PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 06

 



   Tidak mengherankan kalau kota ini menjadi makmur karena perdagangan hidup subur. Toko-toko besar dibuka siang malam. Rumah-rumah penginapan dan restoran-restoran yang besar dan mewah selalu penuh tamu. Perdagangan yang subur menawarkan penampungan tenaga kerja yang luas sehingga rakyat kecil pun dapat memperoleh penghasilan yang memadai.

   Kemakmuran yang merata dalam arti kata tidak ada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, kurang sandang pangan dan papan, dapat menjadi kenyataan apabila ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat yang terbagi dua menjadi si pemilik modal kerja dan si pemilik tenaga kerja. Pemerintah berkewajiban memperhatikan nasib si pemilik tenaga kerja, melindungi dan membelanya agar hasil perolehan dari tenaga mereka dihargai dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, akan tetapi tanpa menekan dan menindas si pemilik modal kerja! Diatur kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga pemilik modal bergantung kepada pemilik tenaga, demikian pula sebaliknya. Si pemilik modal mengeluarkan uangnya untuk membuka perusahaan sehingga dapat menampung tenaga kerja dan si tenaga kerja mengeluarkan tenaga dan keahliannya untuk memutar jalannya roda perusahaan.

   Perlu bantuan pengaruh pemerintah agar si pemilik modal tidak mementingkan keuntungan pribadi
belaka, melainkan harus membagi keuntungan perusahaannya dalam bentuk upah yang mencukupi kebutuhan umum si tenaga kerja. Sebaliknya si tenaga kerja tidak hanya menuntut dipenuhinya upah yang cukup, akan tetapi juga harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk bekerja dengan setia dan jujur. Dengan cara "memberi dan menerima" semua pihak ini, bukan lamunan kosong lagi kata "makmur" bagi seluruh rakyat.

   Setelah melakukan perjalanan sebulan lebih, barulah Siang Ni tiba di kota So-couw. Di sepanjang perjalanan, gadis itu banyak mendengar tentang seorang pendekar muda di dunia kang-ouw yang melakukan banyak hal yang menggemparkan. Orang-orang tidak mengetahui nama pendekar ini, hanya nama julukan pendekar itu yang dikenal orang, yaitu Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Julukan ini diberikan orang kepadanya untuk menyatakan kekaguman orang terhadap pendekar ini yang amat luar biasa sehingga seolah dia tidak memiliki bayangan saking cepat gerakannya.

   Pendekar muda ini, dengan beraninya, seorang diri, mengobrak-abrik sarang penyamun, mendatangi hartawan-hartawan pelit dan pembesar-pembesar lalim, mengambil sebagian harta mereka dan memberi ancaman yang mengerikan. Pada malam itu juga, ketika hartawan atau bangsawan kehilangan sebagian harta mereka, di dusun-dusun dan tempat-tempat kumuh tempat tinggal mereka yang menderita sengsara, para penduduk miskin itu menemukan emas dan perak yang secara aneh jatuh dari atap sehingga mereka yang sengsara itu mendapat hiburan besar. Yang sakit dapat membeli obat, yang kelaparan dapat membeli makanan, yang tercekik hutang berbunga berat dapat membayar hutangnya!

   Seorang hartawan atau bangsawan marah-marah karena sebagian kecil hartanya lenyap, akan tetapi pada saat yang sama, puluhan keluarga miskin merasa tertolong dan bergembira. Seorang hartawan atau bangsawan memaki dan menyumpahi Bu-eng-cu, akan tetapi puluhan keluarga memuji dan mendoakan panjang umur bagi Si Tanpa Bayangan! Baik hartawan atau bangsawan itu, maupun puluhan keluarga si miskin, sama sekali tidak melihat orangnya, hanya tampak bayangan berkelebat lalu lenyap! Karena kecepatan gerakan yang menandakan bahwa pendekar itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat tinggi tingkatnya, maka dia diberi julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan.

   Diam-diam Siang Ni merasa kagum mendengar akan nama besar Bu-eng-cu yang baru muncul di dunia kang-ouw namun sudah amat terkenal itu.

   "Kalau saja aku tidak mempunyai tugas penting yang harus kulakukan, aku akan suka sekali mencari dan berkenalan dengan Bu-eng-cu dan kalau mungkin bekerja sama dengan dia melakukan tugas sebagai pendekar sejati!" pikirnya. Akan tetapi pikirannya itu hanya mendatangkan kesedihan belaka karena kembali ia diingatkan akan keadaannya yang tidak memungkinkan ia hidup bahagia lagi. Sebatang kara, ternoda, aib melumuri dirinya! Tidak ada harapan untuk dapat hidup berbahagia lebih lama lagi!

   Setelah berada di So-couw, Siang Ni teringat kembali akan cerita mendiang ibunya. Ia harus mencari manusia berwatak binatang bernama Can Sui itu, yang dahulu menjadi pengkhianat dan yang menyebabkan kehancuran keluarga ibunya.

   "Aku harus mencari si jahanam Can Sui!" katanya dalam hati, penuh dendam.

   Siang Ni menyewa sebuah kamar dalam rumah penginapan yang besar. Dipilihnya sebuah kamar di ujung paling belakang. Kemudian ia mulai dengan penyelidikannya, mencari keterangan tentang seorang bernama Can Sui. Akan tetapi, kota So-couw adalah sebuah kota besar dan amat sukar mencari seseorang tanpa mengetahui di mana dia tinggal.

   Sampai sehari penuh mencari keterangan, belum juga ia menemukan jawaban di mana adanya orang yang dicarinya itu. Dengan hati mengkal ia hendak kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi tiba-tiba timbul keinginan di dalam hatinya untuk mengetahui di mana gerangan dahulu ibunya tinggal. Maka ia lalu mencari keterangan tentang bekas rumah tinggal keluarga Pouw yang duapuluh tahun lalu terbasmi habis oleh pasukan kerajaan.

   Setelah bertanya sana-sini tanpa mendapat jawaban pasti, Siang Ni duduk di rumah makan depan rumah penginapannya untuk makan. Sejak pagi ia belum makan dan perutnya terasa lapar. Seorang pelayan restoran melayaninya. Pelayan itu berusia sekitar limapuluh tahun dan begitu berhadapan dengan Siang Ni, dia menatap wajah gadis itu dengan penuh keheranan karena bagi dia, wajah gadis yang cantik itu terasa tidak asing! Akan tetapi dia merasa belum pernah berkenalan dengan gadis ini, maka dia segera menundukkan muka dan melayaninya dengan hormat.

   Setelah selesai makan dan membayar harga makanan, secara sambil lalu ia bertanya kepada pelayan.

   "Lopek, apakah engkau mengetahui di mana rumah bekas tempat tinggal keluarga Pouw yang sekitar duapuluh tahun lalu terbasmi oleh pasukan pemerintah?"

   Kakek itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Nona, di So-couw terdapat banyak pemandangan indah. Nona tentu seorang dari luar kota, mengapa Nona mencari tempat bekas gedung keluarga yang gagah berani akan tetapi yang bernasib buruk itu?" Di dalam suara kakek itu terkandung keharuan besar, membuat Siang Ni tertarik sekali.

   "Lopek, karena sudah lama mendengar akan kegagahan keluarga Pouw itu yang membuat aku merasa kagum sekali, maka aku ingin melihat rumah bekas tempat tinggal mereka, sungguhpun hanya merupakan bekas-bekasnya saja," jawab Siang Ni dengan menekan perasaan harunya.

   Kakek itu membersihkan meja di depan Siang Ni dengan kain yang selalu dibawanya dan dia berkata dengan suara serius.

   "Kebetulan sekali Nona bertanya kepadaku. Akulah orangnya yang akan dapat memberi keterangan lengkap tentang keluarga Pouw, karena aku dahulu menjadi pelayan di gedung mereka." Kemudian disambungnya lirih.

   "Dan hanya aku seorang yang berhasil melarikan diri dan lolos dari bencana yang menimpa keluarga itu."

   Hati Siang Ni berdebar tegang. Setelah mencari ke mana-mana tanpa mendapat jawaban tepat, kini secara iseng-iseng ia bertanya kepada orang yang ternyata bekas pelayan keluarga ibunya! Cepat ia mengeluarkan sepotong uang emas dan diberikannya kepada kakek itu.

   "Lopek, tolong kautunjukkan kepadaku bekas tempat itu. Ini uang untukmu."

   Melihat hadiah sebesar itu, Si Kakek Pelayan membungkuk-bungkuk berterima kasih dengan perasaan girang dan heran, lalu dia menyimpan uang itu dalam saku bajunya dan cepat memberitahu kawan-kawan sekerjanya bahwa dia akan keluar sebentar mengantar tamu wanita itu. Maka keluarlah Siang Ni mengikuti kakek itu dari rumah makan.

   "Lopek, ceritakanlah kepadaku peristiwa keluarga Pouw itu," kata Siang Ni dalam perjalanan.

   Sekali lagi Siang Ni mendengar cerita yang pernah didengar dari mulut ibunya dahulu.

   "Mereka semua tewas," kata kakek itu mengakhiri ceritanya dengan muka berduka.

   "Tak seorang pun selamat, seluruh anggauta keluarga itu dibantai. Bahkan Nona Sui Hong....... ah, kasihan sekali ia, telah tertawan dan kabarnya tewas karena sengsara di kota raja. Siapakah yang akan tahan hidup menjadi tawanan? Ah, kasihan sekali Nona Sui Hong yang cantik jelita, yang dulu terkenal sebagai Kembang So-couw. Ah, tentu anjing-anjing biadab itu telah merusaknya......."

   "Engkau tadi menceritakan bahwa dalam peristiwa pembasmian keluarga Pouw itu ada pengkhianatnya. Siapakah dia, Lopek?" tanya Siang Ni dengan suara biasa, padahal di dalam hatinya ia menjerit mendengar kakek itu menyebut nama ibunya.

   "Bajingan itu bernama Can Sui. Dikutuk Thian setan keparat itu! Dia tergila-gila kepada Nona Pouw Sui Hong! Memang Nona Pouw...... eh......" kakek itu memandang Siang Ni.

   "Ketika itu, Nona Pouw Sui Hong seperti engkau ini, Nona. Sama tinggi langsingnya, sama usianya dan eh...... hampir serupa juga wajah Nona dengan wajahnya......."

   Siang Ni merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia segera bertanya.

   "Lopek, di manakah adanya pengkhianat itu sekarang? Masih hidupkah dia?"

   Tiba-tiba pelayan itu tertawa geli dan tampak puas.

   "Dia masih hidup, biarpun hanya setengah hidup! Ha, rasakan sekarang bedebah itu!"

   "Eh, apa maksudmu, Lopek?"

   "Engkau lihat saja sendiri, Nona. Kita sudah dekat dengan reruntuhan gedung yang sudah dibakar itu. Engkau lihat sendiri saja......."

   "Melihat Can Sui.......?" Hati Siang Ni berdebar tegang.

   Kakek itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka mempercepat perjalanan mereka menuju ke sebuah gedung yang tinggal tembok-temboknya saja, yang keadaannya kotor tidak terawat dan menjadi sarang laba-laba dan mungkin menjadi sarang hantu dan roh-roh penasaran. Keadaannya demikian menyeramkan dan letaknya di jalan yang sepi lagi. Mungkin di waktu malam, jarang ada orang yang berani lewat di depan bekas rumah yang tinggal reruntuhan itu.

   Kakek itu mengajak Siang Ni memasuki halaman bekas gedung dan terdengar napas kakek itu terisak ketika mereka tiba di situ. Ternyata kakek pelayan itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air mata menitik turun ke atas pipinya yang kurus.

   "Inilah gedung bekas keluarga Pouw Nona. Semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi pelayan mereka, dan aku tinggal di sini sampai berusia tigapuluh tahun lebih. Aku sudah merasa menjadi anggauta keluarga sendiri...... kasihan sekali mereka itu......."

   Siang Ni menahan keharuan hatinya dan diam-diam ia menghapus air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya dengan tangan.

   "Dan mana itu pengkhianat she Can yang kaukatakan, Lopek?"

   Mendengar pertanyaan ini, wajah kakek itu tiba-tiba berseri kembali, seakan-akan nama itu merupakan hiburan baginya. Tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk dari sebelah dalam dan kakek itu berkata.

   "Nah, itu dia! Kalau sudah mulai gelap begini dia datang dan bermalam di bekas gedung ini, menangis seorang diri. Kalau siang dia keluar untuk mengemis makanan."

   "Kaumaksudkan, si pengkhianat Can Sui itu kini menjadi pengemis?"

   "He-heh, bukan mengemis saja, juga otaknya sudah miring. Memang Thian Maha Adil dan tidak menghendaki manusia berbuat jahat tanpa hukuman yang setimpal."

   Dengan tidak sabar Siang Ni melangkah masuk, diikuti kakek pelayan itu yang mulai merasa heran mengapa nona ini begitu tabah dan berani memasuki bekas gedung yang kelihatan begitu menyeramkan. Banyak laki-laki kota So-couw tidak berani mendekati gedung itu di waktu matahari sudah terbenam karena orang percaya bahwa bekas gedung ini telah menjadi rumah hantu!

   Mereka berjalan masuk sampai ke ruangan dalam dan cuaca di situ masih belum begitu gelap karena tidak ada atapnya sehingga sinar matahari sore masih dapat menerangi ruangan itu. Setelah memasuki ruangan, Siang Ni dan kakek pelayan itu berhenti melangkah. Siang Ni memandang ke sudut ruangan di mana seorang laki-laki sedang berlutut dan menangis!

   "Itulah dia manusia keparat bernama Can Sui!" kakek itu berkata dengan nada membenci.

   "Jahanam!!" Siang Ni membentak sedemikian kerasnya sehingga tidak saja kakek pelayan itu yang menjadi kaget sekali, juga orang yang sedang menangis itu terkejut dan dia melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Ni dan kakek pelayan itu. Akibat pertemuan ini benar-benar mendatangkan rasa kaget dan heran bagi mereka bertiga sungguhpun kekagetan dan keheranan mereka itu masing-masing berbeda sebabnya.

   "Kau......?!?" seru orang yang menangis tadi ketika dia melihat Siang Ni, menunjukkan bahwa dia mengenal gadis itu.

   "Suma Cun Giok jahanam keparat! Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk mampus!" bentak Siang Ni kepada orang itu yang bukan lain adalah Suma Cun Giok.

   Memang, pemuda ini datang mengunjungi gedung bekas tempat tinggal keluarga ayahnya yang telah terbasmi habis dan ketika dia tiba di situ, dia tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis tersedu-sedu seorang diri.

   Reaksi yang diperlihatkan kakek pelayan itu lebih hebat lagi. Dia memandang kepada Cun Giok dengan mata melotot, lalu menoleh kepada Siang Ni, dan tiba-tiba dia menangis sambil menjatuhkan diri berlutut.

   "Aku melihat....... aku melihat....... mohon arwah Tuan Muda Pouw Keng In dan Nona Pouw Sui Hong sudi mengampuni hamba......."

   Dia berulang-ulang memberi hormat dengan kedua tangan diangkat terkepal sambil membungkuk dalam kepada Siang Ni yang dia sebut Nona Pouw Sui Hong dan kepada Cun Giok yang dia sebut Tuan Muda Pouw Keng In. Kemudian dia menangis perlahan sambil terus berlutut. Dalam anggapan kakek yang tenggelam dalam kesedihan itu, dia bertemu dengan arwah kedua orang majikannya yang sudah tewas.

   Ucapan kakek itu membuat Siang Ni dan Cun Giok saling pandang. Siang Ni sudah maklum apa yang dimaksud kakek itu, akan tetapi Cun Giok tidak mengerti dan terheran-heran mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayah dan bibinya.

   "Kau...... mengapa engkau datang ke tempat ini? Engkau siapakah, Nona? Dan kakek ini siapa pula?" tanya Cun Giok. Tentu saja dia masih ingat kepada Siang Ni sebagai gadis lihai yang pernah menyerangnya ketika dia dahulu menyerbu ke rumah gedung Pangeran Lu Kok Kong di kota raja.

   "Di sini bekas rumah Ibuku, mengapa aku tidak boleh datang? Engkau ini keparat jahanam, mengapa pula berani mengotori tempat yang suci ini?" bentak Siang Ni.

   Suma Cun Giok terbelalak.

   "Apa......? Engkau...... anak Bibi Pouw Sui Hong? Tidak mungkin! Ah, bagaimana ini......? Tidak mungkin......!" Dia menjadi bingung sekali.

   "Manusia jahat, engkaulah yang mengaku-aku! Siapa itu Bibimu? Ibuku bukan Bibimu dan engkau bukan anggauta keluarga Pouw!"

   "Aku putera tunggal ayahku Pouw Keng In!" jawab Suma Cun Giok marah.

   "Bohong! Margamu bukan Pouw melainkan Suma, dan kalau engkau benar putera mendiang Paman Pouw Keng In, tidak mungkin engkau datang membunuh Ayah Ibuku!"

   "Siapa Ayahmu? Bagaimana engkau berani bilang aku membunuh Ibumu?" Cun Giok berteriak, penasaran.

   "Ayahku adalah Pangeran Lu Kok Kong. Tanpa sebab engkau telah membunuhnya secara keji dan Ibuku menyusul ke alam baka karena berduka. Bukankah berarti engkau telah membunuh Ibuku pula? Dan engkau mau mengaku bahwa Ibuku itu Bibimu? Anjing jahanam, terimalah pembalasanku!" Siang Ni tidak dapat menahan sabar lagi dan cepat ia menyerang dengan pedangnya.

   Mendengar ucapan ini, Cun Giok kaget setengah mati. Benarkah apa yang dikatakan gadis itu? Sebelum membunuh Pangeran Lu, dia mendengar keterangan bahwa bibinya sudah tewas dalam keadaan sengsara. Apakah benar bibinya menjadi isteri Pangeran Lu dan bahkan telah mempunyai seorang puteri, yaitu gadis ini?

   Akan tetapi dia tidak sempat memikirkan lebih lanjut karena sinar emas telah menyambar ke arah dadanya dengan gerakan yang amat dahsyat. Namun tingkat kepandaian Cun Giok sudah jauh Iebih maju daripada dahulu. Dia telah digembleng selama setahun lebih oleh Pak Kong Lojin, yaitu Susiok-couwnya yang bertapa di puncak Ta-pie-san. Selain ilmu pukulan, terutama sekali dia mewarisi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa dari kakek gurunya sehingga kini Cun Giok memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Saking hebatnya kecepatan gerak pemuda itu, dia mendapat julukan Bu-eng-cu.

   Kini menghadapi serangan Siang Ni, hampir saja dia menjadi korban. Gerakannya yang amat cepat untuk mengelak itu ternyata masih belum dapat membebaskan sepenuhnya dari serangan pedang yang seperti kilat menyambar itu. Sinar kuning emas itu masih menyerempet dan mengenai pundaknya, mendatangkan luka walau hanya sedikit kulit pundak berikut bajunya yang terobek. Kelambatan Cun Giok dikarenakan dua hal. Pertama karena kaget dan heran mendengar pengakuan Siang Ni sebagai anak bibinya, dan kedua karena dia kaget pula melihat sinar pedang kuning emas yang dikenalnya sebagai pedang mendiang gurunya!

   Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa aneh disusul isak tangis. Dari luar tersaruk-saruk masuklah seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping, tangan kirinya memegang sebuah mangkok retak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat.

   "Sui Hong...... aku berdosa padamu, Sui Hong......" demikian ratap tangis laki-laki itu.

   "ampunkan aku, Sui Hong......."

   Mendengar ini, Siang Ni terkejut dan menghentikan serangannya kepada Cun Giok. Ia dan Cun Giok menatap wajah laki-laki jembel yang baru masuk, laki-laki ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, rambutnya riap-riapan, pakaiannya compang-camping, mukanya kotor dan matanya merah berputar-putar mengerikan.

   "Can Sui......!" Kakek pelayan itu membentak.

   "Lihat, siapa yang datang ini!"

   Mendengar bentakan ini, orang jembel itu cepat mengangkat muka memandang kepada Siang Ni dan Cun Giok berganti-ganti. Matanya terbelalak lebar dan tiba-tiba tubuhnya menggigil lalu dia menangis dan menjatuhkan diri berlutut di samping kakek pelayan yang masih berlutut dan meratap-ratap.

   "...... aduh...... Tuan Muda Pouw Keng In....... dan Nona Pouw Sui Hong....... ampunkan aku...... ampunkan aku yang berdosa .......!" Seperti juga kakek pelayan itu, orang gila ini agaknya mengira bahwa pemuda dan gadis itu adalah arwah dari bekas kedua orang majikannya dan mereka datang untuk menghukumnya!

   "Keparat, engkau harus mampus!" bentak Cun Giok melihat orang yang mengkhianati dan yang menyebabkan terbasminya seluruh keluarga Pouw itu.

   "Jahanam, rasakan pembalasanku!" Siang Ni juga membentak.

   Orang gila itu adalah Can Sui yang dahulu menjadi pelayan keluarga Pouw dan agaknya setelah keluarga Pouw terbasmi, dan dia sudah menghabiskan upah yang dia dapatkan sebagai hasil pengkhianatannya untuk berfoya-foya, merasa tersiksa batinnya sehingga menjadi gila. Mendengar bentakan dua orang muda itu dia menjerit-jerit sambil berlari keluar dari bekas gedung itu.

   Siang Ni dan Cun Giok seperti terkesima karena hati mereka terguncang sehingga setelah orang gila itu keluar dari bekas gedung, barulah mereka bergerak mengejar keluar. Gerakan mereka berbareng dan Siang Ni terkejut sekali mendapat kenyataan betapa gerakan pemuda itu luar biasa cepatnya dan ia tertinggal jauh! Ia merasa penasaran sekali dan ia sudah mempersiapkan sebatang panah tangan.

   Pada saat Cun Giok mengangkat pedang hendak dibacokkan ke arah leher orang gila itu, tiba-tiba terdengar angin berdesir dan tubuh Can Sui terjungkal. Sebatang anak panah menancap di lambungnya dan menewaskannya di saat itu juga!

   Cun Giok tertegun dan menengok. Dia tahu bahwa gadis itulah yang melepaskan anak panah secara istimewa sekali dan melihat cara gadis itu melepaskan panah tangan, dia menjadi terkejut dan terheran-heran. Mereka kini sudah tiba di luar gedung, di halaman gedung di mana dahulu orang tua mereka seringkali bermain-main. Kini mereka berhadapan sebagai musuh dan saling memandang dengan sinar mata tajam.

   Kembali Cun Giok melihat sesuatu yang membuatnya semakin heran, yaitu pedang Kim-kong-kiam di tangan gadis itu. Bagaimana ia dapat memegang pedang yang dulu adalah milik Suma Tiang Bun, gurunya?

   "Ibu, lihatlah! Pengkhianat Can Sui sudah kubunuh. Pembalasan pertama sudah terlaksana, Ibu. Sekarang lihat bagaimana aku membalaskan sakit hatimu dan Ayah terhadap bangsat rendah ini!" kata Siang Ni seperti berdoa dan matanya kini ditujukan kepada Cun Giok penuh ancaman.

   Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada Cun Giok yang masih bengong memandangnya, Siang Ni menyerang. Kini ia mengeluarkan pedang kedua lalu bersama Kim-kong-kiam, ia mainkan ilmu pedang yang paling diandalkan, yaitu Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis)! Sinar kuning emas dan putih bergulung-gulung menerjang ke arah Cun Giok.

   Pemuda ini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia hanya melakukan pertahanan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling kokoh kuat sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk perisai yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak membalas serangan gadis itu. Berkali-kali dia membentak agar Siang Ni menghentikan serangannya untuk bicara, akan tetapi Siang Ni tidak peduli dan terus menyerang dengan ganas.

   Tiba-tiba Siang Ni terkejut karena begitu tubuh lawannya berkelebat, ia kehilangan lawannya itu! Ini merupakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah hampir mencapai puncaknya! Ia teringat kepada kakek pertapa di Ta-pie-san dan diam-diam ia pun kagum sekali, walaupun kekaguman itu tidak dapat mengusir dendam kebenciannya.

   "Tahan!" Tiba-tiba terdengar Cun Giok berseru di belakangnya.

   Siang Ni membalikkan tubuhnya dan memandang pemuda itu dengan mata seolah berapi.

   "Mau bicara apalagi?" bentaknya.

   "Engkau mengaku keturunan keluarga Pouw, mengaku anak Bibiku Pouw Sui Hong, akan tetapi aku tidak percaya! Mari kita bicara lebih dulu sebelum pedang kita merobohkan seorang di antara kita!"

   "Pembunuh keji! Jangan banyak cakap!" Siang Ni membentak dan ia pun sudah menyerang lagi dengan dahsyat.

   Terpaksa Cun Giok mengeluarkan kepandaiannya dan untuk beberapa jurus dia terpaksa mencurahkan tenaga saktinya untuk bertahan dan tidak sempat bicara. Akhirnya dia dapat membuat Siang Ni bingung lagi karena dia telah menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya untuk berkelebatan dan terkadang lenyap dari penglihatan gadis itu. Setelah mendapat kesempatan, Cun Giok berkata lagi dengan lantang.

   "Engkau mencurigakan sekali! Kalau engkau memang anak Bibiku, bagaimana mungkin pedang Kim-kong-kiam milik Guruku bisa berada di tanganmu? Engkau penipu!"

   Mendengar makian ini, Siang Ni marah bukan main. Ia melompat mundur, menahan sepasang pedangnya. Mukanya menjadi merah, matanya berapi dan dadanya turun naik. Kemarahan menggelora dahsyat di dalam hatinya.

   "Anjing keparat! Engkau masih berani memaki aku penipu! Kaulah penipu besar, mengaku anak Pek-hu (Liwa) Pouw Keng In akan tetapi marganya Suma! Cih, tak tahu malu! Engkau mau tahu bagaimana pedang ini berada di tanganku? Setelah gurumu mampus di tangan guruku, pedang ini diberikan kepadaku oleh Suhu."

   Cun Giok begitu kaget sampai dia mundur dua langkah dan matanya terbelalak.

   "Apa? Engkau murid Kong Tek Kok?"

   "Betul! Engkau takut mendengar nama Suhu?" jawab Siang Ni dan entah mengapa, mukanya berubah merah sekali. Kong Tek Kok memang gurunya, akan tetapi, bukan sebagai guru saja. Lebih dari itu! Jauh lebih dari sekadar guru! Hanya sebentar Siang Ni merasa malu, karena ia menjadi terheran melihat keadaan Cun Giok. Pemuda itu menjadi pucat dan matanya memandang kepadanya dengan bengis.

   "Nona, kalau engkau memang murid Kong Tek Kok dan hendak mengadu nyawa dengan aku, silakan! Akan tetapi jangan engkau mempermainkan aku. Jangan engkau berani mengaku sebagai anak Bibiku Pouw Sui Hong!"

   "Orang gila! Memang Pouw Sui Hong itu Ibuku, Ibu kandungku! Ibuku hidup berbahagia dengan Ayah sampai engkau datang membunuh Ayah sehingga Ibu juga meninggal menyusul Ayah saking dukanya. Engkau keparat masih hendak memutar lidah lagi?"

   "Nanti dulu!" Cun Giok mengangkat tangan kiri ke atas melihat gadis itu hendak menyerang lagi.

   "Engkau bilang bahwa engkau anak Pangeran Lu Kok Kong dan Ibumu adalah Pouw Sui Hong?"

   "Apa kaukira aku memalsukan nama Ayah dan Ibu kandungku sendiri? Kakek bekas pelayan keluarga Pouw tadi berkata sendiri bahwa aku serupa benar dengan ibuku, Pouw Sui Hong!"

   "Tidak mungkin! Kalau engkau benar anak Bibi Pouw Sui Hong, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi murid Panglima Kong Tek Kok si jahanam besar itu? Tidak mungkin Bibi Pouw Sui Hong memperbolehkan puterinya menjadi murid panglima biadab itu!"

   "Mengapa??" Siang Ni bertanya penasaran, akan tetapi ia mulai mendapatkan perasaan yang tidak enak dan jantungnya berdebar.

   "Mengapa? Keluarga Pouw terbasmi habis oleh pasukan yang dipimpin oleh jahanam Kong Tek Kok. Ayah Ibuku, Kakek dan seisi rumah keluarga Pouw dibasmi dan dibunuhnya secara kejam. Bibi Pouw Sui Hong juga tertawan oleh Kong Tek Kok dan dibawa ke kota raja. Aku mendengar kabar dari orang banyak bahwa Bibi Pouw Sui Hong menjadi sengsara dan meninggal dunia di kota raja setelah oleh Kong Tek Kok diserahkan kepada Pangeran Lu sebagai selir. Bagaimana sekarang muncul engkau yang mengaku sebagai puteri Bibi Pouw Sui Hong akan tetapi juga mengaku menjadi murid jahanam Kong Tek Kok?"

   Mendengar kata-kata itu, makin lama wajah Siang Ni menjadi semakin pucat. Kedua kakinya menggigil dan suaranya mendesis ketika ia berkata.

   "Jahanam Suma Cun Giok, pembunuh Ayahku! Jangan engkau membohong......" akan tetapi suaranya tidak terdengar marah, melainkan penuh keraguan dan kekhawatiran.

   "Kaukira aku berbohong? Mana Kakek pelayan tadi, mari kita tanya kepadanya, tentu dia masih ingat kalau memang betul dia itu bekas pelayan keluarga Pouw!"

   Bagaikan diingatkan, Siang Ni berlari memasuki gedung yang sudah hampir gelap. Di situ kakek pelayan tadi masih berlutut ketakutan. Melihat masuknya Siang Ni dan pemuda yang keduanya dia anggap arwah Pouw Keng In dan Pouw Sui Hong, dia kembali menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya.

   "Lopek, jangan takut," kata Siang Ni.

   "Coba kauceritakan yang sebenarnya kepadaku. Ketika terjadi penyerbuan dan pembasmian keluarga Pouw, apakah engkau tahu siapa komandan pasukan yang dengan kejam sekali membunuh semua anggauta keluarga Pouw?"

   "Semua orang mengetahui, Nona. Dia itu......" Suaranya lirih, tampak ketakutan.

   "...... dia itu sekarang menjadi panglima besar, namanya Panglima Kong Tek Kok......"

   Siang Ni menjerit aneh, sepasang pedangnya terlepas dan jatuh di atas lantai. Tubuhnya lemas terkulai dan di lain saat ia jatuh pingsan dalam pelukan Cun Giok yang cepat menolong sebelum gadis itu roboh.

   Kenyataan bahwa Kong Tek Kok sendiri orangnya yang telah menjadi musuh besarnya selama ini, merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Siang Ni sehingga ia tidak kuasa menahannya dan roboh pingsan. Dan ia telah menjadi murid musuh besar itu, bahkan ia telah rela mengorbankan menyerahkan kehormatannya menjadi permainan Kong Tek Kok untuk dapat mewarisi ilmu tertinggi agar dapat membalas dendam kepada musuh besar keluarga Pouw!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lu Siang Ni baru siuman. Cun Giok yang mengetahui bahwa gadis itu menderita tekanan batin yang amat hebat, membiarkannya tidur pulas semalam, agar terlepas dari cengkeraman dan himpitan kaget, sesal dan duka. Ketika Siang Ni pingsan, dia memondongnya dan merebahkannya di atas sehelai tikar rombeng.

   Kakek pelayan itu menjaga di dekatnya dan kakek inilah yang memasak air dan membuat api unggun. Setelah mendengar keterangan Cun Giok, kakek ini baru menyadari bahwa dia berhadapan dengan keturunan majikan-majikannya. Dia merasa gembira sekali, seolah-olah semua itu terjadi dalam mimpi.

   Begitu siuman Siang Ni mengumpulkan hawa di dalam tubuhnya sehingga darahnya mengalir normal kembali dan hawa hangat memenuhi dadanya, mengembalikan tenaganya. Cepat ia melompat berdiri. Melihat dua batang pedangnya berada di sudut ruangan, ia melompat dan menyambarnya dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang pedang dan siap hendak menyerang. Ia memandang kepada Cun Giok yang duduk bersila di atas lantai dengan mata merah.

   "Suma Cun Giok, aku mengakui bahwa selama ini aku seperti buta, tidak tahu bahwa selama ini musuh besarku berada di dekatku. Akan tetapi engkau tetap musuh besarku pula karena engkau telah membunuh Ayahku. Bersiaplah engkau, kita tidak dapat hidup bersama di dunia ini. Seorang dari kita harus mati di ujung pedang!"

   Cun Giok bangkit berdiri dan memandang gadis itu dengan hati penuh haru dan iba. Pemuda ini tampak susah sekali, apalagi kalau dia teringat bahwa satu-satunya keluarganya adalah gadis ini, akan tetapi mereka berjumpa bukan sebagai saudara misan, melainkan sebagai musuh yang harus saling bunuh!

   "Betapapun juga, engkau adalah Adik misanku dan aku".. aku sudah merasa bersalah, Piauw-moi (Adik Misan). Agaknya Ayahmu dahulu merasa malu mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai isterinya sehingga dia membuat berita di luar bahwa Bibi Sui Hong sudah meninggal dunia. Andaikata aku tahu bahwa Bibi Sui Hong masih hidup, bahkan sudah mempunyai anak, kiranya aku tidak begitu gila untuk membunuh Ayahmu. Aku melakukan itu semata-mata untuk membalaskan sakit hati Bibi Pouw Sui Hong, yakni Ibumu! Siapa tahu kalau Bibi Sui Hong ternyata masih hidup....... bahkan sekarang meninggal dunia karena duka melihat suaminya terbunuh...... ahhh...... sekarang aku ingat akan seorang wanita cantik yang menjerit, mengatakan bahwa Pangeran Lu tidak berdosa! Dan aku seperti orang gila. Adikku, aku sudah berdosa terhadap Bibi Sui Hong dan suaminya, terhadap Ayah Ibumu. Kalau engkau hendak membalas dendam, engkau boleh bunuh aku. Aku tidak akan melawan lagi......." Setelah berkata demikian, Cun Giok mengembangkan kedua lengannya, membuka dada menghadapi Siang Ni.

   


   
Melihat ini, hati Siang Ni yang keras menjadi lemas. Ia teringat akan kata-kata terakhir ibunya bahwa ia tidak boleh memusuhi kakak misannya ini dan bahwa sebetulnya ayahnya bukan tidak bersalah sama sekali. Melihat banyaknya isteri ayahnya, Siang Ni dapat menduga bahwa ayahnya tentu seorang laki-laki mata keranjang dan dahulu tentu telah tertarik kepada ibunya sehingga Panglima Kong Tek Kok memberikan ibunya sebagai hadiah! Sakit sekali rasa hatinya memikirkan ini dan kebenciannya tertumpuk kepada Kong Tek Kok.

   "Cabut pedangmu!" ia membentak.

   "Tak mungkin keturunan Pouw lahir sebagai seorang pengecut! Kalau engkau benar laki-laki, pertahankan kehormatanmu. Kalau engkau tidak mau melawan, aku pun tidak akan membunuhmu begitu saja, akan tetapi selamanya engkau akan terkutuk sebagai seorang laki-laki pengecut yang mencemarkan nama dan kehormatan keluarga Pouw yang gagah perkasa!"

   Mendengar ini, wajah Cun Giok menjadi merah sekali. Dia melangkah mundur dan berkata dengan suara tegas.

   "Dengarlah, bocah lancang mulut dan sombong! Siapa takut padamu? Aku tidak melawan karena aku memang menyesal sekali bahwa aku yang menjadi sebab kematian Bibi Pouw Sui Hong. Engkau mau aku melawanmu sehingga seorang di antara kita mati di ujung pedang? Hemm, aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi aku tidak bermaksud mempergunakan senjata terhadap puteri Bibi Sui Hong. Senjata dan kepandaianku kusiapkan untuk membalas dendam kepada keparat jahanam Kong Tek Kok! Apakah engkau bertekad untuk melindungi gurumu itu dan menghalangi maksudku untuk membalas dendam kepadanya? Kalau engkau bertindak sebagai murid Kong Tek Kok dan membelanya, aku bersedia untuk mengadu kepandaian denganmu, karena kalau engkau membela Kong Tek Kok, berarti engkau pun menjadi musuh besar keluarga Pouw!"

   "Jangan menghina!" Siang Ni menjerit.

   "Siapa sudi menjadi pelindung keparat jahanam itu? Aku tidak rela orang lain yang membunuhnya! Tanganku sendiri yang akan merenggut nyawanya dari tubuhnya yang hina dina. Akan tetapi, engkau adalah pembunuh Ayahku, karena itu sudah sepatutnya aku membalas dendam atas kematian Ayah!"

   Sikap Cun Giok menjadi lemah kembali. Dia menarik napas panjang dan berkata lembut.

   "Kalau begitu soalnya, kalau engkau hendak membunuhku karena membalas dendam atas kematian Ayah Ibumu, aku rela menerima kematian di ujung pedangmu. Hanya sayang...... aku belum sempat mencari si keparat Kong Tek Kok. Kalau saja aku sudah berhasil membunuhnya sebagai pembalasan terhadap keluargaku, aku rela kauapakan juga......."

   Untuk beberapa lama Siang Ni ragu-ragu. Tiba-tiba ia melompat keluar dari ruangan itu dan terdengar suaranya dari luar.

   "Baik! Aku akan membunuh keparat Kong Tek Kok lebih dulu, baru kelak kita akan membuat perhitungan!"

   Cun Giok mengejar keluar.

   "Piauw-moi......! Mari kita bersama membalas dendam keluarga kita".!"

   Akan tetapi Siang Ni sudah pergi jauh dan tidak mau menjawab lagi. Cun Giok memberi beberapa potong emas kepada kakek bekas pelayan keluarganya itu dan berpesan agar segala yang dilihat dan didengarnya di dalam bekas gedung itu tidak diceritakan kepada orang lain. Juga bekas pelayan itu diminta untuk mengurus mayat Can Sui sebagaimana mestinya. Kakek bekas pelayan keluarga Pouw itu berterima kasih sekali dan menaati pesan Cun Giok. Setelah mengucapkan terima kasih, Cun Giok meninggalkan So-couw dan menyusul ke kota raja.

   Dalam perjalanan menuju kota raja, kadang-kadang Siang Ni menangis dengan air mata bercucuran.

   "Thian Yang Maha Kuasa, mengapa begini sengsara nasibku......?" Ia mengeluh berulang kali. Kebencian terhadap Panglima Kong Tek Kok meluap-luap.

   Tadinya ia memang sudah mempunyai rasa muak yang luar biasa terhadap gurunya yang telah melakukan perbuatan keji terhadap dirinya. Kalau tadinya ia masih menahan-nahan perasaan benci itu karena tidak ada alasan, kini kebenciannya meluap. Sudah ia bayangkan bagaimana pertemuannya dengan gurunya itu nanti. Ia tidak akan bersabar lagi dan akan langsung menyerangnya sambil mencaci-maki. Ia merasa kuat melawan gurunya, biarpun gurunya memiliki kepandaian karena ia merasa bahwa kepandaian tinggi gurunya itu sudah diwarisinya. Tingkat kepandaiannya sekarang tidak akan berselisih banyak dengan tingkat gurunya. Mungkin tenaga dalamnya masih kalah kuat, namun ia merasa yakin bahwa ia menang dalam kecepatan gerakan. Pula, ia memegang Kim-kong-kiam, maka hatinya besar dan ia tidak perlu takut. Setiap hari dalam perjalanannya itu Siang Ni merencanakan bagaimana ia akan menyerang gurunya sehingga dalam perkelahian nanti gurunya itu takkan terhindar dari maut!

   Kalau ia teringat akan Cun Giok, ia menjadi bingung. Setelah ia mengetahui duduknya persoalan, ia tidak merasa benci lagi kepada pemuda itu. Biarpun pemuda itu telah membunuh ayah kandungnya, akan tetapi kalau ia renungkan, Pangeran Lu, ayah kandungnya itu, seakan-akan menjadi sekutu Kong Tek Kok.

   Kini mengertilah ia mengapa ibunya suka termenung dan ibunya menangis sedih mendengar ia bercerita tentang pertolongannya kepada para calon Siu-li. Mengapa ibunya sengaja menyembunyikan nama Kong Tek Kok darinya? Ibunya tentu maklum bahwa ia menjadi murid musuh besarnya sendiri, dan ibunya tentu tidak berdaya karena semua itu adalah kehendak ayahnya. Dan ayahnya dibunuh Cun Giok karena pemuda itu hendak membalaskan dendam ibunya yang disangka tersiksa dan tewas oleh ayahnya! Ah, semakin ia pikir, makin tipis pula niatnya untuk kelak membuat perhitungan dengan kakak misannya itu.

   Siang Ni tiba di kota raja pada senja hari. Ia tidak langsung menuju ke rumah gurunya, akan tetapi ia menuju ke gedung ayahnya. Ia disambut oleh semua ibu tirinya. Siang Ni menceritakan dengan singkat bahwa dalam mencari pembunuh ayahnya, ia belum berhasil. Kemudian dengan cerdik ia minta ibu tiri tertua bercerita tentang ibunya.

   "Ibumu memang anggauta keluarga Pouw di So-couw. Tadinya ketika mula-mula memasuki gedung ini, ia tampak berduka sekali sehingga kami harus menjaga keras agar jangan sampai membunuh diri. Akan tetapi, setelah ia mengandung dan akhirnya melahirkan engkau, sikapnya berubah dan ia tampak bahagia. Ia orang yang baik dan halus budinya sehingga kami semua merasa sayang padanya, Siang Ni," kata ibu tiri tertua.

   "Ibu dahulu diberikan oleh Panglima Kong Tek Kok kepada Ayah, bukan?"

   Semua ibu tirinya saling pandang. Hal ini sejak dahulu dirahasiakan sekali. Pangeran Lu Kok Kong dengan bengis mengancam akan menghukum siapa yang membuka rahasia ini kepada Siang Ni. Sekarang gadis itu sendiri mengatakan hal ini, mereka terheran-heran.

   "Bagaimana engkau bisa mengetahuinya, Siang Ni?" ibu tiri tertua bertanya. Pertanyaan ini saja sudah melenyapkan keraguan di hati Siang Ni. Jelaslah bahwa Kong Tek Kok memang orang yang harus dibunuhnya!

   Kini sudah tetap hati Siang Ni. Malam ini harus membunuh Kong Tek Kok. Biarpun untuk ini ia harus berkorban nyawa. Untuk membalas dendam orang tuanya, nyawa baginya tidak masuk hitungan. Bahkan ia sudah berani mengorbankan kehormatan dan kebahagiaan hidupnya untuk dapat mewarisi ilmu silat tinggi agar dapat membalas dendam. Maka tentang resiko dalam menghadapi gurunya, ia tidak peduli lagi. Kalau perlu, mati bersama akan ia hadapi dengan tabah!

   Ia lalu meninggalkan semua ibu tirinya dan mengatakan ingin beristirahat. Ia memasuki kamarnya, membersihkan diri dan berganti pakaian lalu makan malam. Semua persiapan sudah ia lakukan, pedang dan anak panah tangan sudah tersedia lengkap. Setelah mengadakan persiapan, baru ia mengaso di pembaringan agar tidak terlalu letih dan tenaganya terkumpul untuk menghadapi usaha balas dendamnya nanti.

   Setelah keadaan menjadi sunyi dan semua ibu tirinya sudah memasuki kamar masing-masing, Siang Ni keluar dari gedung itu melalui jendela dan melakukan perjalanan melalui genteng-genteng rumah dengan cepat sekali.

   Ketika ia sudah berada dekat gedung Panglima Kong Tek Kok, dari jauh ia melihat pertempuran di atas genteng gedung itu. Ia mempercepat larinya dan dilihatnya seorang yang gesit sekali gerakannya melarikan diri, dikejar oleh belasan orang, di antaranya yang paling depan adalah Panglima Kong Tek Kok.

   Dengan sembunyi-sembunyi Siang Ni mendekat dan melihat ada lima orang perwira yang dikenalnya berkepandaian tinggi dan menjadi pembantu-pembantu gurunya telah menggeletak di atas genteng, tewas. Ia lalu ikut mengejar, akan tetapi bukan mengejar bayangan yang ia duga tentu Cun Giok adanya, melainkan mengejar Kong Tek Kok.

   Akan tetapi tiba-tiba Siang Ni mendapat pikiran lain yang lebih baik. Sudah pasti bahwa Cun Giok memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkatnya. Kalau tidak bagaimana mungkin pemuda itu sekarang tahu-tahu sudah melakukan penyerbuan pada gedung Panglima Kong Tek Kok padahal pemuda itu tadinya ia tinggalkan? Dan sekarang, kalau Cun Giok yang lebih lihai saja tidak mampu membunuh Kong Tek Kok yang mempunyai banyak pembantu, apalagi ia!

   "Aku tidak boleh gagal seperti Cun Giok. Aku harus menggunakan akal," pikir Siang Ni yang mengikuti mereka secara sembunyi. Dilihatnya beberapa kali gurunya melepaskan anak panah ke arah bayangan di depan, akan tetapi semua anak panah dapat dielakkan secara mengagumkan oleh bayangan itu. Sebentar saja bayangan yang dikejar itu pun Ienyap dan terdengar Kong Tek Kok menyumpah-nyumpah.

   "Bedebah! Kalau terjatuh ke tanganku, akan kucincang sampai lumat tubuh si laknat Suma Cun Giok! Mulai sekarang penjagaan harus diperkuat. Sungguh memalukan! Menghadapi seorang musuh saja sampai lima orang kawan kita tewas dan penjahatnya tidak tertangkap!"

   Setelah Kong Tek Kok dan kawan-kawannya pergi dan Siang Ni mendengar gurunya akan mengatur penjagaan agar penjahat itu jangan sampai keluar dari kota raja, Siang Ni diam-diam lalu mengejar ke arah perginya Cun Giok.

   Akan tetapi sia-sia belaka. Sampai tengah malam ia berputar-putar di kota raja, menghindari pertemuan dengan para penjaga. Akhirnya setelah mencari sampai ke ujung kota raja sebelah selatan dan tidak menemukan Cun Giok, Siang Ni menuju ke tanah kuburan di mana terdapat makam ayah bundanya. Besok pagi-pagi ia hendak menemui gurunya dan dengan siasat ia hendak melakukan pembalasan. Sebelum ia melaksanakan balas dendam yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu, gadis itu ingin mengunjungi makam ayah ibunya lebih dulu.

   Malam itu terang bulan. Bulan hampir purnama karena sudah tanggal tiga belas. Keadaan di tanah kuburan itu sunyi senyap. Bayang-bayang yang ditimbulkan sinar bulan dan pohon-pohon amat menyeramkan. Seorang laki-laki sekalipun akan termangu dan ragu kalau disuruh memasuki tanah kuburan itu seorang diri pada saat seperti itu. Malam terang bulan di tanah kuburan! Orang yang tabah sekalipun akan kecil hati, bukan hanya takut bertemu penjahat, akan tetapi lebih lagi takut bertemu hantu!

   Akan tetapi Siang Ni adalah seorang gadis yang sudah hancur hatinya, seorang yang sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi setelah mengalami kesengsaraan hebat. Bahkan ia seolah mengharapkan datangnya kematian agar terbebas dari perasaan hati yang hancur. Baginya tidak ada lagi rasa takut. Maut ditantangnya, apa lagi segala macam hantu dan siluman, ia tidak takut sama sekali. Dengan langkah tetap ia memasuki gapura kuburan dan langsung menuju ke makam ayah ibunya. Dua tahun telah lewat, akan tetapi batu-batu bong-pai (nisan) kedua kuburan itu terawat baik dan kelihatan putih bersih di bawah sinar bulan.

   Ada bayangan bergerak-gerak di depan bong-pai. Dari jauh Siang Ni sudah melihatnya, akan tetapi ia mengira bahwa itu tentu bayangan pohon yang digerakkan angin. Ia mendekati dan melihat bahwa bayangan itu bergerak seperti manusia. Orang lain tentu akan lari lintang pukang dan jatuh bangun melihat bayangan ini dan yakin bahwa ia adalah hantu yang berkeliaran di tanah kuburan. Akan tetapi sebaliknya Siang Ni malah lari menghampiri dengan pedang terhunus.

   "Siapa engkau!" bentaknya sambil melompat.

   Orang membalikkan tubuh menghadapinya, sikapnya tenang. Siang Ni menahan pedangnya ketika melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Cun Giok!

   "Mau apa engkau di sini?" Siang Ni bertanya dengan suara ketus.

   "Aku di sini dengan tiga kepentingan. Pertama untuk bersembunyi dari kejaran kaki tangan Kong Tek Kok yang ternyata memiliki banyak pembantu sehingga masih sukar bagiku untuk membunuhnya. Kedua untuk mengunjungi makam Bibi Pouw Sui Hong dan minta ampun atas dosaku telah salah sangka sehingga membunuh suaminya. Ketiga aku sengaja menanti engkau di sini karena aku mempunyai harapan besar bahwa engkau pasti akan datang ke sini, cepat atau lambat. Tak kusangka bahwa malam ini juga engkau datang. Benar-benar Thian mengabulkan pengharapanku." Wajah Cun Giok tampak penuh harapan dan pandang matanya penuh permohonan kepada Siang Ni.

   "Ada keperluan apakah engkau ingin bertemu dengan aku?" suara Siang Ni masih kaku.

   Cun Giok menarik napas panjang.

   "Nona, bagaimanapun juga, kita adalah saudara misan dan kita mempunyai tugas yang sama, yaitu membalas dendam sakit hati keluarga kita kepada Panglima Kong Tek Kok. Tadi telah kurasakan betapa lihainya musuh besar kita itu yang dibantu banyak pengawalnya. Kalau melawan dia seorang, kiraku aku tidak akan kalah, akan tetapi, dia mengandalkan bantuan kaki tangannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi juga sehingga ketika dikeroyok aku merasa kewalahan."

   "Engkau hanya berhasil membunuh lima orang pengawal lalu melarikan diri," kata Siang Ni.

   "Eh, kau sudah tahu? Memang, aku tidak berguna. Terus terang saja, aku amat mengharapkan bantuanmu dalam hal ini. Kalau kita berdua yang maju, kiraku si jahanam Kong Tek Kok itu akan dapat kita binasakan agar arwah para leluhur kita dapat tenang."

   Siang Ni mengerutkan alisnya. Ingin ia mengatakan bahwa tanpa kerjasama dengan pemuda itu pun ia sendiri sanggup menewaskan musuh besarnya. Akan tetapi ia tidak mau bicara demikian karena ucapan itu akan kelihatan sombong. Kalau Cun Giok sendiri tidak sanggup, bagaimana pula ia akan dapat melakukan pembalasan itu? Ia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih berada di atas tingkatnya.

   "Engkau pembunuh Ayahku, berarti engkau musuh besarku pula. Tidak mungkin aku bekerja sama dengan engkau!" katanya ketus.

   Cun Giok menghadapi makam bibinya dan berkata.

   "Arwah Bibi Pouw Sui Hong menjadi saksi bahwa aku melakukan pembunuhan itu dengan maksud untuk membalas dendam Bibi. Akan tetapi aku telah salah sangka dan salah bunuh, untuk itu aku siap sedia menerima hukuman. Kalau engkau mau membantuku sampai kita berdua dapat menewaskan Kong Tek Kok, aku bersumpah akan datang di makam ini dan di sini engkau boleh membalas dendam kematian Ayahmu terhadap aku. Aku akan menyerahkan nyawaku kalau kau menghendaki!" Kata-kata pemuda itu diucapkan sungguh-sungguh sehingga mengharukan hati Siang Ni.

   Sampai lama keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Siang Ni berkata.

   "Bagaimana rencanamu untuk dapat membunuh dia?"

   Cun Giok tampak girang sekali.

   "Piauw-moi, terima kasih! Kita pasti berhasil!" Pemuda itu melompat dengan kecepatan yang amat mengagumkan dan tahu-tahu telah berada di depan Siang Ni.

   Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat agar dapat berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, musuh besar mereka itu. Setelah mengadakan perundingan dan mengatur siasat, sampai beberapa lama, akhirnya mereka memperoleh kesepakatan. Siang Ni lalu berlutut di depan makam ayahnya dan berkata perlahan.

   "Ayah, ampunkan Anakmu. Bukan sekali-kali Anak lupa akan sakit hati Ayah, akan tetapi Anak hendak mendahulukan pembalasan sakit hati Ibu. Kalau Anak berhasil, barulah Anak akan menghilangkan penasaran Ayah......."

   Mendengar ucapan Siang Ni, Cun Giok mendengarkan dengan hati menyesal bukan main mengapa tanpa menyelidiki lebih dulu dia telah membunuh ayah gadis ini. Ketika Siang Ni bangkit dan tanpa menoleh hendak pergi, Cun Giok berkata.

   "Bolehkah aku mengetahui namamu?"

   Siang Ni menjawab tanpa menoleh.

   "Namaku tidak ada harganya untuk dikenal. Aku sendiri sudah tidak sudi mengenal nama itu!" Gadis itu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu.

   Cun Giok hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan dia merasa amat iba kepada adik misannya itu.

   Dengan wajah gembira Panglima Kong Tek Kok berjalan seorang diri menuju ke tanah kuburan yang sunyi. Semalam ketika dia berada di kamarnya, dari atas genteng melayang sehelai surat. Dia tahu bahwa yang melemparkan surat itu adalah muridnya, maka dia merasa amat heran mengapa Siang Ni tidak masuk saja melainkan melemparkan sepucuk surat. Akan tetapi setelah surat itu dibacanya, dia tersenyum dan wajahnya yang sudah mulai keriputan itu berseri.

   Di dalam suratnya, Siang Ni menyatakan bahwa tidak leluasa kalau ia datang berkunjung seperti biasanya, khawatir kalau hubungan mereka akan diketahui orang luar. Gadis itu dalam suratnya menyatakan, rindu dan juga ingin merundingkan sesuatu dengan gurunya, mengundang gurunya agar suka datang besok pada menjelang malam hari ke tanah kuburan bangsawan yang berada di pinggir kota. Di tempat itu sunyi dan tak seorang pun akan melihat kita, demikian bunyi penutup surat Siang Ni yang bernada mesra kepada Panglima Kong Tek Kok.

   Panglima ini memang sedang tergila-gila kepada muridnya sendiri yang sekarang boleh dia anggap sebagai kekasihnya yang paling baru. Maka tentu saja undangan itu diterimanya dengan girang hati dan tanpa syak wasangka apa pun karena dia pun merasa rindu kepada gadis jelita yang masih muda itu.

   Betapapun juga, Panglima Kong Tek Kok adalah seorang yang berpengalaman, maka tentu saja dia tidak pernah lengah dan selalu berhati-hati. Biarpun terhadap Siang Ni, muridnya dan juga kekasihnya itu, dia tidak menaruh curiga sedikit pun, namun dia maklum bahwa pemuda she Suma yang pernah malam-malam menyerbu gedungnya, sampai sekarang belum tertangkap dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dia sudah meninggalkan kota raja. Pemuda lihai itu tetap merupakan ancaman baginya. Karena itu, diam-diam dia memesan kepada kaki tangannya agar supaya menyusul dan menjaga di luar tanah kuburan sehingga mudah membantunya apabila terjadi serangan tiba-tiba dari musuh.

   Setelah mengatur persiapan itu tanpa memberitahu kepada kaki tangannya apa keperluannya malam-malam datang ke tanah kuburan. Kong Tek Kok lalu mengenakan pakaian yang paling bagus, menyisiri rambut dan jenggotnya yang sudah beruban sampai rapi, memakai minyak wangi, lalu berjalan melenggang penuh gaya menuju ke tanah kuburan pada malam hari berikutnya, sesuai dengan permintaan Siang Ni dalam suratnya.

   Bulan sedang purnama. Cahayanya menerangi bumi mengusir kegelapan malam sehingga suasananya tampak romantis dan menyenangkan sekali. Akan tetapi setelah tiba di luar tanah kuburan, Panglima Kong Tek Kok merasa bulu tengkuknya meremang. Dia seorang panglima gagah perkasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat suasana yang menyeramkan di tanah kuburan itu, mau tidak mau dia merasa ngeri juga. Menghadapi lawan manusia, biarpun dikeroyok belasan orang pun dia tidak akan merasa jerih. Akan tetapi melihat pemandangan menyeramkan di tanah kuburan yang menimbulkan bayangan-bayangan hantu, iblis dan siluman, hatinya merasa seram juga.

   "Bocah setan, mengapa mengadakan pertemuan saja minta di tanah kuburan?" Dia bersungut-sungut akan tetapi biarpun dia memaki, mulutnya tersenyum dan matanya membayangkan kecantikan wajah yang menggairahkan dari muridnya yang masih amat muda itu. Bayangan ini mengusir rasa ngerinya dan dengan langkah lebar dia memasuki tanah kuburan dan berjalan cepat di antara bongpai-bongpai yang berada di tempat itu.

   "Siang Niii......!" Dia memanggil karena keadaan di situ amat sunyi dan tidak tampak bayangan muridnya yang tercinta itu.

   "Di sini......!" Tiba-tiba terdengar jawaban.

   Panglima Kong Tek Kok menengok dan bukan main girang hatinya ketika dia melihat muridnya berdiri di bawah sebatang pohon kembang di ujung kiri tanah kuburan itu. Kegirangan hatinya melihat muridnya yang dirindukannya itu membuat Panglima Kong Tek Kok lupa dan tidak menyadari bahwa Siang Ni yang memanggilnya itu berada di depan makam ayah ibunya. Dia tidak melihat pula bahwa keadaan gadis itu tidak sewajarnya. Pakaiannya kusut, rambutnya tidak teratur dan mukanya pucat. Dalam penglihatan panglima yang sudah dibakar berahinya itu, Siang Ni tampak cantik bagaikan bidadari.

   "Ah, engkau ini ada-ada saja, mengajak bertemu di tanah kuburan!" Datang-datang Kong Tek Kok memegang kedua tangan muridnya sambil menegur, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya memandang penuh kasih sayang. Ketika dia hendak merangkul, Siang Ni merenggut lepas kedua tangannya dengan lembut sambil bertanya.

   "Nanti dulu. Tahukah engkau di mana kita berada?"

   Panglima Kong Tek Kok terheran dan melepaskan kedua tangan yang halus dan hangat itu.

   "Di mana? Tentu di tanah kuburan. Bukankah engkau yang minta......?"

   "Dan kenalkah engkau makam siapa ini?" Siang Ni menunjuk ke arah makam ibunya.

   Panglima Kong Tek Kok menoleh dan kebetulan sekali bulan bersinar tanpa halangan awan dan menerangi permukaan bong-pai sehingga terbaca nama Pouw Sui Hong, isteri kesembilan dari Pangeran Lu Kok Kong.

   "Eh, Siang Ni! Kenapa engkau mengajak aku datang ke depan makam ibumu.......?"

   "Hemm, engkau tahu ia Ibuku? Engkau tahu ini makam Ibuku yang bernama Pouw Sui Hong, anggauta keluarga Pouw yang kaubasmi habis kemudian Ibuku kauculik dan kaujual kepada Pangeran Lu Kok Kong? Dan engkau tahu mengapa aku mengundangmu ke sini? Engkau harus menyusul Ibuku mempertanggung-jawabkan dosa-dosamu! Engkau akan terpanggang di neraka jahanam! Juga engkau harus menebus dengan darah dan nyawa atas kekejianmu, engkau telah menipuku, engkau......" Siang Ni tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan secepat kilat ia mencabut Kim-kong-kiam lalu menyerang bekas gurunya dengan dahsyat.

   Panglima Kong Tek Kok tentu saja kaget setengah mati. Dia maklum bahwa percuma saja kalau dia menyangkal setelah rahasianya terbuka. Dia maklum pula bahwa gadis yang telah dinodai dan digaulinya itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum mengadu nyawa, maka timbullah kesombongannya dan kebenciannya. Sambil mengelak dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau menerima ilmu silat dari aku, sekarang hendak kaupergunakan untuk membunuhku? Ha-ha-ha! Sungguh lucu sekali!" Sambil berkata demikian, dia pun mencabut sepasang pedangnya dan di lain saat bekas guru dan murid itu sudah saling serang dengan dahsyat dan mati-matian.

   Bagaimanapun juga, tentu saja gerakan Siang Ni kalah mahir dibandingkan gurunya. Apalagi Panglima Kong Tek Kok menggunakan sepasang pedang dan gerakannya amat dahsyat sehingga sebentar saja Siang Ni terdesak hebat.

   "Kong Tek Kok, jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sesosok bayangan yang luar biasa cepat gerakannya berkelebat datang dan sebatang pedang dengan gerakan kuat sekali menggempur sepasang pedang di tangan Kong Tek Kok.

   "Trang-tranggg......!" Panglima Kong Tek Kok terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main setelah mengenal penyerangnya itu bukan lain adalah Cun Giok! Dia menudingkan pedang di tangan kirinya ke arah muka Siang Ni. Lalu dengan muka merah karena marah dia memaki.

   "Perempuan hina! Jadi engkau sengaja memancingku ke sini dan engkau bersekongkol dengan dia? Perempuan tak tahu diri! Aku ini gurumu, dan apa engkau lupa bahwa dia itu pembunuh Ayahmu?"

   "Tutup mulutmu!" bentak Siang Ni dan ia sudah menyerang lagi menggunakan jurus terampuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)