakan hatinya, keduanya memiliki daya tarik yang luar biasa dan amat kuat walaupun sifat mereka itu berbeda seperti bumi dan langit. Ceng Ceng bagaikan air telaga yang tenang dan dalam sehingga berdekatan dengan Ceng Ceng membuat dia merasa tenteram, aman, dan damai yang menyejukkan hati. Sebaliknya, Li Hong bagaikan air samudera yang menggelora sehingga dekat dengan gadis itu membuat dia bersemangat dan gembira!

   "Sayangmu padaku juga sebesar sayangmu kepada Enci Ceng?" tanya Li Hong, kini kemarahannya tadi sirna dan ia merasa senang sekali mendengar pernyataan Yauw Tek tadi. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa terhadap Yauw Tek timbul perasaan seperti yang ia rasakan dahulu terhadap Pouw Cun Giok! Ia jatuh cinta kepada Yauw Tek.

   "Sama besarnya tapi tak sama, Hong-moi. Kalau aku sayang Ceng-moi dan ingin ia menjadi sahabatku yang terbaik, aku menyayangmu dan ingin agar engkau menjadi......" Yauw Tek tidak melanjutkan ucapannya.

   Tentu saja Li Hong semakin penasaran dan tertarik. Saking tegang hatinya, ia memegang tangan Yauw Tek, mengguncang-guncang tangan itu dan mendesak.

   "Menjadi apa, Twako? Hayo katakan, engkau ingin aku menjadi apa?"

   "......menjadi ......menjadi ......teman hidupku selamanya......"

   
   

   "Ahh""!" Li Hong menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Rasanya lemas seluruh sendi tulangnya. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya agak gemetar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa senang bahagia, ada terharu, ada pula perasaan lain yang ia tidak mengerti benar. Ia hanya menundukkan mukanya karena baru pertama kali ini ia menerima pengakuan cinta seorang pemuda yang memang telah menjatuhkan hatinya!

   Dengan hati-hati Yauw Tek duduk pula di atas bangku, namun tidak terlalu dekat dengan Li Hong, melainkan di ujung bangku.

   "Maafkan aku, Hong-moi. Maafkan kalau ucapanku tadi menyinggung hatimu. Ah, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Bagaimana mungkin seorang pemuda sebatang kara dan miskin seperti aku ini berani mencinta seorang gadis puteri majikan Pulau Ular seperti dirimu? Maafkan aku, atau kalau engkau tersinggung dan marah, pukullah aku, aku tidak akan melawan, Hong-moi......" Suara pemuda itu bernada penuh sesal dan sedih.

   Mendengar ucapan yang bernada sedih dari Yauw Tek, Li Hong mengangkat muka memandang. Dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, dan jantung Hong tergetar hebat. Sinar mata pemuda itu demikian penuh kasih sayang, seolah membelal-belai hatinya.

   "Yauw-twako, mengapa engkau berkata begitu? Tidak ada perlu dimaafkan, dan jangan engkau terlalu merendahkan diri. Aku hargai pernyataan hatimu tadi, bahkan aku merasa berbahagia sekali, Twako, aku senang sekali......"

   Yauw Tek menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Li Hong. Seolah ada getaran keluar dari duapuluh buah jari tangan itu dan terasa oleh keduanya. Jari-jari tangan yang hanya saling pegang itu seolah saling cengkeram dengan penuh kemesraan.

   "Aduh, terima kasih, Hong-moi! Aku menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini! Katakanlah, Hong-moi, engkau menerima cintaku dan engkau juga mencintaku?"

   Li Hong menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

   "Aku...... aku terima cintamu, Twako, dan tentang perasaan hatiku...... entahlah, saat ini belum dapat aku memastikan. Akan tetapi aku bahagia, aku senang......!" Mereka saling pandang dan bibir mereka merekah dalam senyum.

   Yauw Tek tidak berani mendesak. Juga dia menahan diri membatasi tindakannya yang mungkin akan membuat gadis yang lincah ini marah. Kedua tangan mereka masih saling berpegangan dan ketika dengan lembut Yauw Tek menarik, Li Hong tidak menentang dan di lain saat gadis itu telah menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek, membiarkan pemuda itu merangkul dan memeluknya! Mereka berdiam diri namun keduanya seolah tenggelam dalam kemesraan. Hanya jantung mereka yang berdetak keras seolah hati mereka yang bicara.

   "Twako, dapatkah aku percaya kata-katamu, bahwa engkau sungguh mencintaiku dan tidak akan membagi cinta dengan wanita lain?"

   "Aku bersumpah demi Langit dan Bumi, disaksikan Bulan yang bersinar terang itu, Hong-moi, bahwa aku sungguh mencintaimu dan tidak akan membagi cintaku dengan wanita lain."

   Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas panjang.

   "Aku bahagia sekali, Twako......"

   "Engkau juga mencintaiku, bukan?"

   "Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat mengambil keputusan." Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.

   "Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang kita berdua berada di sini malam-malam begini."

   "Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana," kata Yauw Tek dan mereka bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.

   Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek! Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya secara terbuka.

   Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu, Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya penuh oleh rasa bahagia.

   Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat panca-indera, melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam gangguan, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.

   Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya. Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur, mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik angkatnya.

   "Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku!"

   "Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada!"

   "Aih, apa yang terjadi, Adikku? Aku ikut girang mendengar engkau bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?"

   "Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia sekali!"

   "Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia? Apakah yang terjadi denganmu?"

   Li Hong tersenyum dan mengerling tajam.

   "Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami berbincang-bincang......"

   "Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau demikian gembira dan bahagia, Adikku?"

   "Bermacam-macamlah! Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi, aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman! Kalian bercakap-cakap di dalam taman, bukan? Apa saja yang kalian bicarakan?"

   Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang.

   "Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku? Memang aku bertemu dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan kami bercakap-cakap biasa saja."

   Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan, sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul kakak angkatnya itu.

   "Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku""! Eh, Enci Ceng yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?"

   "Ih, anak nakal! Mengapa engkau tanyakan hal itu? Bagaimana aku dapat menjawabnya?"

   "Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling mencinta? Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?"

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah jangan terlalu mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?"

   "Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci Ceng, dia...... Yauw-twako...... dia mengatakan bahwa dia...... dia mencintaiku!" Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.

   Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li Hong! Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa, akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta?

   "Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau juga mencintanya?"

   "Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi...... aku tidak yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan kepadamu."

   Ceng Ceng merangkul Li Hong.

   "Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta. Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu karena hal itu akhirnya akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah, bahkan saling membenci."

   "Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?"

   "Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lentah. Kalau sebuah perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk, sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir dan mengejek."

   "Wah, ini tidak adil! Harus diberantas!" Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah.

   "Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya!"

   "Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah jumlahnya!"

   Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu, derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu diperebutkannya dengan taruhan nyawa!

   "Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku. Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyia-nyiakan pasangannya? Rasanya aku tidak percaya, Enci!"

   "Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyia-nyiakanmu dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya, Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhati-hati dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat menerima cintanya."

   Li Hong mengangguk-angguk.

   "Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta, seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu selama belasan tahun."

   "Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah, Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih."

   Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya. Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya itu.

   "Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak, kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah membuatmu menderita dan sedih."

   Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan.

   "Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi? Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita, itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari hasil tanamanku sendiri."

   "Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana sekali!"

   "Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri, harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku, walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan perbuatan."

   Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun yang dicuri orang.

   Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya, dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa.

   Di sebeiahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak tampan dan gagah.

   "Para anggauta Kai-pang!" seru ketua itu dengan lantang.

   "Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu (adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku, semua dilarang turun tangan menyerang!"

   Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.

   Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan di mana kemarin dulu anggauta Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan lain adalah Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah mereka sekitar limapuluh orang.

   Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.

   Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata dengan nada tinggi hati.

   "Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sin-kai!"

   Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan lantang penuh wibawa.

   "Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri! Apa sebenarnya niat buruk kalian karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat itu?"

   "Heh-heh-heh-heh!" Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang.

   "Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu!"

   "Hemm, tuduhan membabi buta! Apa dasar dan alasan maupun buktinya bahwa kami melakukan pencurian itu?"

   "Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas! Kalian ini hidup sebagai pengemis yang selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?" kata Hek Mo-ko.

   "Heii! Babi muka hitam dan anjing muka putih! Aku tahu sekarang! Kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian, padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi pencuri!" seru Li Hong.

   Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh seorang gadis muda seperti ini!

   "Perempuan keparat!" Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga mengeluarkan asap hitam.

   "Derrrr......!" Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik, sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka hitam itu.

   Ketua Kai-pang melangkah maju.

   "Hek Pek jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu kepandaian? Satu lawan satu? Aku yang akan maju! Kalian maju berdua? Aku akan maju bersama saudara mudaku ini! Ataukah kalian mau secara keroyokan mengerahkan orang-orangmu? Kami juga tidak akan mundur dan sudah siap!"

   Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis.

   "Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini? Benarkah dia anggauta Kai-pang? Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?"

   "Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek," kata pemuda itu singkat.

   Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan, pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya. Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam) seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kong-ciang (Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orang-orang muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang, sebanding dengan anak buah mereka sendiri.

   Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka!

   "Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan menandingi kami?"

   "Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian berdua," kata Kui-tung Sin-kai menjawab.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali!" Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah.

   "Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya! Kui-tung Sin-kai apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini?"

   Ketua Kai-pang itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.

   "Hek Pek Mo-ko, pihakmu yang pertama menghina kami, kemudian kalian pula yang menantang pi-bu! Kalau kalian kalah, kalian harus menarik kembali tuduhan kalian bahwa kami mencuri harta karun dan minta maaf kepada kami!"

   "Ha-ha, baik, kami terima taruhanmu itu. Akan tetapi sebaliknya kalau kalian kalah dan kami yang menang, engkau harus menyerahkan dua orang nona manis itu kepada kami, untuk kami jadikan isteri kami!" kata Pek Mo-ko sambil memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng dengan mata penuh gairah.

   Li Hong merasa dadanya seperti dibakar dan hendak meledak mendengar ucapan Pek Mo-ko itu. Tak mungkin ia mendiamkan saja hinaan itu.

   "Anjing belang putih busuk!" Ia berteriak dan sudah melompat dengan cepat, menyerang Pek Mo-ko bagaikan seekor singa yang menerkam lawan! Begitu menyerang, ia telah mempergunakan Hek-tok-tong-sim-ciang yang ampuh. Telapak tangannya berubah menghitam dan begitu angin pukulannya menyambar, Pek Mo-ko sudah merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat itu. Dia terkejut dan cepat dia miringkan tubuh dan menangkis dengan ilmu andalannya, yaitu Pek-tok-ciang!

   "Wuuutt...... derrr......!!" Tubuh Pek Mo-ko terdorong ke belakang dan Li Hong juga merasa betapa lengannya tergetar. Namun ia tidak gentar dan menyerang terus. Pek Mo-ko cepat mencabut pedangnya dan balas menyerang!

   "Anjing, mampuslah!" Li Hong membentak dan tampak sinar hitam menyambar. ketika ia mencabut Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) lalu pedangnya berkelebat menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi mencicit mengerikan!

   Pek Mo-ko makin terkejut, akan tetapi dia pun bukan seorang lemah, melainkan seorang ahli pedang yang lihai, maka dia pun melawan mati-matian sehingga terjadilah perkelahian dengan pedang yang amat seru. Melihat betapa lihainya Li Hong, Hek Mo-ko mengkhawatirkan adiknya. Mereka berdua memang memiliki keistimewaan, yaitu ketangguhan mereka menjadi berlipat ganda kalau mereka maju bersama. Mereka telah membentuk ilmu pedang dan golok yang disatukan saling bantu dalam penyerangan dan saling melindungi dalam pertahanan. Maka Hek Mo-ko lalu melompat dan maju mengeroyok Li Hong!

   
HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 08


   "Hemm, kalian berdua manusia curang!" terdengar seruan lembut dan bayangan putih berkelebat cepat sekali ketika Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng sudah melompat dan terjun ke arena pertempuran untuk membantu adik angkatnya yang dikeroyok. Ceng Ceng yang menggunakan senjata ranting, namun karena gerakannya yang luar biasa cepat dan ringannya, dan tenaga sin-kang tinggi yang membuat ranting itu menjadi senjata yang kuat dan berbahaya, maka begitu diterjang oleh gadis ini, Hek Mo-ko terpaksa melindungi dirinya dari ancaman bayangan putih yang seolah mengepung dan mengitari dirinya itu!

   Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek hanya saling pandang dan Yauw Tek menggerakkan kedua pundaknya tanda bahwa dia tidak berdaya. Memang tidak mungkin mencegah Li Hong bertindak. Tidak mungkin mencoba untuk menghentikan Li Hong yang mengamuk itu. Dan Ceng Ceng hanya membantu Li Hong melihat adiknya dikeroyok. Tentu saja kedua orang gagah ini tidak mau maju mengeroyok walaupun pi-bu itu kini salah alamat. Yang ditantang adalah Ketua Kai-pang, akan tetapi kini yang maju adalah dua orang gadis luar yang sama sekali bukan anggauta Ang-tung Kai-pang!

   Akan tetapi melihat Yauw Tek agaknya tidak dapat menghentikan amukan Li Hong yang kini dibantu Ceng Ceng, Kui-tung Sin-kai juga tidak berani turun tangan dan terpaksa dia hanya menjadi penonton. Ketua Kai-pang ini pun terkejut dan kagum bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian Yauw Tek, akan tetapi melihat sepak terjang dua orang gadis cantik itu ketika melawan Hek Pek Mo-ko, dia benar-benar kagum. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dua orang gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian hebatnya sehingga mereka bedua mampu menandingi Hek Pek Mo-ko!

   Sementara itu, Yauw Tek juga tidak dapat berbuat sesuatu. Dia tidak berani menghentikan atau mencegah dua orang gadis itu, terutama Li Hong, untuk berhenti mengamuk. Dan dipikir memang dua orang macam Hek Pek Mo-ko itu pantas untuk diberi hajaran keras!

   Anak buah kedua pihak juga tercengang melihat perubahan keadaan ini. Mereka tidak jadi melihat kedua pimpinan mereka melakukan pi-bu, melainkan dua orang gadis jelita yang amat lihai bertanding mati-matian melawan Hek Pek Mo-ko! Ketika Kui-tung Sin-kai memandang kepada Yauw Tek dengan sinar mata mengandung pertanyaan dan minta pendapat, Yauw Tek menggelengkan kepala.

   "Biarkan saja, Pangcu. Tidak mungkin menghentikan Hong-moi, dan aku kira mereka tidak akan kalah. Aku sudah siap melindungi mereka kalau terancam bahaya."

   Legalah hati Kui-tung Sin-kai mendengar ini. Tentu saja hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali kalau sampai dua orang gadis itu menderita luka atau tewas karena membela perkumpulannya.

   Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Mula-mula mereka memang bertanding secara terpisah. Pek Mo-ko melawan Li Hong, dan Hek Mo-ko melawan Ceng Ceng. Akan tetapi dalam pertandingan satu lawan satu ini, Pek Mo-ko kalah ganas dibandingkan Li Hong, sedangkan Hek Mo-ko kalah cepat dari lawannya, Ceng Ceng. Maka, melihat pihaknya terdesak, Hek Mo-ko memberi isyarat dan mereka berdua kini bekerja sama, menggabungkan ilmu silat pedang dan golok mereka.

   Begitu mereka bergabung, memang dua orang gadis itu terkejut dan agak kewalahan. Lawan yang bergabung itu menjadi kuat bukan main, juga mereka menggunakan penggabungan tenaga Hek-tok-ciang dan Pek-tok-ciang, menambah serangan senjata mereka dengan dorongan pukulan tangan kiri mereka yang berubah hitam dan putih.

   Namun, Li Hong menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan ilmu andalannya, yaitu Hek-tok-tong-sim-ciang, sedangkan Ceng Ceng mengandalkan kelebihannya dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan sulit untuk dapat dijadikan sasaran.

   Melihat betapa Hek Pek Mo-ko menjadi kuat sekali setelah menjadi pasangan yang tergabung, Yauw Tek mengerutkan alisnya. Berbahaya juga bagi dua orang gadis itu kalau keadaannya terus begini, pikirnya. Dia diam sejenak memperhatikan jalannya pertandingan lalu dia berseru kepada dua orang gadis itu.

   "Ceng-moi, engkau bagian pertahanan dan Hong-moi di bagian penyerangan!"

   Dua orang gadis itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan Yauw Tek dengan seruan itu. Yauw Tek memang sudah memperhitungkan ketika dia mengamati perkelahian itu. Li Hong amat ganas dengan penyerangannya, membahayakan lawan. Sedangkan Ceng Ceng yang memiliki gerakan luar biasa cepatnya itu, lebih kuat dalam pertahanan. Hal ini mungkin karena watak lembut dan hati penuh kedamaian itu membuat Ceng Ceng tidak terlalu kejam dan bahkan tidak tega untuk membunuh lawan sehingga penyerangannya kurang ganas, tidak seperti Li Hong yang mengamuk seperti seekor naga marah!

   Dua orang gadis perkasa itu percaya sepenuhnya kepada Yauw Tek. Maka, mendengar seruan pemuda itu, mereka lalu mengubah cara tata kelahi mereka. Li Hong mengamuk dan membagi-bagi serangannya kepada dua orang lawan itu, sedangkan Ceng Ceng dengan gerakannya yang cepat membentuk pertahanan dan rantingnya membentuk perisai yang kuat dan yang dapat menahan atau menangkis semua serangan golok dan pedang Hek Pek Mo-ko!

   Perkelahian itu semakin seru dan menegangkan. Akan tetapi juga indah ditonton. Menakjubkan sekali melihat bayangan putih Ceng Ceng berkelebatan seolah menjadi banyak, berkelebatan di antara bayangan hitam dan putih dari Hek Pek Mo-ko, ditambah sinar pedang Ban-tok-kiam di tangan Li Hong, sinar putih pedang dan golok di tangan Hek Pek Mo-ko, dan sinar kuning dari ranting yang digerakkan Ceng Ceng!

   Para anak buah kedua pihak menonton dengan penuh rasa kagum, tegang dan juga terkejut karena semula tidak ada yang mengira bahwa dua orang gadis cantik itu memiliki kepandaian setinggi itu. Yang paling terkejut dan juga cemas adalah Hek Pek Mo-ko. Tadi ketika mereka bergabung, mereka hampir yakin akan mampu mengalahkan dua orang gadis itu. Akan tetapi sekarang ternyata pertahanan yang dilakukan gadis baju putih yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat itu kokoh sekali, juga serangan-serangan gadis yang memiliki pedang hitam mengerikan itu amat berbahaya dan ganas. Kini mereka menyadari bahwa kalau dilanjutkan, mereka akan kalah dan mendapat malu. Maka, untuk mencari jalan agar dapat keluar dari desakan Li Hong, Hek Mo-ko berseru memberi isyarat kepada anak buahnya.

   Mendengar isyarat ini, sekitar limapuluh orang anak buah Hek Pek Mo-ko bersorak dan mereka maju dengan senjata di tangan, hendak mengeroyok dua orang gadis itu. Tentu saja Kui-tung Sin-kai segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyambut mereka. Dia sendiri juga mengamuk dengan tongkat merahnya.

   Anak buah Hek Pek Mo-ko itu pun maju dua-dua seperti pimpinan mereka. Seorang anggauta berpakaian hitam ditemani seorang anggauta berpakaian putih dan senjata mereka yang berlainan, yang hitam bersenjata golok, yang putih pedang, dan mereka bergerak saling bantu dengan kompak sekali! Terjadilah pertempuran yang seru di antara anak buah kedua pihak. Yauw Tek sendiri hanya menonton karena dia merasa kurang adil kalau dia melawan para anak buah Hek Pek Mo-ko yang tentu saja tidak akan mampu menandinginya.

   Hek Pek Mo-ko yang sudah memperhitungkan keadaan, ketika beberapa orang anak buah mereka datang membantu, mereka menggunakan kesempatan selagi terjadi kekacauan itu, mereka melompat jauh ke belakang dan melarikan diri!

   "Anjing-anjing busuk, kalian hendak lari ke mana?" Li Hong melompat dan melakukan pengejaran memasuki hutan.

   "Hong-moi......!" Ceng Ceng hendak mengejar, akan tetapi Yauw Tek sudah berada di dekatnya.

   "Ceng-moi, biarkan aku yang mengejar Hong-moi." Pemuda itu memandang ke sekeliling di mana terjadi pertempuran itu.

   "Engkau di sini saja membantu Ketua Kai-pang." Sebelum Ceng Ceng menjawab Yauw Tek sudah melompat dan mengejar ke arah larinya Li Hong yang mengejar dua orang lawannya itu.

   Pertempuran itu masih berlangsung seru. Ketika para anak buah Hek Pek Mo-ko melihat dua orang pemimpin mereka melarikan diri, hati mereka merasa gentar. Sudah ada belasan orang rekan mereka yang roboh. Maka setelah tidak ada lagi yang memimpin, mereka lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan lima orang rekan yang sudah tewas.

   Kui-tung Sin-kai melarang anak buahnya untuk melakukan pengejaran terhadap lawan yang melarikan diri. Ceng Ceng sibuk memeriksa dan mengobati sembilan orang anak buah Kai-pang yang terluka. Tidak ada yang tewas di antara mereka. Sebelum kembali ke perkampungan mereka, Kui-tung Sin-kai memerintahkan anak buahnya untuk mengubur mayat lima orang anggauta Hek Pek Mo-ko.

   Melihat ini, Ceng Ceng semakin suka kepada Ketua Kai-pang itu. Sebaliknya, Kui-tung Sin-kai kagum bukan main melihat betapa cekatan dan pandainya Ceng Ceng mengobati mereka yang terluka. Gadis yang lemah lembut ini, selain lihai ilmu silatnya, ternyata juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai pula.

   Setelah semua selesai dan para anggauta Kai-pang disuruh pulang, Kui-tung Sin-kai berkata kepada Ceng Ceng.

   "Nona Liu, bagaimana dengan Nona Tan dan Yauw-sicu yang mengejar musuh tadi?"

   "Pangcu, tadi ketika terjadi serbuan dari anak buah Hek Pek Mo-ko, dalam kekacauan itu Hek Pek Mo-ko lalu melarikan diri. Hong-moi segera mengejar mereka. Hong-moi tidak dapat dicegah, Pangcu, karena ia memang berhati keras dan membenci Hek Pek Mo-ko yang telah menghinanya. Aku hendak mengejar, akan tetapi Yauw-twako melarangku, menyuruh aku tinggal dan dialah yang melakukan pengejaran."

   "Hemm, berbahaya sekali." Ketua Kai-pang itu mengelus jenggotnya yang panjang.

   "Sekarang Hek Pek Mo-ko berada di bagian Utara pegunungan ini, di Bukit Batu yang terletak jauh dari sini yang berada di bagian Selatan. Dua orang itu licik dan berbahaya, aku khawatir kalau-kalau Nona Tan akan terjebak oleh mereka."

   "Tidak perlu khawatir, Pangcu. Hong-moi memiliki ilmu silat yang amat tangguh, cukup kuat untuk menjaga diri. Apalagi ada Yauw-twako yang mengejarnya."

   "Syukurlah kalau begitu, hatiku tidak gelisah lagi. Nona Liu, sekarang terbuktilah bahwa urusan harta karun Kerajaan Sung yang kabarnya dicuri orang yang berasal dari Thai-san sudah diketahui banyak orang dan pasti akan menggegerkan dunia kang-ouw. Hek Pek Mo-ko sudah menuduh bahwa Ang-tung Kai-pang sebagai pencurinya. Bagaimana menurut pendapatmu? Benarkah pendapat Nona Tan tadi bahwa agaknya Hek Pek Mo-ko sendiri yang mencurinya dan hendak mengalihkan perhatian agar orang-orang mengira kami yang mencurinya?"

   "Biarpun perkiraan Hong-moi itu mungkin dilakukan oleh pencuri harta karun untuk mengalihkan perhatian sehingga si pencuri sendiri tidak dicurigai, akan tetapi menurut pendapatku, agaknya Hek Pek Mo-ko tidak mencuri harta itu. Mereka memang mengira bahwa harta itu ada pada Ang-tung Kai-pang, maka mereka sengaja mencari permusuhan. Tentu saja dengan harapan kalau mereka dapat mengalahkan dan menguasai Ang-tung Kai-pang, harta karun itu akan dapat mereka miliki. Tidak, Pangcu, kukira pencurinya adalah orang yang jauh lebih lihai dan berbahaya dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Orang yang berani menantang seperti pencuri itu dengan mengaku bahwa dia datang dari Thai-san, pasti bukan orang sembarangan dan dia sudah yakin bahwa dia mampu menandingi siapa saja yang hendak mengganggunya."

   Mereka lalu pulang dan menanti kembalinya Li Hong dan Yauw Tek di perkampungan Ang-tung Kai-pang.

   Akan tetapi setelah menanti sehari semalam Li Hong dan Yauw Tek belum juga kembali ke perkampungan itu, Kui-tung Sin-kai mulai merasa gelisah. Bagaimanapun juga, Li Hong dan Yauw Tek adalah tamunya yang telah membela Ang-tung Kai-pang sehingga mereka terlibat permusuhan dengan Hek Pek Mo-ko. Kalau mereka tertimpa bencana, dia merasa bertanggung jawab. Ketika dia mengemukakan kekhawatirannya kepada Ceng Ceng, gadis itu berkata tenang.

   "Harap Pangcu tenang. Aku percaya sepenuhnya kepada Hong-moi dan Yauw-twako. Mereka pasti mampu menjaga diri dengan baik. Tentu ada sesuatu yang sedang mereka selidiki maka mereka belum kembali ke sini."

   "Akan tetapi, bagaimana kalau sesuatu itu mengancam keselamatan mereka? Aku merasa tidak enak sekali karena mereka terlibat karena membela kami."

   Ceng Ceng tersenyum memandang ketua itu.

   "Baiklah, Pangcu. Aku akan menyusul mereka." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng berkemas lalu pergi mencari Yauw Tek dan Li Hong. Ketika Kui-tung Sin-kai hendak menemaninya atau menyuruh anak buahnya mengawal, Ceng Ceng menolaknya dengan halus. Ia mengatakan bahwa ia biasa melakukan perjalanan seorang diri dan minta agar ketua itu tidak khawatir.

   Dengan penuh kemarahan Li Hong melakukan pengejaran terhadap Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang melarikan diri ke dalam hutan. Dua orang itu telah berani menghinanya, karena itu ia tidak akan merasa puas sebelum dapat membunuh mereka! Sebetulnya, dalam hal ilmu berlari cepat, Li Hong masih lebih unggul dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi kelebihannya ini tidak ada artinya karena ia sama sekali tidak mengenal daerah itu. Maka terkadang ia kehilangan bayangan dua orang yang dikejarnya.

   Li Hong tidak mau menghentikan pengejarannya. Ia mencari terus dan setelah mendapatkan jejak mereka, ia mengejar terus dengan penuh semangat. Saking semangatnya, ia tidak menyadari bahwa ia telah melakukan pengejaran setengah hari lebih, juga tidak menyadari bahwa ia telah jauh meninggalkan tempat pertandingan tadi. Ia telah keluar masuk beberapa buah hutan, naik turun beberapa buah bukit dan masih terus ia membayangi dua orang itu, seperti seorang pemburu sedang mengejar dua ekor binatang buruannya!

   Perubahan cuaca tidak disadarinya. Perlahan-lahan cuaca menjadi kurang cerah karena matahari telah condong ke barat. Baru setelah ia memasuki sebuah hutan lebat di lereng Thai-san itu, menyadari bahwa cuaca mulai gelap.

   Hutan itu lebat, penuh pohon-pohon yang tinggi dan besar sehingga sinar matahari yang mulai melemah itu sukar dapat menembus celah-celah pohon. Begitu menyadari bahwa hari telah mulai sore dan ia kembali kehilangan jejak dua orang yang diburunya, Li Hong menyadari keadaannya dan ia menjadi bingung juga. Ia berada di tengah hutan lebat, tidak akan mudah mencari jalan pulang ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Ia juga menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi melanjutkan pengejaran karena sebentar lagi tentu gelap dan tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Dua orang itu tidak akan dapat disusulnya. Ia merasa gemas dan penasaran sekali.

   Ia berdiri di tengah hutan, menghentikan pengejarannya, mengepal kedua tangan dan berkata gemas.

   "Biarlah! Hari ini kalian dapat melarikan diri. Tunggu, aku akan mendatangi sarangmu dan di sana aku akan membunuh Hek Pek Mo-ko!"

   Setelah berkata demikian, ia mulai mencari jalan untuk kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Namun ia menjadi bingung karena di dalam hutan lebat itu ia kehilangan arah. Akan tetapi ia tidak mau kemalaman dalam hutan lebat itu dan melangkah terus untuk dapat keluar dari dalam hutan.

   Senja telah masuk ke dalam hutan. Cuaca mulai remang-remang. Li Hong mulai merasa khawatir. Kalau ia tidak mampu keluar dari dalam hutan sebelum malam tiba, berarti ia harus melewatkan malam di dalam hutan lebat dan gelap itu! Karena cuaca mulai gelap dan hatinya merasa penasaran, jengkel dan agak bingung, kewaspadaannya berkurang. Ketika ia melangkah di bawah sebatang pohon besar, ia menginjak tanah berumput, tiba-tiba kedua kakinya terperosok ke sebuah lubang, disambut sebuah jala dan ia pun terangkat ke atas di dalam sebuah jala hitam yang kuat!

   "Keparat!" Li Hong mengutuk. Ia telah terjerat jebakan yang agaknya dipasang orang untuk menjebak binatang dan menangkapnya hidup-hidup! Li Hong meronta dan meraba gagang pedangnya di punggung. Karena jala itu kuat dan ketat membungkus tubuhnya, agak sukar baginya untuk mencabut pedangnya guna membabat putus jala itu.

   Tiba-tiba, sebelum ia berhasil mencabut pedangnya, sesosok bayangan berkelebat dalam keremangan cuaca itu, lalu cepat sekali bayangan itu memukul tengkuk Li Hong yang masih rebah telentang dalam jala dan tergantung. Li Hong tidak mampu menghindarkan diri dan begitu tengkuknya ditepuk, ia pun pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi!

   Ketika siuman dari pingsannya, Li Hong mendapatkan dirinya berada dalam pondongan seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya telungkup di pundak orang itu dan ketika dengan marah ia hendak mengerahkan tenaga untuk meronta dan melepaskan diri, dengan kaget ia mendapatkan bahwa kaki tangannya tidak mampu digerakkan! Ternyata ia telah tertotok secara lihai sekali sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak dapat mengerahkan tenaga!

   Li Hong adalah seorang gadis pemberani yang cerdik. Ia tidak merasa takut dan tidak bergerak, berpura-pura masih pingsan akan tetapi ia diam-diam memperhitungkan segalanya. Laki-laki tinggi besar yang tak dapat dilihat wajahnya dengan jelas karena cuaca sudah gelap itu, melangkah lebar dan di sebelah kirinya terdapat orang kedua yang berjalan. Orang kedua ini pun tinggi besar dan mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara. Tak lama kemudian, mereka sudah keluar dari dalam hutan itu dan berjalan di atas jalan umum yang kasar berbatu-batu.

   Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk yang berada di tepi jalan, di luar sebuah hutan lagi. Pemanggul tubuh Li Hong berkata dengan suara yang kasar, dalam logat bahasa orang Mongol, kepada temannya.

   "Buka pintunya dan nyalakan lampu," sambil memindahkan tubuh Li Hong dari pundak kiri ke pundak kanan.

   "Magu, gubuk ini punyaku, maka berikanlah gadis itu lebih dulu kepadaku, baru kemudian engkau boleh......"

   "Enak saja engkau! Siapa yang menangkap gadis ini? Perangkapku! Yang masuk perangkapku berarti milikku! Akan tetapi karena engkau rekanku dan engkau yang punya gubuk ini, maka nanti engkau boleh mengambil bagian. Akan tetapi aku lebih dulu! Kalau engkau tidak mau, biar aku mencari tempat lain. Untuk bersenang-senang, tidak harus di dalam gubukmu!"

   "Baiklah, mari masuk," kata orang kedua.

   Mereka memasuki gubuk dan sebuah lampu dinyalakan. Si Pemanggul itu lalu melepaskan tubuh Li Hong ke atas sebuah dipan kayu yang kasar. Tubuh gadis itu rebah telentang. di atas dipan dan kini ia dapat melihat agak jelas wajah kedua orang laki-laki itu dan diam-diam ia merasa ngeri. Mereka itu ternyata merupakan dua orang yang berpakaian kasar seperti para pemburu. Wajah mereka pun tampak bengis dan kasar, dengan mata, hidung dan bibir serba besar. Tubuh mereka juga kokoh dengan otot melingkar-lingkar di lengan dan dada mereka yang bajunya terbuka lebar. Li Hong merasa muak ketika tercium bau keringat dan badan mereka yang apak.

   Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu memandang kepada Li Hong dan mereka tampaknya terkejut dan terpesona. Agaknya mereka tidak pernah membayangkan bahwa tangkapan mereka ternyata seorang gadis yang demikian cantik jelitanya seperti bidadari! Mata mereka yang melotot seperti hendak menelan dan melahap tubuh langsing yang terbujur di hadapan mereka. Sinar mata mereka seperti menggerayangi seluruh tubuh Li Hong, membuat gadis itu merasa ngeri.

   "Wah, Magu, kita untung besar! Seorang dewi yang cantik jelita menjadi kekasih kita! Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali kita!"
"Ya, dan engkau cepat pergi dari sini. Baru besok malam engkau mendapatkan giliran. Malam ini dan besok sehari aku tidak mau diganggu! Engkau berjagalah di luar agar jangan ada yang mengganggu kita!" kata orang yang tadi memanggul Li Hong dan bernama Magu. Temannya mengomel, akan tetapi keluar juga dan duduk di atas batu yang terdapat di luar gubuk itu.

   Sejak tadi Li Hong sudah berusaha untuk meronta, namun tubuhnya belum juga dapat digerakkan. Rasanya lemas seluruh badannya, lemah lunglai. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan suara, yang terdengar hanya suara lirih saja.

   "Lepaskan aku, jahanam...... lepaskan......!" Ia sudah berteriak, namun karena tidak ada tenaganya, suara itu terdengar lirih seperti bisik-bisik saja. Akan tetapi kerut merut di tubuhnya, pandang matanya yang penuh kebencian, agaknya dimengerti oleh Magu bahwa gadis ini dalam hatinya menolaknya dan berusaha untuk meronta. Dia terkekeh.

   "Heh-heh-heh, rupanya engkau keras nati dan tidak mau menyerah, manisku. Engkau perlu dipaksa!" Dia lalu mengambil tali yang cukup kuat dari sudut gubuk itu dan dengan tali itu dia mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kaki Li Hong, diikatkan pada keempat kaki dipan itu. Tentu saja Li Hong ingin memberontak, akan tetapi ia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Kembali Magu tertawa dan memandang kepadanya dengan mata penuh nafsu.

   "Manisku, aku tidak ingin memaksamu, aku ingin engkau menyerahkan diri dengan manis!"

   Setelah berkata demikian, dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya yang kotor, kemudian membawa bungkusan ke meja di sudut di mana terdapat sebuah guci dan beberapa cawan kosong. Dibukanya bungkusan dan dituangkan isinya, bubuk merah, ke dalam cawan lalu cawan itu diisi minuman dari guci. Kemudian dibawanya cawan kecil berisi arak itu ke dekat dipan dan disodorkannya cawan itu kepada Li Hong.

   "Nah, minumlah arak ini, manis, dan engkau akan merasa senang dan sehat!"

   Akan tetapi tentu saja Li Hong tidak sudi minum, akan tetapi ia tidak mampu menolak dengan tangannya yang telah diikat dan terbentang. Ia hanya berusaha untuk memalingkan mukanya dan mengatupkan mulutnya, walaupun dengan gerakan lemah.

   "Minum!" Orang itu membentak, lalu duduk di tepi dipan dan menggunakan tangan kirinya memaksa mulut Li Hong terbuka dengan menekan rahangnya, lalu dia menuangkan arak itu ke dalam mulut Li Hong! Gadis itu tak dapat menolak lagi, mencoba untuk menutup kerongkongannya, namun akhirnya arak itu memasuki perutnya dan ia tersedak-sedak.

   Li Hong merasa betapa ada hawa panas mengamuk di dalam perutnya dan hawa panas itu menjalar ke dalam kepalanya, membuat ia merasa pening. Akan tetapi ia terkejut bukan main karena tiba-tiba saja ia merasakan rangsangan yang amat hebat dan kuat! Ia memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melawan rangsangan yang tidak wajar itu. Biarpun selama hidupnya ia belum pernah merasakan rangsangan seperti itu, namun nalurinya mengatakan bahwa itu merupakan pengaruh yang tidak baik.

   "Tidak...... tidak""!" Berulang kali ia berseru sekuatnya, namun terdengar suara lirih saja. Makin lama semakin pusing dan ia segera merasakan sesuatu yang membuatnya merasa ngeri bukan main. Pakaiannya dilucuti orang! Ia masih memejamkan matanya dan ia pun dapat menduga apa yang akan terjadi padanya. Sesuatu yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut! Ia tidak berani membuka matanya, hanya menggelengkan kepalanya dan agaknya pengaruh totokan itu mulai berkurang karena tiba-tiba dapat menjerit nyaring.

   "Jangan......! Ah, jangan......! Tolong...... tolonggg......!"

   Laki-laki itu terkejut juga mendengar Li Hong mampu menjerit nyaring, akan tetapi dia tertawa dan berkata,

   "Percuma engkau menjerit, manisku, tidak ada yang dapat mendengarmu, ha-ha-ha! Mengapa engkau menjerit? Kita akan bersenang-senang!"

   Li Hong merasa betapa rangsangan dalam tubuhnya, terutama pada otaknya, semakin kuat dan panas. Ia melawannya dengan menanamkan dalam ingatannya sambil berbisik,

   "Kalau kalian memperkosaku, kelak aku akan mencabik-cabik jantung kalian dan melumatkan kepala kalian!!"

   Pikiran ini merupakan hiburan satu-satunya, dan ini untuk melawan rangsangan itu sehingga ia tidak akan menyerah dengan suka rela. Ia akan membunuh dan menyiksa mereka, baru kemudian ia akan membunuh diri! Ini tekadnya dan ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya agar tidak merasakan apa pun yang akan terjadi dengan dirinya, hanya air matanya yang mengucur deras.

   Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar gubuk, disusul teriakan mengaduh. Laki-laki yang hendak menggerayangi tubuh Li Hong itu terkejut dan melompat ke pintu.

   "Apa yang terjadi?" Dia bertanya kepada kawannya yang tadi menjaga di luar gubuk.

   Tiba-tiba daun pintu gubuk itu roboh dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Laki-laki yang hendak memperkosa Li Hong itu terkejut, cepat mencabut goloknya dan menyerang. Akan tetapi bayangan itu dengan tangkas mendahului dengan tendangan. Begitu kakinya mencuat, perut laki-laki tinggi besar itu tertendang dan dia roboh terjengkang! Penolong itu menangkap kakinya dan sekali dia melempar, tubuh Magu yang tinggi besar itu terlempar keluar. Penolong itu melompat keluar mengejar dan terdengar teriakan-teriakan dua orang itu, lalu terdiam.

   Li Hong yang menangis tanpa mengeluarkan suara, membuka matanya dan ia sempat melihat penolongnya itu melemparkan penjahat itu ke luar pintu gubuk. Karena api lampu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui pintu yang terbuka, Li Hong tidak dapat melihat siapa penolongnya. Setelah teriakan dua orang itu tak terdengar lagi, dara ini melihat seorang laki-laki memasuki gubuk dan menutupkan pintu yang jebol pada lubang pintu sehingga api lampu itu tidak lagi bergerak-gerak tertiup angin dan Li Hong dapat melihat jelas wajah pemuda yang kini mendekati dipan.

   "Twako......!" serunya dengan terisak-isak.

   Pemuda yang menolongnya itu adalah Yauw Tek. Cepat Yauw Tek melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangan Li Hong dan menepuk pundak gadis itu. Begitu dapat bergerak, Li Hong bangkit duduk sambil menangis dan merangkul Yauw Tek. Tadi ia ketakutan setengah mati, takut dan ngeri, maka pelepasan ini membuat ia merasa sangat bersyukur, girang dan juga terharu sehingga ia menangis mengguguk di dada Yauw Tek yang merangkulnya.

   Demikian terguncang batin Li Hong oleh peristiwa dan kengerian yang tadi mengancam dan nyaris melanda dirinya, membuat ia lupa bahwa ia masih dalam keadaan telanjang bulat karena tadi pakaiannya telah dilucuti semua oleh Magu dan hampir tidak dirasakan Li Hong dengan cara menanamkan dendamnya.

   Setelah tangisnya mereda, Li Hong berbisik,

   "Yauw-twako...... engkau telah menolongku...... aku berhutang budi dan nyawa kepadamu......"

   "Hushh, Hong-moi, hal ini sudah wajar. Aku pasti akan membelamu dan melindungi selamanya......"

   "Selamanya, Twako......" Lengan Li Hong merangkul leher sehingga Yauw Tek agak terkejut.

   "Tentu saja selamanya, Hong-moi karena aku cinta padamu."

   "Aku...... aku pun...... cinta padamu, Yauw-twako......"

   Merangkul gadis yang telah menjatuhkan hatinya sejak pertama kali bertemu itu, yang kini dalam keadaan bugil sehingga terasa hangat dalam dekapannya, membuat Yauw Tek gemetar. Pengakuan cinta Li Hong terasa merdu sekali, mengobati hatinya yang tadinya kecewa oleh penolakan cinta Ceng Ceng. Dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Li Hong. Akan tetapi, mendadak Li Hong memperketat rangkulannya dan membalas ciumannya dengan panas!

   "Hong-moi......!!" Yauw Tek terkejut dan menegur, agak menarik dan menjauhkan mukanya dari Li Hong.

   Saat itu, semua pertahanan dalam batin Li Hong sudah buyar dan hilang. Pengaruh racun perangsang yang diminumnya secara paksa kini sedang bekerja mencapai puncaknya. Tadi daya rangsangan itu sudah menyerangnya, namun dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan dan mempertahankan diri agar tidak hanyut, dengan penanaman dendam kebencian terhadap orang yang memperkosanya itu. Akan tetapi sekarang, ia merasa lega, girang, dan terharu ketika diselamatkan oleh Yauw Tek, pemuda yang memang telah menarik hatinya. Ditambah Iagi kesadarannya bahwa ia ditemukan pemuda itu dalam keadaan tanpa pakaian, membuat ia mengambil keputusan bahwa ia hanya dapat menghapus rasa malu itu dengan menjadi isteri Yauw Tek.

   Semua ini merupakan dorongan sehingga rangsangan yang dibangkitkan racun perangsang itu menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat ia tidak ada keinginan lain kecuali menyerahkan dirinya kepada pemuda yang dicintanya itu. Dalam pandangannya, sepasang mata Yauw Tek itu demikian indah cemerlang, demikian penuh wibawa sehingga membuat ia kagum dan tunduk. Akan tetapi melihat Li Hong semakin kuat merangkulnya dengan napas terengah-engah, Yauw Tek menarik diri ke belakang dan kedua tangannya menahan kedua pundak gadis itu, matanya memandang tajam.

   "Hong-moi, ingat dan sadarlah! Perbuatan ini kalau dilanjutkan tidak baik sama sekali! Jangan, Hong-moi, aku hanya seorang manusia biasa, kalau engkau bersikap seperti ini, aku tidak akan kuat bertahan! Hong-moi, aku cinta padamu dan aku tidak ingin merusak kehormatanmu, aku cinta dan hormat padamu......"

   Li Hong mendengar dan menyadari akan kebenaran ucapan itu, akan tetapi justeru penolakan itu membuat ia semakin nekat.

   "Aku pun cinta padamu, Twako. Aku ingin menyerahkan segala milikku, kalau perlu nyawaku, kepadamu. Yauw-twako......!" Li Hong kembali menubruk, merangkul dan Yauw Tek tidak kuat bertahan untuk menolak lagi. Dia pun balas merangkul dan keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, terbuai asmara yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, lupa akan baik buruk, kehilangan semua pertimbangan, bahkan kehilangan kesadaran, diri sendiri pun terlupa dan yang hidup menguasai seluruh diri hanya nafsu berahi yang mendesak untuk disalurkan dan dipuaskan.

   Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan, menerima wahyu untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, sejak yang primitip (kuna) sampai yang paling modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia melalui nafsu-nafsu manusia sendiri. Namun kenyataannya, jarang sekali terdapat manusia yang mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri.

   Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran dilakukan untuk mengalahkan nafsu, namun sebagian besar atau hampir semua usaha itu menemui kegagalan. Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri, mementingkan si-aku yang selalu mengejar kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha untuk menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk kepentingan si aku. Pikiran yang mengaku-aku ini melihat betapa nafsu dapat menjerumuskannya dan akhirnya mencelakakannya, maka timbul keinginan untuk menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang mendorong menghentikan nafsu itu pun nafsu juga! Nafsu untuk menyenangkan diri, memetingkan si aku yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri.

   Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita manusia sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat penting bagi kehidupan. Nafsu membuat kita ingin menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena memang sudah ada pada diri kita. Setiap orang bayi sudah memiliki nafsu makan atau minum yang amat diperlukan bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu yang diminumnya.

   Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah disertakan manusia, menjadi alat atau menjadi peserta, juga hamba dari manusia. Nafsu ini, seperti nafsu-nafsu lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu ini, maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau sampai nafsu yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita untuk menjadi hamba kita ini kita biarkan menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka yang timbul. Nafsu berahi yang mendorong hubungan suami isteri adalah baik, benar, dan bersih karena sesuai dengan Kehendak Sang Maha Pencipta. Namun, kalau nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Kehendak Tuhan, seperti pelacuran, perjinaan, pemerkosaan, dan sebagainya.

   Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala macam kebencian, permusuhan, perang, dan semua kejahatan umum, semua itu adalah ulah manusia yang sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai dirinya.

   Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu siapa yang ingin itu? Yang ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak nafsu yang mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku ingin hidup tenteram. Aku ingin hidup damai! Aku ingin ini, aku ingin itu, ingin yang lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang ada. Si aku yang ingin tenteram ini apakah berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati kesenangan melalui pemuasan nafsu? Kita dipermainkan oleh pikiran sendiri, berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap saja pada dasarnya adalah yang ingin senang. Menuruti nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan. Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari kesenangan karena tenteram itu mendatangkan kesenangan pula.

   Lalu bagaimana? Kalau menuruti nafsu salah dan meniadakan nafsu salah, apa yang harus kita perbuat? Yang salah adalah keinginan itu sendiri! Keinginan mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu ataupun keinginan mendapatkan kesenangan melalui penghentian nafsu. Maka, satu-satunya hal yang dapat dilakukan manusia adalah tidak menginginkan kesenangan dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari pementingan diri sendiri. Kita tidak mungkin dapat menguasai nafsu. Yang dapat menguasai nafsu itu hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan nafsu dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam hidup. Hanya kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan, maka Jiwa itu akan dapat melaksanakan tugas semula, yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang berupa tubuh kita. Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan membuat Jiwa kuat untuk mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan sendirinya, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi. Jiwa yang dibimbing Kekuasaan Tuhan saja yang mampu membebaskan kita dari perbudakan nafsu atau membebaskan kita dari kekuasaan setan!

   Pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar mengusir kegelapan malam dan mengangkat halimun membubung ke atas, ketika burung-burung menyanyikan pujian bagi Sang Maha Pencipta sebelum mereka mulai dengan kehidupan baru di hari itu, diseling kokok ayam hutan yang membungkam segala macam jengkerik belalang dari senandung malam mereka, Yauw Tek terbangun dari tidur nyenyak.

   Dia melihat dirinya tadi rebah di dipan kayu yang kasar dalam gubuk itu. Dia terkejut ketika teringat akan peristiwa semalam. Li Hong tidak ada di situ. Cepat dia mengenakan pakaiannya dan keluar dari gubuk. Dilihatnya Li Hong, dengan pakaian kusut dan rambut tidak tersisir, duduk di atas batu sambil menangis tanpa suara.

   Yauw Tek cepat menghampiri dan dia menjatuhkan diri berlutut di dekat batu di mana Li Hong duduk.

   "Hong-moi......, aku telah berdosa padamu"" ah, Hong-moi, dosaku terlalu besar...... engkau boleh bunuh aku, Hong-moi, untuk menebus kesalahanku padamu......" Suara Yauw Tek tergetar.

   Li Hong menurunkan kedua tangannya yang tadi dipakai menutupi mukanya. Kedua matanya basah, wajahnya agak pucat dan ia memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.

   "Yauw-twako......" Suara Li Hong juga gemetar dan ketika Yauw Tek mengangkat muka memandang, melihat wajah yang memelas (menimbulkan iba) dengan sepasang mata basah itu, Yauw Tek juga menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan dia berkata dengan suara lirih gemetar.

   "Li Hong...... ampuni aku...... ah, tidak, jangan, ampuni aku...... bunuhlah aku dengan pedangmu...... aku akan menerima kematian di tanganmu dengan bahagia karena telah dapat menebus dosaku......"

   Dalam tangisnya, Li Hong tersenyum, menjulurkan kedua tangannya, menarik Yauw Tek agar duduk di atas batu, di sampingnya.

   "Twako, aku tidak menyesal, aku tidak marah kepadamu. Engkau tidak bersalah, Yauw-twako. Sekarang aku ingat betul. Iblis-iblis itu memaksaku minum arak, lalu tubuhku terasa tidak karuan...... kemudian engkau menyelamatkan aku...... aku begitu bahagia...... aku lupa segala...... dan terjadilah itu dengan kita. Aku sungguh tidak menyalahkanmu, dan aku tidak menyesal, Twako. Apakah engkau menyesal?"

   "Bukan salahmu, Hong-moi. Akulah yang salah, aku tidak dapat menahan diri, aku hanyut. Aku memang menyesal kalau sampai hal itu membuat engkau berduka......"

   "Sama sekali tidak, Twako! Aku tidak berduka dan aku tidak menyesal."

   "Tapi...... engkau tadi menangis......"

   "Aku menangis karena bahagia, Twako. Aku kini menjadi milikmu, untuk selamanya! Bukankah engkau sangat mencintaku, Twako?"

   "Tentu saja, aku sangat mencintamu, Hong-moi."

   "Dan engkau berjanji tidak akan meninggalkan aku?"

   "Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu."

   "Juga tidak akan mencinta wanita selain aku?"

   Yauw Tek menggelengkan kepalanya.

   Li Hong menghela napas penuh kelegaan dan kebahagiaan dan ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek yang merangkulnya dengan mesra. Sampai lama mereka hanya duduk diam, kediaman yang menenggelamkan Li Hong dalam kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bagaikan dalam mimpi ia membayangkan semua yang terjadi sejak ia terjebak dan ditawan dua orang jahat itu.

   Pagi tadi, ketika ia terbangun, ia cepat berpakaian dan menyambar Ban-tok-kiam lalu melangkah keluar, pikirannya masih termenung dan kacau oleh ingatan semalam. Ia masih merasakan kemesraan yang dialaminya bersama Yauw Tek dan merasa berbahagia sekali, merasa betapa kini ia menjadi milik Yauw Tek dan pemuda itu menjadi miliknya! Saking terharu dan berbahagia, ia menangis tanpa suara. Kini ia teringat akan dua orang penjahat itu.

   "Yauw Twako, di mana mereka?" tanya Li Hong sambil bangkit duduk kembali.

   Yauw Tek kaget juga merasa betapa Li Hong yang tadi begitu lembut, hangat dan pasrah dalam rangkulannya, kini menjadi tegang dan kekerasan membayang di sinar matanya yang jernih tajam.

   

   
"Siapa maksudmu? Ah, dua orang penjahat itu? Aku sudah melempar mereka ke dalam jurang di sana." Dia menuding dan Li Hong lalu melompat dari atas batu dan lari ke tepi jurang tak jauh dari situ. Yauw Tek menyusulnya.

   "Nah, itu mereka, Hong-moi. Sudah tewas!" kata Yauw Tek sambil menunjuk ke bawah jurang.

   Jurang itu cukup dalam dan Li Hong melihat dua orang yang semalam menangkapnya itu. Yang seorang rebah miring dan seorang lagi, yang semalam memperkosanya, rebah telentang. Dengan kebencian masih mengganjal hatinya, Li Hong mengambil sebuah batu sebesar kepala orang lalu melontarkan batu itu ke bawah.

   "Wuuuttt...... prakk!" Kepala penjahat yang telentang itu pecah tertimpa batu yang ditimpukkan dengan kuat. Batu kedua menyusul memecahkan kepala penjahat kedua.

   "Mari kita kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang, Twako. Tentu Enci Ceng sudah merasa khawatir karena aku belum kembali ke sana," kata Li Hong setelah merasa puas dapat membalas dendam dengan menghancurkan kepala dua orang penjahat yang menculiknya itu, walaupun yang dihancurkan adalah kepada yang sudah menjadi mayat.

   Mereka berdua lalu melakukan perjalanan cepat ke Bukit Cemara di bagian Selatan pegunungan Thai-san. Hari telah siang ketika mereka tiba di perkampungan Kai-pang, disambut gembira oleh Ang-tung Kai-pang.

   "Ah, kami gembira sekali melihat Ji-wi (Kalian Berdua) kembali dalam keadaan selamat. Kami sudah merasa khawatir sekali karena Nona Tan semalam tidak pulang. Bagaimana, apakah yang terjadi dengan Hek Pek Mo-ko?"

   Wajah Li Hong berubah merah dan Yauw Tek cepat berkata.

   "Hek Pek Mo-ko pergi dan menghilang. Hong-moi mengejar terlalu jauh sehingga kemalaman dan tidak dapat pulang karena malam gelap. Baru pagi tadi kami saling bertemu dan aku mengajak ia kembali ke sini, Pangcu."

   "Pangcu, di mana Ceng-ci? Mengapa ia tidak keluar menyambut kami?" tanya Li Hong.

   "Nona Liu pergi menyusul dan mencarimu, Nona. Sampai sekarang ia juga belum kembali," jawab ketua itu.

   Mendengar ini, Yauw Tek dan Li Hong merasa khawatir sekali dan mereka segera berpamit kepada Kui-tung Sin-kai untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi ketua itu menahan mereka dan mengajak mereka berdua makan siang terlebih dulu.

   "Jangan khawatir, Yauw-sicu dan Nona Tan. Nanti kami akan mengerahkan semua anak buah kami untuk berpencar dan mencari Nona Liu Ceng Ceng. Seka-rang, harap Ji-wi suka menerima hidangan, yang telah kami siapkan untuk Ji-wi."

   Terpaksa Yauw Tek dan Li Hong menerima tawaran ini. Setelah selesai makan minum, dua orang muda itu berkemas lalu pamit dan meninggalkan perkampungan Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai lalu mengerahkan sebagian anak buahnya untuk berpencar dan berusaha mencari Nona Liu Ceng Ceng.

   Pada waktu itu, memang banyak tokoh-tokoh dunia persilatan berbondong-bondong datang ke Thai-san begitu mereka mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri oleh orang yang mengaku bertempat tinggal di Thai-san. Mereka berlumba untuk memperebutkan dan mendapatkan harta karun yang kabarnya amat banyak jumlahnya itu.

   Di antara mereka yang berdatangan itu, tampak Bu-tek Sin-liong Cu Liong, majikan Bukit Merak bersama puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang tidak menginginkan harta karena dia sudah cukup kaya raya. Akan tetapi dengan cerdiknya Cu Ai Yin dapat membangkitkan semangat ayahnya dengan mengatakan bahwa perebutan harta karun itu dapat mengangkat nama besar Bu-tek Sin-liong sehingga sesuai dengan julukannya Naga Sakti Tanpa Tanding!

   Sudah tiga hari ayah dan anak ini tiba di kaki Pegunungan Thai-san. Namun mereka belum juga mendaki karena Cu Liong masih belum dapat mengambil keputusan ke bagian mana dia harus melakukan penyelidikan. Selama tiga hari itu, Ai Yin sudah berkali-kali mendesak ayahnya untuk mulai mencari dan mendaki pegunungan itu, akan tetapi ayahnya masih ragu-ragu.

   "Pegunungan Thai-san begini tinggi dan besar, begini luas. Ke mana kita harus mencari pencuri yang hanya meninggalkan tulisan THAI SAN? Mencarinya dengan menjelajahi seluruh pegunungan ini kukira memakan waktu beberapa tahun!" katanya ketika puterinya merengek lagi.

   Datuk ini duduk bersila di atas sebuah batu besar memandang puterinya yang berdiri di depannya. Biarpun usianya sudah sekitar limapuluh enam tahun, Bu-tek Sin-liong Cu Liong masih tampak gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, mukanya merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok, kumis jenggotnya pendek terpelihara pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan dan Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) menempel di punggungnya. Sikapnya acuh tak acuh dan biasanya dingin. Hanya kalau dia berhadapan dengan puteri tunggalnya yang tersayang itu dia bersikap ramah dan memanjakan puterinya.

   "Tapi, Ayah!" Ai Yin merengek.

   Kalau berhadapan dengan ayahnya, sikap Cu Ai Yin menjadi kekanak-kanakan dan manja. Gadis sembilanbelas tahun ini memang cantik jelita dan daya tariknya terutama terdapat pada mulut dan matanya yang menggairahkan. Di rambutnya yang hitam panjang dan lebat itu selalu terhias sebatang bunga putih dan karena inilah dara ini dijuluki Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih). Wajahnya yang bulat telur itu menjadi manis dengan adanya setitik tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Di punggungnya tergantung sepasang hui-kiam (pedang terbang) pendek. Pakaian sutera merah muda membungkus ketat tubuhnya yang padat dan ramping.

   "Tapi apa, Ai Yin?"

   "Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk duduk termenung di kaki pegunungan saja? Kalau begitu, untuk apa kita capek-capek (kelelahan) datang ke sini?" Dara itu merajuk dan bibirnya yang merah lembut itu cemberut.

   "Ha-ha-ha-ha!" Datuk itu tertawa bergelak.

   "Kalau engkau sudah merajuk seperti itu, aku jadi teringat kepada mendiang ibumu! Ketahuilah, Ai Yin, bukan aku bermalas-malasan di sini. Aku sengaja mendatangi Thai-san di bagian barat ini karena aku mendengar bahwa Huo Lo-sian bermukim di sini. Menurut pendapatku, Dewa Api itu merupakan orang pertama yang kucurigai sebagai pencuri harta karun. Aku percaya kehadiranku di sini pasti akan dia ketahui dan tanpa mencarinya, dia akan datang menemuiku di sini!"

   Ucapan datuk itu membayangkan keangkuhannya. Bukan dia yang mencari Huo Lo-sian, melainkan Dewa Api itu yang akan lebih dulu mencari dan datang kepadanya, seolah dia menganggap bahwa Dewa Api memiliki kedudukan yang lebih rendah daripadanya! Ai Yin merasa tidak puas dengan
jawaban itu dan ia berkata dengan masih bersungut-sungut.

   "Aku tidak betah tinggal menganggur di sini lebih lama lagi, Ayah. Aku akan mendekati bukit di depan itu untuk melihat-lihat. Siapa tahu aku akan mendapatkan petunjuk di sana."

   Setelah berkata demikian, Ai Yin meninggalkan ayahnya yang masih duduk bersila. Ia mendaki bukit di depannya itu, tidak menyadari bahwa yang didaki itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya!

   Memang benarlah dugaan Bu-tek Sin-liong Cu Liong bahwa kehadirannya di kaki Bukit Merah yang menjadi bagian Barat Pegunungan Thai-san itu sejak semula telah diketahui oleh Huo Lo-sian yang mendapat laporan dari anak buahnya. Dia memesan kepada anak buahnya agar jangan mengganggu datuk yang namanya sudah dia kenal itu.

   Seperti juga Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian juga memiliki watak sombong dan angkuh. Dia tidak mau menyambut kedatangan Majikan Bukit Merak itu dan menunggu datuk itu yang akan datang lebih dulu mengunjunginya. Dia hanya memesan kepada anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan melihat gerak-gerik datuk itu. Selama tiga hari tidak terjadi sesuatu karena menurut laporan anak buahnya, datuk itu bersama seorang gadis cantik masih saja duduk di kaki bukit dan tidak ada tanda-tanda akan mendaki bukit.

   Pada hari keempat, pagi itu Huo Lo-sian mendapat laporan bahwa gadis cantik yang tadinya bersama datuk itu mendaki bukit seorang diri. Mendengar ini, Huo Lo-sian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap gadis itu karena dianggap melanggar wilayahnya.

   "Tangkap gadis itu, akan tetapi jangan dibunuh!" kata Huo Lo-sian yang merasa sayang kalau gadis yang kabarnya cantik jelita itu dibunuh. Apalagi gadis itu datang bersama Bu-tek Sin-liong dan akan tidak menguntungkan kalau bermusuhan dengan datuk yang namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw itu.

   Ai Yin mendaki bukit itu dengan sikap waspada karena ia sudah mendengar bahwa bukit itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya. Ketika ia sudah mendaki di lereng tengah, ia mendengar gerakan dari sekelilingnya, Ai Yin menghentikan langkahnya dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ia tetap tenang saja ketika melihat sekitar duapuluh orang bermunculan mengepungnya. Mereka adalah laki-laki berusia sekitar tigapuluh sampai limapuluh tahun, kesemuanya berpakaian serba hijau dan memegang sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Sikap mereka amat bengis menyeramkan.

   Tanpa rasa takut sedikit pun terhadap sekitar duapuluh orang yang mengepungnya, Ai Yin bertanya dengan garang.

   "Siapa kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?"

   Seorang dari mereka, yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, menjawab dengan suara tenang.

   "Nona, engkau telah melanggar wilayah kami, maka menyerahlah untuk kami hadapkan kepada majikan kami yang akan mengambil keputusan terhadap engkau yag melanggar."

   "Hemm, aku tidak tahu siapa kalian dan tidak merasa melanggar. Aku hanya mendaki bukit ini. Siapa sih kalian yang mengaku bahwa tempat ini wilayah kalian?"

   "Kami adalah para penghuni Bukit Merah ini, dan pemimpin kami atau majikan kami adalah Huo Lo-sian. Mari, Nona, kami tidak menggunakan kekerasan asalkan engkau mau menghadap majikan kami dengan sukarela."

   "Ah, kiranya ini tempat tinggal Dewa Api! Dan kalian ini anak buahnya? Katakan kepadanya bahwa aku Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin datang sebagai tamu. Mengapa dia tidak menyambutku malah mengerahkan anak buahnya untuk mengepungku? Begitu sombongkah Huo Lo-sian? Ingin kuketahui sampai di mana kepandaiannya maka dia berani begitu sombong!"

   Laki-laki botak itu mengerutkan alisnya. Hatinya mendongkol juga mendengar gadis muda ini mencela pemimpinnya dan memakinya sombong, bahkan seperti memandang rendah kepandaian Si Dewa Api!

   "Nona Cu, kami tidak tahu akan semua itu. Setahu kami, engkau telah memasuki wilayah kami tanpa ijin, engkau telah melakukan pelanggaran dan adalah kewajiban kami untuk menangkapmu dan menghadapkanmu kepada pimpinan kami."

   "Kalau aku tidak mau?" tantang Ai Yin.

   "Kalau engkau tidak mau ikut kami menghadap pimpinan kami secara sukarela, terpaksa kami akan menggunakan paksaan!"

   "He-heh! Kalian hendak menggunakan kekerasan? Menangkap aku?" Ai Yin tertawa dan dia mencabut sepasang pedangnya lalu menantang.

   "Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!"

   Melihat sikap gadis itu, kepala regu itu menoleh kepada kawan-kawannya lalu menggerakkan golok memberi aba-aba,

   "Serbu dan ingat pesan Suhu!" Hal ini dia ingatkan karena kalau sampai gadis itu terbunuh, yang akan mendapat marah besar tentu dia sebagai pemimpin rombongan itu. Huo Lo-sian sudah berpesan kepada mereka agar jangan sampai gadis itu terbunuh.

   Mendengar aba-aba ini, rombongan yang terdiri dari duapuluh dua orang itu lalu bergerak, melangkah dan mengitari gadis itu. Biarpun mereka tidak boleh membunuh, namun melihat Ai Yin mencabut pedang, tentu saja mereka tidak berani menyerbu dengan tangan kosong. Melihat mereka melangkah dan mengitarinya, Ai Yin berdiri diam saja, akan tetapi matanya waspada dan seluruh syaraf tubuhnya siap menghadapi serangan mereka.

   Tiba-tiba pemimpin rombongan membuka serangan lebih dulu sebagai isyarat kepada kawan-kawannya. Goloknya menyambar dari atas membacok ke arah kepala Ai Yin. Gerakannya cukup cepat dan kuat. Namun bagi Ai Yin, gerakan itu tampak lamban dan dengan mudah ia miringkan tubuh sehingga sambaran golok itu luput. Akan tetapi pada saat berikutnya, mereka mulai mengeroyoknya. Golok menyambar-nyambar dari semua penjuru dan Ai Yin segera memutar pedang di kedua tangannya.

   Ilmu pedang gadis ini hebat sekali. Dari ayahnya ia berhasil menguasai Jit-seng Siang-kiam (Sepasang Pedang Tujuh Bintang) dan ketika pedangnya itu diputar untuk melindungi dirinya, seolah-olah sepasang pedang itu berubah menjadi tujuh bintang yang sinarnya bergulung-gulung. Terdengar bunyi berdentingan dan para pengeroyok berseru kaget karena golok mereka terpental hampir terlepas dari pegangan dan tangan mereka terasa panas dan tergetar kuat.

   Kenyataan itu membuat mereka semua menyadari bahwa gadis cantik yang mereka keroyok ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga baru sekarang mereka mengerti mengapa Dewa Api menyuruh anak buahnya sebanyak itu hanya untuk menangkap seorang gadis muda yang cantik! Kalau tadinya merasa heran, geli dan memandang ringan, sekarang mereka merasa gentar dan hati-hati. Mereka lalu menyerang lebih hebat lagi dan ulah mereka seperti segerombolan srigala yang mengeroyok seekor harimau.

   "Haiiiittt""!" Ai Yin menggunakan keringanan tubuhnya melompat keluar dari kepungan dan begitu ia membalik, pedang kanannya meluncur ke arah pengejar terdepan.

   "Singg...... cratt!"

   Seorang pengeroyok roboh disambar pedang dan pedang itu setelah melukai seorang pengeroyok, lalu terbang kembali ke tangan Ai Yin! Inilah yang dinamakan "pedang terbang". Sesungguhnya bukan pedangnya yang dapat terbang kembali kepada pemiliknya, melainkan karena pada gagang pedang itu dipasangi tali sutera hitam yang amat lembut sehingga tidak tampak dan begitu disentakkan pedang itu melayang kembali ke tangan kanan Ai Yin.

   Para pengeroyok terkejut melihat seorang kawan mereka roboh. Mereka kini mengepung dengan menjaga jarak dan hanya ada empat orang yang mengepung dekat dari empat penjuru. Mereka sudah membawa obor yang bernyala, kemudian mereka menyemburkan api begitu obor didekatkan muka mereka. Api itu menerjang ke arah Ai Yin! Tentu saja Ai Yin terkejut bukan main diserang dengan semburan api dari empat penjuru secara bergantian itu. Tidak mungkin ia dapat menangkis serangan api. Ia hanya dapat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi kini maju empat orang lagi dan delapan orang itu secara bergantian menyemburkan api menyerang Ai Yin.

   Ai Yin mulai merasa ngeri karena belum pernah ia menghadapi pengeroyokan delapan orang yang menyemburkan api untuk menyerangnya! Kalau ia melompat tinggi keluar dari kepungan, belasan oran yang lainnya menyambutnya dengan serangan golok dan begitu ia menangkisi golok-golok itu, delapan orang penyembur api itu sudah menyerang dan mengepungnya lagi!

   

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 09


   Ai Yin mulai terdesak dan sebuah tendangan ketika ia terhuyung menjauhi api mengenai pahanya, terasa nyeri juga walaupun tidak sampai melukainya. Rasa nyeri di pahanya membuat gerakannya kurang leluasa. Ia menjadi marah sekali dan begitu ia mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang pedangnya mengamuk dan dua orang pengeroyok yang berada terdekat roboh!

   Tiba-tiba lebih banyak lagi pengeroyok yang membawa obor dan kini mereka menancapkan tongkat obor di sekelilingnya sehingga Ai Yin terkurung pagar obor yang bernyala-nyala!

   Selagi ia kebingungan, banyak tali menyambar dan gadis itu terikat banyak tali! Ia menjadi marah dan menggunakan sepasang pedangnya untuk memotong tali-tali itu. Akan tetapi semakin banyak tali menyambar dan mengikatnya sehingga kedua lengannya tak dapat digerakkan. Ia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali-tali itu, akan tetapi ternyata tali-tali itu kuat sekali.

   Selagi Ai Yin meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Angin bertiup kuat dan pagar api obor itu padam!

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong datang dan marah sekali melihat keadaan puterinya. Anak buah Bukit Merah segera mengepung dan mengeroyoknya dengan golok. Akan tetapi, datuk ini dengan tangan kosong mengamuk, menangkap dan melempar-lemparkan mereka. Seperti seekor gajah mengamuk dalam sebuah hutan. Para pengeroyoknya berpelantingan dan mereka menjadi gentar bukan main. Mereka mundur menjauhkan diri setelah tidak kurang dari enam orang kawan mereka terkapar dibanting atau dilemparkan datuk itu.

   Bu-tek Sin-liong hendak mengamuk terus akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Bu-tek Sin-liong, kalau engkau tidak menghentikan amukanmu, puterimu ini akan kupenggal lehernya lebih dulu!"

   Datuk itu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat Huo Lo-sian telah berdiri di situ dengan golok ditempelkan pada leher Ai Yin yang berdiri lemas dan agaknya dalam- keadaan tertotok. Memang tadi, melihat amukan Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian yang datang ke tempat itu melihat bahwa kalau dibiarkan mungkin semua anak buahnya akan terbunuh. Dia melihat Ai Yin yang masih meronta dalam jala, maka cepat ditotoknya gadis itu dan dikeluarkan dari jala, kemudian ditodongnya untuk menghentikan amukan Bu-tek Sin-liong.

   Melihat puterinya tertawan dan diancam Huo Lo-sian yang biarpun namanya sudah lama dia kenal namun baru sekali ini mereka saling bertemu, Bu-tek Sin-liong tertawa.

   "Ha-ha-ha! Huo Lo-sian, engkau berjuluk Dewa Api akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut besar! Kaukira dengan mengancam anakku, aku lalu takut dan tunduk kepadamu? Ha-ha, kaukira berhadapan dengan siapa, Huo Lo-sian? Aku Bu-tek Sin-liong tidak pernah tunduk kepada siapapun juga, tidak takut kepada segala macam setan atau dewa sekalipun. Engkau mengancamku untuk membunuh anakku? Boleh, bunuhlah dan aku akan menghancurkan kepalamu kuminum darahmu, lalu kubasmi seluruh penghuni bukit ini!!"

   Suara Bu-tek Sin-liong lantang dan tegas, penuh wibawa menggetarkan sehingga seorang datuk seperti Huo Lo-sian sendiri merasa gentar mendengar ancaman itu. Dia yakin bahwa ancaman itu bukan kosong belaka. Dia pun bukan seorang penakut, akan tetapi akan amat merugikan kalau menanam permusuhan dengan datuk besar seperti Bu-tek Sin-liong.

   "Bu-tek Sin-liong! Aku pun tidak pernah takut kepada siapa pun, juga tidak takut kepadamu! Akan tetapi aku sama sekali tidak minta engkau untuk menyerah, melainkan kuminta jangan engkau mengamuk dan membunuhi anak buahku!"

   "Anak buahmu yang mengeroyok anakku, maka aku membelanya!" hardik Bu-tek Sin-liong Cu Liong.

   "Itu karena anakmu melanggar wilayah kami! Akan tetapi sudahlah, andaikan anak buahku dianggap bersalah, engkau sudah merobohkan beberapa orang. Apakah itu belum cukup? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, bukannya karena takut, melainkan karena bermusuhan antara kita hanya merugikan kedua pihak. Sama-sama datuk persilatan seperti kita, dan kukira sama-sama mencari harta karun Kerajaan Sung, apakah tidak lebih menguntungkan kalau kita berdua bergabung?"

   "Kalau tidak mencari permusuhan, bebaskan anakku!"

   "Berjanjilah bahwa engkau menerima uluran tanganku dan bersama anakmu menjadi tamu kami!"

   Setelah diam sejenak, Bu-tek Sin-liong mengangguk,

   "Baik, aku berjanji."

   Huo Lo-sian melepaskan totokan Ai Yin dan mengembalikan sepasang pedang gadis itu yang tadi dia ambil. Ai Yin segera menghampiri ayahnya.

   Huo Lo-sian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkut dan merawat mereka yang terluka, kemudian dengan sikap ramah dia mempersilakan Cu Liong dan Cu Ai Yin untuk mendaki ke puncak di mana terdapat perkampungan Huo Lo-sian dan anak buahnya.

   Huo Lo-sian menjamu ayah dan anak yang menjadi tamunya itu. Wanita-wanita cantik dikerahkan untuk melayani mereka bertiga makan minum. Hidangan itu serba mewah, makanan bermacam-macam yang lezat dan minuman anggur dan arak yang harum. Dua orang datuk besar itu kuat sekali minum. Berguci-guci arak mengalir ke dalam perut mereka, namun keduanya tidak pernah mabok. Hanya muka Cu Liong yang gagah itu, yang biasanya sudah merah, menjadi semakin merah, sedangkan muka Huo Lo-sian yang seperti singa itu juga menjadi merah seperti kebakaran karena rambut jenggot dan kumisnya berwarna merah. Ai Yin tidak banyak minum, bahkan ia hanya memilih minuman anggur yang tidak begitu keras.

   Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta karun itu.

   "Bu-tek Sin-liong, aku dapat menduga bahwa kedatanganmu bersama puterimu di Thai-san tentu juga hendak mencari harta karun Kerajaan Sung. Berita tentang harta karun itu sudah menggegerkan dunia persilatan dan kukira sekarang sudah banyak orang yang datang berkunjung ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun itu. Anak buahku melaporkan bahwa selama beberapa minggu ini banyak orang-orang kang-ouw berdatangan di kaki Pegunungan Thai-san."

   "Tidak keliru dugaanmu, Huo Lo-sian. Memang aku dan puteriku sengaja datang ke Thai-san hendak melihat-lihat perebutan harta karun yang kabarnya dicuri orang dari Thai-san ini. Akan tetapi aku tidak murka akan harta, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku yang paling kuat di antara mereka yang memperebutkan, maka aku bertekad hendak mendapatkan harta karun itu, mengalahkan semua orang yang memperebutkannya."

   Huo Lo-sian tertawa dan mengangguk-angguk.

   "Ha-ha-ha, bagus! Cocok sekali, Bu-tek Sin-liong! Aku juga sependapat denganmu! Kita dapat mengangkat nama sendiri kalau berhasil mengungguli mereka dalam memperebutkan harta karun itu! Kita tidak murka mengejar harta, akan tetapi kalau bisa mendapatkannya, kita bagi dua, lumayan juga, bukan? Sin-liong, banyak orang akan memperebutkan harta karun dan mereka tentu terdiri dari orang-orang pandai yang mempunyai anak buah. Maka, kalau kita berdua bekerja sama, aku kira itu baik sekali dan menguntungkan kita."

   Bu-tek Sin-liong mengerutkan alisnya mendengar ajakan bekerja sama ini. Keangkuhannya tersinggung dan dia merasa tidak enak kalau harus dibantu orang mendapatkan harta karun itu. Akan tetapi Cu Ai Yin berpendapat lain. Ia tadi melihat sudah kekuatan Huo Lo-sian dan anak buahnya. Sedangkan ayahnya hanya berdua dengannya saja. Kalau diingat bahwa mereka yang mencari harta karun tentulah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka menguntungkan sekali kalau ayahnya bergabung dengan Dewa Api dan anak buahnya.

   "Ayah, kurasa memang baik sekali kalau kita bekerja sama dengan Paman Huo Lo-sian ini agar dapat mengimbangi mereka yang memiliki banyak anak buah yang kuat.

   "Memang kita menghadapi lawan-lawan yang banyak dan berat, Nona Cu. Baru yang berada di Thai-san ini saja sudah amat kuat. Thai-san-pai memiliki murid yang cukup banyak dan kuat. Demikian pula Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka. Selain mereka, ada pula Ang-tung Kai-pang yang terkenal kuat. Nah, Sin-liong, setelah puterimu setuju, kurasa tidak ada alasan lagi bagimu untuk menyetujui usulku yang baik ini. Tadi, karena salah paham, kita hampir bermusuhan, akan tetapi sekarang kita menjadi sahabat dan bekerja sama, bukankah itu baik sekali?"

   "Hemm, aku setuju, akan tetapi hanya dengan satu syarat," kata Bu-tek Sin-liong.

   "Katakan, apa syaratnya, Sin-Hong!"

   "Lo-sian, aku mau bekerja sama, akan tetapi aku harus yang menjadi pemimpin dan semua, termasuk engkau, menjadi pembantuku yang harus tunduk terhadap semua keputusanku. Bagaimana?"

   "Ha-ha-ha, baiklah, Sin-liong. Kuterima syaratmu. Biarlah kalau kita berhasil, engkau yang akan mendapatkan nama besar sebagai pemenang dan hasil harta karun itu kita bagi dua!" Huo Lo-sian tertawa-tawa senang karena kalau Bu-tek Sin-liong mau bekerja sama dengannya, maka dia, bertiga dengan ayah dan anak yang lihai itu, dibantu anak buahnya, lebih besar harapannya untuk dapat menguasai harta karun yang diperebutkan itu.

   Tentu saja pada dasarnya Cu Ai Yin tidak sudi bekerja sama dengan datuk macam Huo Lo-sian yang kasar liar bersama anak buahnya itu. Kalau ia mau, bahkan menganjurkan ayahnya untuk bekerja sama dengan Dewa Api itu adalah karena gadis ini ingin sekali dapat menemukan dan menguasai harta karun. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu Pouw Cun Giok!

   Ia tidak dapat melupakan pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Ia tentu akan menyerahkan harta karun itu kepada Cun Giok agar dapat disumbangkan kepada para pejuang patriot. Nanti, apabila sudah berhasil, ia akan membujuk ayahnya untuk menguasai semua harta karun itu dan diserahkan kepada Cun Giok. Ayahnya amat sayang dan memanjakannya, maka permintaannya itu tentu tidak akan ditolak!

   Dalam benak Huo Lo-sian terdapat pikiran yang lain lagi. Dia membujuk ayah dan anak itu untuk bekerja sama karena dia ingin berhasil menguasai harta karun itu. Kalau mereka berhasil, dia akan mencari jalan dan akal untuk menguasai harta itu semua. Akan tetapi kalau tidak mungkin, setidaknya dia akan mendapat setengahnya dan itu sudah amat banyak sekali.

   Demikianlah, di dalam dunia ini, kebanyakan manusia mendasari semua pikiran, kata-kata, dan perbuatannya dengan pamrih untuk keuntungan atau kesenangan dirinya sendiri. Ke-akuan yang dipertebal nafsu itu hanya mementingkan dirinya sendiri, keuntungan diri sendiri, baik keuntungan materi berupa uang atau harta benda, maupun keuntungan batin berupa sanjungan, pujian, nama, dan sebagainya.

   Bahkan dalam memberi pertolongan kepada orang lain atau perbuatan yang pada umumnya disebut sebagai kebaikan, sebagian besar dilakukan dengan dasar pementingan diri sendiri. Perbuatan baik, menolong orang dan sebagainya baru dilakukan kalau di situ tampak kemungkinan mendapatkan imbalan berupa keuntungan lahiriah, yaitu materi, atau keuntungan batiniah tadi. Pamrih yang tersembunyi di balik setiap pikiran, kata-kata, atau ucapan itulah yang membuat perbuatan itu, bagaimanapun bentuknya, menjadi palsu dan sama sekali tidak baik. Pamrih itu membuat setiap perbuatan hanya merupakan sarana untuk keuntungan diri pribadi. Misalnya perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih agar kelak mendapatkan sorga, sama saja perbuatan baik itu dipergunakan untuk membeli sorga. Andaikata tidak ada janji sorga, lalu apakah perbuatan baik itu tetap akan dilakukan?

   Tiga orang itu, Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin ketiganya mau bekerja sama dengan pamrih masing-masing yang berlainan.

   Karena semua orang mengejar kesenangan itulah maka di mana-mana timbul permusuhan, pertentangan dan perebutan. Dan selama manusia masih diperhamba nafsu keinginan mementingkan diri sendiri, maka dunia tidak akan pernah ada keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Masing-masing berlumba untuk memenuhi keinginan diri sendiri dan jika ada yang merintangi, maka yang merintangi itu akan ditendang.

   Mereka bertiga lalu mengadakan perundingan untuk merencanakan tindakan mereka selanjutnya dalam usaha mereka untuk mencari pencuri harta karun.

   "Tadinya kami mencurigai Thai-san-pai sebagai pencuri harta karun, akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, agaknya bukan mereka yang melakukan pencurian itu. Sukar untuk menduga siapa sebetulnya yang telah mencuri harta karun itu. Yang jelas, kami tidak melakukannya dan agaknya Thai-san-pai juga tidak melakukannya. Sebagai penghuni tetap di Thai-san hanya tinggal dua golongan lagi yang terbesar, yaitu Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka dan Ang-tung Kai-pang. Terus terang saja, aku juga mencurigai dua golongan itu. Hek Pek Mo-ko adalah sepasang iblis yang kiranya tidak akan segan untuk melakukan pencurian, sedangkan Ang-tung Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dan kiranya golongan pengemis itu tidak mustahil kalau melakukan pencurian. Selain dua golongan yang memiliki anak buah yang cukup besar itu, masih ada beberapa orang pertapa yang mengasingkan diri di puncak-puncak bukit yang terbesar di pegunungan ini. Biarpun mereka itu tidak pernah mencampuri urusan dunia, namun keadaan mereka yang penuh rahasia itu juga patut diselidiki. Nah, seperti sudah kuceritakan tadi, anak buahku juga melihat orang-orang kang-ouw berbondong mendatangi pegunungan ini. Bahkan baru kemarin ada rombongan pasukan Mongol datang ke sini dan agaknya mereka itu menuju ke utara. Sekarang terserah kepadamu, Bu-tek Sin-liong, apa yang harus kita lakukan, ke mana kita akan melakukan penyelidikan lebih dulu."

   Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk.

   "Sebelum kita bertindak, sebaiknya kalau kita sebarkan anak buah untuk melakukan penyelidikan apa yang terjadi di daerah Thai-san ini. Dengan demikian, kalau terjadi perebutan antara dua kelompok, kita dapat mengetahui kelompok mana yang bertanding dan siapa yang kiranya paling mencurigakan. Kita tidak perlu turun tangan sebelum mengetahui dengan pasti agar tidak sia-sia usaha kita."

   Huo Lo-sian setuju dengan rencana ini. Dia merasa telah bertindak keliru ketika dia melakukan pengacauan terhadap Thai-san-pai yang tadinya dia anggap sebagai pencuri harta karun. Akan tetapi di Thai-san-pai dia malah mendapat malu karena dalam adu tenaga sakti, dia dikalahkan oleh dua orang gadis dan seorang pemuda tak terkenal yang melawannya dengan tenaga digabung. Demikianlah, Huo Lo-sian lalu menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, melihat gerak-gerik Ang-tung Kai-pang dan Hek Pek Mo-ko, juga memantau gerakan para pendatang dari luar daerah Pegunungan Thai-san.

   Pegunungan Thai-san mulai ramai didatangi banyak tokoh kang-ouw untuk mencari harta karun yang kabarnya dicuri oleh orang yang tinggal di Thai-san. Seperti kita ketahui, mereka yang mencari pencuri harta karun itu, yang sudah kita kenal adalah Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Huo Lo-sian yang kini bergabung dengan Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Cu Ai Yin, Hek Pek Mo-ko, lalu Yauw Tek yang kini mencari Liu Ceng Ceng bersama Tan Li Hong. Kemudian Pouw Cun Giok bersama si kembar The Kui Lan dan The Kui Lin.

   Masih ada lagi rombongan Kim Bayan yang membawa pasukan cukup besar, dan juga Kong Sek yang ditemani kedua gurunya, Cui Beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Selain mereka ini masih ada rombongan atau perorangan dari dunia persilatan yang mencoba nasib ikut pula mencari harta karun yang kabarnya amat besar itu. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan sebagainya tidak ketinggalan, mengirim wakil untuk ikut berlumba, atau setidaknya meninjau keramaian mencari harta pusaka di Thai-san itu.

   Setelah selama tiga hari tiga malam melakukan pencarian terhadap Yauw Tek dan Tan Li Hong tetap saja belum dapat menemukan dua orang itu, maklumlah Ceng Ceng bahwa ia telah salah jalan, atau mencari ke arah lain sehingga mungkin sekali ia malah semakin jauh dari dua orang itu. Akan tetapi hati Ceng Ceng tidak khawatir karena selain ia percaya akan kemampuan Li Hong menjaga diri, juga tentu Yauw Tek telah menemukan adik angkatnya itu dan dengan adanya Yauw Tek di samping Li Hong, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan mereka.

   Ia sendiri juga tidak gentar menghadapi perjalanan melalui daerah pegunungan amat luas penuh bukit jurang dan hutan itu, daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak gentar karena memang sejak remaja Ceng Ceng banyak melakukan perantauan seorang diri. Bagi gadis yang biarpun baru berusia sekitar duapuluh tahun namun memiliki pengertian mendalam tentang kehidupan ini, yang menjadi pelindung utamanya bukanlah ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasainya, melainkan penyerahannya secara total lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

   Ia yakin benar bahwa segala sesuatunya, pada akhirnya yang menentukan adalah Tuhan. Yang penting ia tidak melakukan kejahatan dan sebagai seorang ahli silat keturunan pendekar besar ia tentu selalu menggunakan ilmu silatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun sewenang-wenang. Juga dengan keahliannya dalam soal pengobatan, ia dapat menolong banyak orang. Maka siapa yang akan mengganggunya? Kalaupun ada orang yang bertindak jahat kepadanya, kalau usahanya membela diri tidak mampu menolongnya, ia sudah memasrahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa.

   Ia harus melanjutkan perjalanannya, menjelajahi daerah Thai-san untuk melaksanakan tugasnya yang dipesankan mendiang ayahnya, yaitu menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para patriot bangsa yang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.

   Ia menjelajahi dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Pegunungan Thai-san dan setiap kali menemukan orang yang sakit berat, Ceng Ceng dengan penuh perhatian segera mengobatinya. Obatnya manjur sekali dan yang telah ia tolong, sembuh dari penyakitnya dan gadis itu sama sekali tidak menuntut imbalan. Maka namanya segera menjadi buah bibir penduduk dusun-dusun yang dilewatinya. Ceng Ceng tidak pernah memperkenalkan julukan Pek-eng Sianli yang dulu diberikan orang kepadanya dan kini para penduduk dusun memberinya sebuah julukan baru, yaitu Yok Sianli (Dewi Obat)!

   Pada suatu siang Ceng Ceng memasuki sebuah dusun di lereng bukit yang paling bawah dari pegunungan itu, sebuah dusun kecil yang penduduknya terdiri dari beberapa puluh keluarga petani. Kebetulan sekali pada waktu itu penduduk dilanda penyakit perut yang sudah mengorbankan belasan orang. Melihat ini, Ceng Ceng segera turun tangan, mengobati mereka yang sedang sakit dan minta kepada kepala dusun kecil itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari beberapa macam daun dan akar obat untuk diminum semua anggauta keluarga penduduk agar jangan terkena penyakit itu.

   Penduduk dusun kecil itu berterima kasih sekali kepada Yok Sianli yang namanya sudah mereka dengar. Mereka mencari daun-daun dan akar obat yang diminta lalu Ceng Ceng membagi-bagi obat itu agar diminum semua orang. Saking girang dan sebagai pernyataan terima kasih mereka, kepala dusun memberi tempat bagi gadis penolong itu untuk melewatkan beberapa malam, mereka lalu mengadakan perjamuan selamat jalan kepada Ceng Ceng yang hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun. Sudah lima hari ia berada di dusun itu.

   Seluruh penghuni dusun itu mengadakan perjamuan dengan gembira. Walaupun sederhana, namun meriah sekali karena semua orang mengagumi Ceng Ceng yang duduk di tempat kehormatan bersama kepala dusun.

   Namun menjelang akhir perjamuan itu, tiba-tiba masuk dua orang wanita ke rumah kepala dusun itu dan semua orang memandang mereka dengan heran. Dua orang wanita itu berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajah mereka cukup manis namun dengan alis berkerut, mata tajam dan mulut cemberut, mereka mendatangkan kesan galak. Apalagi di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Pakaian mereka yang berwarna serba hijau juga ringkas seperti pakaian para wanita kang-ouw. Mereka tidak mempedulikan pandang mata para penduduk dusun yang sedang berpesta itu, dan langsung saja mereka menghampiri meja di mana kepala dusun sedang menjamu Ceng Ceng sebagai tamu kehormatan dusun itu.

   Melihat datangnya dua orang wanita baju hijau yang menghampiri mejanya itu, Si Kepala Dusun terbelalak dan tampak marah.

   "Hei! Siapakah Ji-wi (Kalian Berdua) dan mengapa kalian masuk begini saja tanpa aturan?" dia menegur.

   Seorang di antara dua wanita baju hijau itu berkata ketus kepadanya.

   "Diam kamu! Kami tidak ada urusan denganmu!" Kemudian ia memandang kepada Ceng Ceng dan bertanya.

   "Apakah engkau yang disebut Yok Sianli?"

   Dengan senyum sabar Ceng Ceng menjawab.

   "Benar, orang-orang menyebut aku Yok Sianli walaupun aku tidaklah sehebat sebutan itu. Ada kepentingan apakah kalian mencari aku, dan siapakah kalian ini?"

   "Mari engkau ikut kami. Kami membutuhkan pertolonganmu untuk mengobati Su-kouw (Bibi Guru) kami."

   "Ah, tidak begitu caranya orang minta tolong! Kalian seolah memaksa dengan kasar!" Kepala dusun itu berseru marah melihat dua orang wanita itu tidak menghormati gadis penolong yang amat dihormati di dusun itu.

   Melihat dua orang wanita baju hijau itu memandang dengan mata mencorong marah kepada Si Kepala Dusun, Ceng Ceng cepat bangkit berdiri dan berkata,

   "Biarlah Paman. Mereka datang minta bantuanku, sudah semestinya aku pergi menolong orang yang sakit." Lalu kepada dua orang wanita baju hijau itu ia berkata,

   "Harap kalian menunggu sebentar di luar, aku hendak berkemas membawa pakaian dan obat-obat."

   Dua orang wanita baju hijau itu mengangguk lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah gesit menunjukkan bahwa keduanya adalah ahli-ahli silat yang tangguh.

   Ceng Ceng lalu memasuki rumah, mengambil pakaian dan obat dari dalam kamar, kemudian keluar dan berpamit kepada semua penduduk dusun itu. Beberapa orang wanita yang merasa telah diselamatkan angauta keluarganya oleh Ceng Ceng, menangis terharu. Seluruh penduduk merasa terharu dan kehilangan ditinggal gadis yang muncul sebagai dewi penolong itu.

   Di luar rumah kepala dusun, Ceng Ceng sudah ditunggu dua orang wanita baju hijau. Seluruh penduduk mengikuti dan mengantar kepergian Ceng Ceng sampai di luar dusun mereka. Setelah keluar dari dusun, wanita bermata sipit yang tadi bicara, berkata kepada Ceng Ceng.

   "Hayo cepat, Bibi Guru kami sakit keras, perlu cepat ditolong!" katanya dengan nada memerintah.

   Mendengar ucapan itu dan melihat sikap mereka yang murung dan galak, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Mereka sudah jauh dari dusun dan tidak ada orang lain melihat mereka.

   "Sobat, sikap kalian yang kasar dan galak ini tentu membuat lain orang yang hendak menolong menjadi enggan!"

   Tiba-tiba mereka mencabut pedang dari punggung mereka dan Si Mata Sipit mengancam.

   "Kalau engkau tidak mau menolong, pedang kami yang akan memaksamu!"

   Ceng Ceng merasa penasaran juga, walaupun mulutnya masih tersenyum. Dua orang wanita ini sudah keterlaluan dan mereka agaknya perlu disadarkan. Maka ia lalu berkata,

   "Hemm, begitukah? Andaikata aku menolak, lalu kalian mau berbuat apa?"

   Dua orang wanita itu membuat gerakan dengan pedang mereka, agaknya hendak menodong dan mengancam. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut karena begitu berkelebat, gadis baju putih itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebat. Sebelum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba saja pedang di tangan mereka dirampas orang tanpa dapat mereka pertahankan karena lengan mereka yang memegang pedang tiba-tiba tertotok lumpuh! Mereka terkejut dan cepat memutar tubuh. Di sana mereka melihat Ceng Ceng berdiri memegang dua batang pedang yang dirampasnya dengan cepat tadi.

   "Hemm, belum pernah aku melihat orang minta tolong dengan sikap seburuk kalian! Apakah aku berhadapan dengan dua orang anggauta gerombolan penjahat?" Setelah berkata demikian, kedua tangan Ceng Ceng yang memegang pedang rampasan itu bergerak.

   "Sing-singg""!" Sepasang pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di atas tanah, dekat sekali dengan kaki dua orang wanita baju hijau itu!

   Wajah dua orang wanita itu menjadi pucat. Sekarang baru mereka menyadari bahwa yang diberi julukan Yok Sianli, selain ahli pengobatan, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian silat yang luar biasa.

   Wanita bermata sipit itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada, diikuti temannya dan ia berkata sendu.

   "Sianli maafkan kami. Kami baru saja menerima musibah yang mengakibatkan dua orang rekan kami tewas dan Bibi Guru kami terluka parah. Karena penasaran dan sedih, maka kami lupa diri dan bersikap sangat tidak baik kepadamu. Harap maafkan kami berdua."

   "Kalau kalian menyesali kesalahan sendiri, hal itu sudah cukup, tidak ada yang perlu dimaafkan. Akan tetapi kuharap kalian suka menceritakan dengan singkat siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan kalian." Ceng Ceng lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah dan mempersilakan dua orang wanita itu duduk pula.

   Mereka menghela napas panjang, mencabut pedang dan menyarungkannya kembali, lalu duduk berhadapan dengan Ceng Ceng.

   "Kami adalah murid-murid Go-bi-pai. Ketua kami mengutus Bibi Guru Thian-li Niocu sebagai wakil Go-bi-pai untuk meninjau ke Thai-san di mana para tokoh persilatan katanya mencari harta karun Kerajaan Sung. Bibi Guru mengajak kami, tujuh orang muridnya. Kemarin dulu, ketika kami bertujuh diutus Su-kouw melakukan penyelidikan dengan berpencar, dua orang su-moi (adik seperguruan) kami yang termuda hilang. Kami dan Su-kouw mencari dan menemukan kedua orang murid Go-bi-pai itu telah tewas dan sebelum dibunuh agaknya mereka diperkosa orang. Kami marah sekali dan mencari pelakunya. Tak jauh dari situ kami menemukan orangnya yang ternyata seorang kakek iblis, datuk besar yang tinggi sekali ilmunya dan berkelakuan seperti iblis. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia yang memperkosa lalu membunuh dua orang su-moi kami itu. Bibi Guru marah sekali. Kami lalu mengeroyoknya, akan tetapi Bibi Guru terluka sebatang panah kecil beracun sehingga kami terpaksa melarikan diri. Kemudian, dari penduduk dusun kami mendengar akan Yok Sianli yang ahli mengobati, maka kami mencarimu dan telah bersikap kasar karena kami bingung dan marah, juga sedih."

   "Hemm, siapakah kakek datuk yang jahat itu?" tanya Ceng Ceng yang dapat menduga betapa lihainya datuk itu sehingga seorang tokoh Go-bi-pai seperti bibi guru wanita-wanita ini kalah dan terluka walaupun sudah mengeroyok kakek itu bersama lima orang keponakan muridnya.

   "Kakek iblis sombong itu adalah Cui-beng Kui-ong yang berkata bahwa semua orang yang hendak mencari harta karun akan berhadapan dengan dia karena harta itu katanya milik Kerajaan Mongol dan dia mewakili kerajaan penjajah itu."

   "Ah, kiranya Raja Iblis itu yang datang ke sini dan melakukan kekejian itu!"

   "Ah, engkan sudah mengenalnya, Yok Sianli?"

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Siapa tidak mengenal Raja Iblis Pengejar Roh, antek Mongol yang memusuhi semua patriot bangsa itu? Dia memang lihai sekali, akan tetapi kelihaiannya itu pasti akan musnah, dihancurkan kejahatannya sendiri. Mari kita ke bibi guru kalian, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya, mudah-mudahan."

   Mereka lalu memasuki sebuah hutan kecil di mana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tiga orang murid wanita Go-bi-pai menyambut dan Ceng Ceng lalu dibawa masuk kuil tua itu.

   Thian-li Niocu berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian pertapa sederhana berwarna hijau. Ia rebah di atas dipan batu yang ditilami rumput dan daun kering, telentang dengan mata terpejam dan wajahnya agak membiru, napasnya terengah-engah. Melihat wajah wanita itu saja Ceng Ceng dapat menduga bahwa wanita itu keracunan. Tanpa diminta lagi ia segera duduk di tepi dipan batu itu dan memeriksa dengan teliti. Setelah mendapatkan luka di pundak kanan wanita itu, luka oleh anak panah kecil yang sudah dicabut, tahulah ia bahwa racun itu disebabkan oleh anak panah yang melukai pundak. Anak panah yang mengandung racun. Ia lalu dengan teliti memeriksa luka yang berwarna hitam menghijau di sekelilingnya. Memeriksa pula detak nadi untuk menemukan racun yang bagaimana sifatnya yang terkandung dalam tubuh melalui luka itu.

   Ia minta bantuan seorang murid Go-bi-pai untuk mendudukkan Thian-li Niocu yang masih pingsan dan menahan kedua pundaknya dari depan. Kemudian Ceng Ceng duduk bersila di belakang tokoh Go-bi-pai itu dan menotok beberapa hiat-to (jalan darah) di tubuh bagian belakang lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Si Sakit dan mengerahkan sin-kang untuk membantunya mendorong keluar hawa beracun dari dalam tubuhnya. Perlahan-lahan muncul uap hitam mengepul dari tubuh Thian-li Niocu dan tak lama kemudian ia muntahkan darah menghitam yang mengenai baju murid yang duduk di depannya dan menahan kedua pundaknya.

   Thian-li Niocu mengeluh dan Ceng Ceng membantunya rebah telentang kembali. Thian-li Niocu siuman dari pingsannya, namun tampak masih lemah.

   Ceng Ceng mengambil obat pulung (pel) yang diberi nama Pai-tok-san (Pel Pendorong Racun) sebanyak dua butir lalu menyuruh murid Go-bi-pai meminumkan obat itu kepada Thian-li Niocu. Setelah minum obat itu, Thian-li Niocu tertidur. Namun kini pernapasannya sudah normal kembali dan warna kehijauan pada mukanya makin menghilang. Pada luka di pundak itu, Ceng Ceng memberi obat bubuk, ditaburkan pada luka lalu pundak itu dibalut.

   Setelah mengobati Thian-li Niocu, Ceng Ceng keluar dari ruangan itu dan mencari tempat di sudut ruangan depan yang sudah dibersihkan oleh lima orang murid Go-bi-pai dan ia lalu duduk bersila di atas tumpukan jerami untuk memulihkan tenaganya karena tadi ia mengerahkan cukup banyak tenaga sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh Thian-li Niocu.

   Setelah lewat beberapa lamanya, Ceng Ceng mendengar orang-orang menghampirinya. Ia membuka matanya dan melihat Thian-li Niocu diikuti lima orang muridnya memasuki ruangan depan itu dan menghampirinya. Ceng Ceng bangkit berdiri dan Thian-li Niocu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Ceng Ceng cepat membalas penghormatan itu.

   "Nona, para muridku memberi tahu bahwa engkau adalah Yok Sianli yang telah menolongku dan menyembuhkan lukaku. Terimalah ucapan terima kasihku yang setulusnya."

   "Ah, Bibi, harap jangan sungkan. Saya kira sudah semestinya kalau orang suka saling menolong, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kebetulan saja saya mempunyai kemampuan mengobatimu, maka hal itu merupakan kewajaran saja dan tidak perlu Bibi berterima kasih kepada saya."

   "Siancai......! Menurut para murid, selain pandai ilmu pengobatan, engkau pun memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Luar biasa sekali seorang gadis muda seperti engkau telah memiliki dua macam ilmu itu, dan mendengar ucapanmu tadi, engkau pun memiliki kebijaksanaan. Mari duduk, Nona, aku ingin sekali berbincang denganmu dan mengenalmu lebih baik lagi."

   Mereka lalu duduk di atas lantai yang ditilami jerami kering. Ceng Ceng duduk berhadapan dengan Thian-li Niocu dan lima orang muridnya.

   "Biarlah kami memperkenalkan diri lebih dulu, Nona. Aku bernama Thian-li Niocu, adik seperguruan Ketua Go-bi-pai yang menjadi seorang di antara pengurus Go-bi-pai. Aku ditunjuk oleh Ketua kami untuk mewakili Go-bi-pai meninjau Thai-san di mana kabarnya menjadi tempat pencuri harta karun Kerajaan Sung yang akan menjadi ajang pencarian dan perebutan di antara orang-orang kang-ouw. Go-bi-pai tidak menginginkan harta karun, hanya ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi kami mengalami bencana. Dua orang murid kami telah dihina dan dibunuh oleh seorang datuk jahat, yaitu Cui-beng Kui-ong. Aku berusaha membalas dendam, akan tetapi ternyata dia lihai bukan main sehingga kami tidak mampu menandinginya, bahkan aku terluka dan nyaris tewas. Nah, kami ingin sekali mengenalmu lebih baik, Yok Sianli. Siapakah namamu yang sesungguhnya, siapa pula gurumu dan mengapa engkau juga berada di Thai-san ini."

   Karena orang-orang Go-bi-pai itu sudah memperkenalkan diri dengan sejujurnya, dan Ceng Ceng juga sudah mendengar bahwa perkumpulan Go-bi-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan yang beraliran bersih, maka ia pun tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan dirinya dan menceritakan keadaannya.

   "Nama saya Liu Ceng Ceng, Bibi......"

   "She (marga) Liu? Dari mana asalmu?" potong Thian-li Niocu.

   "Saya berasal dari Nan-king di mana mendiang orang tuaku tinggal."

   "Di Nan-king? Apa engkau masih ada hubungan keluarga dengan Liu Bok Eng?"

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Liu Bok Eng adalah mendiang ayah saya, Bibi."

   "Ahh""!" Thian-li Niocu berseru.

   "Kiranya engkau adalah puteri pendekar patriot yang terkenal itu! Engkau tadi mengatakan bahwa ayah ibumu telah meninggal dunia?"

   "Benar, Bibi, dan sesungguhnya, semua keributan di Thai-san ini adalah saya yang menyebabkannya. Mendiang Ayah meninggalkan sebuah peta kepada saya dengan pesan agar mencari harta karun pada peta itu."

   "Akan tetapi kami mendengar kabar bahwa peta harta karun itu tadinya milik seorang wanita yang disebut Pek-eng Sianli yang bekerja sama dengan pemerintah Mongol untuk mencari harta pusaka itu!"

   Ceng Ceng tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Sayalah yang diberi julukan itu, Bibi. Akan tetapi tidak benar kalau saya bekerja sama dengan pihak Pemerintah Mongol. Karena seorang adik angkat saya tertawan oleh seorang panglima Mongol bernama Kim Bayan, maka untuk menyelamatkan Adik angkat saya itu, terpaksa saya menyerahkan peta kepadanya dan terpaksa pula membantunya mencari harta karun sesuai dengan petunjuk peta itu. Setelah tempat harta karun itu ditemukan, yaitu di Bukit Sorga tak jauh dari kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong yang menjadi antek pemerintah penjajah."

   "Hemm, pantas kalau datuk iblis itu menjadi pengkhianat bangsa!" kata Thian-li Niocu marah.

   "Selanjutnya bagaimana, Nona Liu?"

   "Di tempat itu kami menemukan tempat penyimpanan harta karun, akan tetapi peti tempat harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan THAI SAN. Saya dan Adik angkat saya bersama seorang sahabat berhasil meloloskan diri dan demikianlah, berita itu tersiar dan semua orang ingin mencari pencuri dan merampas harta karun itu, Bibi."

   "Hemm, pantas ketika baru tiba di sini, kami melihat rombongan pasukan Pemerintah Mongol! Sebetulnya, dari mana asal peta harta karun itu dan bagaimana mendiang Pendekar Liu Bok Eng bisa mendapatkannya?"

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Ketika Kerajaan Sung dikalahkan bangsa Mongol, seorang pembesar istana bernama Thai-kam (Orang Kebiri) Bong mencuri harta Kerajaan Sung. Harta yang besar itu lalu dia sembunyikan dan dia membuat sebuah peta untuk tempat penyimpanan harta karun itu. Karena diketahui bahwa Thai-kam Bong itu korup dan jahat, bahkan hendak menjadi pengkhianat, berhubungan dengan bangsa Mongol, maka Ayah saya yang ketika itu menjadi panglima, melakukan penggerebekan dan membunuh pembesar korup yang berkhianat itu. Ayah saya menemukan peta itu, akan tetapi dia tidak sempat mencari harta karun karena Kerajaan Sung diserang bangsa Mongol sampai akhirnya kalah dan jatuh. Setelah Kerajaan Sung jatuh, Ayah saya juga tidak mencari harta karun itu karena tidak mungkin dikembalikan kepada Kerajaan Sung yang sudah tiada. Ayah hanya menyimpannya saja. Akan tetapi agaknya rahasia itu diketahui pihak Kerajaan Mongol yang baru berkuasa, maka Ayah lalu dipaksa untuk menyerahkan peta itu kepada mereka. Ayah menolak dan sebelum ayah tewas, Ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat dengan pesan agar diserahkan kepada saya. Nah, demikianlah, Bibi, maka peta itu terjatuh ke tangan Ayah lalu diberikan kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu."

   Thian-li Niocu mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya begitu? Kalau begitu, engkau datang ke Thai-san ini tentu hendak mencari harta karun yang menjadi hak ayahmu dan sudah diwariskan kepadamu?"

   

   "Benar, Bibi. Akan tetapi bukan untuk mendapatkannya sebagai warisan. Mendiang orang tuaku tidak membutuhkan harta karun itu, dan saya juga sama sekali tidak menginginkannya untuk diri saya sendiri."

   "Ah, begitukah? Kalau begitu, seandainya engkau berhasil mendapatkan harta karun itu, lalu untuk apa dan untuk siapa?"

   "Saya akan melaksanakan apa yang dipesan mendiang Ayah saya yaitu apabila saya berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada yang berhak."

   "Yang berhak? Siapakah yang berhak, Nona Liu? Harta itu milik Kerajaan Sung yang kini telah musnah. Lalu kepada siapa harta karun itu akan engkau berikan?"

   "Menurut pesan Ayah saya, harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang rakyat yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol. Maka seandainya saja berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada para pejuang yang dimaksudkan itu."

   "Siancai......! Bagus sekali! Sungguh mengagumkan! Nona Liu, jangan khawatir, Go-bi-pai pasti berdiri di belakangmu dan kami akan membantumu sekuat tenaga karena kami juga akan merasa gembira sekali kalau dapat membantu perjuangan rakyat untuk merobohkan penjajah Mongol," kata Thian-li Niocu dengan gembira sekali.

   "Bibi, terima kasih banyak. Hati saya sudah merasa senang kalau ada pihak yang menyetujui pendirian mendiang Ayah."

   "Kalau menurut pendapatmu, siapakah kiranya yang telah mencuri harta karun itu, Nona Liu?"

   "Masih sulit untuk menduga siapa yang melakukan pencurian itu, Bibi. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Thai-san ini bersama Adik angkat saya dan seorang sahabat. Kami pergi mengunjungi Ang-tung Kai-pang. Di sana muncul Hek Pek Mo-ko dan Adik angkat saya terlibat perkelahian dengan Hek Pek Mo-ko yang sikapnya jahat dan kurang ajar. Saya membantu Adik angkat saya, melawan Hek Pek Mo-ko. Akhirnya Hek Pek Mo-ko melarikan diri......"

   "Siancai ! Engkau dan Adik angkatmu dapat mengalahkan Hek Pek Mo-ko yang berilmu tinggi itu? Sungguh mengagumkan dan sukar dipercaya melihat engkau masih begini muda, Nona Liu. Kemudian bagaimana?"

   "Setelah mereka berdua melarikan diri, adik saya Tan Li Hong melakukan pengejaran. Adik saya itu memang berwatak keras. Kamudian sahabat kami menyusulnya karena khawatir kalau-kalau adik saya terjebak musuh. Setelah menanti lama dan mereka berdua belum juga pulang, saya lalu mencari mereka. Akan tetapi usaha saya gagal. Saya tidak dapat menemukan mereka biarpun saya telah mencari selama beberapa hari. Akhirnya saya bertemu dengan dua orang Cici (Kakak Perempuan) ini dan diajak ke sini untuk mengobati Bibi. Oleh karena itu saya belum dapat melakukan penyelidikan kepada golongan lain. Akan tetapi menurut keyakinan saya, golongan yang sudah saya datangi, yaitu Ang-tung Kai-pang, pasti bukan pelaku pencurian harta karun itu."

   "Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko? Kami mendengar bahwa Hek Pek Mo-ko merupakan datuk-datuk yang jahat dan kejam. Mungkinkah mereka yang menjadi pencurinya?"

   "Sukar dipastikan, Bibi. Hek Pek Mo-ko sendiri menuduh Ang-tung Kai-pang yang menjadi pencurinya. Ada dua kemungkinan memang. Hek Pek Mo-ko benar-benar bukan pencuri harta karun atau merekalah pencurinya dan sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan kecurigaan para pencari harta karun yang lain."

   Thian-li Niocu mengangguk-angguk.

   "Nona Liu, kami kira keadaan di daerah Thai-san ini sekarang amatlah berbahaya. Ini sudah kami rasakan sendiri. Kami melakukan penyelidikan dengan berpencar dan akibatnya, dua orang murid kami tewas, entah masih berapa banyak lagi orang jahat yang berilmu tinggi berkeliaran di sini. Maka, sebaiknya kita bersama melakukan penyelidikan agar kita lebih kuat menghadapi bahaya."

   "Su-kouw (Bibi Guru), kita harus membalas dendam kepada jahanam Cui-beng Kui-ong atas penghinaan dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap dua orang Sumoi (Adik Seperguruan)!" kata murid Go-bi-pai yang bermata sipit dengan suara mengandung kesedihan dan kemarahan.

   Thian-li Niocu menghela napas panjang.

   "Aah, kita sudah pernah mengeroyoknya namun kita bukan tandingannya."

   "Kita minta bantuan Nona Liu, tentu akan dapat mengalahkannya!"

   "Bibi, saya sendiri pernah bertemu dan bertanding melawan datuk itu. Saya kira saya sendiri tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi perlukah melakukan balas dendam? Sebaiknya Bibi kelak melaporkan hal itu kepada Ketua Go-bi-pai agar diambil keputusan. Dendam di hati merupakan racun yang berbahaya, membuat orang terkadang menjadi kejam dan bahkan nekat. Membiarkan dendam sama dengan membiarkan api berkobar dalam hati, kalau tidak dapat membalas dendam kematian menjadi kecewa dan penasaran, sebaliknya kalau mampu membalas dendam kematian akan menghadapi dendam pula dari pihak lawan. Mengapa tidak membiarkan saja dendam itu lewat tanpa mempengaruhi kita?"

   "Ah, Nona Liu!" Murid Go-bi-pai yang bermata sipit itu berseru dengan lantang, suaranya mengandung penasaran.

   "Karena engkau tidak merasakan kehilangan adik seperguruan, tentu saja engkau dapat berkata begitu. Akan tetapi kami yang kehilangan, bagaimana mungkin tidak menaruh dendam?"

   Thian-li Niocu hendak menegur keponakan seperguruannya, akan tetapi Ceng Ceng yang tersenyum sudah mendahului menjawab dengan bertanya kepada Si Mata Sipit.

   "Enci yang baik, dapatkah engkau menjelaskan kepadaku, mana yang lebih berat antara adik seperguruan dan ayah ibu?"

   Tanpa berpikir lagi Si Mata Sipit menjawab.

   "Tentu saja ayah ibu yang lebih berat. Ayah ibu merupakan orang-orang pertama yang paling dekat dengan kita!"

   "Nah, kalau begitu ketahuilah, Enci yang baik, bahwa Ayah dan Ibuku juga tewas dibunuh orang. Yang membunuhnya adalah Cui-beng Kui-ong pula, bersama muridnya, yaitu Panglima Mongol Kim Bayan."

   "Siancai!" Thian-li Niocu berseru kaget.

   "Jadi Ayah Ibumu juga terbunuh oleh datuk sesat itu? Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas dendam kematian mereka, Nona Liu?"

   "Seperti sudah saya katakan tadi, Bibi. Dendam itu racun yang amat berbahaya. Saya tidak mau dibakar dendam yang akan meracuni dan merusak diri sendiri."

   "Tapi mengapa begitu?" Murid Go-bi-pai bermata sipit itu berseru, penuh rasa heran dan penasaran.

   "Apakah orang sejahat datuk Iblis itu dibiarkan saja merajalela dengan kejahatannya? Bukankah sebagai pendekar silat kita berkewajiban untuk menentang kejahatan?"

   Dengan sikap tenang Ceng Ceng menjawab.

   "Sesungguhnya, bukan hanya ahli silat saja yang berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Setiap manusia berkewajiban untuk menentang kejahatan dengan hidup yang baik dan benar karena hanya dengan demikianlah kehidupan di dunia ini menjadi tenteram dan sejahtera. Berlandaskan kasih dalam hati, semua orang saling bantu, saling tolong dan tidak pernah ada kebencian dan kekerasan. Saya sendiri setiap saat siap untuk menentang kejahatan, akan tetapi harap diingat, yang ditentang itu adalah kejahatannya, bukan manusianya. Kalau orang-orang yang sesat hidupnya seperti misalnya Cui-beng Kui-ong itu melakukan kejahatan, sudah pasti saya menentangnya. Akan tetapi saya menentangnya karena dia melakukan kejahatan dan berbahaya bagi keselamatan orang lain, bukan saya tentang berdasarkan dendam pribadi."

   "Siancai......! Aku semakin heran dan kagum kepadamu, Nona Liu. Bahkan di antara sekian banyaknya pendeta dan pertapa, tidak banyak yang tidak lagi dikuasai ke- akuannya yang menimbulkan kebencian dan dendam. Kami semakin yakin bahwa engkaulah orangnya yang pantas mendapatkan harta karun itu untuk melaksanakan pesan ayahmu. Kami akan membantumu sekuat kemampuan kami, Nona Liu."

   "Terima kasih, Bibi."

   Thian-li Niocu lalu berkata kepada lima orang keponakan muridnya.

   "Kalian sudah mendengar pendapat Nona Liu. Semua ucapannya tadi benar sekali, maka kalian sepatutnya mencontohnya. Kita tentu akan menentang orang-orang sesat seperti Cui-beng Kui-ong, akan tetapi kita menentang kejahatannya, bukan menentang orangnya untuk membalas dendam. Sekarang yang terpenting kita membantu Nona Liu untuk mendapatkan kembali harta karun, dan jangan membiarkan dendam membakar hati kalian."

   Setelah Thian-li Niocu pulih kembali kesehatannya, ia bersama lima orang muridnya menemani Ceng Ceng melanjutkan penyelidikannya di daerah Thai-san itu. Atas permintaan Ceng Ceng, mereka menuju ke bagian Utara pegunungan itu untuk menyelidiki Hek Pek Mo-ko karena selain sepasang
iblis ini dianggap mencurigakan, juga Ceng Ceng hendak mencari Yauw Tek dan Tan Li Hong yang tempo hari melakukan pengejaran terhadap sepasang iblis itu.

   Dalam perjalanan mereka mencari pencuri harta karun, Pouw Cun Giok, The Kui Lan, dan The Kui Lin di sepanjang perjalanan mendengar bahwa banyak rombongan maupun perorangan dari dunia kang-ouw berdatangan di Pegunungan Thai-san. Bahkan di sana-sini terjadi bentrokan di antara mereka.

   "Hemm, perebutan dan persaingan sudah dimulai," kata Cun Giok.

   "Mereka itu orang-orang aneh. Harta karun belum juga ditentukan mengapa mereka sudah saling serang?" kata Kui Lin.

   "Sejak dulu kita sudah mendengar bahwa orang-orang kang-ouw memang aneh dan mereka suka sekali berkelahi. Mungkin dalam kesempatan mencari harta karun ini mereka pergunakan untuk mengukur kelihaian masing-masing," kata Kui Lan.

   "Memang demikianlah. Orang-orang seperti mereka itu menganggap bahwa mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun hanya untuk berkelahi, memperlihatkan kepandaian dan mencari kemenangan. Karena itu, orang-orang kang-ouw itu cenderung tersesat dan mengutamakan kekerasan," kata Cun Giok.

   "Huh, tolol mereka semua itu. Seperti segerombolan anjing memperebutkan tulang dan asyik berkelahi sehingga tidak lagi mempedulikan tulang yang mereka perebutkan. Akhirnya, mereka itu babak belur akan tetapi tulangnya sudah dibawa pergi pihak lain!" kata pula Kui Lin.

   Cun Giok tertawa.

   "Ha-ha, mudah-mudahan saja kita yang menjadi pihak lain itu!"

   Makin naik ke lereng lebih tinggi, mereka semakin banyak mendengar akan keributan-keributan yang terjadi di daerah Pegunungan Thai-san itu.

   "Lan-moi dan Lin-moi," kata Cun Giok.

   "Agaknya pencari harta karun semakin banyak dan ramai. Karena itu, kukira lebih baik kalau untuk sementara kita mencari dengan terpencar. Aku mencari ke arah sana dan kalian berdua ke arah yang berlawanan. Sebulan kemudian kita bertemu kembali di perkampungan Thai-san-pai. Bagaimana pendapat kalian?"

   Kui Lin mengerutkan alisnya. Rasanya berat untuk berpisah dari pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi Kui Lan segera berkata.

   "Pendapat Giok-ko benar. Dengan berpencar kita dapat lebih banyak mengetahui keadaan dan siapa tahu, Giok-ko atau kami berdua dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang pencuri harta karun."

   Karena encinya sudah berkata demikian, Kui Lin tidak berani membantah, juga tentu saja ia malu untuk mengatakan bahwa dia tidak suka berpisah dari Cun Giok!

   Demikianlah, tiga orang itu berpisah menjadi dua, Cun Giok melanjutkan penyelidikannya seorang diri, sedangkan Kui Lan dan Kui Lin mencari ke arah lain. Sebetulnya bukan hanya alasan yang dikemukakan kepada dua orang gadis kembar itu yang membuat Cun Giok mengambil kebijaksanaan untuk berpencar, melainkan juga karena dia mengkhawatirkan keadaan Li Hong dan Ceng Ceng yang belum juga dapat dijumpainya.

   Setelah mereka berdua berpisah dari Cun Giok dan berjalan cukup jauh, Kui Lin mengomel kepada encinya.

   "Lan-ci, kenapa engkau setuju berpisah dari Giok-ko? Tempat ini amat berbahaya, kalau tidak ada Giok-ko, apakah kita berdua tidak akan terancam bahaya?"

   "Ih, Lin-moi, benarkah ini engkau yang bicara? Sejak dulu aku tahu akan keberanianmu menempuh bahaya apa pun. Akan tetapi mengapa sekarang engkau begitu penakut? Belum juga muncul bahaya engkau sudah takut lebih dulu."

   "Akan tetapi, Lan-ci, perjalanan kita sekali ini menempuh bahaya yang besar. Engkau merasakan sendiri. Baru bertemu Huo Lo-sian seorang saja, kita berdua tidak mampu menandinginya dan kalau tidak ada Giok-ko, tentu kita sudah celaka di tangan datuk itu."

   "Sudahlah, Lin-moi, kita harus lebih percaya kepada diri sendiri. Engkau telah bersikap lancang ketika berhadapan dengan Huo Lo-sian sehingga hampir saja kita celaka kalau tidak dibantu oleh Giok-ko. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati, jangan mudah naik darah dan mencari permusuhan dengan siapa pun. Keperluan kita ke sini adalah untuk membantu Giok-ko mencari harta karun itu, bukan mencari permusuhan."

   Kui Lin cemberut.

   "Enci Lan, datuk iblis macam Huo Lo-sian itu sudah sepatutnya kita musuhi!"

   "Bukan kita musuhi, Lin-moi. Kalau dia menyerang kita, terpaksa kita harus melawan mati-matian. Akan tetapi kalau tidak, untuk apa kita mencari penyakit? Pendeknya, selanjutnya aku melarang engkau turun tangan menggunakan kekerasan menyerang siapa saja sebelum aku beri tanda. Ingat pesan Ibu, dalam perjalanan ini engkau sudah berjanji untuk menaati kata-kataku!"

   Kui Lin makin bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah lagi.

   "Baiklah, Enciku yang baik, mulai sekarang aku akan menaati semua perintahmu." Ia merajuk dan sikapnya seolah menghadap seorang puteri raja yang harus dipatuhi dan dihormati!

   Mau tidak mau Kui Lan tersenyum geli melihat sikap adiknya yang sinis itu.

   "Adikku yang baik, semua yang kupikirkan, katakan atau perbuat semata-mata untuk kebaikan dan keselamatan kita berdua. Kita sekarang hanya berdua, apakah engkau mengajak aku bertengkar? Kalau engkau tidak merasa puas, baiklah mulai sekarang engkau yang memimpin dan aku akan memaati semua petunjukmu!"

   "Ah, jangan begitu, Lan-ci. Sekarang engkau yang merajuk!" Kui Lin setengah cemberut setengah tertawa sehingga Kui Lan tertawa. Mereka lalu berangkulan.

   "Lihat, Lin-moi, matahari sudah condong ke barat. Kita harus cepat mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam yang akan segera tiba." Mereka kini berlari cepat dan ketika dari atas sebuah bukit mereka melihat rumah-rumah pedusunan bergerombol di lereng bawah, mereka cepat menuruni bukit menuju ke dusun kecil itu.

   Dusun di lereng itu hanya kecil saja, dihuni tidak lebih dari limapuluh kepala keluarga. Melihat keadaan rumah-rumah di situ dapat diduga bahwa penghuni dusun itu berkeadaan cukup baik. Rumah mereka kokoh dan jalan di dusun itu pun rapi dan terawat bersih. Akan tetapi ketika dua orang gadis kembar itu memasuki dusun, mereka terheran-heran. Matahari belum terbenam dan cuaca masih terang, apalagi waktu itu langit pun bersih tidak ada mendung. Akan tetapi mengapa semua pintu dan jendela rumah itu tertutup semua dan tidak tampak seorang pun manusia di luar rumah?

   "Heran, apakah dusun ini tidak ada penghuninya?" Kui Lin mengomel.

   "Sstt, dengar. Kukira di dalam semua rumah itu ada penghuninya, hanya entah mengapa masih terang begini mereka sudah menutup pintu dan jendela. Agaknya tidak berani keluar," kata Kui Lan.

   Kui Lin diam dan memperhatikan dengan pendengarannya. Ia menangkap juga gerakan dari dalam rumah-rumah itu. Mereka berjalan sampai ke tengah dusun dan tetap saja tidak melihat seorang pun di luar rumah.

   Kui Lin merasa penasaran dan ia melangkah ke depan sebuah rumah hendak berteriak memanggil, namun Kui Lan mencegahnya.

   "Jangan ganggu mereka, Lin-moi. Melihat sikap mereka, agaknya mereka ketakutan. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di dusun ini."

   Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis lirih sekali. Hanya isak yang ditahan-tahan, tangis seorang wanita yang agaknya menutupi mulutnya dengan kain agar suara tangisnya tidak terdengar orang. Lalu ada suara laki-laki berbisik lirih menyuruh wanita itu menghentikan tangisnya.

   Akan tetapi agaknya yang menangis itu tidak dapat menahan diri sehingga isaknya menerobos keluar dari tangan yang menutupinya. Kemudian, terdengar jeritannya tertahan.

   "Anakku...... aku mau mencari anakku......" Suara kaki berlari dan pintu sebuah rumah terdekat terbuka. Tampak seorang wanita muda berlari keluar dengan sanggul rambut terlepas.

   "Cun-nio...... kembalilah""!" Seorang laki-laki berlari mengejar.

   Wanita itu terhuyung dan ketika tiba di depan Kui Lan dan Kui Lin, ia tersandung dan jatuh di depan kaki Kui Lan.

   Kui Lan cepat menghampiri dan membantunya bangkit berdiri.

   Pada saat itu, laki-laki yang tadi mengejar sudah sampai di situ.

   

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 10



   "Siluman jahat, jangan ganggu isteriku!" Dan dia lalu menerjang dan menyerang Kui Lan!

   Akan tetapi serangan itu tidak ada artinya bagi Kui Lan karena hanya serangan seorang laki-laki biasa tanpa didukung ilmu silat dan tenaga dalam. Dengan mudah Kui Lan mengelak dan sebelum laki-laki itu menyerang lagi, Kui Lin telah mendorongnya dari samping sehingga tubuh laki-laki itu terpelanting dan terguling-guling.

   Biarpun tubuhnya nyeri karena terbanting-banting, laki-laki itu bangkit kembali dan dengan nekat menyerang sambil memaki.

   "Siluman jahat, kembalikan anakku dan jangan ganggu isteriku!" Dia maju lagi menerjang dan memukul. Akan tetapi Kui Lan cepat bergerak menotoknya sehingga dia roboh terkulai lemas, tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Wanita yang tadi lari menangis itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Lan dan Kui Lin.

   "Ampunkan suami saya...... ampunkan kami...... mohon dikembalikan anak kami......" Wanita itu meratap.

   "Hei, kalian ini apakah sudah gila?" Kui Lin membentak.

   "Masa kami dituduh menjadi siluman jahat yang menculik anak kalian!"

   Kui Lan berkata kepada suami isteri itu yang kini keduanya berlutut sambil menangis.

   "Kalian tenanglah dan hentikan tangismu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi? Kami berdua hanya kebetulan lewat saja di dusun ini, mengapa kalian menganggap kami menculik anak kalian?"

   Agaknya suami isteri itu baru menyadari bahwa mereka salah sangka, maka wanita itu berkata,

   "Ah, ji-wi Li-hiap, maafkan kami yang salah sangka...... tolonglah kami, Li-hiap, selamatkan kami......" Wanita itu menangis.

   "Apa yang terjadi? Hayo katakan, apa yang terjadi?" Kui Lin bertanya tak sabar.

   Kini suami itu berkata,

   "Harap Ji-wi memasuki rumah kami, di dalam saja kita bicara dan kami akan menceritakan semua. Kalau di luar sini berbahaya sekali......"

   "Hemm, berbahaya apa? Siapa yang mengancam kalian? Biar kuhancurkan kepalanya!" teriak Kui Lin.

   Kui Lan mengangkat bangun suami isteri itu.

   "Marilah kita bicara di dalam rumah kalian."

   Mereka berempat lalu memasuki rumah. Daun pintu segera ditutup oleh si Suami. Cuaca di Iuar masih terang, akan tetapi karena semua jendela dan pintu ditutup, cuaca dalam rumah itu agak gelap.

   "Nyalakan lampu!" kata Kui Lin.

   "Kami takut......!"

   "Tidak perlu takut. Siapa mengganggu kalian, akan kami hajar!" kata Kui Lin. Biarpun takut dan gugup, suami itu menyalakan sebuah lampu meja dan cuaca menjadi lebih terang.

   "Nah, ceritakan, apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa semua orang menutup pintu?" tanya Kui Lan.

   Biarpun masih tampak pucat, namun kehadiran dua orang gadis cantik jelita yang tampak pemberani itu membuat suami isteri itu agak tenang. Si Suami kini menceritakan dengan suara lirih seperti takut kalau terdengar orang luar rumah.

   "Ketahuilah, Ji-wi Li-hiap (Pendekar Wanita Berdua) bahwa sekitar lima hari yang lalu, dusun kami kedatangan siluman yang suka menculik anak-anak bayi. Sudah dua orang bayi yang ia culik, dan yang terakhir anak kami yang baru berusia tiga bulan diculiknya."

   "Huh, macam apa siluman itu?" tanya Kui Lin.

   "Kami sedusun tidak ada yang pernah melihatnya, Li-hiap. Pertama-tama, lima hari yang lalu, pada malam itu hanya terdengar suara wanita seperti menangis atau tertawa, aneh sekali dan menyeramkan. Lalu terdengar suaranya yang serak dan menakutkan. Ia minta agar disediakan seorang bayi. Tentu saja kami menjadi marah dan belasan orang laki-laki tua muda di dusun ini keluar untuk melawan siluman itu. Akan tetapi kami tidak melihat adanya orang, hanya suara tawa setengah tangis itu dan tiba-tiba ada angin menyambar-nyambar dan kami roboh berpelantingan. Kemudian, seorang anak bayi yang baru sebulan usianya, terdengar menangis dan ketika keluarga dalam rumah itu memasuki kamar, anak bayi itu telah lenyap!"

   "Siluman keparat!" Kui Lin memaki marah.

   "Selanjutnya bagaimana?" tanya Kui Lan.

   "Selama tiga hari, siluman itu tidak muncul, kemudian kemarin malam, siluman itu muncul, atau lebih tepat, suaranya muncul minta seorang bayi. Semua laki-laki dalam dusun kami, dipimpin oleh kepala dusun, berjumlah limapuluh orang, keluar untuk melawan. Akan tetapi kemudian tampak sesosok wanita baju putih, gerakannya demikian cepat sehingga kami tidak dapat melihat jelas wajahnya, berkelebatan dan kami semua roboh. Untung bahwa kami hanya menderita luka tidak parah, akan tetapi anak kami yang berusia tiga bulan telah hilang setelah kami mendengar bunyi tangisnya."

   Kini Si Isteri itu menangis terisak-isak, teringat akan anak bayinya yang diculik siluman.

   "Lanjutkan ceritamu!" kata Kui Lan.

   Suami itu melanjutkan dengan wajah sedih dan takut.

   "Sejak kemarin malam, kami seluruh penduduk dusun ketakutan, apalagi ketika terdengar suara siluman itu bahwa malam ini kami harus menyediakan seorang bayi yang usianya kurang dari tiga bulan. Kalau kami tidak menyediakan bayi itu, dusun ini akan dibakar dan penduduknya akan dibasmi. Karena itu, kami ketakutan dan tidak berani membuka pintu dan jendela."

   "Siluman keparat! Aku akan membunuhnya!" Kui Lin sudah bangkit berdiri dan mengamangkan tinju ke arah pintu.

   Akan tetapi Kui Lan memberi tanda kepada adiknya agar diam, lalu bertanya kepada tuan rumah.

   "Apakah permintaannya itu malam ini dipenuhi?"

   "Aih, Li-hiap, orang tua mana yang merelakan anak bayinya dibawa siluman itu? Tentu saja tidak ada yang mau memberikan anaknya walaupun di dusun ini terdapat beberapa orang anak bayi di bawah tiga tahun."

   "Kalau begitu, sekarang juga bawalah kami kepada orang tua yang mempunyai anak bayi kurang dari tiga bulan itu. Kami akan minta kepadanya untuk menyerahkan anak mereka. Apakah siluman itu mengatakan di mana anak itu harus diserahkan?"

   "Ia hanya mengatakan agar anak itu diletakkan di halaman rumah dan ia akan mengambilnya. Akan tetapi, Li-hiap, kami yakin bahwa orang tua itu tidak akan memperbolehkan anak mereka diserahkan kepada siluman!"

   "Maksudku bukan diserahkan, hanya untuk memancing agar siluman itu datang. Kalau ia datang, kami berdua yang akan menghadapinya dan anak itu kami jamin selamat," kata Kui Lan dengan suara meyakinkan.

   Suami isteri itu lalu mengantarkan Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah rumah tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu dan suami itu memperkenalkan diri, daun pintu dibuka. Mereka berempat masuk dan di sini pun Kui Lin minta agar lampu dinyalakan.

   "Kami tidak berani......!" kata Ibu si anak.

   "Jangan takut, ada kami di sini. Kalau ada siluman atau iblis muncul, kami yang akan menghancurkan kepalanya!" kata Kui Lin galak.

   Tiba-tiba anak kecil itu menangis dan cepat-cepat ibunya menghentikan suaranya dengan memasukkan payudaranya ke dalam mulut bayi itu. Sekarang suaminya berkata kepada Kui Lin dengan nada suara ragu dan penasaran.

   "Nona, bagaimana kami akan dapat mempercayai kesanggupanmu untuk melindungi anak kami dan melawan siluman itu? Apakah yang Nona andalkan untuk mengalahkannya?"

   Kui Lin hendak membentaknya akan tetapi didahului Kui Lan yang berkata.

   "Kapankah siluman itu minta agar anak bayi itu dikeluarkan di halaman rumah?"

   "Mintanya...... eh, setelah matahari terbenam......"

   "Hemm, kalau begitu sekarang?" tanya Kui Lan sambil membuka daun jendela sehingga tampak keadaan di luar. Memang pada saat itu, senja telah tiba dan cuaca di luar mulai remang-remang.

   Tuan rumah dan penduduk yang membawa dua orang gadis kembar itu ke situ mengangguk dengan wajah ketakutan. Sementara itu, ibu si anak mendekap anaknya dan menggeleng-geleng kepala.

   "Tidak boleh! Anakku tidak boleh dipakai umpan......"

   Kui Lan memandang adiknya, pandang mata yang mengandung isyarat dan biasanya di antara kedua orang gadis ini memang ada hubungan batin yang peka sekali sehingga apa yang dimaksudkan seorang dari mereka dapat ditangkap oleh yang lain hanya dengan pandang mata saja. Lalu Kui Lan mendekati ayah si anak tadi sambil berkata.

   "Engkau menghendaki bukti bahwa kami dapat melawan siluman itu?"

   "Yang penting dapat melindungi anak kami!" kata tuan rumah. Tiba-tiba dia terkulai roboh, disusul isterinya. Suami isteri itu tertotok roboh oleh Kui Lan dan Kui Lin secepat kilat telah mengambil bayi itu dari pondongan ibunya.

   Suami isteri yang membawa dua orang gadis itu ke situ, hanya memandang dengan terbelalak dan mereka berdua merasa bingung dan curiga. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa dua orang gadis yang segala-galanya sama itu. Jangan-jangan siluman itu adalah mereka ini! Akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, hanya memandang kepada ayah dan ibu bayi itu yang rebah di atas lantai tanpa dapat bergerak.

   Kui Lan memberi isyarat kepada adiknya dan Kui Lin segera membawa bayi itu dengan selimutnya keluar rumah. Ia membentangkan selimut itu di atas pekarangan rumah, lalu menggunakan sebagian selimut itu untuk menyelimuti bayi yang kini menangis lagi. Kui Lan dan Kui Lin berjongkok di belakang semak-semak yang tumbuh di halaman itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Kui Lan sudah mencabut pedangnya, sedangkan Kui Lin memegang dua buah batu sebesar kepalan tangan di kedua tangannya. Mereka siap siaga untuk menyerang siluman yang akan muncul dan akan mengambil bayi yang menangis itu.

   Suami isteri pertama yang kini mengintai di balik jendela gemetar seluruh tubuh mereka, dan suami isteri yang tertotok tadi biarpun tidak mampu bergerak, namun mereka mampu mendengar. Mendengar tangis bayi mereka, dapat dibayangkan betapa risau, khawatir dan sedih rasa hati mereka. Juga kini semua penduduk mendengarkan dengan ketakutan. Mereka mendengar tangis bayi itu dan tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka membayangkan hal yang ngeri-ngeri.

   Kui Lan dan Kui Lin tidak harus menanti terlalu lama. Agaknya tangis bayi itu menarik siluman itu datang lebih cepat. Tiba-tiba angin bertiup, menggerakkan daun-daun pohon di pekarangan itu. Lalu terdengar suara tawa bercampur tangis dan sesosok bayangan putih berkelebat memasuki halaman. Inilah saat yang dinanti-nanti Kui Lan dan Kui Lin. Kui Lin segera menyambitkan dua buah batu itu dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah bayangan putih itu, lalu bersama Kui Lan ia melompat keluar dari balik semak-semak, lari menghampiri bayangan itu.

   "Iihhhh......!!" Bayangan putih itu mengeluarkan jeritan marah dan tubuhnya mengelak dari sambaran batu pertama lalu tangan kirinya menangkis batu kedua sehingga batu itu pecah berantakan!

   Akan tetapi Kui Lan dan Kui Lin sudah berdiri di depannya membelakangi bayi sehingga mereka berdua menghadang bayangan itu. Dalam keremangan cuaca mereka masih dapat melihat bahwa bayangan itu ternyata adalah seorang nenek kurus agak bongkok, mukanya putih pucat seperti mayat dan bajunya serba putih terbuat dari kain mori kasar seperti yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung. Sepatunya kulit hitam berlapis besi dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.

   Biarpun Kui Lan dan Kui Lin belum pernah melihat nenek yang usianya tentu lebih dari enampuluh tahun itu, namun mereka sudah mendengar dari ibu mereka tentang para datuk persilatan, baik dari golongan hitam sesat maupun golongan putih berjiwa pendekar. Maka, melihat nenek yang pucat seperti mayat dan mengenakan pakaian berkabung itu, Kui Lan langsung berkata.

   "Kiranya yang membuat kekacauan di dusun ini adalah Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)!"

   "Nenek siluman jahat! Untuk apa engkau menculik anak-anak bayi?" Kui Lin membentak marah. Mereka berdua sudah mendengar dari ibu mereka betapa lihainya nenek ini, namun mereka terutama Kui Lin sama sekali tidak merasa gentar.

   Nenek itu mengeluarkan suara gerengan seperti tawa bercampur tangis. Tadinya ia marah sekali ketika ada dua buah batu menyambar dan ketika ia menangkis satu di antaranya, terasa betapa lemparan batu itu dilakukan orang dengan tenaga lemparan yang amat kuat. Akan tetapi ketika berhadapan dengan dua orang gadis kembar dan ternyata dua orang gadis itu mengenalnya, ia merasa heran. Biasanya, yang mengenal ia adalah para datuk dan tokoh besar persilatan. Akan tetapi kini, dua orang gadis muda, tampaknya kembar, mengenalnya, bahkan berani menghinanya dengan makian! Tentu saja ia menjadi marah sekali dan ia ingin tahu lebih dulu siapa mereka sebelum ia membunuh mereka.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Song-bun Mo-li dan Cui-beng Kui-ong, kakak beradik seperguruan ini tadinya membantu murid mereka, Kim Bayan ketika Kim Bayan berusaha mendapatkan harta karun Kerajaan Sung. Kemudian setelah tempat itu ditemukan menurut petunjuk peta yang mereka rampas dari Ceng Ceng, ternyata peti harta karun itu kosong dan yang ada hanya tulisan THAI SAN. Kim Bayan khawatir kalau-kalau harta karun itu akan dimiliki kedua orang gurunya, maka dia sengaja memisahkan diri, kemudian dia memimpin pasukan yang cukup besar untuk mencari sendiri ke Thai-san.

   Adapun sepasang Iblis Tua itu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, diajak oleh Kong Sek dan mereka bertiga juga pergi ke Thai-san. Setelah tiba di kaki pegunungan, Song-bun Mo-li kumat kesukaannya untuk menghisap darah bayi! Dahulu, hal ini dilakukan untuk memperkuat daya rendah yang kotor guna mempelajari ilmu sesat yang dapat membuat nenek ini melakukan sihir. Akan tetapi kemudian ia merasa kecanduan dan satu dua tahun sekali ia kumat dan baru puas kalau sudah menghisap darah beberapa orang bayi. Di tempat itu ia lalu mencari bayi-bayi dan kebetulan dusun di lereng itulah yang menjadi korban.

   "Hu-hu-heh-heh-heh, kalian berdua ini bocah-bocah bosan hidup sudah mengenal aku. Hayo katakan siapa kalian sebelum aku membunuhmu dan jangan mati tanpa nama!"

   Kui Lin yang marah mendahului encinya.

   "Huh, nenek siluman yang jahat! Sebentar lagi engkau akan berkabung untuk kematianmu sendiri! Bukalah telingamu dan dengarlah bahwa kami berdua adalah penghuni Lembah Seribu Bunga!"

   Song-bun Mo-li terkejut juga mendengar disebutnya Lembah Seribu Bunga yang amat terkenal di dunia persilatan, terutama bagi para datuk.

   "Lembah Seribu Bunga? Apakah kalian murid-murid The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga?" tanyanya.

   "Kami puterinya!" jawab Kui Lan.

   "Ah, kiranya puteri Majikan Lembah Seribu Bunga. Pantas saja kalian berani menentang Song-bun Mo-li! Mengingat ibu kalian, biarlah aku mengampuni kalian, akan tetapi jangan mencampuri urusanku. Pergilah dan jangan menggangguku atau aku akan lupa bahwa kalian adalah puteri-puteri The Toanio Majikan Lembah Seribu Bunga!"

   "Huh, enak saja menyuruh kami pergi!" Kui Lin berseru marah.

   "Song-bun Mo-li, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan sore ini bersiaplah untuk mampus tangan kami."

   Marahlah Song-bun Mo-li, apalagi melihat Kui Lan sekarang mengambil bayi yang menangis itu, memondong dan membawanya masuk ke dalam rumah, menyerahkannya ke dalam pondongan ibu anak itu yang sudah terbebas dari totokan oleh Kui Lan sebelum menyerahkan anak itu. Kini dengan cepat Kui Lan sudah berdiri di samping adiknya lagi.

   "Bocah-bocah kurang ajar! Sekarang aku tidak peduli lagi kalian anak dewa ataupun anak setan! Kalian terimalah ini!"

   Setelah berkata demikian, nenek itu melompat ke depan dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat secara bertubi kepada dua orang gadis kembar itu. Tongkat yang menjadi gulungan sinar hitam itu mula-mula menyambar ke arah dada Kui Lan dan ketika Kui Lan mengelak, tongkat itu langsung menyambar ke arah leher Kui Lin! Gerakannya selain amat cepat, juga ganas dan kuat sekali sehingga setiap serangan merupakan jangkauan maut!

   Namun dua orang gadis kembar itu dapat menghindar dengan cepatnya, bahkan Kui Lan segera membalas dengan sambaran pedangnya, sedangkan Kui Lin menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Kui Lin memang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong tidak seperti kakaknya yang ahli silat pedang, maka biarpun ia menyerang dengan tangan kosong, serangannya itu berbahaya sekali. Pukulannya selain cepat juga didorong sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga didahului angin pukulan yang mengandung hawa panas!

   "Trang! Plakk! Trangg...... plakk!" Dua kali tongkat hitam Song-bun Mo-li menangkis pedang Kui Lan dan dua kali pula tangan kirinya menangkis pukulan Kui Lin. Pertemuan tenaga antara Song-bun Mo-li dengan kedua orang gadis kembar itu membuat Kui Lan dan Kui Lin terhuyung, akan tetapi Song-bun Mo-li juga merasa tergetar lengannya. Hal ini menandakan bahwa biarpun nenek itu masih lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak.

   Song-bun Mo-li merasa penasaran. Masa ia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda itu, sungguhpun mereka puteri The Toanio dari Lembah Seribu Bunga? Tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian The Toanio mungkin seimbang, maka memalukan kalau ia sampai tidak mampu mengalahkan dua orang puteri atau muridnya itu! Ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkatnya digerakkan semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung yang menyambar ke arah Kui Lan dan Kui Lin menjadi serangan maut yang amat berbahaya.

   Kui Lan dan Kui Lin maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Sepasang saudara kembar ini tentu saja memiliki kepekaan yang luar biasa antara satu sama lain sehingga ketika bertanding, mereka pun menggunakan penggabungan ilmu silat mereka. Pedang Kui Lan menjadi pertahanan dan tongkat hitam nenek itu selalu tertangkis pedang, sedangkan Kui Lin yang memiliki gerakan cepat itu melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan kedua tangannya dan tendangan kedua kaki berganti-ganti.

   Dengan kerja sama yang amat kompak ini, biarpun tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Song-bun Mo-li, sepasang gadis kembar itu dapat mendesak nenek yang lihai itu. Song-bun Mo-li menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya, akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Sepasang gadis kembar itu memiliki gerakan gesit sekali dan kerja sama mereka amat kompak yang melipatgandakan kekuatan mereka.

   Tiba-tiba Song-bun Mo-li mengeluarkan suara tangis yang menggetarkan jantung Kui Lan dan Kui Lin. Suara tangis itu demikian kuat pengaruhnya sehingga kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan dan ikut menangis! Mereka mempertahankan agar tidak terisak-isak, akan tetapi mata mereka mengeluarkan air mata yang menetes-netes membasahi pipi mereka. Akan tetapi dengan tekad yang amat kuat keduanya masih terus mendesak Song-bun Mo-li.

   Nenek itu melompat ke belakang, melempar tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke depan, menyerang sepasang gadis kembar itu bagaikan seekor ular hidup yang dapat terbang! Kui Lan dan Kui Lin terkejut sekali. Mereka berdua mengelak dan menangkis. Kui Lan mencoba untuk mematahkan tongkat hidup itu dengan pedangnya, namun sia-sia. Tongkat hidup itu menyambar-nyambar cepat dan kini dua orang gadis kembar itulah yang kewalahan. Apalagi kini terdengar teriakan melengking-lengking dari mulut Song-bun Mo-li dan teriakan ini membuat Kui Lan dan Kui Lin semakin terdesak. Lengking itu seolah menembus gendang telinga mereka dan menusuk jantung! Kini keadaan mereka berbahaya sekali, dan agaknya tidak lama lagi mereka berdua akan menjadi korban kekejaman Iblis Betina itu.

   Selagi keadaan Kui Lan dan Kui Lin berada dalam ancaman bahaya dan gawat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Nenek iblis keji! Engkau tidak layak dibiarkan hidup!" Dan tampak dua sosok bayangan yang langsung menerjang Song-bun Mo-li.

   Mereka adalah dua orang pemuda yang menyerang Song-bun Mo-li dengan pedang mereka. Gerakan mereka kuat dan cepat, dan permainan pedang mereka lihai sekali. Song-bun Mo-li yang sedang mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat tongkatnya menyambar-nyambar dua orang gadis kembar, tentu saja menjadi terkejut sekali. Cepat ia melompat ke belakang menghindarkan sambaran dua batang pedang itu dan menarik tongkatnya yang kembali terbang ke arahnya. Ia menyambut tongkat hitamnya dan pada saat itu, dua orang muda sudah menyerangnya lagi.

   "Trang-trangg......!" Tongkat hitam nenek itu menangkis, membuat dua batang pedang itu terpental, akan tetapi ia pun terkejut karena merasa lengannya tergetar. Dua orang muda itu memiliki tenaga sin-kang yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan sepasang gadis kembar! Baru menghadapi dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu saja sudah amat sukar untuk menang, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang sama tangguhnya. Kalau harus menghadapi pengeroyokan empat orang muda itu, pasti ia akan terancam maut. Maka, sambil mengeluarkan teriakan setengah tangis setengah tawa, nenek itu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon dan tertelan cuaca yang sudah mulai gelap.

   Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran berseru,

   "Nenek siluman, jangan lari!" Ia lalu bergerak hendak mengejar. Akan tetapi seorang di antara dua pemuda itu, yang bertubuh tinggi besar, berseru dan suaranya mengandung wibawa kuat.

   "Jangan kejar, Nona. Nenek itu jahat dan licik, engkau akan terjebak!"

   Mendengar seruan yang penuh wibawa itu, Kui Lin menghentikan langkahnya dan memandang pemuda yang tinggi besar itu. Kui Lan sendiri heran melihat betapa adiknya yang biasanya, bandel itu, kini agaknya menuruti nasihat pemuda tinggi besar berpakaian biru itu. Ia memandang pemuda yang lain.

   Pemuda ini tubuhnya sedang, tidak tinggi besar seperti temannya, wajahnya tampan dan berseri, mulutnya tersenyum, matanya bersinar-sinar. Teringat bahwa dua orang pemuda itu telah membantu dan menyelamatkan mereka yang tadi dalam keadaan gawat sekali, Kui Lan lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut.

   "Ji-wi Eng-hiong (Pendekar Berdua) telah membantu kami. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda Berdua)."

   Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu membalas penghormatan sepasang gadis kembar, diikuti oleh pemuda baju biru yang tinggi besar,

   "Aih, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) jangan berterima kasih kepada kami. Kami memang sedang mencari siluman itu setelah mendengar berita dari dusun-dusun bahwa ada nenek siluman yang menculik anak-anak. Setelah kami kebetulan lewat dan melihat ia bertanding melawan Nona berdua, tentu saja kami turun tangan melawannya. Kami kira semua orang yang berjiwa pendekar pasti akan menentang nenek iblis itu!"

   "Suheng berkata benar! Nenek iblis itu adalah Song-bun Mo-li yang jahat, harus dibasmi!" kata pemuda tinggi besar dengan singkat, dan sikapnya juga serius, tidak tersenyum-senyum dan banyak bicara seperti pemuda pertama yang dia sebut suheng (kakak seperguruan).

   "Hemm, memang Song-bun Mo-li harus dibasmi!" kata Kui Lin agak marah.

   "Akan tetapi mengapa engkau melarang aku ketika hendak melakukan pengejaran agar aku dapat membunuh nenek iblis itu?"

   "Maaf, aku tadi sama sekali tidak melarang, Nona. Aku hanya memperingatkan karena mengejar Mo-li (Iblis Betina) dalam kegelapan sungguh berbahaya sekali bagimu," kata pemuda tinggi besar itu dengan suaranya yang tenang.

   "Lin-moi, Eng-hiong (Pendekar) ini benar, kalau engkau tadi mengejar, mungkin engkau akan terperangkap. Song-bun Mo-li berbahaya sekali," kata Kui Lan mencela adiknya yang marah-marah.

   "Aku tidak takut!" Kui Lin yang masih mendongkol berseru sambil memandang pemuda tinggi besar itu.

   "Ha-ha-ha, Sute (Adik Seperguruan), sekarang engkau tersandung batu karang! Maka jangan sembarangan bertindak. Nona-nona ini adalah pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa dan pemberani, maka cegahanmu untuk tidak mengejar tadi tentu saja membuat orang marah. Coba engkau membiarkan mereka tadi mengejar, mungkin sekarang Iblis Betina Berkabung itu akan berkabung untuk kematiannya sendiri!" kata pemuda baju kuning sambil menertawakan sutenya.

   Pada saat itu, terdengar suara riuh dan ketika empat orang muda itu memandang, ternyata semua penduduk dusun itu membuka pintu rumah dan berbondong keluar dari rumah mereka. Banyak yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enampuluh tahun, mereka semua lalu menghampiri empat orang muda itu dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Eng-hiong (Pendekar) berempat telah menyelamatkan kami dari ancaman siluman, kami menghaturkan banyak terima kasih!" kata kepala dusun yang memimpin mereka itu dan mereka semua memberi hormat dan riuh rendah suara mereka mengucapkan terima kasih. Akan tetapi terdengar dua orang wanita menangis menjerit-jerit.

   "Kembalikan anakku...... kembalikan anakku""!" Dua orang wanita itu menangis.

   Kui Lan melihat bahwa seorang dari mereka adalah wanita yang pertama kali ia lihat lari keluar dari rumahnya. Ia dapat menduga bahwa wanita yang kedua tentulah ibu dari anak yang pertama diculik siluman. Ia sudah mendengar bahwa iblis betina itu telah dua kali menculik bayi.

   "Kami akan mencoba untuk menolong dua orang bayi itu. Akan tetapi ke mana kami harus mencari? Kami tidak tahu di mana iblis betina itu berada," katanya dengan lembut dan penuh rasa iba.

   Seorang laki-laki muda berkata lantang.

   "Saya tahu tempatnya! Siang tadi ketika saya berburu binatang di hutan sebelah selatan itu, saya melihat nenek berpakaian putih duduk bersila di bawah sebatang pohon besar. Karena saya takut, saya tidak berani mendekat dan melarikan diri secepatnya."

   "Bagus! Kalau begitu mari kita ke sana! Siapa tahu kita masih akan dapat menolong dua orang bayi itu dan membunuh iblis betina keparat itu!" seru Kui Lan dan para penduduk dusun yang kini berbesar hati dengan adanya empat orang pendekar yang mampu mengalahkan dan mengusir siluman itu, lalu siap ikut dengan membawa obor.

   Beramai-ramai hampir semua laki-laki penduduk dusun itu mengikuti empat orang pendekar menuju ke hutan seperti yang ditunjukkan oleh pembicara tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di bawah pohon besar itu. Akan tetapi Song-bun Mo-li tidak berada di situ dah ketika mereka mencari-cari, terdengar jerit memilukan dari dua orang ayah yang menemukan mayat anak-anak bayi mereka. Dua mayat itu tergeletak di atas rumput dalam keadaan mengerikan. Tubuh mereka telah kering kerontang tinggal kulit membungkus tulang, seperti serangga yang telah dihisap semua cairan dari tubuhnya.

   Mereka lalu membawa pulang dua mayat itu, disambut tangis riuh oleh para wanita di dusun. Kepala dusun mempersilakan empat orang pendekar itu untuk mengaso dan memberi dua buah kamar yang cukup besar untuk mereka berempat. Kemudian, empat orang itu ditinggalkan sendiri dan kepala dusun sibuk mengurus perkabungan dan persiapan penguburan dua orang bayi itu untuk dimakamkan esok hari.

   Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang muda itu untuk bicara dan saling memperkenalkan diri. Mereka duduk berhadapan di sekeliling meja.

   Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu memandang kepada sepasang gadis di depannya dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa kedua orang gadis itu persis sama dan dia merasa dapat menduga bahwa mereka tentulah gadis kembar. Juga pemuda tinggi besar berpakaian biru, dia juga menatap wajah kedua orang gadis dengan heran dan kagum.

   "Ih, mengapa kalian berdua memandang kami seperti orang melihat hantu?" Kui Lin membentak dan bibirnya cemberut.

   Pemuda yang berbaju kuning tertawa.

   "Heh-heh-heh, sama sekali bukan seperti hantu, Nona, melainkan seperti bidadari! Sepasang bidadari dari sorga!"

   Kui Lin memandang marah dan bibirnya cemberut.

   "Eh, kalian mau kurang ajar, ya?"

   "Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya yang hendak marah. Ia sendiri menganggap pemuda baju kuning itu tidak kurang ajar karena ucapan itu dilakukan dengan sikap berkelakar dan pandang matanya juga tidak kurang ajar.

   "Suheng, harap engkau hentikan main-main itu agar orang tidak salah menilai kepada kita!" pemuda baju biru juga menegur suhengnya.

   Pemuda baju kuning itu masih tersenyum, akan tetapi dia cepat bangkit dan menjura kepada dua orang gadis itu dan berkata, sekarang bersungguh-sungguh walaupun suaranya masih mengandung kegembiraan.

   "Nona berdua, maaf kalau tadi aku berkelakar sehingga dianggap kurang ajar. Sesungguhnya kami berdua merasa kagum, terkejut dan heran setelah sekarang dalam keadaan terang kami melihat betapa kalian berdua begitu serupa, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Tentu kalian adalah saudara kembar. Perkenalkanlah, kami berdua adalah murid-murid Bu-tong-pai yang diutus ketua kami untuk mewakili Bu-tong-pai datang ke Thai-san melihat keramaian orang-orang mencari harta karun Kerajaan Sung. Namaku adalah Liong Kun dan ini suteku bernama Thio Kui."

   Karena tidak ingin adiknya kembali memperlihatkan kegalakannya, Kui Lan berkata,

   
   

   "Kiranya Ji-wi Eng-hiong adalah murid-murid Bu-tong-pai. Perkenalkan, aku bernama The Kui Lan dan ini adik kembarku bernama The Kui Lin. Kami berdua adalah puteri majikan Lembah Seribu Bunga."

   "Ah, pantas kalian memiliki ilmu silat yang hebat! Kiranya datang dari Lembah Seribu Bunga yang terkenal!" kata Liong Kun kagum.

   "Apakah Nona berdua juga hendak memperebutkan harta karun itu?"

   Kembali Kui Lin berkata dengan nada mengejek.

   "Siapa datang ke Thai-san hanya untuk nonton keramaian? Ucapan seperti itu bohong! Semua yang datang ke sini sudah pasti mempunyai keinginan untuk memperebutkan harta karun itu. Bu-tong-pai tentu tidak terkecuali!"

   Thio Ki yang berwatak penyabar, pendiam namun berwibawa itu tidak ingin kalau suhengnya bertengkar dengan Kui Lin karena kedua orang itu agaknya memiliki watak yang sama, yaitu lincah, jenaka, namun keras dan pemberani. Maka dia cepat mendahului suhengnya.

   "Sesungguhnya benar seperti yang engkau katakan, Nona The Kui Lin. Kami mendapat tugas dari ketua kami untuk meninjau keadaan di sini dan membantu pihak yang benar dalam perebutan itu."

   "Hemm, siapakah pihak yang benar itu?" Kui Lin bertanya sambil menatap wajah Thio Kui yang gagah dengan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap.

   "Ketua kami mengatakan bahwa harta pusaka itu milik Kerajaan Sung, maka harus dijaga agar jangan terjatuh ke tangan Kerajaan Mongol," kata Thio Kui pula.

   Liong Kun yang lincah melanjutkan.

   "Benar, Nona-nona, kami mendengar bahwa harta karun Kerajaan Sung itu dahulunya ditemukan oleh mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, seorang panglima Sung yang setia, juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka kami diutus untuk membantu pihak yang benar untuk menentang mereka yang ingin memiliki harta karun itu untuk kepentingan sendiri atau untuk diserahkan kepada Pemerintah Mongol."

   "Itu baik sekali," kata Kui Lan sambil mengangguk.

   "Kami berdua juga ingin membantu puteri dari mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng untuk mendapatkan harta karun itu. Nona Liu Ceng Ceng dan para pendekar sahabatnya bermaksud untuk menyerahkan harta karun itu kepada para pendekar patriot yang memperjuangkan pembebasan tanah air dan bangsa dari penjajah Mongol."

   "Hebat!" Liong Kun berseru dengan gembira sekali.

   "Kami mendukung sepenuhnya dan akan membantu kalian berdua sekuat tenaga kami! Bukankah begitu, Sute?"

   Thio Kui mengangguk.

   "Apa yang dikatakan Suheng tadi memang benar. Kami dari Bu-tong-pai akan membantu sekuat tenaga agar harta karun itu dapat diserahkan kepada para pendekar patriot untuk menentang penjajah Mongol."

   Karena satu tujuan, mereka menjadi akrab dan sepasang gadis kembar itu lalu menceritakan bahwa mereka tadinya melakukan penyelidikan bersama Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan dan kini mereka mencari secara berpisah untuk sebulan kemudian bertemu di Thai-san-pai.

   "Pendekar Tanpa Bayangan? Bukankah dia itu yang pernah menggegerkan kota raja karena membunuh Panglima Besar Kong Tek Kok, Panglima Mongol itu dan para perajurit yang mengeroyoknya?"

   "Benar, dan masih ada lagi pendekar-pendekar muda yang tadinya bersama Giok-ko, yaitu Liu Ceng Ceng puteri mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, dan adik angkatnya bernama Tan Li Hong, puteri dari Ban-tok Kui-bo dari Pulau Ular," Kui Lin menerangkan.

   "Wah, bagus sekali kalau begitu!" kata Liong Kun.

   "Memang kita golongan bersih perlu bersatu karena kita pasti akan berhadapan dengan golongan sesat yang amat kuat. Tadi saja, baru muncul seorang nenek iblis itu sudah demikian lihai."

   "Memang kami juga berpikir demikian," kata Kui Lan.

   "Masih banyak pihak yang sependapat dengan kita, yaitu membantu agar harta itu tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat dan penjajah Mongol. Thai-san-pai sudah menyatakan akan membantu. Memang, hanya dengan bersatu dengan para pendekar kita akan dapat menentang golongan sesat sehingga harta karun itu akan dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu Liu Ceng Ceng yang menerima warisan dari ayahnya, mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng. Kita membantu Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng karena ia bermaksud menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang akan menentang penjajah."

   "Kami siap!" kata Liong Kun penuh semangat.

   "Kalau begitu, sebaiknya kita berempat pergi ke Thai-san-pai untuk bertemu kembali dengan Giok-ko, kemudian kita bersama mengadakan hubungan dengan mereka yang sehaluan," kata Kui Lin.

   Demikianlah, mereka berempat setuju untuk pergi ke Thai-san-pai. Setelah melewatkan malam di dusun itu, pada keesokan harinya mereka meninggalkan dusun dan pergi ke Thai-san-pai. Hubungan antara mereka berempat menjadi semakin akrab sehingga kini dua orang murid Bu-tong-pai itu menyebut moi-moi (adik) kepada Kui Lan dan Kui Lin, sedangkan kedua orang gadis kembar itu menyebut "twako" (kakak).

   Berita yang tersebar cepat di dunia kang-ouw tentang harta karun Kerajaan Sung itu membikin geger. Karena berita itu hanya mengatakan bahwa harta karun yang amat besar jumlahnya itu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, maka banyak tokoh kang-ouw mendatangi Thai-san. Akan tetapi karena berita itu tidak menyebutkan siapa pencurinya, maka semua orang menjadi bingung dan hanya menduga-duga sehingga timbul saling tuduh dan pertikaian di mana-mana!

   Rombongan pertama yang tiba di Thai-san adalah Panglima Besar Kim Bayan dengan pasukannya. Karena dia sudah memisahkan diri dari guru-gurunya, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang dianggap hendak menguasai sendiri harta karun yang diperebutkan, maka Kim Bayan membawa pasukan besar berjumlah duaratus orang lebih ke Thai-san. Sebelum rombongan dan orang-orang lain datang, dia sudah menyebar orang-orangnya yang menyamar dengan pakaian preman untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang patut dicurigai mencuri harta karun Kerajaan Sung yang tadinya berada di Bukit Sorga tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.

   Namun, setelah berminggu-minggu dia menyebar para perajuritnya dan tidak juga mendapatkan keterangan yang jelas, Kim Bayan mulai mencari akal. Dia memang seorang panglima ahli perang dan juga amat cerdik, maka dia lalu mengatur muslihat bersama para perwira pembantunya. Dia ingin mengetahui siapa saja yang datang ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun karena dari para anak buahnya dia mendengar bahwa ada beberapa rombongan orang dan perorangan kang-ouw datang ke pegunungan itu.

   Lebih baik mereka itu diadu domba, pikirnya, selain untuk melemahkan mereka, juga untuk memancing keluar pencuri harta karun. Maka dia lalu menyuruh anak buahnya yang diharuskan mengganti pakaian seragam dengan pakaian sipil biasa, berpencar ke seluruh bagian pegunungan itu dan menyebar berita bahwa harta karun itu berada di tangan perkumpulan Thai-san-pai!

   Berita itu cepat tersiar dan didengar oleh para pendatang. Mendengar bahwa harta karun yang dicari-cari itu berada pada Thai-san-pai, tentu saja mereka semua berbondong-bondong datang ke perkumpulan itu.

   Akan tetapi, sebelum ada yang tiba di Thai-san-pai, lebih dulu The Kui Lan dan The Kui Lin bersama Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid Bu-tong-pai, tiba di situ. Mereka disambut Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai. Ketika sepasang gadis kembar itu memperkenalkan bahwa dua orang pemuda itu murid Bu-tong-pai, maka ketua itu menyambut mereka dengan gembira. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar gagah itu masih satu marga dengan dia, yaitu marga Thio. Kakek ini semakin senang hatinya mendengar dari sepasang gadis kembar bahwa dua orang murid Bu-tong-pai itu siap membantu pihak yang berniat mendapatkan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang.

   "Lo-cianpwe, apakah Twako Pouw Cun Giok belum kembali ke sini?" tanya Kui Lin setelah mereka semua duduk di ruangan dalam.

   "Belum," jawab Ketua Thai-san-pai.

   "Sebetulnya pinto juga mengharapkan kedatangannya karena ada berita yang gawat dan mengancam Thai-san-pai."

   "Ah, berita apakah itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lan sambil menatap wajah kakek itu.

   Thai-san Sianjin menghela napas panjang.

   "Entah siapa yang menyebar berita, akan tetapi agaknya di mana-mana terdapat berita bahwa harta karun Kerajaan Sung itu berada di sini seolah kami Thai-san-pai yang mencurinya."

   "Keparat! Ini mestinya fitnah yang disebarkan Hek Pek Mo-ko yang kita curigai, untuk mengalihkan perhatian!" kata Kui Lin marah.

   "Atau oleh Huo Lo-sian yang dulu pun telah mencurigai bahwa yang mengambil harta karun itu adalah Thai-san-pai," kata Kui Lan.

   "Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Kalau ada yang datang menuduh Thai-san-pai, aku dan Enci Lan yang akan menghajar mereka!" kata Kui Lin galak.

   "Lo-cianpwe, kami berdua juga siap untuk membantu Thai-san-pai!" kata Thio Kui.

   Ketua itu mengangguk-angguk.

   "Terima kasih atas janji bantuan kalian berempat. Akan lebih besar hati kami kalau Pouw-sicu datang membantu."

   Untuk menjaga segala kemungkinan dengan tersiarnya berita itu, Ketua Thai-san-pai lalu memanggil semua murid Thai-san-pai yang berjumlah seratus orang lebih dan menyuruh mereka semua waspada dan menghentikan penyelidikan, berkumpul ke perkampungan mereka dan melakukan penjagaan ketat siang malam. Pada keesokan harinya para murid Thai-san-pai melaporkan kepada ketua mereka bahwa di luar perkampungan mulai berdatangan orang-orang kang-ouw. Akan tetapi mereka itu agaknya masih hendak melihat perkembangan dan belum ada yang mencoba untuk memasuki perkampungan Thai-san-pai. Mungkin mereka merasa gentar juga karena Thai-san-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang cukup disegani.

   Biarpun mereka tertarik oleh berita yang mendorong mereka untuk mendatangi Thai-san-pai, namun hati mereka masih diliputi keraguan. Rasanya sulit diterima bahwa Thai-san-pai, perkumpulan yang selain mempelajari ilmu silat, juga mempelajari Agama To itu melakukan pencurian harta karun. Mereka saling menanti munculnya satu pihak yang mulai menuntut atau menentang Thai-san-pai.

   Para murid Thai-san-pai memberi laporan kepada ketua mereka bahwa yang telah tampak berkumpul di sekeliling perkampungan mereka adalah rombongan anggauta Ang-tung Kai-pang berjumlah tigapuluh orang yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, Kui Tung Sin-kai dan bersama mereka tampak pula beberapa orang wanita murid Go-bi-pai. Juga tampak lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu yang dikenal dengan julukan Hoa-san Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur Hoa-san).

   Pada hari-hari berikutnya, muncul Huo Lo-sian bersama Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Juga muncul Kong Sek yang datang bersama Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-Ii. Kim Bayan yang sengaja menyebar berita itu tidak tampak karena dia hanya ingin melihat perkembangannya setelah dia menyebar berita itu. Banyak anak buahnya yang menyamar sebagai orang biasa melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi. Selain rombongan tokoh-tokoh dan datuk-datuk itu, terdapat belasan orang kang-ouw yang datang secara pribadi untuk mengadu untung mencari harta karun Kerajaan Sung.

   Liu Ceng Ceng dan enam orang murid Go-bi-pai, satu di antaranya Thian-li Niocu, sudah berkunjung ke Ang-tung Kai-pang. Ia disambut Ketua Kai-pang itu dan ketika Ceng Ceng memperkenalkan Thian-li Niocu sebagai tokoh Go-bi-pai bersama lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai menyambut dengan hormat dan gembira. Apalagi ketika mendengar bahwa Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang sehaluan, yaitu membantu Ceng Ceng menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, mereka menjadi lebih akrab.

   Kedatangan rombongan Ang-tung Kai-pang yang disertai Ceng Ceng itu menarik perhatian Hoa-san Ngo-heng-tin. Thian-huo Tosu, orang pertama dari lima saudara seperguruan itu, segera menghampiri Ceng Ceng dan memberi hormat.

   "Siancai! Nona Liu Ceng Ceng juga berada di sini?"

   Ceng Ceng tersenyum dan membalas penghormatan Thian-huo Tosu.

   "Totiang, sayalah orang pertama yang berhak mengurus tentang harta karun itu karena mendiang ayah saya telah mewariskannya kepada saya. Apakah Totiang berlima juga hendak ikut memperebutkan harta karun itu?"

   Wajah Thian-huo Tosu berubah merah. Kalau bukan Ceng Ceng yang bertanya demikian, dia tentu sudah marah.

   "Siancai! Nona seperti tidak mengenal kami dari Hoa-san-pai saja! Kami tidak murka akan harta benda. Kami diutus oleh Suheng, Ketua Hoa-san-pai untuk melihat keadaan setelah mendengar tentang harta karun itu. Bukan untuk ikut berebut. Bahkan kami sudah mendengar bahwa harta karun itu merupakan peninggalan mendiang Pendekar Liu Bok Eng kepadamu. Suheng berpesan kepada kami untuk bertanya kepadamu, apakah Nona menginginkan harta karun itu untuk diri Nona sendiri?"

   Ceng Ceng tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya.

   "Untuk apa aku harta karun sebanyak itu? Tidak, Totiang. Biarpun mendiang Ayah mewariskan peta harta karun itu kepada saya, namun kalau saya berhasil menemukannya, akan saya serahkan kepada para patriot pejuang untuk mengusir penjajah!"

   "Siancai! Bagus sekali, sungguh kami merasa kagum! Akan tetapi mengapa Nona datang bersama rombongan Ang-tung Kai-pang dan kalau tidak salah, bukankah para wanita itu murid-murid Go-bi-pai. Bagaimana kalian dapat datang bersama?"

   "Totiang, ketahuilah, Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga mendukung saya untuk mendapatkan harta karun dan diserahkan kepada para patriot pejuang. Karena sepaham dan sehaluan, maka kami datang bersama."
"Bagus! Sungguh kami berbahagia mendengarnya. Kalau begitu, engkau boleh memasukkan kami ke dalam barisan para pendukungmu, Nona Liu! Kami berlima akan siap siaga di sini untuk sewaktu-waktu membantumu jika diperlukan. Akan tetapi engkau sekarang datang di sini, apakah berita bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun itu benar, Nona?"

   "Saya kira berita itu bohong, Totiang. Tentu Totiang sendiri tidak percaya kebenaran berita itu. Kita mengenal nama besar Thai-san-pai, bahkan saya mengenal nama besar Thai-san Sianjin. Tidak mungkin mereka yang mengambil harta itu. Biarlah malam nanti saya akan menyelinap ke dalam dan menemui Thai-san Sianjin."

   "Baik sekali kalau begitu, Nona. Pinto sendiri juga sulit untuk percaya bahwa Thai-san-pai murka akan harta benda."

   Pihak Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga merasa girang mendengar bahwa Hoa-san-pai juga berdiri di pihak mereka, dengan demikian maka kedudukan mereka yang ingin menyumbangkan harta karun itu untuk keperluan perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan bangsa Mongol, menjadi semakin kuat.

   Malam itu langit gelap oleh mendung. Sesosok bayangan putih berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata dan bayangan yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu, dapat melompati pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Thai-san-pai dengan mudah. Tidak ada murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan ketat melihat berkelebatnya bayangan putih itu.

   Setelah melewati kebun belakang tanpa terlihat dan tiba di rumah induk yang merupakan kuil Agama To yang cukup besar dan berada di tengah perkampungan, Ceng Ceng menyelinap masuk setelah melompati dinding belakang. Kuil merangkap rumah tinggal Thai-san Sianjin itu besar dan saat itu tampak sunyi.

   Hal ini adalah karena para murid semua berada di luar, melakukan penjagaan secara bergilir dengan ketat agar jangan sampai perkampungan mereka kebobolan.

   Ketika ia melompat ke dalam sebuah ruangan yang luas di tengah kuil itu, dalam cuaca remang-remang karena ruangan yang luas itu hanya diterangi dua batang lilin besar yang bernyala, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Penjahat dari mana berani masuk ke sini?" Bentakan itu ditutup dengan serangan pukulan yang amat kuat dan cepat, dilakukan oleh Kui Lin yang Iebih dulu melihat Ceng Ceng karena ia kebetulan hendak keluar dari dalam kamarnya mencari angin di tempat terbuka.

   Serangan Kui Lin itu dahsyat sekali. Gadis ini memang seorang ahli silat tangan kosong yang pandai dan telah memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Mendapatkan serangan ini, Ceng Ceng berkelebat mengelak. Kui Lin terkejut melihat betapa gadis berpakaian putih yang diserangnya itu dapat mengelak sedemikian ringan dan cepatnya.

   "Tangkap penjahat!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thio Kui sudah muncul, menyerang Ceng Ceng dengan pedangnya.

   Kembali Ceng Ceng terkejut karena serangan pemuda tinggi besar berbaju biru itu pun dahsyat sekali. Ia terpaksa mengerahkan gin-kangnya berkelebat cepat untuk mengelak. Akan tetapi kini dua orang penyerangnya itu mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi. Kui Lin dan Thio Kui terkejut dan kagum melihat betapa bayangan gadis berpakaian putih itu berkelebatan amat cepatnya sehingga sampai beberapa jurus, serangan mereka selalu hanya mengenai tempat kosong.

   "Tahan, sobat! Kalian berdua salah sangka, aku bukan penjahat!" kata Ceng Ceng lembut sambil berkelebat menjauh.

   Kui Lin hendak melanjutkan serangan, akan tetapi Thio Kui berkata kepadanya.

   "Lin-moi, biar kita mendengar dulu keterangannya!"

   Heran sekali. Biasanya Kui Lin yang galak itu sukar menerima nasihat orang, akan tetapi sekali ini suara Thio Kui baginya demikian berwibawa sehingga ia menahan diri lalu memandang kepada Ceng Ceng dergan sinar mata penuh curiga.

   "Nah, katakan siapa engkau dan mau apa engkau malam-malam masuk ke sini seperti pencuri!" katanya galak.

   "Hei, ada apakah?" terdengar seruan kaget dan muncullah Kui Lan dan Liong Kun yang terbangun mendengar ribut-ribut itu. Mereka kini berdiri dekat Kui Lin dan Thio Kui dan memandang kepada Ceng Ceng dengan heran. Bagaimanakah tahu-tahu ada gadis cantik berpakaian putih berada di ruangan tengah itu, padahal di luar kuil dan di perkampungan itu terjaga ketat oleh para murid Thai-san-pai?

   Melihat munculnya dua orang muda lagi dan gadis yang baru muncul itu serupa benar dengan gadis pertama, Ceng Ceng dapat menduga bahwa mereka tentu saudara kembar. Bukan hanya wajah mereka yang serupa, akan tetapi bentuk badan dan pakaian serta tata rambut mereka persis sama. Ia yakin bahwa mereka yang tinggal di kuil Thai-san-pai ini pasti orang-orang muda yang berjiwa pendekar. Tadi pun ia sudah merasakan betapa dahsyatnya serangan pemuda tinggi besar dan gadis cantik itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di depan dadanya lalu berkata dengan lembut dan ramah.

   "Kumohon maaf kepada kalian berempat dan kepada semua warga Thai-san-pai atas kelancanganku memasuki kuil ini malam-malam dan tanpa ijin. Hal ini terpaksa kulakukan melihat keadaan yang mengancam Thai-san-pai. Aku bukan penjahat dan bukan lawan, melainkan kawan. Aku sengaja menyelundup ke sini dengan niat untuk menghadap Thai-san Sianjin dan membicarakan hal yang amat penting mengenai harta karun Kerajaan Sung."

   Melihat gadis yang amat cantik dan sikapnya amat lembut itu, kecurigaan empat orang muda itu berkurang dan Kui Lan bertanya halus.

   "Sobat, katakan dulu siapakah engkau?"

   "Namaku Liu Ceng Ceng......"

   "Aih, engkau puteri mendiang Panglima Kerajaan Sung yang terkenal bernama Liu Bok Eng itu?" kata Kui Lan.

   "Benar, mendiang Liu Bok Eng adalah Ayahku."

   "Wah, kami sudah mendengar banyak sekali tentang engkau dari Twako Pouw Cun Giok!" seru Kui Lin.

   "Apakah Giok-ko berada di sini?" Ceng Ceng bertanya dan jantungnya terasa berdebar.

   "Tadinya dia bersama kami berkunjung ke Thai-san-pai ini, akan tetapi kini dia melakukan penyelidikan terpisah dan belum kembali ke sini."

   Terdengar suara banyak orang memasuki ruangan itu. Ternyata Thai-san Sianjin sendiri bersama belasan orang muridnya datang ke ruangan itu, siap dengan senjata di tangan.

   "Apa yang terjadi? Siapakah Nona ini?" tanya Thai-san Sianjin dengan heran.

   "Lo-cianpwe, Nona ini adalah Nona Liu Ceng Ceng......"

   "Ah, puteri mendiang Panglima Liu Bok Eng, pewaris peta harta karun itu? Nona, kami sudah mendengar tentang Nona dari Sicu Pouw Cun Giok. Akan tetapi...... malam-malam begini Nona datang, ada keperluan apakah?"

   "Maafkan saya, Lo-cianpwe. Sesungguhnya saya bermaksud menghadap dan bicara denganmu, dan karena di luar perkampungan terdapat banyak orang kang-ouw, saya tidak ingin diketahui orang dan menyelinap masuk ke sini."

   "Tidak mengapa, Nona. Mari kita bicara di ruangan dalam!" kata Ketua Thai-san-pai itu. Dia menyuruh para muridnya untuk keluar lagi melakukan penjagaan, kemudian dia mengajak Ceng Ceng, kedua gadis kembar dan dua orang saudara seperguruan Bu-tong-pai itu memasuki sebuah ruangan lain.

   Setelah mereka duduk mengelilingi meja besar, Ceng Ceng berkata.

   "Lo-cianpwe, saya mendengar berita yang mengatakan bahwa harta karun itu berada di sini......"

   "Nanti dulu, Nona Liu. Sebaiknya Nona mengenal dulu tamu-tamu kami ini. Dua orang nona ini adalah The Kui Lan dan The Kui Lin, sepasang gadis kembar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Adapun dua orang pemuda ini adalah Liong Kun dan Thio Kui, dua orang murid perguruan Bu-tong-pai. Nah, sekarang lanjutkan ceritamu."

   "Seperti saya katakan tadi, saya mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dikabarkan berada di sini......"

   "Kabar itu bohong, fitnah belaka!" kata Kui Lin.

   "Lin-moi, biarkan Enci Ceng Ceng melanjutkan ceritanya," kata Kui Lan.

   Ceng Ceng tersenyum. Di bawah sinar lampu yang terang, ia segera dapat membedakan mana Kui Lan dan mana Kui Lin. Ia melihat persamaan watak antara Kui Lin dan Li Hong, lincah, bersemangat, dan galak! Sedangkan Kui Lan berwatak tenang dan serius.

   "Lo-cianpwe, mungkin semua orang sudah mendengar bahwa mula-mula mendiang Ayah saya mewariskan peta harta karun kepada saya. Kemudian peta dirampas Panglima Kim Bayan dan saya dipaksa untuk membantunya mencari harta karun. Akan tetapi setelah tempat harta karun ditemukan, hanya ada peti kosong yang terdapat tulisan huruf THAI SAN. Maka banyak orang kang-ouw berdatangan ke sini. Saya sendiri juga menyelidiki ke sini dan saya bertemu dengan Thian-li Niocu dari Go-bi-pai bersama lima orang muridnya. Ternyata mereka dari Go-bi-pai mendukung dan hendak membantu saya menemukan harta karun itu. Kemudian saya mendengar bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai. Saya dan Thian-li Niocu tentu saja tidak mempercayai berita itu. Melihat betapa perkampungan Thai-san-pai telah dikepung banyak orang yang tentu berniat merebut harta karun yang dikabarkan berada di sini, maka saya diam-diam lalu menyelundup ke sini untuk bertemu dan bicara dengan Lo-cianpwe."

   Thai-san Sianjin menghela napas panjang.

   "Siancai! entah siapa yang menyebar berita bohong itu dan entah apa maksudnya mengabarkan bahwa harta karun itu berada di sini. Akan tetapi kami siap menghadapi segala kemungkinan. Tentu saja kami akan menyangkal dan membela diri. Kebetulan sekali kedua Nona The datang bersama dua orang gagah murid Bu-tong-pai ini yang siap membela kami."

   "Harap Lo-cianpwe tidak khawatir. Untuk mendapatkan kembali harta karun agar saya dapat memenuhi pesan mendiang Ayah, yaitu menyerahkan harta karun itu kepada para patriot pejuang, saya didukung banyak pihak. Bukan saja Go-bi-pai yang mendukung, melainkan juga Hoa-san-pai dan Ang-tung Kai-pang yang kini telah berada pula di luar perkampungan ini."

   "Siancai! Itu bagus sekali!" kata Thai-san Sianjin.

   "Karena itu, Lo-cianpwe, apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa Thai-san-pai, kami sudah siap untuk membantu. Dan saya kira, hanya mereka dari golongan sesat saja yang mempunyai niat buruk terhadap Thai-san-pai. Mereka yang terdiri dari golongan bersih atau para pendekar pasti tidak mau memusuhi Thai-san-pai tanpa alasan yang kuat dan hanya karena desas-desus itu saja," kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi, kami merasa dikepung tanpa mengetahui apa yang mereka kehendaki, tidak tahu pula apa yang akan mereka lakukan terhadap Thai-san-pai. Hal ini sungguh membuat hati kami merasa tidak tenang. Apa yang sebaiknya kami lakukan dalam keadaan seperti ini?" kata Ketua Thai-san-pai sambil memandang kepada lima orang muda itu.

   
HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 11


   "Maaf, Lo-cianpwe, kalau menurut pendapat saya, hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus bertindak!" kata Thio Kui.

   "Aku setuju sekali!" kata Kui Lin bersemangat.

   "Kalau Lo-cianpwe diam saja, tentu mereka itu semakin percaya bahwa Thai-san-pai merasa bersalah dan benar-benar telah mengambil harta karun itu. Mereka telah memasuki wilayah Thai-san-pai, sebaiknya usir saja mereka, kalau tidak mau pergi secara halus, kita usir dengan kekerasan. Kami akan membantumu, Lo-cianpwe!"

   "Bagus, saya juga siap!" kata Liong Kun dengan gembira dan penuh semangat.

   "Maaf, Lo-cianpwe dan saudara-saudara sekalian," kata Ceng Ceng dengan tenang dan lembut.

   "Menggunakan.kekerasan hanya memancing permusuhan dan perkelahian yang pasti akan menjatuhkan banyak korban. Karena harta karun itu belum diketahui berada di mana, maka pertempuran itu sama saja dengan memperebutkan karung kosong! Sebaiknya, besok pagi Lo-cianpwe membuka gerbang depan lalu keluar dan mengundang mereka yang mengepung itu untuk bicara di luar perkampungan. Di situ Lo-cianpwe dapat menyangkal desas-desus itu, kalau ada yang tidak percaya dan hendak menggunakan kekerasan, barulah kita membela diri. Para bijaksana mengatakan bahwa barang siapa memulai sebuah permusuhan, dialah yang bersalah! Jadi, biarkan mereka yang menggunakan kekerasan, kita membela diri dan saya yakin banyak yang akan mendukung Thai-san-pai."

   "Sungguh mengagumkan pendapat Enci Ceng Ceng!" kata Kui Lan.

   "Saya setuju sekali!"

   Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun sedangkan Kui Lin tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai itu.

   Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.

   Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta karun telah kosong.

   "Huh, si keparat jahanam Kim Bayan!" Kui Lin memaki marah.

   "Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya!"

   "Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada Panglima Kim Bayan?" tanya Ceng Ceng heran.

   "Enci Ceng Ceng," kata Kui Lan.

   "Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada Kui Lin.

   "Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan, andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing keributan dengan menyerang dia karena hal itu akan dapat menggagalkan usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang pertempuran."

   "Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak membantu Thai-san-pai malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada Thai-san-pai," kata Kui Lan.

   Kui Lin cemberut.

   "Baiklah, baiklah! Memang aku tukang membikin kacau!"

   Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak dan manja itu.

   Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu, Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng, Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling perkampungan mereka.

   Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang datang berkumpul.

   Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu Ai Yin!

   Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu! Rombongan kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-li. Mereka memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di dunia kang-ouw.

   Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka.

   Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata.

   "Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?"

   Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang,

   "Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!"

   "Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!" kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.

   "Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!" Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko.

   "Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!"

   "Hi-hi-heh-heh-heh""!" Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem.

   "Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!"

   "Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!" kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.

   Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang.

   "Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu? Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?"

   Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.

   "Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!"

   Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik.

   "Pengemis kotor jangan ikut campur!" Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!

   "Tringg""!" Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!

   "Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk? Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!" Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.

   "Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!" terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!

   "Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!" kata pula Huo Lo-sian.

   "Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!" tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang.

   "Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!"

   "Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?" Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.

   Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab.

   "Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!"

   "Keparat!" Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah.

   "Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?"

   Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya.

   Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.

   Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.

   Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!

   "Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!" kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.

   Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.

   Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.

   Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.

   Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.

   "Sobat sekalian!" katanya lantang.

   "Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!"

   Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka.

   Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa! Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.

   Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.

   "Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!" Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.

   "Giok-ko""!" seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.

   "Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!" Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.

   Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata.

   "Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!"

   Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!

   Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata.

   "Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!"

   "Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda? Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!" Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.

   Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.

   Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.

   Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.

   "Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu."

   Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.

   Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu.

   "Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya."

   "Siapa yang berhak menerimanya itu? Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar," kata Thai-san Sianjin.

   "Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol."

   Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

   "Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!" kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.

   Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.

   "Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai," kata Kui Lan.

   "Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!" kata Liong Kun gembira.

   Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.

   "Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian," kata Ceng Ceng.

   Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya.

   Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.

   "Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi," kata Ketua Thai-san-pai.

   Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.

   Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.

   "Ceng-moi......"

   "Giok-ko......" Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!

   "Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah," kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya.

   "Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?"

   "Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?"

   "Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi." Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.

   "Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja? Mana Adik angkatmu, mengapa...... Li Hong tidak bersamamu?"

   Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.

   "Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya."

   "Yauw-twako? Siapa itu? Apa yang terjadi?" tanya Cun Giok heran.

   "Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu."

   "Eh? Berita baik untukku? Apa itu, Ceng-moi?"

   "Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu)."

   "Apa? Bagaimana......?"

   "Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian."

   Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang.

   "Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyai seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?"

   "Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?"

   "Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo......"

   "Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri."

   "Eh? Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku......"

   "Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid."

   "Ah, kasihan sekali Hong-moi!"

   "Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!"

   Cun Giok tertawa.

   "Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?"

   "Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami."

   

   

   "Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?"

   "Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko."

   "Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya...... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan."

   "Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu...... mereka berdua...... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta."

   Cun Giok mengangguk-angguk.

   "Hemm, begitukah? syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya."

   "Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana."

   "Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku."

   "Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. O ya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?"

   Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.

   "Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi."

   Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab.

   "Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan......" Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.

   "Aih, Giok-ko""! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas? Mengapa, Giok-ko? Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran."

   Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila-gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.

   "Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko......" kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu.

   "Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!"

   "Benarkah itu, Ceng-moi?" tanya Cun Giok.

   "Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka."

   "Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?"

   "Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi."

   Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

   "Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera."

   "Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi."

   "Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya,

   "Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi."

   Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.

   "Ceng-moi, ada apakah......?"

   Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.

   "Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya."

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan."

   Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.

   Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan
kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.

   "Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita""!" bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.

   Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.

   "Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku," bisiknya.

   "Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian? Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu."

   Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.

   "Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana."

   "Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku?"

   Mendengar pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran.

   "Koko, kenapa engkau bertanya begitu? Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku? Tentu saja aku mencintamu!"

   "Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?"

   "Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?"

   "Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku."

   "Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!" jawab Li Hong dengan tegas.

   "Hong-moi......!" Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra.

   "Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!"

   "Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?"

   "Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu."

   "Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko? Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?"

   "Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang."

   "Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?"

   "Bukan hanya itu, Hong-moi." Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan.

   "Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu."

   "Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal? Mari kita menghadap mereka, Koko!"

   Yauw Tek menggelengkan kepalanya.

   "Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi."

   "Akan tetapi, Koko......"

   Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya.

   "Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan? Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!"

   Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan, membikin kekasihnya menjadi tidak senang.

   Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.

   "Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!"

   Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.

   "Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?" tanyanya.

   Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar limapuluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah.

   "Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu."

   "Cepat katakan! Ada berita penting apakah?"

   "Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana." Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.

   "Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka."

   "Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit."

   "Pergilah!"

   Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.

   Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran?

   "Hong-moi......!" Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.

   Li Hong melangkah mundur.

   "Kau...... kau...... seorang Pangeran? Akan tetapi mengapa......"

   Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya.

   "Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?"

   Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk.

   "Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek? Siapakah engkau? Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan...... dan...... memperisteri aku......?"

   "Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi."

   Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.

   "Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku."

   "Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?"

   "Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku."

   "Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?"

   "Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami."

   "Akan tetapi...... Ko...... eh, Pangeran......"

   "Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?"

   "Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol? Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?"

   "Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan? Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?"

   "Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."

   "Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?" Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 12


   "Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."

   "Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?"

   Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.

   "Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!"

   Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.

   Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.

   "Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu," kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai.

   "Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya."

   Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.

   "Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita," kata Kim Bayan.

   Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!

   Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!

   Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.

   Kim Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!

   Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.

   Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!

   Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar.

   Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuhpuluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.

   "Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?"

   Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya.

   "Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!"

   "Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?"

   "Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!"

   "Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!" Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.

   Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.

   Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.

   Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.

   Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.

   Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!

   "Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?" bentak Kim Bayan.

   "Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!"

   "Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?"

   "Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!"

   Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan. Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi duabelas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.

   Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.

   Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!
"Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!" bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.

   Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.

   "Desss......" Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.

   Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.

   Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.

   Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.

   Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.

   Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.

   Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.

   Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu.

   Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.

   "Tranggg......!" Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri.

   Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin , kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.

   Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.

   Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.

   Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.

   "Wuuuttt...... brak-brakk""!" Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!

   "Peti itu hanya berisi batu-batu!" terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!

   Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!

   "Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!" seru Pouw Cun Giok lantang.

   Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.

   Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.

   "Kim Bayan! Apa yang kaulakukan ini? Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?"

   Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam.

   "Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini."

   "Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku? Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri? Engkau membikin malu kami berdua!"

   "Dia pantas dihukum!" terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.

   Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.

   "Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sribaginda Kaisar!"

   "Bangsat! Berani engkau menuduh kami? Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.

   Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.

   "Tranggg......!" Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.

   Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panah kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil!

   Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.

   Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah.

   "Heh, kalian mau apa? Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?"

   Seorang perwira yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, menjawab lantang.

   "Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!"

   "He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!" Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.

   "Tahan......!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!

   Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.

   Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.

   "Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?"

   "Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?" Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.

   Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri.

   Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya.

   "Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!"

   Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.

   "Hong-moi...... dia...... dia itu...... pangeran?" Ceng Ceng berbisik.

   Li Hong mengangguk dan tersenyum.

   "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng." Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.

   Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong.

   "Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!"

   "Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!" kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya "mati kutu" menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.

   Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.

   Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka.

   "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan......"

   "Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!" Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan.

   Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum.

   "Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa dan menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta karun itu."

   "Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun berhak atas harta karun itu!" tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat nyaring karena mengandung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok.

   Yauw Tek menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sin-kang sehingga suaranya lantang sekali.

   "Tepat sekali ucapan...... Bu-eng-cu tadi! Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang terkenal itu, bukan? Memang tepat, harta milik pemerintah itu berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula! Dan penggunaan untuk rakyat Itu harus diatur oleh pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat? Ataukah hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi atau juga untuk menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?"

   Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu melanjutkan.

   "Akan tetapi karena harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan, dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan siapa yang berhak atas harta itu!"

   Bagaimanapun juga, mereka yang berada di situ merasa segan untuk berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan karena menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu demi satu rombongan itu pergi.

   Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.

   "Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik misanku""?" Akhirnya Cun Giok bertanya.

   Li Hong yang cepat dapat menguasai keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata.

   "Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan)! Mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian."

   "Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi!" kata Cun Giok sambil tersenyum.

   "Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko!" kata Li Hong. Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan seperti kakak dan adik.

   Tiba-tiba terdengar suara lembut.

   "Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku ataukah dengan mereka?"

   Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya.

   "Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko!" katanya, lalu ia berpaling kepada Cun Giok dan Ceng Ceng.

   "Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, ke mana pun dia pergi. Aku...... tak dapat hidup tanpa dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kong Sek.

   Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai bayangan Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling pandang. Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.

   Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.

   "Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu!" kata Kui Lin.

   "Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan peti-peti yang berisi batu-batu tak berharga!"

   "Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu," kata Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat serius itu.

   "Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya yang telah mendapatkan harta itu," kata Cun Giok.

   "Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada, hanya di mana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari," kata Ceng Ceng.

   "Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu," kata Ceng Ceng dengan suara lembut namun yakin.

   "Enci Ceng Ceng benar," kata Kui Lan yang pendiam.

   "Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita berpencar mencarinya."

   "Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai karena semua yang mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan," kata Pouw Cun Giok.

   Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.

   
Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.

   Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.

   Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat dalam. Mereka memilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam. Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.

   Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.

   Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai sumber kesenangan.

   Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung hidup kita.

   "Giok-ko, lihat""" Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya.

   Cun Giok memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng memandang dengan penuh gairah ke depan sana.

   Cun Giok tersenyum.

   "Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak tadi."

   "Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah kiri itu!" Ceng Ceng menudingkan telunjuknya.

   Cun Giok mengikuti arah itu dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali!

   "Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Ceng-moi."

   "Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam itu?"

   Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang hitam itu. Dan dia pun berseru.

   "Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga? Memanjang dan berlekuk-lekuk, itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan......"

   "Benar, Giok-ko...... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya seperti tadi......"

   Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali, juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia lalu berkata.

   "Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang......"

   "Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong......" Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan terharu.

   Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang.

   "Burung Hong? Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang? Apa yang terjadi?" Karena
khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan Ceng Ceng.

   Seperti tanpa disadari Ceng Ceng membalas, memegang tangan pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera.

   "Giok-ko...... apakah engkau tidak ingat ......? Peta itu...... ada gambar naga dan burung Hong...... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di sana itu......?"

   Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua buah bukit itu. Memang tepat! Seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu merupakan gambar naga dan burung Hong dan...... tempat penyimpanan harta karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit lain!

   "Aih, engkau benar, Ceng-moi! Kalau begitu, mungkin sekali harta karun itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk.

   "Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah menaati dan melaksanakan pesan Ayah."

   Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di dekat api unggun.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget.

   "Giok-ko, lihat""!"

   Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak sebagai naga dan burung Hong!

   "Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?"

   Ceng Ceng menghela napas panjang,

   "Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong," kata Ceng Ceng kecewa.

   "Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga membayangkan dua gambar itu?"

   Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada peta itu.

   "Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan besar? Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama? Jadi, puncak dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan purnama!"

   Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi masih segar oleh embun!

   Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak kusut dan buruk sekali!

   "Aih, aku mau cuci muka...... eh, mandi dulu, Giok-ko!" katanya sambil bangkit dan memutar tubuhnya.

   "Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi."

   "Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya," kata Ceng Ceng yang segera menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.

   Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian kotor. Setelah itu mereka kembali duduk di tepi jurang.

   "Hi-hi-hik""!" Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.

   "Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?"

   "Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk," kata gadis itu sambil tersenyum.

   Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak.

   "Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk," katanya heran.

   "Di mana kau mendengarnya?"

   "Di sini, dekat saja," kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk ke arah perut Cun Giok.

   Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.

   "Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja!" Dia menepuk perutnya.

   "Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.

   "Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mendapatkan makanan?"

   "Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana, mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan."

   Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan, hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang cukup subur.

   Seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang menjadi tua-tua di dusun itu, menyambut Cun Giok dan Ceng Ceng dengan ramah penuh kekeluargaan yang akrab. Sudah menjadi watak orang-orang dusun yang lugu, sederhana dan jujur, yang hidup tenteram dan bahagia karena tidak banyak keinginan, selalu menyambut tamu, apalagi yang asing, dengan ramah tamah. Mereka merasa terhormat kalau ada "orang kota" mengunjungi mereka, dan tanpa ragu-ragu mereka akan menghidangkan apa saja yang mereka miliki untuk tamu mereka.

   Demikian pula laki-laki itu, setelah Cun Giok dan Ceng Ceng memperkenalkan diri sebagai pelancong yang kehabisan makanan dan hendak membeli makanan, tua-tua dusun itu serta-merta menghidangkan makanan sederhana yang dimilikinya dan mengajak dua orang tamu itu makan bersama! Ketika Ceng Ceng hendak membayar harga makanan dan minuman yang dihidangkan, laki-laki itu mengerutkan alis dan menolak keras, bahkan tampak tersinggung dan segera Ceng Ceng minta maaf.

   Ketika mereka mengobrol setelah makan, iseng-iseng Ceng Ceng bertanya kepada tuan rumah.

   "Paman, apakah nama dua buah bukit yang berjajar di sana itu?" Ia menunjuk ke arah dua buah bukit yang semalam ia tonton bersama Cun Giok. Petani itu memandang keluar melalui jendela dan melihat dua buah bukit itu.

   "Ah, dua bukit itukah, Nona? Orang-orang menyebutnya Bukit Kembar karena mereka berdiri berdampingan dan besarnya sama. Akan tetapi dua buah bukit itu mempunyai nama, yang satu adalah Liong-san (Bukit Naga) dan yang lain Hong-san (Bukit Burung Hong)."

   Mendengar ini, berdebar jantung dua orang muda itu. Tadi setelah pagi tiba dan mereka memandang ke puncak dua buah bukit itu, bentuk naga dan burung Hong lenyap sehingga mereka hampir putus asa dan menganggap penglihatan mereka semalam dipengaruhi harapan mereka setelah melihat gambar peta. Akan tetapi kini ternyata bahwa dua buah bukit itu benar-benar bernama Bukit Naga dan Bukit Burung Hong! Mereka berdua saling pandang penuh arti, lalu Cun Giok bertanya kepada petani itu.

   "Paman, mengapa kedua bukit itu disebut Bukit Naga dan Bukit Burung Hong?"

   Petani itu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang sudah banyak yang ompong.

   "Dua buah bukit itu memang aneh, Kongcu. Kalau malam bulan purnama, gerombolan di puncaknya berbentuk naga dan burung Hong. Menurut dongeng, jaman dahulu dua bukit itu katanya menjadi tempat tinggal kedua binatang suci itu."

   Wajah Ceng Ceng dan Cun Giok berseri. Bukan main girang rasa hati mereka. Kini mereka yakin bahwa dua bukit itulah yang dimaksudkan dalam gambar peta!

   Mereka segera pamit dari tua-tua dusun itu dan setelah mereka berdua pergi, baru petani itu menemukan uang emas tiga keping di atas meja! Dia terkejut karena tiga keping uang emas itu merupakan harta yang besar baginya. Dia mengejar keluar untuk mengembalikannya kepada dua orang tamunya, akan tetapi dua orang itu sudah tidak tampak lagi bayangan mereka! Hal ini sungguh terlalu aneh bagi petani itu. Bagaimana mungkin dua orang muda itu dapat menghilang begitu saja?

   Ketika dia menceritakan kepada para penghuni dusun, orang-orang sederhana yang masih tebal kepercayaan mereka akan adanya dewa dewi yang suka menolong manusia, merasa yakin bahwa pemuda dan pemudi yang ikut makan di rumah kepala atau tua-tua dusun itu, pasti seorang dewa dan seorang dewi! Buktinya, mereka meninggalkan emas dan pandai menghilang.

   "Tidak salah lagi!" seru tua-tua itu.

   "Mereka pasti dewa dan dewi penunggu Liong-san dan Hong-san. Baru melihat pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga gadis yang demikian cantik jelita dan lembut, aku sudah curiga bahwa mereka berdua itu bukan manusia biasa!"

   Seluruh penduduk dusun kecil itu lalu melakukan sembahyang untuk menghormati dan berterima kasih kepada Dewa dan Dewi penunggu Bukit Naga dan Bukit Burung Hong!

   Sampai belasan hari Cun Giok dan Ceng Ceng mencari harta karun setelah merasa yakin bahwa harta itu pasti berada di daerah itu karena mereka telah menemukan Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Ada tiga bukit kecil di sebelah selatan kedua bukit itu, dan agaknya tiga bukit ini yang digambar dalam peta. Mereka berdua menjelajahi tiga bukit itu dan sekitar tiga minggu kemudian, pada suatu pagi mereka tiba di bukit tengah dari ketiga bukit itu. Sudah dua kali mereka mencari di bukit ini dan pagi hari itu, dari kaki bukit mereka melihat betapa puncak bukit itu dikepung hutan lebar yang tumbuh di sekeliling bukit. Mereka menembus hutan dan tiba di puncak bukit yang landai dan penuh lapangan rumput yang luas.

   Mereka melihat bahwa di ujung lapangan rumput terdapat tebing puncak dan di tebing itu terdapat tiga buah guha. Guha-guha di pinggir kanan kiri tampak jelas, merupakan guha besar yang mulut guhanya terbuka seperti mulut raksasa ternganga. Akan tetapi guha di tengah tertutup semak belukar dan berduri. Kini mereka berdiri di depan guha yang tertutup semak belukar itu dan mengamati penuh perhatian.

   "Rasanya tidak mungkin menyimpan harta karun di tempat seperti ini," kata Cun Giok.

   Ceng Ceng diam saja tidak menjawab, hanya berdiri memandang ke arah guha itu dengan alis berkerut dan penuh perhatian. Karena gadis itu tidak menjawab, Cun Giok menoleh dan memandang kepadanya. Dia melihat betapa gadis itu kini tampak kurus. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan kegembiraan. Kini dia teringat betapa selama mereka berdua melakukan perjalanan, jarang sekali Ceng Ceng tersenyum atau tertawa, pada hal biasanya gadis ini dahulu selalu berwajah ceria.

   Baru sekarang Cun Giok menyadari betapa gadis itu telah mengalami berbagai rintangan, halangan dan jerih payah yang sia-sia selama melakukan pencarian harta karun itu. Bahkan beberapa kali terancam bahaya maut. Semua usaha mati-matian itu tidak juga menemukan hasil. Dia sendiri sudah tiada nafsu lagi untuk mencari harta karun yang belum dapat dipastikan ada itu. Akan tetapi agaknya Ceng Ceng tak pernah putus asa sehingga tubuhnya tampak kurus dan wajahnya kehilangan cahayanya, bahkan agak pucat karena lelah dan juga karena tidak tentu makannya. Tiba-tiba saja hati Cun Giok merasa pedih penuh keharuan dan iba terhadap gadis itu yang dicintainya semenjak pertemuan pertama itu.

   Memandang wajah yang amat disayangnya itu, wajah yang tampak demikian menyedihkan, tak terasa lagi Cun Giok menghela napas panjang dan berat. Dia merasa sangat iba kepada Ceng Ceng, dan harus diakuinya bahwa cinta kasihnya semakin mendalam. Dia ingin melihat gadis yang mengalami banyak penderitaan ini berbahagia. Akan tetapi bagaimana mungkin? Ceng Ceng kehilangan ayah bunda dan gurunya, yang tewas terbunuh. Bahkan kehilangan harapannya ketika gadis ini saling mencinta dengan dia dan kemudian ternyata dia telah bertunangan dengan Siok Eng.

   Akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah merasa sakit hati atau dendam. Gurunya, Im Yang Yok-sian, terbunuh oleh Li Hong tanpa ada kesalahan apapun, akan tetapi Ceng Ceng tidak mendendam, bahkan sebaliknya ia pernah mengorbankan peta untuk menyelamatkan gadis pembunuh gurunya itu. Bahkan kemudian ia mengangkat Li Hong sebagai adiknya! Di dunia ini, mana ada gadis sebijaksana, sebaik hati, dan selembut Ceng Ceng? Sedangkan dirinya sendiri?

   Ah, tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak sepadan dengan Ceng Ceng, sama sekali tidak berharga untuk menjadi pendamping hidup gadis itu! Dia seorang pemuda gagal, seorang laki-laki yang tidak mampu melindungi calon istrinya sendiri. Walaupun belum menikah resmi dengan Siok Eng dia menganggap dirinya telah menjadi duda setelah Siok Eng terbunuh. Dia seorang pemuda sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa! Apa yang dapat diharapkan dari seorang pemuda seperti dia bagi seorang gadis seperti Ceng Ceng?

   

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 13


   "Giok-ko, lihat semak belukar yang menutupi guha ini. Di sekeliling tempat, ini tidak ada semak belukar seperti itu!" Suara gadis itu terdengar sungguh-sungguh.

   "Ada apa dengan semak-semak itu, Ceng-moi? Kulihat itu hanya semak belukar biasa," kata Cun Giok tidak mengerti sambil memandang semak belukar itu baik-baik akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh.

   "Kalau di suatu tempat tumbuh semak seperti itu, tentu di sekeliling sini terdapat pula semak yang sama. Akan tetapi lihat sekeliling sini, tidak ada lagi semak seperti itu!"

   "Hemm, jadi ......?" Cun Giok tetap tidak mengerti.

   "Berarti, semak belukar yang menutupi guha ini sengaja ditanam orang, Giok-ko! Bukan tumbuh alami melainkan sengaja ada orang mencari semak belukar dan berduri untuk ditanam dengan sengaja di sini agar menutupi guha ini!"

   "Ah, jadi maksudmu, orang sengaja menutupi guha ini dengan semak belukar yang ditanam agar jangan ada orang memasuki guha ini?"

   "Tepat! Dan itu berarti bahwa di balik semak belukar, di dalam guha itu, tentu ada sesuatu yang disembunyikan dan yang menyembunyikan tidak ingin ada orang dapat memasuki guha!"

   Cun Giok terbelalak,

   "Maksudmu...... harta karun itu?"

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Mudah-mudahan begitu, Giok-ko. Kemungkinan itu ada, bukan?"

   Cun Giok mengamati wajah gadis itu dengan tajam.

   "Ah, Ceng-moi, mengapa engkau pantang menyerah? Sudah banyak penderitaan dan kekecewaan kau alami untuk mencari harta karun itu. Engkau tampak begini kurus, Ceng-moi. Ah, aku khawatir kalau engkau sampai jatuh sakit. Mengapa tidak kau sudahi saja pencarian yang tiada gunanya ini?"

   Ceng Ceng memandang Cun Giok dengan alis berkerut dan sepasang matanya yang biasanya lembut dan bening itu kini memancarkan sinar penasaran.

   "Giok-ko, apakah engkau belum mengerti? Ingat keadaanku sekarang ini. Aku yatim piatu, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, seakan kehilangan pegangan. Satu-satunya yang masih ada dan merupakan harapanku, tujuan hidupku dan pembangkit semangatku, hanyalah memenuhi pesan mendiang, Ayah. Kalau aku berhasil melaksanakan kehendak dan pesan Ayahku, menemukan harta karun itu dan menyerahkannya kepada mereka yang berhak seperti yang ditunjuk Ayahku, yaitu para pejuang membebaskan bangsa dan tanah air dari penjajah, maka hidupku akan berarti dan aku akan merasa berbahagia. Kalau tidak berhasil, lalu apa artinya hidupku ini? Melaksanakan tugas memenuhi pesan terakhir Ayahku merupakan satu-satunya pegangan hidupku!"

   Cun Giok merasa terharu sekali. Dia dapat membayangkan betapa menyedihkan keadaan gadis ini. Dia sendiri juga orang yatim piatu, akan tetapi dia tidak pernah dapat mengingat bagaimana rupa ayah ibunya. Ayahnya tewas terbunuh sebelum dia lahir, dan ibunya meninggal ketika melahirkannya. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang ayah Ibunya sehingga kalau dia mengingat akan ayah ibunya, hatinya tidak demikian sakit rasanya. Akan tetapi gadis ini ditinggal mati ayah ibunya setelah ia dewasa.

   "Ceng-moi,...... aku aku akan selalu membelamu...... kalau engkau tidak keberatan ditemani seorang...... duda...... aku berjanji akan selalu menemani dan mendampingimu, selalu membelamu......"

   Ceng Ceng menghela napas panjang, dan ada sedikit cahaya terpancar pada wajahnya yang agak kurus. Ucapan Cun Giok itu bagaikan obat penyejuk dalam hatinya karena ucapan itu secara tidak langsung menyatakan cinta pemuda itu kepadanya. Ia dapat merasakan bahwa pemuda itu merasa sungkan untuk berterang menyatakan cintanya karena dia merasa bahwa dia sudah menjadi duda dengan kematian Siok Eng, walaupun dia belum menjadi suami Siok Eng, hanya tunangan saja. Diam-diam Ceng Ceng merasa terharu dan nilai pemuda itu semakin tinggi dalam pandangannya karena jelas bahwa Cun Giok setia kepada tunangannya yang telah mati, menganggap tunangannya itu sebagai istrinya dan menganggap dirinya sebagai seorang duda.

   "Terima kasih, Giok-ko. Aku tahu bahwa engkau seorang sahabat yang baik sekali, yang membantuku sejak dulu. Sekarang marilah kita bongkar semak belukar ini, aku ingin menyelidiki ke dalam guha."

   "Baik, Ceng-moi!" Tanpa banyak cakap lagi Cun Giok mencabut Kim-kong-kiam. Tampak sinar pedang keemasan bergulung-gulung menyambar-nyambar ketika dia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat sekali. Batang, ranting, dan daun-daun semak belukar yang berduri itu terbang berhamburan ketika disambar sinar pedang dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh tumbuh-tumbuhan semak yang menghalangi guha itupun sudah dibabat bersih! Kini tampaklah mulut guha yang lebarnya sekitar tiga tombak dan tingginya dua tombak.

   Ceng Ceng membantu Cun Giok dengan melempar-lemparkan onggokan semak yang telah dibabat, menggunakan sebatang kayu sehingga terbuka jalan menuju ke mulut guha. Mereka lalu maju menghampiri guha dan begitu tiba di depan guha, keduanya berhenti dan memandang ke dalam guha dengan mata terbelalak. Di lantai guha itu mereka melihat kerangka manusia berserakan malang melintang! Ketika dihitung mereka mendapatkan bahwa semua ada delapan buah kerangka yang masih utuh, ada yang telentang, telungkup, dan ada pula yang miring. Di dekat kerangka-kerangka ini tampak pula cangkul dan sekop, alat-alat untuk menggali tanah!

   "Ceng-moi, agaknya mereka ini pernah mencari harta karun dan mencoba untuk menggali di sini. Akan tetapi mengapa mereka semua tewas di sini?" Cun Giok memandang ke sebelah dalam guha yang agak gelap karena tidak mendapatkan sinar matahari itu.

   "Awas, Ceng-moi......!" Cun Giok berseru. Dia melihat sepasang benda kecil mencorong kehijauan di sebelah dalam guha dan benda itu bergerak ke arah mereka dengan mengeluarkan suara mendesis-desis.

   "Ular, Giok-ko......!" Ceng Ceng juga berseru kaget.

   Pada saat itu, seekor ular yang besarnya tidak kurang dari paha seorang dewasa, dengan kepala besar yang mengeluarkan sinar hijau, sepasang matanya mencorong kehijauan, dan moncongnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis, bergerak cepat menghampiri mereka.

   "Mundur, Ceng-moi!" Cun Giok berseru dan dia bergerak ke depan Ceng Ceng untuk melindungi gadis itu. Setelah dekat, tiba-tiba ular itu berhenti, lalu kepalanya meluncur ke depan, menyerang Cun Giok. Moncongnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi yang runcing melengkung ke dalam.

   Dengan tenang namun cepat dan kuat, Cun Giok menebaskan pedangnya ke arah kepala ular itu.

   "Singgg"" takk!" Cun Giok terkejut bukan main ketika pedangnya mental seperti tertangkis benda yang amat kuat. Pedang pusakanya, Kim-kong-kiam, yang dapat membabat putus senjata-senjata lawan yang terbuat dari besi atau baja, kini tidak mampu memecahkan kepala ular yang memiliki kekebalan itu. Ini aneh, luar biasa sekali! Hampir Cun Giok tidak percaya sehingga sejenak dia mengamati pedangnya dan menjadi lengah.

   "Awas, Giok-ko!" Ceng Ceng berseru namun terlambat.

   Ekor ular yang panjang itu telah membelit-belit tubuh Cun Giok. Pemuda ini terkejut namun sebelum dia sempat menggerakkan kedua tangannya, tubuh ular yang besar dan panjang itu telah membelit kedua lengannya sehingga menempel pada tubuhnya dan tidak dapat digerakkan lagi! Cun Giok berusaha membebaskan diri, namun sia-sia. Dia mengerahkan sin-kang, namun tubuh ular itu ulet dan dapat melar sehingga tenaga dalamnya juga tidak mampu membuat ular itu mengendurkan libatan tubuhnya. Padahal, ular itu kini sudah mendekatkan moncongnya pada kepala Cun Giok, siap untuk mencaplok kepala itu!

   Sejak tadi Ceng Ceng yang merasa jijik dan geli melihat ular besar itu, hanya berdiri menjauh. Akan tetapi kini melihat Cun Giok terancam bahaya, ia cepat melompat ke depan dan dua kali tangan kanannya menggerakkan tongkat menusuk ke arah mata ular yang hendak mencaplok kepala Cun Giok itu.

   "Cres! Cres!" Darah mengucur dari sepasang mata ular yang agaknya kesakitan sekali sehingga libatan tubuhnya pada Cun Giok mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk meronta lepas dan dia cepat menggerakkan pedangnya, sekali ini yang dijadikan sasaran adalah leher ular itu.

   "Crakk!" Sekali sabet saja, leher ular itu putus! Tubuh yang panjang menggeliat dan melingkar-lingkar. Cun Giok menggunakan kakinya untuk menendang tubuh ular itu keluar guha.

   Dengan menahan kejijikannya, Ceng Ceng menggunakan tongkatnya untuk mencokel dan melempar keluar kepala ular itu.

   "Tahan Ceng-moi......!" seru Cun Giok menahan.

   Ceng Ceng mengurungkan niatnya dan memandang Cun Giok dengan heran.

   Cun Giok memperhatikan kepala ular itu lalu berkata kepada Ceng Ceng.

   "Lihat, Ceng-moi. Ular itu sudah mati akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya kehijauan! Yang lebih hebat, pedangku tadi tidak dapat melukai kepala ular itu! Kukira tentu ada sesuatu di dalam kepala ular itu!"

   Ceng Ceng terbelalak.

   "Aih, aku teringat, Giok-ko. Dulu pernah Suhu Im-yang Yok-sian bercerita bahwa ada sebuah benda yang disebut Liong-cu-giok (Batu Kemala Mestika Naga), semacam batu giok langka yang bisa terdapat dalam kepala ular yang sudah ratusan tahun umurnya!"

   "Wah, kalau benar ada kemala mustika seperti itu, alangkah beruntungnya kita." Cun Giok lalu berjongkok memeriksa kepala ular. Dilihatnya sepasang mata yang sudah terluka oleh tusukan tongkat Ceng Ceng itu pun sudah kehilangan sinar hijaunya yang tadi mencorong ketika ular itu masih hidup. Akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya seperti tadi. Dengan hati-hati, menggunakan pedangnya, dia menoreh kulit kepala ular. Ternyata kulit itu dapat terkelupas, menandakan bahwa setelah ular itu mati, kepalanya kehilangan kekebalannya. Dengan hati-hati dia membelah kepala ular itu dan tampaklah sebuah benda sebesar telur ayam, mengkilap dan mencorong mengeluarkan cahaya kehijauan!

   Ceng Ceng memungut benda itu dan memeriksanya.

   "Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko! Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini!" Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi Cun Giok tidak mau menerimanya.

   "Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu sebagai seorang ahli pengobatan."

   "Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat dinilai harganya!"

   Cun Giok tersenyum.

   "Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan ular dan berada dalam perutnya!"

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Baik, Giok-ko. Terima kasih. Engkau memang baik sekali." Ia memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.

   "Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini." Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.

   "Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia."

   "Akan tetapi, ke mana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?"

   "Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masing-masing, berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha. Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?"

   Cun Giok memandang kagum.

   "Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya bagaimana?"

   "Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu! Bagaimana?"

   Wajah Cun Giok berseri. Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?" Dia menunjuk ke bawah.

   "Mari kita buktikan, Giok-ko!"

   Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak! Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali orang!

   Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat. Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, keduanya lalu membuka peti itu dan...... mereka terpesona, mata mereka silau oleh harta benda yang terdapat di dalam peti! Bahkan perak pun tidak ada, yang ada hanya emas, semuanya dari emas! Perhiasan-perhiasan beraneka macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana! Di bagian bawah terdapat emas beratus-ratus kati!

   "Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu!" Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di samping peti harta karun itu.

   Ketika Cun Giok yang merasa terharu mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan Lembut, Ceng Ceng mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu.

   Sejenak Cun Giok membiarkan gadis itu menangis karena itulah yang terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya. Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak kepahitan hidup.

   Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut.

   "Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku, maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi basah. Maafkan aku, Giok-ko."

   "Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat menemukan harta karun ini."

   "Berkat bantuanmu, Giok-ko."

   "Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?"

   "Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orang-orangnya yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun. Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu, setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha, tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu. Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja membuat peta itu."

   "Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?"

   "Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan orang lain."

   "Bagus, Ceng-moi! Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan. Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang sepantasnya!" Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok.

   Ceng Ceng dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyum-senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.

   "Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu! Urusan harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak, Pangeran Youtechin adalah...... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah, terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai tanpa permusuhan."

   Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima pangeran itu sebagai calon suaminya! Mereka harus menghormati cinta kasih Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai, juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan dua orang gadis itu saling rangkul.

   "Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini," kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.

   Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran Youtechin dan berkata lembut.

   "Pangeran......"

   "Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja."

   "Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol, dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya, akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek, engkau sudah mendengar semua."

   "Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kauingat bahwa harta karun itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan," bantah Pangeran Youtechin.

   "Nanti dulu, Pangeran Youtechin!" Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran.

   "Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun itu dikembalikan kepada rakyat! Adapun tempat ditemukannya harta karun ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata di mana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan, bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada kerajaanmu? Ini sungguh tidak adil!"

   Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli!

   "Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakap-cakap? Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya!" kata Cui-beng Kui-ong.

   "Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah kepada saya!" Song-bun Moli tidak mau kalah.

   Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng. Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.

   "Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita!" kata Kong Sek dengan nada marah. Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap kematian ayahnya.

   Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan. Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup menghormat.

   "Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap pemerintah! Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta karun itu adalah berasal dari rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san, maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang menjadi kekuasaannya."

   "Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk membelanya!" kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng Ceng.

   Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia berkata.

   "Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia kang-ouw! Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat, untuk menyejahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada kerajaan, kepada pemerintah!"

   Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk menjawab.

   "Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata."

   Pangeran Youtechin mengangguk-angguk.

   "Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar. Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah."

   "Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini!" kata Cui-beng Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.

   "Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak! Kami tidak takut kepadamu demi membela hak kami!" Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.

   Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih.

   "Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku!"

   Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing.

   "Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku kehendaki!"

   Kakek dan nenek itu terpaksa menaati, mereka mengangguk dan bahkan melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu, Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh kang-ouw yang mendukung mereka.

   "Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)! Sesungguhnya, yang langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat. Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar, maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi kalian! Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku."

   Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka, semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang muncul seorang pangeran selain tampan iuga bersikap ramah dan dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari kemenangan sendiri.

   Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kui-tung Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan berseru,

   "Bagus! Bagus sekali diadakan pi-bu itu!"

   Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

   "Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu!" kata Ceng Ceng.

   "Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi." Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.

   "Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding melawanmu!" katanya lantang.

   "Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok! Aku gembira sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng!" Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik misan pendekar itu.

   Setelah berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para pembantunya dan berkata dengan nada tegas.

   "Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan dalam pi-bu ini!"

   Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang.

   "Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini!"

   Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar kelihaian Cun Glok dari Li Hong sebaliknya Cun Giok mendengar akan kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani memandang rendah lawan.

   Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan "Menunggang Kuda" yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin berkata.

   "Bu-eng-cu, silakan!" Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.

   "Pangeran, aku telah siap, silakan!" Cun Giok balas menantang.

   Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.

   Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.

   "Sambut seranganku ini!" Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.

   "Wuuuttt! Wuuuttt!" Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

   "Syuuuttt! Syuuuttt!" Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah hebatnya.

   

   "Dess! Desss!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter. Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat terdorong oleh serangan lawan.

   Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan mereka.

   "Wuuuuttt...... bresss!" Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.

   Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan ini cepat dan kuat sekali. Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan, tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran itu.

   "Haitt!" Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.

   "Dukkk!!" Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang.

   Hebat bukan main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngo-heng-kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam keadaan seimbang. Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan dada kanan dengan tangan kirinya.

   Ternyata dalam saat yang hampir berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul dada kanannya! Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang terkena pukulan.

   "Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum!" kata Cun Giok dengan jujur.

   "Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu! Aku juga terkena pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul dengan senjata kita!" Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang indah dan yang ujungnya bercabang. Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam yang bersinar emas.

   "Silahkan, Pangeran!" kata Cun Giok.

   Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka
berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak menahan diri lagi lalu berseru.

   "Giok-ko, jangan bunuh suamiku! Pangeran, jangan bunuh kakak misanku!!" Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.

   "Tranggg......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing. Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang.

   Ceng Ceng merangkul Li Hong dan menghiburnya.

   "Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah, kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu. Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudah-mudahan saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita luka parah."

   Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan menggunakan jurus-jurus terampuh.

   "Hyaatt""!" Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu.

   Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran ke mana pun lawan bergerak! Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar-pijar.

   Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubi-tubi. Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngo-heng Kiam-sut (ilmu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.

   Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu, dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat dan jauh Iebih rumit.

   Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya.

   Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya, dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan! Maka, begitu dia mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing dengan kecepatan gerakan lawannya.

   Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayang-layang dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya! Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.

   "Cringgg......!!" Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya!

   Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu Ceng Ceng! Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh terluka.

   Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang Pangeran sambil berkata lembut,

   "Pangeran, engkau telah kalah."

   Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

   "Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang mereka!"

   Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda kekuasaan Kaisar.

   "Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga," kata Cui-beng Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan lenyap dari situ.

   Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata dengan marah.

   "Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah!" Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran Youtechin lalu meninggalkan tempat itu.

   Kini Liu Ceng Ceng menghadapi para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat lalu berkata.

   "Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman."

   Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

   Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong.

   Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata dengan suara mengandung kesedihan.

   "Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang diperintahkan Sribaginda Kaisar."

   Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran muda itu penuh kasih sayang lalu berkata.

   "Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja!"

   Pangeran itu merangkul kekasihnya.

   "Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana. Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan resmi."

   "Tidak, tidak, Pangeran!" Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu. Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang pelupuk matanya.

   "Kalau engkau terhukum, biarlah aku juga menemanimu. Kita pertanggungjawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran......" Li Hong menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya! Betapa kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian lemah dan cengeng! Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri keadaan Li Hong di saat itu.

   Di samping keheranannya, hati Ceng Ceng yang lembut tersentuh dan ia merasa terharu sekali. Ia tidak ingin melihat cinta kasih antara Li Hong dan Pangeran Youtechin berantakan mengakibatkan Li Hong hidup menderita sengsara karena pangeran itu gagal mendapatkan harta karun. Maka dengan hati tetap ia melangkah maju menghampiri pangeran dan adik angkatnya itu, lalu berkata lembut.

   "Pangeran, engkau adalah seorang gagah yang mencinta negara dan mengemban tugas untuk mendapatkan harta karun dengan setia. Demikian pula aku mengemban tugas dari mendiang ayahku tercinta dengan setia. Keadaan dan kedudukan kita berdua sesungguhnya tidak banyak berbeda. Mengingat akan keadaan ini, apalagi mengingat bahwa engkau adalah calon suami adik angkatku, bagaimana aku tega membiarkan engkau gagal melaksanakan tugas dan terancam hukuman? Mengingat bahwa kemenanganku memperebutkan harta karun ini tidak sepenuhnya murni karena aku dalam pi-bu diwakili Giok-ko, dan kalau aku maju sendiri melawanmu agaknya aku akan kalah, maka sudah adil kalau aku membagi harta karun ini denganmu. Dengan begini, tugasmu tidak sepenuhnya gagal, demikian pula tugasku. Ambillah setengah dari harta karun itu, Pangeran!"

   Pangeran Youtechin menatap wajah. Ceng Ceng dengan mata terbelalak.

   "Apa? Engkau...... rela membagi harta karun ini demi...... keselamatanku, Nona Liu Ceng Ceng?"

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Bukan hanya demi keselamatanmu, Pangeran, akan te-tapi terutama sekali demi Adikku Li Hong."

   "Enci Ceng......!" Li Hong menubruk dan merangkul Ceng Ceng penuh rasa haru akan tetapi juga bahagia.

   "Terima kasih, Enci Ceng Ceng...... sungguh engkau seorang yang bijaksana dan berhati mulia......!"

   Ceng Ceng balas merangkul.

   "Hong-moi, Pangeran Youtechin benar, sebaiknya engkau menunggu di Pulau Ular. Engkau harus memberitahu tentang perjodohanmu dengan Pangeran Youtechin kepada orang tuamu dan menunggu datangnya lamaran di sana. Aku yakin, Pangeran Youtechin adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Giok-ko, tolonglah bagi isi peti harta karun itu menjadi dua agar yang separuh dapat dibawa Pangeran Youtechin ke kota raja."

   Cun Giok hanya mengangguk. Dalam hatinya dia merasa penasaran, akan tetapi juga kagum dan terharu karena dia maklum sepenuhnya bahwa Ceng Ceng melakukan hal itu demi kebahagiaan Tan Li Hong! Dia lalu mengeluarkan semua isi peti dan membaginya separuh.

   "Silakan bawa yang separuh itu, Pangeran," kata Ceng Ceng setelah kedua bagian harta karun itu dibungkus kain.

   Pangeran Youtechin mengangguk dan memberi hormat kepada Ceng Ceng.

   "Nona Liu Ceng Ceng, benar apa yang dikatakan Adinda Tan Li Hong. Engkau adalah seorang pendekar wanita yang berhati mulia dan bijaksana. Sayang sekali bahwa kita berdiri di dua pihak yang bertentangan. Akan tetapi aku merasa bangga dan bahagia mengetahui bahwa Adinda Tan Li Hong mempunyai seorang kakak angkat sepertimu. Terima kasih atas kerelaanmu ini." Pangeran Youtechin lalu mengambil sebuah buntalan kain dan digendongnya di punggung. Lalu dia berkata kepada Li Hong.

   "Dinda Li Hong, engkau tunggulah di Pulau Ular dan aku akan segera mengirim utusan untuk meminangmu. PercayaIah, aku tidak akan menyia-nyiakan cintamu dan kepercayaan Nona Liu Ceng Ceng kepadaku. Nah, selamat berpisah untuk sementara." Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata tiga orang muda, Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong.

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG JILID 14


   "Ceng-moi, sekarang bagaimana rencanamu? Ke manakah engkau akan membawa harta karun itu?" tanya Cun Giok kepada Ceng Ceng setelah bayangan pangeran itu lenyap di balik pohon-pohon.

   "Untuk sementara ini, harta karun itu akan kusimpan dulu, Giok-ko, sambil mencari keterangan dan menanti siapa pimpinan rakyat pejuang yang pantas menerimanya," kata Ceng Ceng.

   "Enci Ceng, akan berbahaya sekali kalau engkau sendiri yang menyimpan harta karun itu, karena tentu akan banyak orang jahat yang akan mencoba untuk merampasnya darimu. Sebaiknya, kaubawa harta itu ke Pulau Ular. Di sana harta karun itu akan aman dan tidak ada orang berani sembarangan naik ke Pulau Ular untuk merampas harta karun. Pula, kita dapat bertanya kepada ayah dan terutama kepada Ibu Ban-tok Niocu, pimpinan pejuang mana yang sekiranya pantas menerima harta karun itu. Pula, bukankah engkau kakak angkatku dan dengan sendirinya ayah ibuku juga menjadi ayah ibumu?"

   "Ucapan Hong-moi itu benar sekali, Ceng-moi. Memang tidak ada tempat yang lebih aman dan tepat untuk menyimpan harta karun itu daripada Pulau Ular."

   "Dan aku pun membutuhkan bantuanmu untuk ikut meyakinkan hati ayah ibuku akan perjodohanku dengan Pangeran Youtechin, bahwa aku tidak salah pilih, Enci Ceng," bujuk pula Li Hong.

   Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk.

   "Baiklah, aku akan membawa harta karun itu ke Pulau Ular. Aku akan pergi bersamamu, Hong-moi. Dan engkau sendiri, Giok-ko, engkau hendak pergi ke manakah?"

   Pertanyaan Ceng Ceng itu membuat Cun Giok mengerutkan alisnya. Ke mana dia hendak pergi? Dia tidak mempunyai keluarga dan tidak ada sesuatu lagi yang harus dikerjakan, maka sejenak dia tidak dapat menjawab.

   "Aku...... aku...... akan melanjutkan perantauanku, Ceng-moi."

   "Tidak, Enci Ceng! Giok-ko juga pergi bersama kita ke Pulau Ular!" Tiba-tiba Li Hong berkata dengan nada suara tegas.

   "Eh, Hong-moi, mengapa kau berkata begitu?" Cun Giok bertanya.

   "Engkau harus menemani kita pergi ke Pulau Ular, Giok-ko!"

   "Harus?" Cun Giok mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya ingin sekali pergi bersama mereka karena berat sekali rasanya kalau dia harus berpisah dari Ceng Ceng, akan tetapi dia merasa penasaran juga kalau dipaksa.

   "Ya, harus!" kata Li Hong.

   "Ada dua hal yang mengharuskan engkau ikut bersama kami ke Pulau Ular, Giok-ko. Pertama, kami membawa harta karun dan engkau tahu betapa para tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi mengincar harta karun itu. Engkau tentu tidak tega membiarkan kami berdua menghadapi rintangan dan terancam bahaya dalam perjalanan. Kedua, engkau adalah keponakan ayahku, ayah dan ibu amat mengharapkan bertemu denganmu dan apakah engkau tidak ingin bertemu dan memberi penghormatan kepada pek-hu (uwa) dan pek-bomu?"

   Di"todong" seperti ini, Cun Giok kehabisan kata untuk dapat menolak atau membantahnya. Alasan-alasan yang dikemukakan Li Hong amat kuat dan menolak dua alasan itu akan membuat dia menjadi seorang yang tega membiarkan dua orang gadis itu terancam bahaya dan membuat dia seorang muda yang tidak sopan dan tidak menghormati uwaknya sendiri, kakak mendiang ibunya!

   "Adik Li Hong, jangan terlalu memaksa Giok-ko. Kalau dia tidak mau......"

   "Baiklah, aku ikut kalian ke Pulau Ular!" kata Cun Giok dan ucapannya ini disambut senyum lebar dua orang gadis itu. Mereka lalu berangkat, meninggalkan Pegunungan Thai-san dan Cun Giok yang menggendong buntalan harta karun itu di punggungnya.

   Dua hari kemudian, pada suatu siang mereka bertiga baru meninggalkan daerah Pegunungan Thai-san dan tiba di kaki pegunungan. Dari lereng paling bawah yang mereka tinggalkan tadi mereka melihat genteng banyak rumah, menandakan bahwa di sana terdapat perumahan orang, mungkin sebuah dusun yang lumayan keadaannya karena rumah-rumahnya sudah memakai genteng. Mereka kini menuju ke perumahan itu untuk mencari makanan karena perut mereka sejak pagi tadi belum terisi.

   Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar tahu-tahu sudah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu berusia sekitar limapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya merah dan ditumbuhi jenggot dan kumis pendek yang terawat baik sehingga tampak gagah. Tiga orang muda itu segera mengenalnya karena dia adalah Bu-tek Sin-liong Cu Liong majikan Bukit Merak.

   "Dia Bu-tek Sin-liong," bisik Cun Giok kepada Ceng Ceng dan Li Hong.

   Dua orang gadis itu sudah mendengar akan nama besar datuk ini, maka mereka bersikap waspada. Setelah mereka bertiga tiba di depan datuk itu, Pouw Cun Giok yang sudah mengenalnya karena dia pernah hampir dua tahun yang lalu ditolong oleh Cu Ai Yin, puteri datuk itu di Bukit Merak, melangkah maju dan memberi hormat kepadanya.

   "Kiranya Lo-cianpwe Bu-tek Sin-liong yang berada di sini."

   Dengan sikap acuh tak acuh datuk itu memandang kepada dua orang gadis cantik di samping Cun Giok, kemudian dia berkata kepada pemuda itu.

   "Pouw Cun Giok, engkau masih ingat kepada kami?"

   "Tentu saja, Lo-cianpwe dan Adik Cu Ai Yin pernah menolong saya di Bukit Merak," kata Cun Giok, masih menduga-duga apa maksud datuk itu menghadang perjalanannya. Dua orang gadis itu memandang penuh curiga dan mereka menduga bahwa datuk itu tentu bermaksud merampas harta karun yang digendong Cun Giok di punggungnya.

   "Pouw Cun Giok, aku hendak bicara penting sekali denganmu dan engkau harus dapat memberi keputusan sekarang juga!"

   Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sekarang dapat menduga pula bahwa datuk ini, seperti para tokoh lain, tentu menginginkan harta karun itu, maka dia berkata dengan sikap tetap hormat.

   "Lo-cianpwe, hendaknya Lo-cianpwe maklum bahwa harta karun itu bukanlah hak milik kami, melainkan hak milik rakyat yang akan kami serahkan kepada yang berhak kelak."

   "Huh, siapa peduli akan harta karun!" bentak Bu-tek Sin-liong,

   "Harta karun itu tidak ada artinya bagiku. Yang terpenting bagiku adalah urusan puteriku, Cu Ai Yin."

   "Ada apakah dengan Adik Cu Ai Yin, Lo-cianpwe?" tanya Cun Giok heran dan dia memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah gadis itu ikut datang bersama ayahnya.

   "Pouw Cun Giok, sekarang juga engkau harus ikut denganku ke Bukit Merak dan kita langsung saja rayakan pernikahan puteriku denganmu!"

   "Menikah......?" Ucapan ini keluar dari mulut tiga orang, yaitu Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong karena mereka sungguh terkejut mendengar ucapan datuk itu.

   "Maaf, Lo-cianpwe, saya sungguh tidak mengerti apa yang Lo-cianpwe maksudkan. Kenapa saya harus ikut ke Bukit Merak dan...... menikah dengan Adik Cu Ai Yin?"

   "Kenapa? Engkau masih bertanya kenapa?" bentak Bu-tek Sin-liong dengan mata melotot dan mukanya menjadi semakin merah.

   "Masih berpura-pura suci lagi. Pouw Cun Giok, engkau tinggal pilih, menikah dengan Ai Yin atau mati di tanganku!"

   Cun Giok menjadi semakin penasaran, juga Ceng Ceng dan Li Hong memandang heran. Li Hong sudah menjadi marah sekali, akan tetapi dua orang gadis itu diam saja, hanya mendengarkan karena mereka tidak tahu urusannya.

   "Lo-cianpwe, sebelum saya memilih, harap jelaskan dulu mengapa Lo-cianpwe hendak memaksa saya menikah dengan puterimu," kata Cun Giok dengan sikap masih sabar.

   "Bocah tak tahu diri, tidak mengenal budi dan kurang ajar! Ai Yin telah menyelamatkanmu ketika engkau pingsan di dekat sungai dan tentu akan mati dimakan binatang buas kalau tidak ditolong Ai Yin dan dibawa ke tempat tinggal kami. Kemudian untuk kedua kalinya Ai Yin menolongmu ketika engkau akan dibunuh oleh Kong Sek. Semua itu dilakukan puteriku karena ia jatuh cinta padamu. Akan tetapi apa yang telah kau lakukan? Dengan kurang ajar engkau menciumi mulutnya ketika Ai Yin dalam keadaan tidak sadar, dan membuka punggung bajunya! Karena itu, engkau harus menikah dengannya atau aku akan membunuhmu sekarang juga!"

   "Lo-cianpwe, dengarkan dulu penjelasanku......"

   "Tidak perlu penjelasan lagi! Pilih saja, mau menikah dengan Ai Yin atau mati?" Datuk itu sudah mencabut Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) dari pinggangnya dengan mata mengancam.

   "Lo-cianpwe, saya mengakui bahwa Nona Cu Ai Yin memang telah berkali-kali menolong saya. Saya kagum dan suka padanya bahkan kami berdua telah menjadi sahabat baik. Akan tetapi saya hanya menjadi sahabatnya, tidak ingin menjadi suaminya. Dalam hal perjodohan ini harap Lo-cianpwe tidak memaksa karena perjodohan yang dipaksakan hanya akan mendatangkan kesengsaraan kepada puterimu sendiri kelak."

   "Berarti engkau menolak mengawininya setelah engkau ciuminya dan......"

   "Hal itu dapat saya jelaskan, Lo-cianpwe!" kata Cun Giok yang dapat menduga bahwa Ai Yin tentu sudah bercerita kepada ayahnya tentang peristiwa itu.

   "Engkau menolak berarti mati!" Bu-tek Sin-liong sudah tak dapat menahan diri dan hendak menyerang.

   "Ayaaahhh......! Jangan......!" Tiba-tiba terdengar jeritan dan muncullah Cu Ai Yin, gadis pendekar yang cantik dan berjuluk Pek-hwa Sianli itu. Mukanya agak pucat dan basah, tampak jelas bahwa ia tadi menangis.

   Gadis itu sudah berdiri menghadang di antara Bu-tek Sin-liong dan Pouw Cun Giok, menghadapi ayahnya dan berkata.

   "Ayah, sudah kukatakan bahwa Cun Giok sama sekali tidak bersalah! Dia tidak bertindak kurang ajar kepadaku. Ketika dia...... mencium mulutku, hal itu dia lakukan untuk memberi pernapasan kepadaku karena napasku berhenti setelah aku tenggelam dalam air dan dia membuka punggung bajuku untuk mengobati luka di punggungku yang terkena anak panah. Dia tidak bersalah, Ayah dan hal ini sudah kuceritakan kepadamu, mengapa Ayah masih hendak memaksanya?"

   "Hemm, Ai Yin, bukankah engkau mengaku bahwa engkau cinta kepada pemuda tak tahu diri ini?" ayahnya menegur.

   "Ayah, hal itu bukan alasan untuk memaksa dia menikah denganku. Aku sekarang mengerti bahwa Cun Giok menyayangku sebagai seorang sahabat. Ayah, aku tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku. Kalau Ayah hendak memaksa, lebih baik aku mati di depan Ayah!" Gadis cantik itu pun mencabut sepasang pedangnya.

   Sejenak ayah dan anak ini saling tatap dengan pandang mata tajam. Kemudian Bu-tek Sin-liong membanting kakinya dengan jengkel.

   "Anak bodoh""!" Dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan marah.

   Ai Yin membalikkan tubuh menghadapi Cun Giok. Kedua matanya basah. Lalu ia memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng, kemudian ia berkata lirih kepada Cun Giok.

   "Cun Giok, kau maafkan Ayahku......"

   "Tidak mengapa, Ai Yin. Justeru aku yang minta maaf kepadamu," kata Cun Giok dengan hati terharu karena dia telah membuat gadis itu kecewa. Kini dia tahu bahwa Ai Yin telah mengaku cinta padanya kepada ayahnya.

   Ai Yin tidak menjawab, hanya memutar tubuh dan berlari cepat mengejar ayahnya.

   Suasana hening setelah ayah dan anak itu pergi jauh. Ceng Ceng yang berwatak lembut dan peka itu merasa terharu dan kasihan kepada Cu Ai Yin. Ia dapat menduga bahwa Pek-hwa Sianli itu telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi pemuda itu tidak membalas cintanya. Ia pun merasa yakin karena sudah mengenal watak pemuda itu bahwa Cun Giok benar-benar hendak menyelamatkan nyawa Cu Ai Yin ketika "mencium" dan membuka punggung bajunya, tidak ada niat lain yang tidak senonoh. Ia lalu teringat kepada Siok Eng, tunangan Cun Giok yang telah tewas dalam keadaan menyedihkan itu dan dari pergaulannya dengan Cun Giok, Ceng Ceng juga dapat merasakan dan tahu bahwa kesetiaan Cun Giok terhadap Siok Eng bukan karena cinta, melainkan karena Cun Giok seorang laki-laki sejati yang menghargai dan memegang teguh janji perjodohan itu!

   Pemuda itu ditunangkan dengan Siok Eng dan tidak menolak karena hendak menyenangkan dan berbakti kepada guru dan ayah angkatnya, mendiang Suma Tiang Bun. Kemudian ia teringat kepada Li Hong yang kini berdiri di dekatnya. Juga gadis ini pernah tergila-gila kepada Cun Giok yang ternyata sekarang adalah kakak misannya sendiri. Li Hong demikian mencinta Cun Giok sampai hampir membunuhnya karena cemburu. Akan tetapi ia bersyukur bahwa Li Hong telah mendapatkan penggantinya, yaitu Pangeran Youtechin yang tampan dan gagah.

   Teringat akan itu semua, dan teringat kepada dirinya sendiri yang tak dapat ia sangkal juga amat mencinta Cun Giok, Ceng Ceng menarik napas panjang. Betapa banyak gadis yang jatuh hati kepada Pendekar Tanpa Bayangan ini.

   "Enci Ceng Ceng, kenapa engkau menghela napas panjang?" tanya Li Hong.

   Ceng Ceng mengerling kepada Cun Giok yang melangkah sambil menundukkan muka dan alisnya berkerut seperti orang sedang melamun.

   "Aku kasihan sekali kepada puteri Bu-tek Sin-liong itu, Hong-moi. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga berwatak baik dan jujur."

   "Bagaimana engkau bisa tahu bahwa ia baik dan jujur, Enci Ceng?"

   "Ia telah menyelamatkan nyawa Giok-ko sampai dua kali, itu berarti ia berwatak baik. Dan kata-katanya ketika mencegah ayahnya menyerang Giok-ko tadi menunjukkan bahwa ia seorang yang jujur. Sungguh patut dikasihani. Aih, betapa cinta telah banyak memakan korban, menghancurkan kebahagiaan banyak orang......"

   "Ah, tidak semua cinta gagal dan menyengsarakan orang, Enci Ceng! Contohnya aku sendiri. Aku mencinta Pangeran Youtechin dan dia pun mencintaku, dan kami berdua bahagia dan akan menjadi suami isteri yang berbahagia!" Ia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Cun Giok dan melanjutkan kata-katanya.

   "Dan lihat Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok ini, dan engkau sendiri, Enci Ceng. Bukankah kalian berdua saling mencinta dan berbahagia?"

   "Hong-moi......!" Cun Giok menegur.

   "Kenapa Giok-ko? Bukankah aku bicara jujur dan apa adanya? Engkau tidak dapat menyangkal bahwa engkau sejak dulu mencinta Enci Ceng Ceng dan sebaliknya Enci Ceng Ceng juga mencintamu. Ingat, Giok-ko, janjiku dulu masih berlaku sehingga sekarang, yaitu, bahwa apabila engkau menyia-nyiakan cinta Enci Ceng Ceng dan tidak mau menikahinya, aku akan melupakan bahwa engkau ini kakak misanku dan engkau akan kumusuhi!"

   "Hong-moi""!" Kini Ceng Ceng yang menegur dan wajah gadis ini menjadi merah sekali.

   Cun Giok menghela napas panjang. Menghadapi Li Hong yang jujur, dia tidak dapat merahasiakan atau menyembunyikan keadaan hatinya lagi. Dan memang sebaiknya dia berterus terang agar dapat didengar pula oleh Ceng Ceng, karena dia akan selalu merasa tidak tenang sebelum menyampaikan pikiran yang menekan dan selalu mengganggu perasaannya mengenai hubungan cintanya dengan Ceng Ceng.

   "Adik Li Hong, engkau sungguh keterlaluan!" Ceng Ceng menegur dengan suara halus.

   "Cinta dan pernikahan tidak dapat dipaksakan, mengapa engkau hendak memaksa Giok-ko?"

   "Enci Ceng Ceng, sejak dulu aku tahu benar bahwa engkau dan Giok-ko saling mencinta. Kemudian Giok-ko mengatakan tidak mungkin berjodoh denganmu karena dia sudah mempunyai seorang tunangan. Akan tetapi sekarang, tunangannya itu telah meninggal dunia, maka tidak ada halangan lagi bagi kalian berdua untuk berjodoh dan menikah! Kalau Giok-ko mengingkari cintanya kepadamu, terpaksa akan kutentang dia!"

   "Hong-moi dan Ceng-moi, biarlah aku menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengakuan. Aku tidak mengingkari bahwa sejak pertemuan pertama dengan Ceng-moi, aku telah jatuh cinta kepadamu Ceng-moi. Kemudian aku teringat akan ikatan perjodohanku dengan tunanganku Siok Eng dan aku tidak bisa mengingkari atau mengkhianati perjodohan kami itu. Aku telah berterus terang kepadamu, Ceng-moi, bahwa di antara kita tidak mungkin terdapat ikatan perjodohan karena aku telah bertunangan. Kemudian, Eng-moi ternyata telah tewas. Aku merasa berdosa kepadanya karena tidak mampu melindunginya dan biarpun kami belum menikah, aku menganggap diriku telah menjadi seorang duda. Inilah sebabnya mengapa aku menjadi ragu, apakah aku pantas menjadi jodoh Ceng-moi. Pertama, aku adalah seorang duda yang hidup sebatang kara dan miskin. Kedua, aku merasa berdosa kepada Siok Eng yang telah menantiku dengan setia sampai tewas terbunuh......"

   "Akan tetapi engkau tidak bersalah, Giok-ko! Dan engkau sudah membalaskan kematiannya, bukan? Kukira sekarang tiada salah dan halangannya lagi bagi engkau dan Enci Ceng Ceng untuk mengikat perjodohan!"

   Mendengar ucapan Li Hong itu, Ceng Ceng lalu bicara dengan suara bernada serius untuk menghentikan adik angkatnya itu bicara lebih banyak tentang urusan perjodohan yang hanya membuat ia dan Cun Giok merasa tidak enak saja.

   "Sudahlah, Hong-moi, aku minta dengan sangat agar kita tidak membicarakan lagi urusan itu! Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Pulau Ular!"

   Mendengar ucapan yang bernada kering dan melihat wajah Ceng Ceng yang mengerutkan alis sehingga sikapnya berbeda dari biasanya yang ramah, Li Hong tidak berani membantah lagi dan mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat.

   Karena Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong merupakan orang-orang muda yang lihai sekali dan mereka melakukan perjalanan cepat, maka dalam perjalanan itu mereka tidak menemui rintangan dan tidak lama kemudian mereka telah menyeberang dengan perahu ke Pulau Ular.

   Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu menyambut kedatangan tiga orang muda itu dengan gembira dan lega melihat betapa Li Hong dan Ceng Ceng kembali ke Pulau Ular dengan selamat. Apalagi setelah mereka melihat betapa mereka berhasil mendapatkan harta karun Kerajaan Sung yang diperebutkan itu.

   Ketika Li Hong memperkenalkan Pouw Cun Giok dan pemuda itu memberi hormat kepada kakak ibunya, Tan Kun Tek memegang kedua pundak pemuda itu dengan terharu dan girang.

   "Aih, Cun Giok, sungguh bahagia sekali rasa hatiku dapat bertemu dengan putera Adikku Tan Bi Lian! Selama bertahun-tahun ini hatiku ikut merasa berduka mendengar akan nasib kedua orang tuamu. Aku tidak pernah bertemu dengan ibumu semenjak ia menikah dan pergi mengikuti ayahmu."

   "Saya yang mohon maaf kepada Paman dan Bibi karena baru saya ketahui dari Adik Li Hong bahwa mendiang ibu saya mempunyai seorang kakak."

   Ban-tok Niocu yang pernah bertemu dengan Cun Giok dan mengagumi pemuda itu juga menyambut dengan gembira. Perjamuan keluarga diadakan untuk menyambut mereka dan mereka sekeluarga lalu makan minum dengan gembira.

   Setelah makan mereka duduk di ruangan dalam dan di sini Ceng Ceng diminta untuk menceritakan keberhasilannya menemukan harta karun dari peta yang diwariskan ayahnya kepadanya. Dengan terkadang dibantu tambahan keterangan dari Li Hong dan Cun Giok, Ceng Ceng menceritakan semua pengalamannya di Thai-san sehingga ia akhirnya, dengan bantuan Cun Giok, mendapatkan setengah dari harta karun itu.

   Tan Kun Tek dan dua orang isterinya mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa kagum. Akan tetapi mendengar bahwa akhirnya Ceng Ceng hanya mendapatkan setengah harta karun itu, Ban-tok Niocu merasa penasaran dan dengan alis berkerut ia bertanya.

   "Ceng Ceng, mengapa engkau hanya mendapatkan setengahnya?"

   "Yang setengahnya lagi diambil oleh Pangeran Youtechin!" kata Li Hong dengan bersemangat dan wajahya berseri.

   "Eh, mengapa begitu? Bukankah harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milikmu karena petanya diwariskan mendiang ayahmu kepadamu, Ceng Ceng?" tegur Ban-tok Niocu.

   "Siapa pula itu Pangeran Youtechin?" tanya Tan Kun Tek heran.

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memberitahu bahwa pangeran itu adalah pemuda yang dulu bernama atau dikenal sebagai Yauw Tek dan yang kini menjadi calon suami Li Hong. Mereka berdua memandang kepada Li Hong dengan pandang mata menuntut agar Li Hong yang memberi penjelasan dan pengakuan!

   Dengan gaya yang lincah Li Hong yang maklum akan isi hati kakak misan dan kakak angkatnya, segera berkata kepada ayah dan kedua ibunya.

   "Begini persoalannya, Ayah dan Ibu berdua! Sebetulnya, setelah mengetahui bahwa Enci Ceng Ceng berniat menyerahkan harta karun kepada wakil rakyat pejuang, para tokoh yang tadinya ikut memperebutkan harta karun lalu mendukung Enci Ceng Ceng. Semua orang mencari harta karun akan tetapi akhirnya, Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng yang berhasil menemukan peti berisi harta karun Kerajaan Sung itu. Kemudian muncul Pangeran Youtechin yang minta agar harta karun diserahkan kepadanya sebagai wakil Kerajaan Goan dan utusan istimewa dari Kaisar."

   "Huh, enak saja! Dasar Pangeran Mongol yang curang dan jahat!" kata Ban-tok Niocu marah.

   "Tidak, Ibu, tidak jahat!" Li Hong cepat membela pangeran itu.

   "Buktinya, dia tidak mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun, bahkan melarang dua orang pembantunya yang lihai, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang hendak merampas harta karun. Dia minta harta karun itu secara baik-baik, mengajukan alasan yang masuk akal."

   "Hemm, alasan masuk akal bagaimana yang dia ajukan?" Kini Tan Kun Tek bertanya kepada Li Hong.

   "Begini, Ayah. Pangeran Youtechin mengatakan bahwa harta pusaka itu tadinya milik Kerajaan Sung, akan tetapi karena Kerajaan Sung telah kalah oleh pasukan Mongol maka semua harta miliknya menjadi barang rampasan Kerajaan Goan (Mongol). Pula, harta karun itu ditemukan di Thai-san yang juga menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Goan, maka sudah semestinya menjadi hak milik Kerajaan Goan yang diwakili Pangeran Youtechin. Maka, alasannya itu tak dapat dibantah kebenarannya dan cukup kuat," kata Li Hong.

   "Dan engkau lalu menyerahkan setengah bagian harta karun itu kepadanya, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.

   "Tidak, Ibu."

   Ceng Ceng juga menyebut ibu kepada Ban-tok Niocu karena ia menjadi saudara angkat Li Hong dan otomatis menjadi anak angkat tiga orang tua di Pulau Ular itu.

   "Pangeran Youtechin berdebat dengan saya, masing-masing mengajukan alasan. Saya sebagai pelaksana pesan terakhir Ayah dan dia sebagai utusan istimewa Kaisar. Masing-masing tidak mau mengalah dan akhirnya Pangeran Youtechin menantang untuk diadakan pi-bu satu lawan satu. Yang menang berhak memiliki harta karun itu."

   "Hemm, aneh sekali! Bagaimana seorang Pangeran Mongol bersikap segagah itu?" tanya Ban-tok Niocu heran.

   "Memang Pangeran Youtechin seorang pendekar, Ibu!" kata Li Hong.

   "Dia pantang bertindak curang, tidak mau mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun melainkan mengajak pi-bu secara adil seperti seorang pendekar!"

   "Lalu bagaimana?" Tan Kun Tek ingin sekali mendengar kelanjutan cerita itu.

   "Kakak Pouw Cun Giok mewakili saya dalam pi-bu itu. Pangeran itu lalu bertanding melawan Giok-ko. Mula-mula adu tenaga sakti, setelah ternyata sin-kang mereka berimbang kekuatannya, mereka lalu bertanding silat tangan kosong. Juga dalam pertandingan ini mereka berimbang."

   "Wah, hebat juga Pangeran Mongol itu!" kata Ban-tok Niocu yang sudah tahu akan kelihaian Cun Giok.

   "Memang pangeran itu lihai sekali, Ibu!" kata Li Hong bangga.

   "Kemudian mereka bertanding ilmu pedang. Biarpun ilmu pedang mereka seimbang juga, namun Giok-ko memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi sehingga akhirnya Pangeran Youtechin mengakui kekalahannya," Ceng Ceng melanjutkan.

   "Tentu saja! Giok-ko berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), gin-kangnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kalau tidak demikian, belum tentu pangeran itu kalah!" kembali Li Hong berkata dan jelas suaranya membela Sang Pangeran.

   "Nah, kalau Cun Giok menang, berarti harta karun itu menjadi milikmu semua, mengapa hanya setengah dan mengapa pula yang setengah diserahkan kepada pangeran itu?" Ban-tok Niocu bertanya penasaran.

   "Kalau tidak saya serahkan setengahnya, pangeran itu sebagai utusan istimewa Kaisar tentu akan menerima hukuman berat karena tugasnya mengalami kegagalan," kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi, peduli apa dia mau digantung atau dipenggal kepalanya? Kenapa kalian begitu melindungi seorang pangeran Mongol yang menjadi wakil Pemerintah Kerajaan Mongol?" tegur Ban-tok Niocu kepada gadis yang kini menjadi anak angkatnya itu.

   "Ibu, kami tidak berurusan dengan Pemerintah Goan, melainkan urusan pribadi. Kami tidak ingin Pangeran Youtechin dihukum karena selain dia bertindak adil dan tidak menggunakan kekerasan merampas harta karun dengan pengerahan pasukan yang tentu tidak akan mampu kami lawan, juga mengingat bahwa Pangeran Youtechin itu adalah...... calon ipar saya," kata Ceng Ceng.

   "Calon iparmu? Ceng Ceng, apa maksudmu dengan kata-kata itu?" tanya Tan Kun Tek dan semua orang memandang Ceng Ceng dengan mata terbelalak heran.

   "Ayah, dengan membagi harta karun, Enci Ceng Ceng telah bertindak bijaksana dan adil. Berarti Enci Ceng Ceng dapat melaksanakan kewajibannya terhadap mendiang ayah kandungnya, dan Pangeran Youtechin juga dapat melaksanakan tugasnya sebagai utusan Kaisar. Dan dengan demikian, tidak terjadi pertempuran besar karena kalau pemerintah mengerahkan pasukan, tentu kami semua tidak mampu melawan. Selain itu, hendaknya Ayah dan Ibu berdua mengetahui bahwa aku telah...... bertunangan dengan Pangeran Youtechin......"

   "Gila!!" bentak Ban-tok Niocu dengan marah.

   "Li Hong, gilakah engkau? Bagaimana engkau memilih seorang Pangeran Mongol menjadi calon jodohmu? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan pandai, keturunan terhormat, apakah kurang pendekar-pendekar sakti yang gagah perkasa untuk menjadi jodohmu? Mengapa seorang Pangeran Mongol?"

   "Li Hong," kata Tan Kun Tek yang juga terkejut namun suaranya lebih lembut karena dia merasa tidak berhak memutuskan mengingat bahwa dia baru saja bertemu dengan anak kandungnya yang tumbuh dewasa di bawah asuhan Ban-tok Niocu di Pulau Ular.

   "Coba kau jelaskan, bagaimana engkau sampai memilih pangeran itu sebagai calon suamimu?"

   Biarpun tiga orang tuanya tampak terkejut dan agaknya tidak suka mendengar ia akan berjodoh dengan pangeran itu, Li Hong tetap tenang dan tersenyum.

   "Ayah dan kedua Ibu, mantu seperti apakah yang kalian inginkan?"

   "Tentu saja seorang pendekar seperti kakak misanmu ini!" kata Ban-tok Niocu.

   "Ya, kami menginginkan mantu seorang pendekar budiman," kata Tan Kun Tek dan isterinya yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk-angguk membenarkan suaminya.

   
   

   "Hemm, seorang pendekar seperti Yauw Tek itu?" tanya Li Hong.

   "Yang sudah kalian kenal kehebatannya itu?"

   "Ya, seperti Yauw Tek itu! O ya, mengapa kalian tidak menceritakan tentang Yauw Tek yang dulu menemani kalian berdua pergi mencari harta karun? Ke mana dia dan bagaimana dengan dia?" kata Ban-tok Niocu.

   "Ayah dan Ibu berdua, ketahuilah bahwa Yauw Tek itu bukan lain adalah Pangeran Youtechin," kata Li Hong.

   "Apa......?" Tiga orang tua itu terkejut.

   "Kalau begitu, ketika dia ke sini itu, dia memang sengaja menyamar dan bermaksud buruk?" tanya Ban-tok Niocu.

   "Sama sekali tidak, Ibu," Li Hong membela kekasihnya.

   "Dia memang mendengar bahwa Enci Ceng Ceng, pemegang peta harta karun itu, berada di sini. Sebagai utusan Kaisar yang bertugas menemukan harta karun itu, tentu saja dia ingin mendekati Enci Ceng Ceng dan menyelidikinya. Akan tetapi ketika dia sudah dekat dengan pulau kita ini, dia bertemu dengan pasukan pemerintah. Pangeran Youtechin belum lama kembali dari perantauannya ke barat sejak remaja, maka pasukan itu tidak mengenalnya. Dan Pangeran Youtechin yang sedang menyamar juga tidak memperkenalkan diri, maka dia dikeroyok sehingga terluka dan kita menolongnya."

   "Akan tetapi, Li Hong, bagaimana ceritanya sampai engkau...... mengambil keputusan bertunangan dengan seorang Pangeran Mongol? Tidak kelirukah pilihanmu itu?" Tan Kun Tek bertanya sambil mengerutkan alisnya dan Nyonya Tan juga menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju.

   Jantung dalam dada Li Hong berdebar kencang dan mukanya berubah merah ketika ia teringat akan pengalamannya dengan Yauw Tek atau Pangeran Youtechin. Tentu saja ia tidak mau menceritakan kepada siapapun juga bahwa ia telah berhubungan sebagai suami isteri dengan kekasihnya itu!

   Melihat Li Hong agaknya ragu dan malu, Ban-tok Niocu tidak sabar dan berkata kepada Ceng Ceng.

   "Ceng Ceng, engkau yang melakukan perjalanan bersama Li Hong dan Yauw Tek tentu tahu apa yang telah terjadi. Ceritakan kepada kami!"

   Ceng Ceng lalu bercerita dengan singkat.

   "Ketika itu kami bertiga, saya, Hong-moi dan Pangeran Youtechin yang kita kenal sebagai Yauw Tek membantu pihak Ang-tung Kai-pang menghadapi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko beserta anak buah mereka. Kami berhasil mengusir Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, dan sepasang iblis itu melarikan diri. Adik Li Hong mengejar mereka sedangkan saya lalu sibuk mengobati orang-orang Ang-tung Kai-pang yang terluka. Yauw Tek lalu pergi menyusul Hong-moi. Nah, demikianlah dan selanjutnya, saya kira Adik Li Hong sendiri yang akan dapat menceritakan dengan jelas."

   "Apa yang diceritakan Enci Ceng itu benar," kata Li Hong.

   "Aku amat benci kepada Hek Pek Mo-ko dan melakukan pengejaran untuk membunuh mereka. Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi gelap, aku kehilangan jejak mereka. Dalam sebuah hutan aku terjebak dalam perangkap lalu tahu-tahu aku tertotok pingsan. Ketika aku siuman, aku telah berada dalam sebuah gubuk, kaki tanganku terikat dan di situ terdapat dua orang laki-laki yang menyeramkan dan tampak jahat sekali. Mereka itu bersikap kurang ajar, memaksa aku minum sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan rasanya dan...... dan mereka melucuti pakaianku! Dalam keadaan yang amat gawat tanpa aku dapat melakukan sesuatu itu, tiba-tiba muncul Pangeran Youtechin dan dua orang itu dibunuhnya. Aku ditolong oleh pangeran itu. Nah, Ayah dan Ibu berdua tentu mengerti mengapa aku bertekad untuk berjodoh dengan Pangeran Youtechin. Pertama karena kami memang mencinta, dan kedua...... bagaimana aku dapat menikah dengan laki-laki lain kalau Pangeran Youtechin telah melihatku dalam keadaan seperti itu, bertelanjang bulat? Akan tetapi yang lebih penting, aku menilai dia seorang yang bertabiat baik sekali, dan kami berdua saling mencinta!"

   Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya hanya dapat saling pandang. Walaupun di dalam hati mereka terdapat perasaan yang kurang puas memiliki seorang mantu Pangeran Mongol, akan tetapi merekapun maklum akan kekerasan hati Li Hong. Dilarang dan ditentang tentu akan percuma karena kalau sudah memiliki kemauan, gadis itu tidak mungkin dapat dilarang lagi. Apalagi Tan Kun Tek dan Nyonya Tan merasa tidak memelihara dan mendidik Li Hong sejak kecil sampai dewasa, mereka tentu saja merasa tidak enak kalau melarang. Mereka pun menyadari bahwa di bawah bimbingan Ban-tok Niocu yang sebelum menjadi Niocu (Nona) berjuluk Mo-li (Iblis Betina) yang ganas dan kejam, Li Hong menjadi seorang gadis yang amat keras hati. Hanya Ban-tok Niocu yang masih penasaran itu berani bicara, akan tetapi ia bertanya kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, untuk memuaskan hatinya.

   "Cun Giok dan Ceng Ceng, aku percaya kepada kalian berdua. Maka sekarang katakanlah sejujurnya, benarkah, apa yang dikatakan Li Hong bahwa Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik?"

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling berpandangan, lalu mereka menoleh dan memandang Li Hong.

   "Giok-ko dan Enci Ceng, katakanlah yang sebenarnya. Kalau memang kalian melihat Youtechin sebagai seorang pemuda yang brengsek dan jahat, jangan tutup-tutupi, katakan yang sebenarnya!" kata Li Hong menantang.

   Gadis ini memang sudah nekat karena andaikata orang tuanya dan seluruh manusia di dunia ini tidak setuju, tetap saja ia akan menikah dengan Pangeran Youtechin! Karena sesungguhnya, ia sekarang pun telah menjadi isteri Pangeran Mongol itu!

   Akhirnya Ceng Ceng bicara. Ia memang melihat bahwa Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik dan pantas menjadi suami Li Hong. Memang ada sedikit hal yang mengecewakan hatinya, yaitu pangeran itu mudah mengobral dan menyatakan cinta. Dulu baru saja dia menyatakan cinta kepadanya dan ditolaknya, di lain saat dia telah mengalihkan dan menyatakan cintanya kepada Li Hong. Mungkin sudah demikianlah watak seorang pemuda bangsawan tinggi, pikirnya, sehingga akan terdengar amat aneh dan apabila seorang pangeran memiliki isteri kurang dari lima orang!

   "Ayah dan berdua Ibu, saya telah melakukan perjalanan bersama Adik Hong dan Pangeran Youtechin dan saya berani menyatakan bahwa Pangeran Youtechin adalah seorang yang baik budi, juga gagah perkasa dan sama sekali tidak membenci kita bangsa Han."

   Tan Kun Tek mengangguk-angguk, lalu memandang Cun Giok.

   "Bagaimana dengan pendapatmu, Cun Giok?"

   "Pek-hu (Uwa), saya belum pernah bergaul dengan dia, akan tetapi saya dapat menerangkan bahwa ketika saya bertanding melawannya, dia memiliki ilmu silat yang amat tangguh. Kalau saja saya tidak unggul dalam gin-kang, belum tentu saya dapat mengalahkannya. Juga dia gagah perkasa, tidak mau melakukan pengeroyokan dan dengan jujur mengakui kekalahannya."

   Mendengar keterangan Ceng Ceng dan Cun Giok, lega dan giranglah hati Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu. Tan Kun Tek lalu berkata,

   "Akan tetapi kalau dia seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, bagaimanakah perjodohan itu akan diaturnya? Biarpun dia bangsawan tinggi, kita tidak ingin menikahkan puteri kita tanpa disertai peraturan umum. Kita tidak mau merendahkan diri dan harus menjaga kehormatan kita!"

   "Tentu saja!" kata Ban-tok Niocu menyambut ucapan suaminya.

   "Biarpun dia pangeran, dia harus mengajukan pinangan secara resmi untuk menghormati keluarga kita!"

   "Harap Ayah dan berdua Ibu tidak khawatir," kata Ceng Ceng membela adiknya.

   "Saya dan Giok-ko yang menjadi saksi ketika Pangeran Youtechin berjanji kepada Adik Li Hong untuk mengirim pinangan secara resmi."

   "Bagus! Kalau begitu tidak ada masalah dan kami bertiga pasti menyetujuinya perjodohan itu!" kata Tan Kun Tek dan wajah Li Hong berseri-seri dan kedua pipinya tampak kemerahan sehingga ia kelihatan cantik jelita sekali! Akan tetapi tiba-tiba ia berkata, mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang.

   "Ayah dan berdua Ibu, aku tidak mau melangsungkan pernikahan kalau tidak berbareng dengan pernikahan Enci Ceng Ceng!"

   "Hong-moi......!!" Ceng Ceng berseru setengah menjerit karena terkejut dan heran.

   "Ha-ha, engkau ini aneh sekali, Li Hong. Bagaimana kalau Ceng Ceng belum mempunyai tunangan atau pilihan hatinya? Sampai kapan engkau akan menunggu?" kata Tan Kun Tek.

   "Ayah, Enci Ceng Ceng sudah yatim piatu dan sebatang kara. Karena ia menjadi enci angkatku, dengan sendirinya ia menjadi anak angkat Ayah dan berdua Ibu. Maka sudah seharusnya kalau Ayah yang menjadi wali dan sebagai Ayah angkatnya bersedia menerima pinangan dari calon suaminya!" kata pula Li Hong tanpa mempedulikan gerakan tangan Ceng Ceng yang memprotesnya.

   "Aih, jadi ia sudah mempunyai pilihan? Tentu saja kami bertiga senang sekali menjadi walinya dan mewakili orang tuanya yang sudah tidak ada untuk menerima pinangan itu! Siapa yang akan datang meminang?"

   "Yang meminang adalah Ayah sendiri!" kata Li Hong sambil cekikikan menahan tawa.

   "Hei, gilakah engkau, Li Hong? Aku mengajukan pinangan kepada aku sendiri? Bagaimana ini? Apakah engkau sudah mabok?" tanya Tan Kun Tek heran dan kedua orang wanita itu pun memandang anak perempuan mereka dengan bingung.

   "Ayah menerima pinangan sebagai wali atau wakil Enci Ceng Ceng dan Ayah mengajukan pinangan sebagai wali atau wakil Kakak Pouw Cun Giok! Dia juga sudah yatim piatu dan sebatang kara, maka sudah semestinya kalau Ayah sebagai uwanya mewakilinya, bukan?"

   Tan Kun Tek menjadi bingung.

   "Wah"" ini"" ini bagaimana? Bagaimana dilaksanakannya? Masa aku mengajukan pinangan kepadaku sendiri?"

   "Hi-hik, mudah saja diatur urusan itu!" tiba-tiba Ban-tok Niocu berkata.

   "Koko, engkau mewakili Cun Giok mengajukan pinangan atas Ceng Ceng dan akulah yang menjadi wakil Ceng Ceng untuk menerima pinangan itu. Beres, bukan?"

   "Bagus! Bagus! Sekarang bereslah sudah!" Li Hong bersorak.

   Semua orang tertawa, kecuali Cun Giok dan Ceng Ceng yang hanya menundukkan muka mereka yang berubah kemerahan.

   "Nanti dulu!" Tan Kun Tek berkata sehingga mereka yang tertawa berhenti dan memandang kepadanya.

   "Jangan tertawa dan bergembira lebih dulu. Sebagai wakil-wakil dua orang yang akan berjodoh, sudah semestinya kita bertanya dulu kepada yang bersangkutan. Cun Giok, bagaimana kalau aku menjadi walimu dan mengajukan lamaran kepada Ceng Ceng?"

   Curi Giok semakin menunduk dan menahan senyum malu-malu.
"Hei, bagaimana ini? Giok-ko, mengapa engkau begini malu-malu seperti seorang gadis saja? Hayo jawablah pertanyaan Ayah!" kata Li Hong.

   "Benar, Cun Giok, jawablah, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Ceng Ceng?" desak Tan Kun Tek.

   Cun Giok melempar pandang ke arah Ceng Ceng yang masih menunduk. Dia khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati gadis itu. Maka dengan hati tegang dia terpaksa mengangguk dan menjawab lirih sekali.

   "Saya...... bersedia, Pek-hu......"

   "Apa jawabmu? Kurang jelas, Cun Giok. Jawablah yang jelas, engkau bersedia atau tidak?" desak Tan Kun Tek yang pura-pura tidak mendengar.

   "Saya...... bersedia!" kata Cun Giok lebih lantang.

   "Bagus!" kata Tan Kun Tek yang kini dengan gaya lucu menghadap ke arah isterinya yang kedua.

   "Ban-tok Niocu, aku mewakili Pouw Cun Giok untuk melamar anak angkatmu Liu Ceng Ceng. Bagaimana, apakah lamaranku itu dapat kauterima?"

   "Nanti dulu, akan kutanyakan kepada yang bersangkutan. Liu Ceng Ceng, engkau sudah mendengar sendiri lamaran dari Pouw Cun Giok yang diwakili uwanya, sekarang jawablah dengan jelas, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Pouw Cun Giok?"

   Tanpa mengangkat mukanya, Ceng Ceng semakin menundukkan muka dan menjawab dengan suara menggetar.

   "Saya...... bersedia......"

   "Bagus! Selamat, Enci Ceng......!" Li Hong bersorak dan merangkul Ceng Ceng.

   Akan tetapi pada saat itu, Ceng Ceng menangis tersedu-sedu! Gadis ini merasa terharu sekali karena teringat akan ayah ibunya yang tidak dapat menyaksikan kebahagiaannya itu. Li Hong maklum dan sambil merangkul Ceng Ceng ia ikut menangis. Nyonya Tan juga mendekati mereka dan merangkul sambil menangis terharu. Hanya Ban-tok Niocu yang memandang sambil tersenyum, akan tetapi tanpa ia sadari kedua matanya menjadi basah!

   Melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu, Cun Giok juga teringat kepada orang tuanya dan dia merasa kasihan kepada Ceng Ceng dan juga terharu, maka dia menundukkan mukanya dan menahan suara tangisnya, akan tetapi air mata menetes-netes ke atas sepasang pipinya!

   Sejenak Tan Kun Tek membiarkan keharuan mereka larut melalui air mata, kemudian dia berseru.

   "Hei, apa-apaan ini? Kita mestinya bergembira ria, mengapa malah bertangis-tangisan? Hayo cepat hapus air matamu dan kita harus rayakan kebahagiaan ini dengan minum arak untuk mengucapkan selamat kepada tiga orang calon pengantin kita!"

   Mendengar teriakan ini, semua orang mengusap air mata mereka dan tak lama kemudian, dengan mulut tersenyum namun mata basah, keluarga itu minum arak merayakan kebahagiaan mereka.

   Tepat seperti yang telah dijanjikannya, tak lama kemudian utusan resmi dari Pangeran Banagan datang ke Pulau Ular. Rombongan ini diutus Pangeran Banagan di kota raja untuk mengajukan pinangan puteranya, Pangeran Youtechin, kepada Tan Li Hong. Rombongan yang membawa mas kawin amat mewah dan berharga itu disambut dengan kehormatan oleh keluarga Majikan Pulau Ular. Pinangan diterima dan keluarga itu minta disampaikan usul mereka agar upacara pertemuan pengantin diadakan dan akan dirayakan di Pulau Ular sebagai pasangan pengantin kembar, yaitu Tan Li Hong berpasangan dengan Pangeran Youtechin, dan Liu Ceng Ceng berpasangan dengan Pouw Cun Giok. Juga keluarga itu mengusulkan hari perkawinan agar disampaikan kepada keluarga Pangeran Youtechin.

   Usul dari keluarga Pulau Ular itu diterima baik dan demikianlah, beberapa bulan kemudian, pada waktu yang telah ditetapkan, Pulau Ular tampak meriah sekali. Semua tempat berbahaya yang dipasangi jebakan telah disingkirkan sehingga pulau itu menjadi tempat yang indah menyenangkan. Tamu-tamu dari kalangan persilatan datang mengalir, termasuk partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Thai-san-pai dan lain-lain. Apalagi yang menikah adalah Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok yang banyak dikenal di dunia kang-ouw dan dihormati banyak golongan. Juga tamu-tamu para bangsawan untuk menghormati pernikahan Pangeran Youtechin hadir sehingga pulau itu menjadi tempat pesta yang amat meriah.

   Di antara mereka yang datang berkunjung, terdapat pula The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga dengan dua orang puterinya, The Kui Lan dan The Kui Lin yang kembar, bersama tunangan mereka yang sudah diresmikan Liong Kun dan Thio Kui, dua orang pemuda pendekar Bu-tong-pai itu. Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, penghuni Bukit Merak, juga diundang, akan tetapi mereka tidak datang hanya mengirim utusan mengantarkan sumbangan karena datuk itu masih merasa penasaran bahwa Pouw Cun Giok tidak bersedia menjadi suami puterinya, dan Cu Ai Yin merasa malu untuk menghadiri hari pernikahan itu, di samping merasa kecewa karena cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

   Setelah berdiam di Pulau Ular selama sepekan, sepasang mempelai meninggalkan pulau itu. Li Hong diboyong suaminya ke kota raja di mana keluarga Pangeran Youtechin akan menyambut sepasang mempelai itu dengan pesta meriah yang dihadiri oleh keluarga istana dan para pembesar.

   Ada pun Pouw Cun Giok dan Ceng Ceng juga meninggalkan pulau. Tan Kun Tek dan dua orang isterinya sudah minta dengan sangat agar mereka berdua tinggal di Pulau Ular, akan tetapi sepasang mempelai baru itu menolak dengan halus. Ceng Ceng ingin bersama suaminya kembali ke Nan-king ke bekas rumah orang tuanya yang disita pemerintah daerah. Berkat surat perintah yang mereka terima dari Pangeran Youtechin, mereka akan dapat memiliki kembali rumah itu tanpa ada yang berani mengganggu mereka. Atas nasihat Tan Kun Tek dan dua orang isterinya, harta karun yang dibawa Ceng Ceng dan Cun Giok dari Thai-san itu disimpan di Pulau Ular, tempat yang aman dan kelak akan mereka serahkan kepada yang berhak, yaitu kalau muncul pimpinan sejati bagi rakyat jelata untuk berjuang mengusir penjajah Mongol dari tanah air!

   Demikianlah kisah ini diakhiri dengan catatan pengarang bahwa pikiran manusia terombang-ambing antara suka dan duka. Tidak ada suka yang berkelanjutan dan mulus, tidak ada pula duka yang berkelanjutan dan tiada perubahan. Ada kalanya orang merasa hidup ini sengsara, untuk kemudian berubah dengan perasaan bahwa hidup ini senang. Karena hidup ini tidak terlepas dari pengaruh Im-Yang (Positive Negative), maka suka dan duka saling bergantian muncul dalam kehidupan manusia seperti munculnya siang dan malam.

   Namun bagi manusia yang lahir batinnya menyerah kepada Kekuasaan Tuhan, maklum bahwa suka duka itu hanya ulah pikiran belaka, maka dia yang berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, akan menerima segala apa pun yang terjadi pada dirinya dengan sabar dan bersyukur karena baik pahit maupun manis ternilai oleh pikiran, semua yang terjadi itu sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan di balik semua itu dia yakin ada hikmahnya yang amat berharga baginya. Maka dia tidak akan tenggelam dan putus asa di kala datang duka dan tidak akan mabok dan lupa diri di kala datang suka.

   TAMAT

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)