PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 05
Cun Giok terancam namun dia tidak gentar. Bahkan dia lalu menyerang dengan tangan kirinya, dipukulkan ke arah lambung lawan dengan mengerahkan tenaga saktinya sedangkan kaki kanannya menendang ke arah bawah perut! Tanpa mempedulikan tusukan pedang kanan lawan sebaliknya malah membalas dengan dua serangan maut berarti bahwa pemuda itu sudah nekat dan siap untuk mengadu nyawa dan mati bersama dengan musuh besarnya!
Melihat kenekatan ini, Panglima Kong terkejut dan mengeluarkan seruan kaget. Kalau dia melanjutkan serangannya, biarpun mungkin dia dapat menggagalkan pukulan pemuda itu ke arah lambungnya, namun belum tentu dia dapat menghindarkan diri dari tendangan maut itu. Memang belum tentu hal itu akan dapat membunuhnya, namun setidaknya dia akan terluka. Tentu saja dia tidak mau terluka walaupun pedangnya pasti akan menewaskan lawan. Sambil berseru keras dia menarik kembali kedua pedangnya dan memutar sepasang pedang itu di depan tubuhnya untuk membabat lengan yang memukul dan kaki yang menendangnya.
Cun Giok yang memiliki gerakan lincah itu cepat melompat ke belakang menghindarkan diri. Kedua serangan mautnya itu sebaliknya malah terancam karena kalau dia lanjutkan, lengan kiri dan kaki kanannya tentu akan menjadi buntung.
"Orang she Kong! Kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk, jangan menghina orang muda. Akulah lawanmu!" seru Suma Tiang Bun yang dengan gerakan kilat tahu-tahu sudah melompat dan menghadapi panglima itu.
Kong Tek Kok bersikap waspada karena dia dapat menduga bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan berat. Dia menatap wajah Suma Tiang Bun, lalu pandang matanya bergerak dari atas ke bawah dan dia berkata.
"Melihat kepandaianmu, engkau tentu seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhiku? Sepanjang ingatanku, di antara kita tidak pernah terjadi permusuhan."
"Kong Tek Kok, memang di antara engkau dan aku pribadi tidak pernah terjadi permusuhan. Akan tetapi sudah terlalu banyak kejahatan engkau lakukan terhadap orang-orang tidak berdosa. Terutama sekali apa yang telah kaulakukan terhadap keluarga Pouw, benar-benar keji sekali. Aku Suma Tiang Bun sejak dahulu paling benci melihat kejahatan dan biarpun kepandaianku tidak berarti, namun akan kucurahkan semua untuk menentang kejahatan. Orang muda ini adalah putera tunggal dari keluarga Pouw yang kau basmi dan aku adalah gurunya dan juga ayah angkatnya. Maka sudah semestinya kalau aku membelanya dan melawanmu sebagai musuh besar yang harus dibasmi!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan kelihatan lambat, Suma Tiang Bun mengeluarkan sebatang pedang yang bercahaya keemasan dari balik jubahnya.
Melihat sikap kakek yang amat tenang dan gerakannya mencabut pedang itu sudah menunjukkan bahwa ilmu pedang kakek itu tentu amat dahsyat, Panglima Kong mencoba untuk membela diri dengan kata-kata sebelum menggunakan senjata.
"Suma Tiang Bun, kita sudah tua sama tua, sudah cukup kenyang makan garam. Kurasa engkau pun tidak begitu bodoh untuk mengetahui bahwa semua yang kulakukan terhadap keluarga Pouw bukan lain hanyalah pelaksanaan tugasku sebagai seorang panglima pasukan kerajaan, bahkan aku hanya melaksanakan perintah. Mengapa engkau menyeret hal ini menjadi permusuhan perorangan?"
"Kong Tek Kok, pandai benar engkau hendak menutupi kejahatanmu dengan selimut tugas! Kaukira aku tidak bisa membedakan baik buruknya pelaksanaan tugas? Yang kaulakukan terhadap keluarga Pouw, juga terhadap keluarga-keluarga patriot bangsa yang lain bukan sekadar pelaksanaan tugas, melainkan kekejamah yang tiada taranya. Kalau hanya melaksanakan tugas, seharusnya engkau menangkapi mereka lalu mengajukan depan pengadilan, baru di sana diputuskan apakah mereka bersalah dan pantas dihukum ataukah tidak. Akan tetapi engkau membasmi mereka, membunuh orang-orang tanpa dosa, anak-anak, orang-orang tua, kau basmi, harta benda mereka kaurampok, engkau membakari rumah mereka, menculik gadis-gadis. Apakah engkau masih hendak menyangkal?"
"Manusia sombong!" Panglima Kong Tek Kok memaki marah lalu menerjang maju sambil membentak nyaring sekali. Bentakan ini merupakan pekik tanda bahaya bagi para perajurit pengawal yang berada di sekitar gedung itu!
Suma Tiang Bun tidak berani memandang rendah menghadapi serangan sepasang pedang yang digerakkan amat cepat dan kuat itu. Pedang di tangan kakek ini adalah sebuah pedang pusaka yang disebut Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Emas). Dengan merendahkan tubuh dia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan pertama lawannya. Gerakannya ini dilakukan sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dengan maksud hendak mematahkan pedang lawan dengan pedang pusakanya.
"Singgg.... traanggg!!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu di udara. Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Pedang kanan di tangan Panglima Kong tidak menjadi patah, bahkan rusak sedikit pun tidak! Hal ini tidak
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
M a a f H a l a m a n 62 R u s a k !!
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
namun setiap sambaran kilat merupakan tangan maut yang siap mencabut nyawa. Sinar kuning emas dari Kim-kong-kiam dikeroyok dua gulungan sinar putih dari Bhok Siang-kiam. Dari gerakan mereka timbul angin dingin bersiutan dan lampu teng yang tergantung di atas sampai bergoyang-goyang!
Untuk beberapa lamanya Suma Cun Giok terkesima dan kagum menonton pertandingan ini. Kemudian, melihat betapa gurunya belum dapat mendesak lawan, dia berseru keras dan menyerbu ke dalam pertempuran dengan penuh kebencian terhadap panglima itu.
Kini pertandingan menjadi semakin hebat. Suara pedang bertemu pedang menimbulkan suara nyaring berdencing memecah kesunyian malam, disusul bunga api yang berpijar dan pecah berhambutan. Tingkat kepandaian Cun Giok, walaupun belum dapat mengimbangi tingkat gurunya, sudah cukup tinggi. Agaknya hanya dalam hal sin-kang saja dia masih kalah kuat, namun kecepatan gerakannya sudah dapat menyamai kecepatan gurunya. Kalau saja tadi dia tidak terburu nafsu karena dendamnya, kiranya tidak mungkin dalam segebrakan saja dia terdesak oleh Panglima Kong.
Setelah Suma Cun Giok maju membantu dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi satu dengan gulungan sinar pedang gurunya, maka gulungan dua sinar putih dari pedang Kong Tek Kok mulai terdesak mundur. Kalau tadinya dua gulungan sinar pedang putih itu panjang dan lebar tanda bahwa kedua pedangnya lebih banyak melakukan serangan bertubi-tubi dan mengurung tubuh Suma Tiang Bun, kini gulungan dua sinar pedangnya mulai menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia hanya dapat mempertahankan diri, lebih banyak menangkis daripada menyerang.
Kepandaian tiga orang ahli silat ini sudah mencapai tingkat tinggi sehingga kalau orang biasa yang menonton pertempuran itu dari jauh, yang kelihatan tentu hanya gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dan orangnya tidak tampak saking cepatnya gerakan pedang-pedang itu seakan-akan menyelimuti tubuh mereka.
Kepandaian Panglima Kong Tek Kok benar-benar hebat. Biarpun dikeroyok dua, sebegitu jauh dia masih dapat membuat pertahanan yang amat kuat. Diam-diam Suma Tiang Bun harus mengakui bahwa kalau dia maju seorang diri melawan panglima ini, dia tidak akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dengan bantuan muridnya, dia mulai mendesak Panglima Mongol itu dengan itu dengan serangan-serangan kilat yang amat dahsyat.
Kembali Panglima Kong Tek Kok mengeluarkan bentakan yang terdengar seperti pekik burung garuda. Tiba-tiba terdengar bunyi pekik yang sama dari jauh, disusul lagi pekikan serupa dari pelbagai jurusan. Suara itu susul-menyusul dan akhirnya terdengar dekat sekali, riuh rendah bagaikan puluhan ekor burung garuda datang menyerbu.
Suma Tiang Bun tahu apa artinya semua itu. Dia mempercepat gerakan pedangnya dengan maksud untuk cepat merobohkan Panglima Kong. Demikian pula Suma Cun Giok melakukan hal yang sama. Akan tetapi usaha mereka sia-sia. Biarpun mereka berdua dapat mendesak lawan dan sudah pasti akhirnya akan dapat merobohkan Panglima Kong, namun agaknya kemenangan itu tidak akan dapat dicapai dalam waktu singkat. Sementara itu, gemuruh suara pekikan tadi sudah semakin dekat dan di lain saat bermunculan beberapa orang yang berpakaian seperti pengawal istana dengan topi terhias bulu burung garuda. Gerakan mereka gesit dan lincah tanda bahwa mereka ini rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Cun Giok, kita pergi!" Suma Tiang Bun membentak.
Kakek yang sudah berpengalaman luas ini segera dapat memaklumi bahwa dia dan muridnya berada dalam ancaman bahaya. Menghadapi Panglima Kong Tek Kok seorang saja mereka masih belum juga dapat merobohkannya. Apalagi kalau ditambah banyak pengawal yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi tentu akan datang pengawal yang lebih banyak jumlahnya dan kalau sudah demikian, dia dan muridnya tidak akan dapat lolos dari maut. Sekarang masih ada harapan bagi Cun Giok untuk meloloskan diri dan dia yang akan melindungi dan mencegah musuh melakukan pengejaran terhadap muridnya.
"Tidak, Suhu!"
"Lari! Ini perintahku! Pergi dan kau cari Susiok-couwmu (Paman Kakek Gurumu), ceritakan semua!" Suma Tiang Bun membentak.
Mendengar ini, Cun Giok tidak berani membantah lagi. Hatinya tidak karuan rasanya karena kalau dia lari, dia dapat menduga bahwa gurunya pasti akan mengalami bencana! Air matanya menetes turun dan pedangnya bergerak cepat sekali menerjang para pengawal yang sudah mulai mengeroyok.
Terdengar teriakan mengaduh dan seorang pengawal melompat mundur dengan wajah pucat. Pangkal lengannya tergores pedang Cun Giok. Ini saja sudah menunjukkan bahwa kepandaian pengawal itu cukup tinggi sehingga serangan nekat dan dahsyat dari Cun Giok tadi hanya dapat menggores kulit pangkal lengannya saja.
"Cun Giok, pergi......!" Suma Tiang Bun membentak lagi dan kakek ini memutar pedangnya sedemikian dahsyatnya sehingga Panglima Kong Tek Kok terkejut dan melompat mundur. Pedang Sinar Emas berkelebat dan seorang pengawal yang mencoba untuk menghadang Cun Giok roboh mandi darah. Selanjutnya Suma Tiang Bun meninggalkan Panglima Kong dan mengamuk, pedangnya menyambar-nyambar para pengawal yang mengeroyok Cun Giok.
Para pengawal terkejut dan terbukalah jalan keluar bagi pemuda itu. Cun Giok maklum akan maksud gurunya. Kakek itu hendak berkorban agar dia dapat selamat dan kelak dapat membalaskan sakit hatinya kepada musuh besar yang amat tangguh itu. Kalau dia teringat betapa gurunya yang juga menjadi ayah angkatnya itu selalu mencintanya, menjadi pengganti ayah bundanya, hampir Cun Giok tidak tega untuk meninggalkannya. Akan tetapi pemuda ini pun maklum bahwa kalau dia berkeras tidak mau lari, dia dan suhunya pasti akan tewas di situ sehingga dendam yang mendalam terhadap Panglima Kong Tek Kok tidak akan pernah dapat dibalas!
"Selamat tinggal, Suhu! Kelak teecu akan membalaskan sakit hati Suhu!" teriaknya dengan suara mengandung isak, kemudian dia melompat ke atas genteng.
Beberapa sinar meluncur cepat dan terdengar bersiut ketika tiga batang anak panah menyambar dari tangan Panglima Kong Tek Kok ke arah tubuh Cun Giok yang sedang melompat ke atas genteng.
"Cun Giok, awas am-gi (senjata gelap)......!" teriak Suma Tiang Bun sambil menyerang Panglima Kong dengan hebatnya sehingga panglima yang lihai sekali anak panahnya ini tidak sempat menyusulkan anak panah lagi ke arah Cun Giok.
Pada saat itu Cun Giok sedang melompat ke atas genteng. Tubuhnya masih berada di tengah udara ketika tiga batang anak panah itu meluncur cepat ke arahnya. Cun Giok tidak patut menjadi murid Suma Tiang Bun kalau dia tidak tahu akan datangnya bahaya maut dari belakang ini. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya yang masih berada di tengah udara itu melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga dia dapat membalikkan kaki ke atas dan kepala di bawah, mukanya kini menghadap ke arah anak panah yang datang menyambar berupa tiga sinar.
Dia berhasil menyampok sebatang anak panah dan mengelak dari anak panah kedua. Akan tetapi dia tidak mengira bahwa Kong Tek Kok luar biasa sekali dalam menyerang dengan anak panahnya. Dia tidak percuma mendapat julukan Si Panah Sakti karena ketika dia meluncurkan tiga batang anak panah tadi, perhitungannya sudah masak betul dan sudah dia perhitungkan bahwa pemuda itu kalau tidak melakukan gerakan mengelak begini tentu begitu dan begitu! Maka, ketika melepaskan anak panah arahnya sudah dibagi-bagi untuk menghadang semua kemungkinan gerakan pemuda itu dalam usaha menghindarkan diri dari serangan anak panahnya.
Anak panah yang ketika dengan amat cepatnya meluncur ke arah dada pemuda itu! Tadinya anak panah ini sama sekali tidak akan mengenai sasaran kalau saja Cun Giok tidak berjungkir balik. Akan tetapi setelah bersalto, anak panah itu tepat menyambar dadanya. Inilah kehebatan ilmu panah dari Panglima Kong Tek Kok.
Bukan main kagetnya Cun Giok. Pemuda ini baiknya memiliki gin-kang yang hampir sempurna. Cepat dia miringkan tubuh dan anak panah yang tadinya akan menancap di dadanya itu kini menancap di pundak kirinya. Biarpun sudah terluka, Cun Giok tetap berhasil sampai di atas genteng dan menghilang dalam kegelapan malam. Para pengawal hendak mengejar, akan tetapi Panglima Kong Tek Kok berseru nyaring.
"Jangan kejar, biarkan anjing kecil itu lari. Yang penting kita basmi anjing besar ini!"
Kong Tek Kok berpikir bahwa Suma Tiang Bun merupakan musuh yang jauh lebih berbahaya dibandingkan pemuda itu. Maka dia mencegah para pengawal melakukan pengejaran terhadap Cun Giok agar mereka dapat membantunya membunuh Suma Tiang Bun yang lihai. Tentu saja hal ini menguntungkan dan menyelamatkan Cun Giok. Andaikata para pengawal terus mengejarnya, dia yang sudah terluka tentu akan sukar untuk meloloskan diri.
Sebaliknya, Suma Tiang Bun kini dikeroyok dan dikepung rapat. Namun, melihat muridnya sudah dapat melarikan diri, kakek ini merasa lega sekali. Dia tertawa bergelak dan memaki-maki Panglima Kong Tek Kok. Pedangnya bergerak laksana halilintar menyambar-nyambar dan dia baru dapat dirobohkan setelah sepuluh orang pengawal roboh dan tewas oleh bacokan dan tusukan Kim-kong-kiam!
Suma Tiang Bun roboh dan tewas sebagai seorang gagah, sebagai seorang pendekar dan pejuang yang mempertahankan kebenaran dan keadilan, juga seorang patriot yang membela tanah air dan bangsa memusuhi penjajah Mongol. Dia tewas di bawah serangan belasan batang pedang dan golok sehingga tubuhnya hancur menjadi onggokan daging berdarah!
Kita kembali menengok keadaan Siang Ni. Sambil menangis tersedu-sedu ia memeluk tubuh ibunya yang sudah dibaringkan di atas tempat tidur dan jenazah ayahnya sudah diangkut ke ruangan lain di mana jenazah itu diurus sebaiknya. Sayup-sayup terdengar suara tangis yang memilukan menerobos celah-celah pintu. Mendengar suara tangis para ibu tirinya dan para pelayan, Siang Ni menutup pintu kamar ibunya rapat-rapat, kemudian ia kembali menangis dan memeluk tubuh ibunya yang rebah telentang di atas pembaringan dengan mata menatap langit-langit kelambu seperti orang kehilangan akal.
"Ibu...... Ibu....... ingatlah, Ibu. Siang Ni di sini......" tangis gadis itu sambil merangkul dan menciumi ibunya, membasahi wajah ibunya dengan air matanya. Akan tetapi Pouw Sui Hong hanya bengong saja dan napasnya berat, tubuhnya panas sekali.
Sampai tiga hari tiga malam nyonya itu berada dalam keadaan mengkhawatirkan sekali, tidak sadar akan keadaan di sekelilingnya. Siang Ni menjaga ibunya siang malam, lupa makan dan kalau sudah tak tertahankan lagi kantuknya, ia tertidur di samping ibunya.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Siang Ni terbangun dari tidurnya yang tak menentu. Ia terbangun karena mendengar suara tangis ibunya. Cepat ia membuka mata dan segera bangkit duduk ketika melihat bahwa yang menangis adalah ibunya yang agaknya telah sadar.
"Ibu......!" Ia merangkul.
"Siang Ni". Anakku.......!" Sui Hong berbisik dan kedua orang ibu dan anak itu bertangisan dan berpelukan.
Siang Ni menangis terisak-isak saking terharu dan juga girang mendengar ibunya dapat bicara dan menangis, tanda bahwa ibunya sudah sadar dari keadaan setengah pingsan selama tiga hari tiga malam itu.
"Ibu, ada Siang Ni di sini, di sampingmu. Harap Ibu jangan terlalu berduka." Gadis itu mencoba untuk menghibur bundanya.
"Tentang Ayah......" Ia menggigit bibirnya agar jangan menangis lagi.
"harap Ibu tenangkan pikiran. Tidak percuma aku mempelajari ilmu silat semenjak kecil. Aku sudah melihat muka iblis keparat pembunuh Ayah itu, dan hidupku aku takkan melupakan muka itu! Kelak aku pasti akan dapat memenggal lehernya!"
Mendengar ini, isak tangis Sui Hong semakin keras dan tersedu-sedu sehingga Siang Ni menghentikan kata-katanya, dan memeluk ibunya.
Pada saat itu, masuklah para ibu tiri Siang Ni dan mereka semua kelihatan berduka, muka pucat dan rambut serta pakaian kusut. Kembali terdengar tangis riuh rendah ketika Sui Hong bertangis-tangisan dengan mereka. Tangis riuh rendah itu baru berhenti ketika seorang tabib diantar oleh pelayan memasuki kamar. Dengan merasakan denyut nadi tangan, tabib itu memeriksa keadaan Pouw Sui Hong. Dia mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Kemudian dia menuliskan resep obat, lalu meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Siang Ni mengejar dan menghentikannya di luar kamar.
"Bagaimana keadaan Ibuku?" tanya gadis itu dengan gelisah.
Tabib itu adalah tabib istana yang kepandaiannya tinggi dan dia sudah mengenal Siang Ni.
"Ibumu mendapat tekanan batin yang hebat. Jantungnya terguncang, membuat keseimbangan hawa dalam tubuhnya tidak cocok. Sesuatu yang amat mengagetkan telah menyerangnya dan melukai isi dada. Usahakan agar supaya Ibumu dapat bergembira selalu dan tidak teringat akan hal-hal yang menyedihkan." Setelah berkata demikian, tabib itu berjalan keluar.
Siang Ni berdiri terkesima dengan muka pucat. Bagaimana mungkin ibunya dapat bergembira, bagaimana tidak akan bersedih setelah melihat suaminya dibunuh orang?
Pada sore harinya, biarpun sudah diberi minum obat, keadaan Sui Hong tidak menjadi makin baik. Mukanya pucat, pandang matanya sayu dan napasnya berat. Ia tidak mau berpisah dari Siang Ni, bahkan ia minta agar semua orang meninggalkan kamarnya agar ia dapat berdua saja dengan anaknya.
"Ibu, lekas sembuh, Ibu......" kata Siang Ni sambil membereskan rambut ibunya yang kusut menutupi dahi.
Mendengar kata-kata anaknya, air mata membanjir lagi keluar dan membasahi pipi Pouw Sui Hong. Kedua tangannya memegang lengan anaknya erat-erat, kemudian bibirnya berbisik lirih.
"Siang Ni, Ayahmu....... Ayahmu......."
Siang Ni memeluk ibunya dan mengeraskan hati agar jangan sampai menangis.
"Tenangkan hatimu, Ibu. Mati hidup berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun tentang keparat jahanam yang melakukan pembunuhan itu, biar nanti aku yang membalaskan!" Siang Ni mengepal tinjunya yang kecil dan berkulit lembut itu.
"Jangaaann.......!"
Siang Ni terkejut sekali. Ibunya mengeluarkan kata-kata itu setengah menjerit dan tubuh ibunya menggigil. Cepat-cepat ia memberi ibunya minum, kemudian setelah tenang kembali, ibunya berkata.
"Siang Ni, jangan engkau memusuhi dia......."
"Dia siapa, Ibu?" tanya Siang Ni halus. Ia tidak berani menduga bahwa yang dimaksudkan oleh ibunya adalah pembunuh ayahnya itu. Hal ini tidak mungkin! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendengar kata-kata ibunya.
"Dia pemuda yang membunuh Ayahmu itu....... dia itu tidak bersalah......."
"Apa......?! Apa artinya ini, Ibu?" saking kaget dan herannya, Siang Ni sampai lupa bahwa ibunya sedang sakit dan tidak boleh didesak.
"Dia melakukan pembunuhan dengan maksud untuk membalaskan sakit hati Ibumu......! Dia mengira bahwa Ayahmu telah merusak hidupku, dan mengira bahwa aku telah tewas setelah terjatuh dalam tangan Ayahmu, maka dia sengaja datang untuk membalas dendam......."
Siang Ni membelalakkan kedua matanya, memandang ibunya dengan bingung dan tidak percaya.
"Siapakah dia itu, Ibu?" tanyanya, suaranya gemetar.
"Dia adalah saudara misanmu sendiri, dia itu keponakanku. Tidak salah lagi dia tentu putera Paman besarmu Pouw Keng In......."
"Mana mungkin? Menurut cerita Ibu dulu, Paman besarku dan isterinya sudah tewas ketika dikejar pasukan, tewas karena anak panah dan hanyut dalam sungai......" Siang Ni membantah ragu.
"Memang demikianlah. Akan tetapi menurut pengakuan pemuda itu, ibunya selamat dan tertolong, akhirnya melahirkan dia. Dia datang untuk membalas dendam. Dia mendengar bahwa aku, bibinya, terjatuh ke dalam tangan Ayahmu dan dia mengira bahwa aku tewas dianiaya, maka dia datang membunuh Ayahmu untuk membalaskan sakit hatiku......."
Kalau saat itu ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Siang Ni tidak akan begitu kaget seperti ketika mendengar ucapan ibunya itu. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya.
"Akan tetapi, Ibu. Siapa tahu kalau dia berbohong?"
Ibunya menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin dia berbohong. Wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan kakakku Pouw Keng In. Dia pasti putera Paman besarmu, tak salah lagi."
"Akan tetapi...... dia mengaku bernama Suma Cun Giok. Kalau dia anak Paman Pouw Keng In, mengapa dia mempunyai marga Suma?"
Sui Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, napasnya semakin berat, wajahnya pucat sekali. Agaknya ia tadi mempergunakan seluruh kekuatannya untuk bicara.
"Entahlah...... akan tetapi...... dia putera Pamanmu, tak salah lagi...... jangan engkau memusuhi dia...... dia membunuh Ayahmu...... untuk membelaku......."
"Akan tetapi Ayah tidak menganiaya Ibu? Ayah seorang yang baik dan menolong Ibu, menyelamatkan Ibu dari tangan seorang panglima yang kejam. Ayah mencinta Ibu! Kalau dia hendak mencari Ibu sebagai Bibinya, mengapa dia tidak menyelidiki secara teliti?"
Kembali Sui Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, kini ia memejamkan mata dan tampak gelisah sekali, alisnya berkerut.
"Dia...... tidak bersalah....... Ayahmu tak pernah menolongku...... perwira itu....... dia menawanmu sengaja untuk...... diberikan kepada Ayahmu...... sebagai....... hadiah...... Uaagghh......!!" Sui Hong muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Ibuuu......!" Siang Ni terkejut bukan main. Darah yang keluar dari mulut ibunya amat banyak, membasahi alas tempat tidur dan baju ibunya, bahkan menodai bajunya sendiri. Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikan pakaiannya yang terkena darah. Ia cepat menolong ibunya sambil menangis.
Akan tetapi keadaan Sui Hong payah benar. Ia hampir tidak dapat bicara lagi, napasnya terengah-engah seperti ikan di daratan. Siang Ni menangis terus menjaga ibunya.
Pada senja hari itu ibunya membuka mata dan berkata lemah.
"Siang Ni...... jangan kau sakit hati kepada...... putera Pamanmu itu....... dia .." dia tidak tahu....... akan tetapi bermaksud baik...... yang salah adalah....... panglima itulah. Dia membasmi keluargaku...... dia pula yang...... menculikku......" Suara terakhir terdengar amat lemah dan lirih dan agaknya Sui Hong telah menggunakan sisa tenaganya untuk bicara terputus-putus tadi.
"Siapa dia, Ibu? Siapa panglima itu?" Siang Ni bertanya sambil mengepal tinju.
"Dia...... dia itu......"
Pada saat itu pintu kamar terbuka dan seorang ibu tiri Siang Ni berkata.
"Siang Ni, Panglima Kong Tek Kok datang bersembahyang depan peti mati Ayahmu, engkau wajib mewakili kami membalas penghormatannya. Apalagi dia gurumu!"
Siang Ni menoleh kepada ibu tirinya dengan alis berkerut, kecewa karena kedatangan ibu tirinya itu mengganggu dan memotong keterangan ibunya yang sudah berada di ujung lidah. Kemudian ia memandang ibunya dengan ragu-ragu.
"Tinggalkan sebentar Ibumu, biar aku yang menjaganya," kata Ibu tirinya.
Memang pada masa itu, amat keras pembatasan hubungan antara pria dan wanita sehingga para isteri Panglima Lu Kok Kong tentu saja tidak boleh menjumpai seorang laki-laki yang datang memberi penghormatan kepada peti jenazah. Hal ini akan dianggap melanggar batas kesopanan. Oleh karena itu, memandang muka Panglima Kong Tek Kok yang dianggap sebagai tamu terhormat, isteri-isteri Pangeran Lu merasa perlu untuk menyuruh seorang anggauta keluarga menyambut dan untuk menyambut Panglima Kong, paling tepat dilakukan oleh Siang Ni, karena gadis ini adalah murid dari panglima itu sendiri.
Siang Ni mencoba sekali lagi untuk mengetahui nama musuh besarnya dari ibunya. Didekatkannya mulutnya di telinga ibunya dan ia bertanya.
"Ibu, siapakah dia.......?"
Akan tetapi ibunya seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya dan tampaknya telah tertidur pulas.
"Siang Ni, Ibumu perlu istirahat, mengapa engkau malah mengganggunya? Pergilah menyambut penghormatan Panglima Kong. Aku yang menjaga Ibumu!" kata Ibu tirinya.
Siang Ni tidak berani membantah, lalu pergi meninggalkan kamar ibunya untuk menjumpai gurunya yang ternyata memang sedang bersembahyang mengangkat hio-swa (dupa biting) membara di depan peti jenazah ayahnya. Para pengiringnya yang terdiri dari para perwira pengawal yang berpakaian indah dan tampak gagah perkasa memberi hormat ke arah peti mati dari jarak jauh, agak di luar.
Siang Ni berlutut di dekat peti mati ayahnya menghadapi gurunya dan membalas penghormatan gurunya sambil berlutut. Ketika Panglima Kong Tek Kok sudah selesai bersembahyang, dia memandang muridnya. Melihat gadis itu berambut kusut, matanya kemerahan dan basah air mata, pakaiannya serba putih amat sederhana, yaitu pakaian berkabung, panglima itu menghela napas panjang.
Tentu saja timbul perasaan iba dalam hatinya terhadap Siang Ni, akan tetapi perasaan kagumnya lebih besar daripada perasaan iba. Ia kagum melihat muridnya sekarang di dalam kesederhanaannya tanpa bedak dan gincu itu bahkan tampak keaslian wajahnya yang jelita dan manis menggairahkan hatinya.
"Siang Ni, apakah engkau sudah mengetahui siapa orangnya yang melakukan pembunuhan keji terhadap mendiang Ayahmu?" tanya Panglima Kong, suaranya tenang tanpa ragu-ragu karena sebagai guru gadis itu dia memang berhak dan sama sekali tidak melanggar kesopanan untuk bicara dengan Siang Ni di mana dan kapan saja.
"Teecu sudah tahu, Suhu. Dia bernama Suma Cun Giok."
Panglima Kong tercengang.
"Bagus kalau engkau sudah tahu. Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Teecu baru pulang dari istana ketika bertemu dengan dia di atas rumah. Sayang teecu datang terlambat......."
"Biarlah, lain kali kita tentu akan dapat membekuknya. Ketahuilah bahwa gurunya yang bernama Suma Tiang Bun telah dapat kutewaskan malam itu. Sayang muridnya yang bernama Suma Cun Giok itu sempat melarikan diri."
Sunyi sejenak dan Siang Ni menundukkan mukanya. Panglima Kong Tek Kok memandang gadis itu dengan sinar mata mencinta.
"Hemm, jadi Ayahmu terbunuh oleh Suma Cun Giok? Engkau tentu akan membalas sakit hati ini. Sudah menjadi kewajibanmu sebagai puteri Pangeran Lu untuk membalas kematian Ayahmu. Jangan takut, Siang Ni, aku pasti akan membantu membasmi musuh besarmu itu."
Tak lama kemudian Panglima Kong Tek Kok berpamit dan meninggalkan ruangan itu di mana terdapat banyak tamu yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Pangeran Lu Kok Kong.
Siang Ni segera berjalan masuk untuk kembali ke kamar ibunya. Akan tetapi sebelum tiba di kamar itu, tiba-tiba ia mendengar jerit yang disusul oleh tangis.
Seketika muka Siang Ni menjadi pucat sekali dan bagaikan terbang ia melompat dan lari memasuki kamar ibunya. Ia berdiri terpukau di ambang pintu dengan sepasang mata terbelalak lebar-lebar melihat tiga orang ibu tirinya memeluk tubuh ibunya sambil memanggil-manggil dan menangis.
"Ibuuuuu.......!!" Siang Ni menjerit dan menubruk karena ia belum tahu betul apa sebabnya ibu-ibu tirinya menangis. Ketika ia memeluk ibunya, tahulah ia akan kenyataan yang amat mengerikan hatinya. Ibunya telah berpulang ke alam baka. Ibunya telah wafat!
Tiba-tiba tubuh Siang Ni menjadi lemas, seakan-akan semangatnya meninggalkan raganya. Pelukannya terlepas dan ia terkulai, tubuhnya roboh di atas lantai. Pingsan!
Dua tahun kemudian, seorang gadis yang berpakaian serba putih, menunggang seekor kuda, membalapkan kudanya di sepanjang lembah Sungai Huai. Gadis itu berusia sekitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, wajahnya cantik jelita walaupun tidak berbau bedak dan gincu, namun sayang wajah itu tampak muram dan alisnya berkerut seolah dara muda jelita itu menderita tekanan batin yang membuat ia sedih dan murung.
Sejak pagi tadi ia membalapkan kudanya tanpa mengaso sehingga tubuh kuda itu penuh keringat dan napas kuda itu mulai terengah-engah. Akhirnya, ketika tiba di lereng sebuah bukit, dalam sebuah hutan, kuda itu tidak kuat lagi dan mulai mogok, tidak mau melanjutkan larinya.
"Hayo lari cepat! Gadis itu membentak sambil menggencet perut kuda dengan kedua kakinya. Wajah yang murung itu kini membayangkan kekerasan hati.
Kuda itu meringkik kesakitan karena gencetan kedua kaki gadis itu amat kuatnya sehingga menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi kuda yang sudah kehabisan tenaga dan napas itu tetap tidak mau bergerak maju.
"Binatang keparat! Kau tetap tidak mau membantuku?" Kembali ia membentak dan sekarang gadis itu melompat turun dan membetot-betot kendali yang mengikat hidung kuda. Namun kuda itu meringkik-ringkik dan merasa hidungnya sakit, binatang itu mengangkat kedua kaki depan hendak menubruk gadis baju putih itu. Gadis itu berseru marah sekali dan begitu tangannya bergerak dengan cepat, sebatang pedang bersinar keemasan telah berkelebat dan kuda itu roboh berkelojotan sekarat dengan leher hampir putus!
Gadis itu mengerutkan alisnya, membersihkan pedang yang terkena sedikit darah, memasukkannya kembali ke dalam sarung pedang, mengambil buntalan pakaian dari atas sela mayat kuda lalu digendongnya buntalan itu.
Untuk beberapa saat ia memandang bangkai kuda, meludah dan berkata.
"Suma Cun Giok, kautunggu saja! Kalau kita saling bertemu, engkau pasti akan menjadi seperti kuda ini!"
Setelah berkata demikian ia lalu melanjutkan perjalanannya dengan berjalan cepat sekali. Wajahnya murung, matanya sayu dan ia sering menggigit bibirnya sendiri. Terkadang wajah yang membayangkan kekerasan itu berubah tampak berduka sekali, bahkan sepasang mata yang indah bentuknya itu menjadi basah dan kembali ia menggigit bibirnya menahan isak tangis.
Gadis itu bukan lain adalah Lu Siang Ni, puteri mendiang Pangeran Lu Kok Kong. Biarpun oleh ibunya ia telah dipesan agar jangan memusuhi Suma Cun Giok, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa adanya panglima yang membasmi keluarga Pouw dan yang menjadi biang keladi sehingga ibunya menikah secara paksa dengan Pangeran Lu, maka ia mencari Suma Cun Giok.
Bagaimanapun juga, Suma Cun Giok yang menyebabkan ibunya mati. Karena pemuda itu membunuh Pangeran Lu Kok Kong, maka ibunya terserang jantungnya sehingga meninggal dunia. Apalagi di sampingnya ada gurunya, Panglima Kong Tek Kok yang setiap hari membakar hatinya dengan kata-kata yang dianggapnya benar.
"Musuh besarmu itu memiliki ilmu silat yang tinggi," antara lain demikian kata Panglima Kong Tek Kok kepadanya.
"Dia adalah murid Suma Tiang Bun yang berhasil kutewaskan dengan bantuan para pengawal. Akan tetapi menurut pesan Suma Tiang Bun yang aku mendengar sendiri sebelum dia tewas, musuhmu itu harus belajar dan memperdalam ilmu silatnya kepada Susiok-couwnya. Kalau aku tidak salah duga, paman guru dari Suma Tiang Bun itu tentu seorang sakti yang bertapa di Pegunungan Ta-pie-san di sebelah selatan Lembah Sungai Huai. Maka, menurut pendapatku, kalau engkau hendak melakukan balas dendam, engkau harus belajar ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Kalau engkau dapat mewarisi seluruh kepandaianku, barulah engkau ada harapan untuk dapat berhasil membalas dendam dan membunuh musuh besarmu itu."
Ucapan Panglima Kong Tek Kok yang bernada membujuk dan membantunya itu tentu saja berpengaruh terhadap akal pikiran Siang Ni. Dahulu, sikap Panglima Kong wajar sebagaimana sikap seorang guru terhadap muridnya, akan tetapi sekarang sikapnya berbeda jauh.
Dalam memberi pelajaran, sikapnya amat mesra, bahkan kalau memberi petunjuk dan memegang lengan gadis itu, Siang Ni merasakan sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi gadis itu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk dapat menyerap semua ilmu dan kesaktian Panglima Kong agar kelak dapat membalas dendamnya yang mendalam, maka ia tidak peduli akan sikap gurunya itu.
Hal ini membuat Panglima Kong menjadi semakin berani dan dia sering mencari kesempatan untuk memperlihatkan berahinya pada muridnya itu. Bukan hanya dengan cara latihan silat berdua sehingga mereka seringkali saling bersentuhan. Bahkan dia juga mengajarkan latihan menghimpun tenaga sakti dengan cara-cara yang tidak wajar, misalnya mereka berdua berendam di dalam air waktu tengah malam, tentu saja hanya dengan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang! Atau mengajarkan ilmu menotok yang lebih dalam sehingga seringkali jari-jari tangannya menotok bagian-bagian tubuh Siang Ni yang seharusnya tidak boleh disentuh tangan laki-laki: Namun semua itu diterima oleh Siang Ni tanpa pernah membantah.
Bagi Siang Ni yang sudah piatu, sebatang kara di dunia ini, sisa hidupnya hanya ditujukan untuk membalas dendam. Membalas dendam kepada Suma Cun Giok dan mencari musuh besar yang dulu membasmi keluarga Pouw! Untuk dapat melakukan balas dendam ini dengan berhasil, ia harus memiliki kepandaian tinggi dan satu-satunya orang yang dapat menolong dan memberi kepandaian itu hanyalah Panglima Kong Tek Kok. Inilah sebabnya mengapa Siang Ni tidak mempedulikan sikap aneh dari gurunya. Ia seolah terbuai oleh bujukan gurunya yang pandai membujuk dan menasihatinya.
"Siang Ni, muridku yang manis. Mungkin kalau engkau sudah belajar selama dua tahun, menyerap ilmu-ilmu dariku, engkau sudah akan dapat menandingi dan mengalahkan Suma Cun Giok. Akan tetapi kalau pemuda musuh besarmu itu juga memperdalam ilmu silatnya, aku menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga, jangan engkau khawatir, muridku tersayang. Akulah orangnya yang rela membuang nyawa untuk membela dan membantumu. Kalau aku melihat engkau sudah sanggup menerimanya, lweekangmu (tenaga dalammu) sudah cukup kuat, aku akan mewariskan ilmuku yang paling hebat kepadamu, yaitu Siang-mo Kiam-hoat. Akan tetapi tidak boleh terburu-buru, harus menanti saatnya yang baik agar tidak sampai gagal."
Siang Ni terlalu banyak mencurahkan perasaan dan perhatiannya kepada niatnya membalas dendam sehingga ia kurang waspada akan hal-hal lain. Sikap dan kata-kata gurunya itu ditelan mentah-mentah dengan kepercayaan sepenuhnya. Baginya, di dunia ini hanya tinggal Panglima Kong Tek Kok seorang yang boleh dipercaya dan boleh dijadikan sandaran. Oleh karena itu, ia merasa berterima kasih sekali.
"Teecu hanya mengandalkan bantuan yang berharga dari Suhu yang berhati mulia. Kecuali Suhu, siapa lagi yang boleh teecu harapkan? Sakit hati teecu setinggi langit, apa pun yang terjadi atas diri teecu, teecu bersumpah untuk melaksanakan balas dendam ini, pertama-tama kepada jahanam Suma Cun Giok, kedua kepada si keparat yang telah membasmi keluarga Pouw."
"Lagi-lagi engkau menyebut-nyebut tentang orang yang membasmi keluarga Pouw. Engkau harus tahu bahwa pada waktu itu sedang kacau balau, pemerintah memang banyak membasmi para pengkhianat dan pemberontak. Para petugas yang membasmi pemberontak-pemberontak itu hanya menjalankan tugas melaksanakan perintah atasan. Jumlah para petugas amat banyak, bagaimana kita bisa mencarinya?"
"Bagaimanapun juga, teecu akan mencari sampai dapat dan membunuhnya!" kata Siang Ni.
Panglima Kong Tek Kok menghela napas panjang, kemudian dia memegang kedua tangan muridnya yang berkulit halus dan berkata dengan nada suara menghibur dan menyayang.
"Tenangkan hatimu, sayang. Akulah yang akan membantumu, Siang Ni. Sudah kukatakan berkali-kali, biarpun aku harus mempertaruhkan nyawaku, aku rela membelamu. Engkau amat baik terhadap aku, amat manis, dan aku sungguh sangat menyayangi dan mengasihimu, maka aku harus membalas sikapmu yang penurut, taat, dan menyayang kepada gurumu ini......."
Manusia seringkali terperosok ke dalam lembah dosa karena pengaruh nafsu yang selalu hendak mengejar sesuatu yang terkadang diberi nama indah seperti cita-cita dan tujuan. Pengejaran inilah yang menjerumuskan kita. Kalau nafsu keinginan memperoleh apa yang kita kejar itu telah mencengkeram kita, maka kita akan lupa diri, terbujuk iblis sehingga pengejaran demi mencapai tujuan itu menghalalkan segala cara! Kita lupa bahwa yang terpenting justeru caranya, bukan tujuannya.
Demikian pula dengan Siang Ni. Nafsu dendamnya untuk dapat membalas kepada musuhnya sedemikian besarnya sehingga ia tidak peduli lagi akan segala apa. Ditambah bujuk rayu Panglima Kong Tek Kok yang berpengalaman, akhirnya gadis itu tergelincir! Bahkan akhirnya untuk dapat mewarisi ilmu pedang yang paling diandalkan oleh gurunya, yang seolah menjual mahal ilmu itu, yaitu Siang-mo Kiam-hoat, Siang Ni rela menyerahkan dirinya dijadikan permainan dan pemuas nafsu berahi gurunya sendiri!
Setelah ilmu pedang Siang-mo Kiam-hoat itu ia dapatkan dan ia kuasai, barulah Siang Ni sadar akan besarnya pengorbanan yang telah ia berikan. Namun segalanya telah terjadi, yang tinggal hanya penyesalan. Maka, pada suatu malam, Siang Ni minggat meninggalkan Panglima Kong. Ia pergi tanpa memberitahu, membawa segala macam ilmu yang ia pelajari dari Panglima Kong Tek Kok selama dua tahun, membawa puIa pedang Kim-kong-kiam yang dulu dirampas Panglima Kong dari tangan Suma Tiang Bun, juga membawa pula aib yang menimpa dirinya!
Noda yang kini terasa amat melukai hatinya, yang ia terima dengan hati berdarah namun dengan ketabahan yang luar biasa, yang ia anggap sebagai pengorbanan ke arah tercapainya cita-cita tunggalnya, yaitu membalas dendam! Gadis ini telah dirusak oleh iblis yang berupa nafsu dendam kebencian karena sakit hatinya sehingga matanya tertutup tidak dapat melihat dan mempertimbangkan hal-hal lain lagi. Bagi Siang Ni, biarpun sebelah lengannya dipotong ia akan rela asalkan mendapat janji bahwa pengorbanan itu akan membuat balas dendamnya berhasil.
Demikianlah, pada siang hari itu, dengan menunggang seekor kuda Siang Ni tiba di Lembah Sungai Huai. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ia membunuh kudanya yang mogok karena kelelahan. Ia ingin cepat-cepat tiba di Pegunungan Ta-pie-san. Ingin cepat dapat bertemu muka dengan Suma Cun Giok agar dapat membalas dendam atas kematian ayah ibunya. Maka ia marah dan menganggap kuda itu menghalangi niatnya membalas dendam ketika kuda itu mogok lalu membunuhnya!
Seorang pengejar cita-cita yang sudah dipengaruhi nafsunya tentu akan menendang dan menyingkirkan siapa saja yang dianggap menghalangi pengejaran cita-citanya! Setelah membunuh kudanya yang merupakan bukti bahwa gadis itu telah dikuasai nafsu kebencian yang membuatnya dapat bertindak kejam, Siang Ni melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Dari wajahnya yang tidak dirias namun tetap tampak cantik jelita itu dapat dilihat bayangan bermacam-macam perasaan. Terkadang ia seperti orang marah dan wajahnya menjadi keras dan kejam kalau ia teringat akan musuh besar dan terbayang akan keadaan ayah ibunya yang telah mati. Agaknya ia akan tega menyembelih leher musuh besarnya dan ia akan suka minum darahnya, makan dagingnya untuk melampiaskan nafsu dendam sakit hatinya!
Di saat lain, wajahnya membayangkan kedukaan yang mendalam kalau ia teringat akan keadaan dirinya, sebatang kara, yatim piatu, apalagi kalau ia teringat akan pengorbanan yang telah ia berikan untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi dari Panglima Kong Tek Kok. Ia sama sekali tidak mau membayangkan peristiwa itu, bahkan ia selalu mengusir cepat-cepat setiap kali bayangan wajah gurunya itu muncul di dalam ingatannya.
Bayangan wajah Panglima Kong Tek Kok selalu menimbulkan rasa muak dan sebal, dan biarpun ia tidak mengakui dengan kata-kata, bahkan selalu menolak pikirannya sendiri, namun di dasar hatinya terdapat perasaan benci yang hebat terhadap Panglima Kong Tek Kok, gurunya yang telah menodai dan mempermainkan dirinya itu. Akan tetapi Siang Ni tidak mau mengenang hal itu lebih jauh.
Setiap kali kenangan itu datang, diusirnya seperti orang mencampakkan atau membuang sesuatu yang menjijikkan. Ia menganggap peristiwa itu seperti sebuah mimpi buruk yang sudah lewat, yang tidak perlu ia pikirkan lagi karena seluruh pikirannya kini ditujukan hanya kepada satu niat, yaitu mencari, menemukan dan membunuh Suma Cun Giok!
Siang Ni melanjutkan perjalanannya menuju Ta-pie-san. Dahulu gurunya mengatakan bahwa Suma Cun Giok akan belajar silat lagi kepada paman-kakek gurunya yang bertapa di pegunungan itu. Maka dengan nekat dan untung-untungan ia tidak mempedulikan jarak jauh, melakukan perjalanan ke Ta-pie-san mencari Suma Cun Giok.
Dengan ilmunya yang kini meningkat tinggi setelah selama dua tahun ia memperdalam di bawah bimbingan Panglima Kong Tek Kok, ia berlari cepat sekali. Dalam usaha mencari musuh besarnya, Siang Ni melupakan segala, lupa dan tidak mengenal lelah, sedikit sekali memperhatikan kepentingan diri sendiri. Ia baru tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan kantuk, tidur asal menggeletak di mana saja. Ia baru makan kalau tubuhnya sudah gemetar dan perutnya sudah menggeliat-geliat kelaparan, juga makan apa saja yang dapat dimakan asal mengenyangkan perutnya.
Patut dikasihani nasib Siang Ni, seorang puteri bangsawan, anak tunggal seorang pangeran yang tadinya selalu hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, dimanja dan selalu penuh kesenangan. Akan tetapi sekarang hidup sengsara, yatim-piatu, bahkan ia telah terhina dan ternoda oleh gurunya sendiri. Ia merasa dirinya kotor, hina dina, tertimpa aib yang membuat ia kehilangan harga dirinya. Di samping semua kegetiran itu, hatinya panas membara dengan dendam. Ia harus membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Pouw Cun Giok!
Setibanya di Puncak Ta-pie-san, Siang Ni bertemu dengan seorang kakek tua yang sedang mengumpulkan ranting dan kayu kering di bawah pohon-pohon. Kakek ini berpakaian sederhana sekali, seperti seorang kakek dusun yang miskin. Siang Ni menghampiri dan bertanya dengan lembut.
"Maaf, Lopek. Aku mohon pertolonganmu."
Kakek itu yang tadinya membungkuk untuk memunguti kayu bakar, berdiri dan tubuhnya kurus kering, punggungnya agak bongkok. Ditatapnya wajah Siang Ni dan sinar keheranan membayang di wajahnya yang penuh keriput.
"Bagaimana seorang tua bangka macam aku dapat menolong seorang muda seperti engkau, Nona?"
Siang Ni tersenyum kecil. Kelakar kakek itu menyenangkan hatinya.
"Aku hanya mohon keteranganmu, Lopek. Apakah di pucak Bukit Ta-pie-san sini terdapat seorang pertapa yang sakti?"
"Pertapa sakti? Siapa namanya?"
"Aku tidak tahu namanya, Lopek. Hanya aku mencari seorang pertapa sakti yang tinggal di puncak Ta-pie-san. Adakah pertapa sakti di sekitar tempat ini?"
"Di sini tidak ada pertapa sakti," kakek itu menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada juga kutahu seorang tua bangka, boleh kau sebut dia pertapa, akan tetapi sama sekali tidak sakti. Bahkan dia itu seorang pertapa tolol, bodoh dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa."
Siang Ni mengerutkan alisnya. Apakah sia-sia saja ia datang dari jauh ke tempat ini?
"Di mana rumah pertapa itu, Lopek?" Ia harus menyelidiki dulu sebelum turun gunung dengan tangan hampa.
Kakek itu mengumpulkan lagi kayu bakar sambil bersungut-sungut.
"Pertapa tolol dicari, mau apa sih? Mau tahu rumah pertapa bodoh itu? Nah, itu di sana, di bawah kelompok pohon cemara itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu kembali membungkuk dan memunguti ranting dan daun kering, tidak memperhatikan lagi kepada gadis yang masih berdiri di situ.
Siang Ni maklum bahwa kakek itu tidak mau diganggu lagi. Ia mengerti pula bahwa orang-orang yang tinggal di tempat sunyi terpencil seperti ini memang aneh-aneh wataknya.
"Terima kasih, Lopek," katanya sambil memberi hormat kepada kakek itu. Kemudian dengan langkah lebar dan pengerahan ilmu berlari cepat, ia mendaki puncak menuju ke tempat yang ditunjuk oleh kakek dusun tadi. Ketika ia menoleh, ia melihat kakek itu masih memunguti bahan bakar sambil bersungut-sungut.
Setelah tiba di puncak sebelah barat, benar saja ia melihat sebuah pondok bambu reyot (lapuk) berdiri miring di bawah sekelompok pohon cemara. Bukan main indahnya pemandangan alam di tempat itu. Daerah pegunungan terbentang luas di sekelilingnya, merupakan pemandangan alam yang beraneka ragam dan warna, dilatar belakangi warna hijau yang menyejukkan pandang mata. Terdengar suara gemerisik ketika angin membelai daun-daun cemara yang menimbulkan suara gemerisik lirih dan halus sekali seperti bidadari-bidadari berbisik lembut di dekat telinganya. Hawanya sejuk dan segar dan udara yang dihisapnya amat bersih dan menyegarkan.
Siang Ni berdiri di depan pondok bambu lapuk itu, tidak berani lancang melongok ke dalam. Dari luar ia berseru.
"Teecu (murid) Lu Siang Ni yang muda dan bodoh mohon diberi ijin menghadap Lo-cianpwe yang mulia di dalam pondok!"
Gadis ini sudah memiliki pengalaman cara bergaul dengan orang-orang gagah dunia persilatan, maka ia tahu akan peraturan di dunia kang-ouw dan tahu pula akan bagaimana sikap yang baik menghadap seorang pertapa yang dihormati. Biarpun kakek dusun tadi mengatakan bahwa penghuni pondok itu hanya seorang pertapa tolol, namun ia tidak mau bersikap lancang dan kurang hormat. Orang-orang di dunia kang-ouw (dunia persilatan) banyak yang aneh sikapnya, aneh dan terkadang di luar dugaan sama sekali.
Sampai lama ucapannya tadi tidak terjawab. Kemudian, setelah hampir habis kesabaran gadis itu, terdengar suara dari dalam pondok.
"Pondokku tidak berpintu, masuklah!"
Siang Ni memasuki pondok lewat lubang yang tidak berdaun pintu. Ternyata pondok itu hanya mempunyai satu ruangan kecil tanpa kamar, tanpa pintu dan tanpa jendela sehingga cuaca di dalamnya remang-remang. Di dalam pondok tidak terdapat perabotan kecuali sebuah dipan bambu yang diduduki seorang kakek yang bersila dan tak bergerak seperti sebuah patung.
Setelah pandang matanya terbiasa dalam keadaan remang-remang itu dan Siang Ni dapat melihat kakek itu dengan lebih jelas, ia terkejut bukan main. Kakek itu ternyata adalah kakek dusun yang tadi mengumpulkan kayu ranting kering dan yang ia tanyai!
Siang Ni terkejut karena bagaimana mungkin kakek itu sudah duduk di dalam pondok? Bilakah kakek itu tiba di situ. Padahal tadi ia melakukan pendakian dengan ilmu berlari cepat. Andaikata kakek ini berlari cepat melampauinya, mengapa ia tidak melihatnya? Saking kagetnya Siang Ni hanya berdiri termangu-mangu tanpa dapat mengeluarkan suara.
"Mengapa engkau bengong saja? Apa keperluanmu mencari pertapa tolol di puncak Ta-pie-san?" terdengar kakek itu bertanya, suaranya terdengar tidak senang karena hidupnya yang biasanya selalu tenang dan damai itu kini terganggu.
Dia maklum bahwa setiap kali ada orang dunia ramai datang ke situ, berarti akan datang pula gangguan dalam hidupnya. Apalagi yang datang sekarang adalah seorang gadis muda dan cantik yang tampaknya penuh dengan nafsu amarah di samping ada tanda bahwa gadis itu menderita batin yang hebat.
Mendengar pertanyaan itu barulah Siang Ni sadar dari lamunannya karena terkejut dan heran tadi. Dengan hormat ia menjura dan berkata.
"Harap Lo-cianpwe memberi maaf sebanyaknya kalau aku yang muda datang mengganggu. Sebenarnya kedatanganku ini untuk mencari seorang pemuda yang bernama Suma Cun Giok."
Kakek yang tadinya menundukkan muka itu kini mengangkat alisnya dan sepasang matanya bagaikan kilat menyambar ke arah wajah Siang Ni.
"Engkau mencari Suma Cun Giok untuk apakah?"
"Mau kubunuh mampus!" kata Siang Ni dengan tabah dan terus terang.
Kakek itu mengangkat muka, menatap wajah gadis itu sepenuhnya lalu dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau jujur! Akan tetapi, mengapa engkau mencarinya di sini? Dan mengapa pula engkau hendak membunuh orang?"
"Karena aku mendengar bahwa Suma Cun Giok belajar silat pada Susiok-couwnya (Paman kakek-gurunya) yang tidak kuketahui namanya. Aku hanya mendengar bahwa susiok-couwnya itu mungkin tinggal di puncak ini. Adapun tentang mengapa aku hendak membunuhnya, karena dia juga telah membunuh ayah ibuku!"
"Aku tidak percaya Cun Giok melakukan hal itu!" kata kakek itu tegas.
"Mengapa tidak percaya? Kenalkan Lo-cianpwe padanya?"
"Tentu saja! Akulah Susiok-couwnya yang kau sebut-sebut tadi. Aku yang mengajar dia sampai hampir dua tahun di tempat ini. Aku tahu bagaimana wataknya, maka aku tidak percaya bahwa dia telah membunuh ayah bundamu."
Berdebar rasa hati Siang Ni. Tak disangkanya bahwa kakek inilah guru besar dari pemuda yang menjadi musuh besarnya itu. Tidak mengherankan kalau kakek ini demikian lihainya. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa takut.
"Tidak ada guru di dunia ini yang tidak membela muridnya. Betapapun bodohnya aku, belum begitu gila untuk menuduh orang membunuh ayah bundaku kalau tidak terbukti. Suma Cun Giok telah membunuh ayahku, Pangeran Lu Kok Kong, dan ibuku meninggal dunia saking kaget dan sedihnya. Bukankah itu berarti bahwa Suma Cun Giok telah membunuh ayah ibuku?"
Kakek itu tampak terkejut.
"Ah, jadi engkau puteri seorang pangeran?" Dia memandang penuh perhatian dan kelihatan kagum sekali.
"Sebagai puteri seorang pangeran engkau sampai bersengsara mencari musuh besar hendak membalas dendam, benar-benar engkau seorang yang u-hauw (berbakti)!"
"Lo-cianpwe, di mana adanya musuh besarku itu? Kalau Lo-cianpwe sudah tahu bahwa ayah bundaku terbunuh olehnya, tentu Lo-cianpwe tidak keberatan memberitahu padaku di mana dia berada."
Kakek itu menarik napas panjang.
"Aahhh, dendam-mendendam, balas-membalas, pembalasan dibalas dengan lain pembalasan! Ikatan karma makin membelenggu erat dan selamanya tidak akan terbebas. Ah, manusia memang buta, tidak sadar apa yang dilakukannya, menurutkan hawa nafsu belaka. Nona, Suma Cun Giok membunuh ayahmu untuk membalas dendam, sekarang engkau mencarinya untuk membalas dendam dan membunuhnya pula. Seyogianya aku tidak memberitahu kepadamu di mana adanya pemuda itu. Akan tetapi karena engkau begini jujur dan juga berbakti, aku tidak tega. Cun Giok sudah tiga bulan yang lalu turun gunung, pergi ke So-couw mengunjungi makam orang tuanya, dan menurut pengakuannya, dari So-couw dia akan ke kota raja. Kalau sekarang engkau pergi ke So-couw, lalu kalau dia tidak dapat kautemukan di sana, engkau langsung pergi ke kota raja, kiranya engkau akan dapat bertemu dengan dia."
Siang Ni menjura penuh hormat.
"Lo-cianpwe, engkau seorang pertapa sakti yang berhati mulia. Terima kasih!"
Siang Ni hendak pergi, akan tetapi kakek itu berkata.
"Nona, engkau seorang gadis yang baik, sayang kalau engkau lanjutkan keinginanmu menuruti nafsumu membalas dendam. Aku akan merasa berbahagia sekiranya engkau dapat mengubah kehendakmu itu. Pula, perlu kuberitahukan padamu bahwa kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkan Cun Giok."
Akan tetapi mana mau Siang Ni mendengarkan omongan itu? Tanpa berkata sesuatu ia sudah berlari cepat meninggalkan Ta-pie-san. Ia percaya penuh keterangan kakek tadi maka ia segera mengarahkan perjalanannya ke So-couw.
Memang sejak ia mendengar bahwa keluarga ibunya berasal dari So-couw, hatinya ingin sekali berkunjung ke sana untuk melihat kota kelahiran atau kampung halaman ibunya. Akan tetapi sayang, belum juga keinginannya itu dilaksanakan, ibu dan ayahnya telah tewas dengan cara yang amat menyedihkan. Sekarang ia pergi ke So-couw bukan untuk melihat-lihat tempat kelahiran ibunya, melainkan untuk mencari musuh besarnya, membalas dendam kematian ayah bundanya.
Dalam perjalanan itu ia seringkali termenung. Ia teringat akan penjelasan mendiang ibunya bahwa Suma Cun Giok adalah kakak misannya! Ah, kalau saja dia benar kakak misannya, kalau saja tidak ada urusan dendam sakit hati terhadap pemuda itu, alangkah akan terhibur hatinya untuk mengunjungi kakak misannya dan bersama-sama mencari sanak keluarga ibunya! Adapun sanak keluarga dari pihak ayahnya memang banyak sekali, semuanya bangsawan di kota raja. Akan tetapi ia adalah anak dari selir yang paling muda, maka ketika ayahnya masih hidup saja ia merasa dipandang rendah. Apalagi sekarang ayahnya telah meninggal dunia, ia tentu tidak akan diakui oleh keluarga pihak ayahnya. Ia pun akan merasa senang dan bangga sekali mempunyai seorang kakak misan yang tampan dan gagah perkasa!
Akan tetapi kalau ia teringat betapa pemuda yang bernama Suma Cun Giok itu telah membunuh ayahnya sehingga ibunya juga meninggal dunia saking duka, bahkan yang mengakibatkan ia menjadi yatim piatu, sebatang kara, menderita tekanan batin, sengsara dan bahkan telah mengorbankan kehormatan dirinya dinodai gurunya agar dapat melaksanakan cita-citanya membalas dendam, semua ini membuat ia merasa amat benci kepada pemuda itu!
"Aku akan membunuhnya! Aku akan memenggal batang lehernya seperti yang dia lakukan terhadap ayahku!" bisik suara hatinya dengan marah.
"Kemudian aku akan mencari si keparat pembunuh keluarga ibuku. Setelah itu...... setelah itu...... tiada gunanya lagi aku hidup, lebih baik aku menyusul Ayah dan Ibu......."
Kota So-couw yang terletak di sebelah barat Terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, kota yang berada di perbatasan antara Propinsi Kiang-si dan An-hui, makin ramai saja. Perdagangan di tempat itu berkembang karena kota ini merupakan kota hidup yang menghubungkan daerah antara dua propinsi itu dan menjadi pusat perdagangan.
Komentar
Posting Komentar