PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 04

 



   Tentu saja nasehat ini diingat baik-baik oleh semua gadis yang berada di situ, akan tetapi sebaliknya membuat Kui-thaijin dan kawan-kawannya meringis. Sudah barang tentu dia dan kawan-kawannya tidak berani berkutik, takkan berani berbuat kurang ajar terhadap gadis-gadis itu yang sudah mendapat nasihat dari Siang Ni.

   "Gadis setan......!" Diam-diam Pembesar Kui dan kawan-kawannya memaki Siang Ni dalam hati mereka.

   Setelah memberi peringatan keras kepada Kui-thaijin untuk menjalankan tugas sebagai pembesar dengan bijaksana dan adil, Siang Ni lalu keluar dari tempat itu, mengambil kudanya yang dititipkan di luar kota, kemudian membalapkan kudanya pulang ke kota raja. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan marah kepadanya karena ayahnya tidak pernah melarangnya melakukan perjalanan ke luar kota raja. Akan tetapi ibunya yang selalu menegurnya, karena ibunya khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak baik atas diri puteri tunggalnya. Betul saja, begitu ia melompat dari kuda yang diterima oleh pelayan dan penjaga kuda, lalu berlari memasuki gedung ayahnya, ia disambut ibunya dengan alis berkerut.

   "Ibu, engkau tampak semakin muda dan cantik saja!" Siang Ni mendahului merangkul dan mencium ibunya.

   Bagaikan sepotong es terkena panas, seketika kemarahan ibunya mencair demi mendengar kata-kata pujian dan melihat sikap Siang Ni.

   "Anakku, engkau selalu menggelisahkan hati orang tua," Ibunya menegur lembut.

   "Dari mana sajakah engkau?"

   "Mari kita masuk dulu, Ibu. Tidak enak bicara di sini." Gadis itu dengan sikap manja menarik tangan ibunya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan dalam, Siang Ni memberi hormat kepada ibu-ibu tirinya yang berjumlah delapan orang. Para ibu tiri yang tidak mempunyai anak itu semua amat sayang kepada Siang Ni dan memperlakukan gadis itu seperti anak mereka sendiri sehingga gadis bangsawan yang beribu sembilan orang ini tentu saja menjadi semakin manja!

   Akhirnya ibu dan anak itu duduk berdua dalam kamar. Pouw Sui Hiong atau Nyonya Lu Kok Kong yang kesembilan, duduk di tepi pembaringan sedangkan Siang Ni yang sudah berganti pakaian cepat-cepat melempar dirinya ke atas pembaringan, memeluk guling dan menceritakan pengalamannya,
terkadang sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   Pouw Sui Hong atau Nyonya Lu memang akhir-akhir ini mengetahui juga bahwa puterinya memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya menghela napas panjang ketika ia mengetahui akan hal ini. Akan tetapi kadang-kadang ia pun menjadi amat gelisah mendengar puterinya menceritakan pengalamannya yang hebat-hebat seperti yang diceritakannya sekarang. Dengan gaya manja dan juga lucu, Siang Ni menceritakan bagaimana ia telah menghajar Kepala Daerah Pao-ting bersama kaki tangannya, dan betapa ia menolong gadis-gadis yang hendak dipaksa menjadi calon Siu-li.

   Tidak seperti biasanya kalau mendengarkan puterinya bercerita tentang pertempurannya melawan para penjahat yang membuat hatinya gelisah dan takut, sekali ini mendengar betapa puterinya menolong para gadis yang dipaksa menjadi calon Siu-li, hati nyonya itu merasa terharu sekali. Dipeluknya Siang Ni dan Nyonya Lu menangis terisak-isak.

   Siang Ni terkejut sekali. Ia bangkit duduk sambil melepaskan rangkulan ibunya, untuk melihat wajah ibunya.

   "Eh, lbu. Ada apakah? Apakah kesalahanku, apakah aku membuat Ibu berduka?"

   Ibunya menggeleng-gelengkan kepala dan mengelus-elus rambut puterinya dengan penuh kasih sayang.

   "Habis, mengapa Ibu menangis? Apakah......" Siang Ni berhenti dan menatap wajah ibunya dengan pandang mata penuh selidik.

   "Apakah Ayah marah kepada Ibu? Apakah seorang di antara ibu-ibu lain itu......."

   Sui Hong merangkul puterinya.

   "Tidak, Anakku. Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku hanya terharu mendengar betapa engkau telah menolong gadis-gadis yang patut dikasihani itu. Aku merasa bersyukur sekali, Siang Ni, bahwa engkau Anakku dapat melakukan pekerjaan mulia itu. Alangkah akan sengsaranya hati mereka itu kalau engkau tidak menolong mereka."

   Siang Ni adalah seorang gadis remaja yang cerdik sekali. Ia pandai merangkai kenyataan yang satu dengan hal-hal lainnya. Menyaksikan keharuan ibunya, ia menjadi semakin curiga. Sejak masih kecil, seringkali ia minta ibunya mendongeng tentang riwayat ibunya. Ia hanya mengenal nenek moyang dan keluarga ayahnya, keturunan pangeran ini, pembesar-pembesar ini, bahkan dari kaisar itu sampai ia menjadi bosan. Juga ia mendengar riwayat para ibu tirinya yang kesemuanya mempunyai keluarga, mempunyai kampung halaman dan cerita mereka itu amat menarik hati. Akan tetapi ibunya sendiri tidak pernah menceritakan riwayat dirinya sebelum menjadi isteri ayahnya.

   "Aku seorang yatim piatu, tak berayah ibu lagi, tidak ada saudara, tidak mempunyai kampung halaman." hanya demikian jawaban ibunya kalau dahulu ia bertanya. Padahal ia ingin ibunya menceritakan apa yang dialami ibunya ketika masih kanak-kanak sampai dewasa, seperti para ibu lain bercerita. Kini menghadapi ibunya yang menjadi terharu dan menangis tersedu-sedu mendengar akan nasib para calon Siu-li yang dipaksa, diam-diam Siang Ni mempunyai dugaan bahwa nasib ibunya dahulu tentu mirip dengan nasib para calon Siu-li paksaan itu. Maka dengan manja ia menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

   "Ibu, apakah Ibu mencinta Siang Ni?"

   Seketika Nyonya Lu menghentikan tangisnya dan menghapus air mata untuk dapat memandang puterinya baik-baik. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan hatinya.

   "Apa maksudmu, Anakku? Mengapa engkau bertanya begitu? Sudah tentu aku mencintamu, lebih daripada segala apa pun di dunia ini!"

   "Kalau benar Ibu mencintaku, mengapa Ibu selalu membuat aku bimbang dan penasaran? Mengapa Ibu selalu merahasiakan sesuatu?"

   Sui Hong terkejut dan dapat menduga ke mana tujuan kata-kata anaknya yang amat cerdik itu, akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti.

   "Eh, Siang Ni, kau bicara apa? Rahasia apa?"

   Bibir yang merah membasah dan bentuknya manis indah itu cemberut, mata kanannya disipitkan, pundaknya digoyang-goyang dan matanya menjadi basah. Dulu diwaktu kecil, semua ini masih ditambah dengan kedua kaki kecil itu dibanting-banting, sikap ngambek dan manjanya tampak.

   "Ibu, aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah remaja, hampir dewasa, sudah dapat berpikir panjang, menggunakan akal dan pertimbangan dengan masak. Ibu tahu pula bahwa aku murid seorang panglima besar dan aku memiliki kekuatan dan kemampuan, bukan seorang gadis lemah berpenyakitan yang tidak berdaya. Oleh karena itu, biarpun Ibu selalu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu bahwa di balik riwayat hidup Ibu ada sesuatu yang hendak Ibu sembunyikan dari aku. Bukankah begitu? Kalau tidak demikian, mengapa Ibu tidak pernah mau terus terang bercerita tentang keluarga Ibu, siapa ayah bunda Ibu, dari mana asal kampung halaman dan bagaimana pula Ibu bisa berada di sini menjadi isteri yang kesembilan dari seorang pangeran, yaitu ayah Lu Kok Kong?"

   "Ssttt....... Anakku....... diamlah......!" Tiba-tiba Sui Hong menangis sedih.

   Siang Ni memeluk ibunya dan ikut menangis.

   "Ampun Ibu, aku tidak bermaksud menyakiti hati Ibu. Akan tetapi kasihanilah Anakmu ini, Ibu. Ceritakanlah agar aku tidak menjadi sakit karena penasaran mengingat akan riwayat Ibu yang masih gelap itu."

   Sui Hong menghela napas panjang, kemudian ia menghapus air matanya dan berkata lirih dan lembut.

   "Baiklah, Anakku. Kelak akhirnya engkau pun akan mengetahui juga, karena biarpun tidak mendengar dari mulut Ibumu sendiri, orang lain tentu akan bercerita kepadamu. Tidak ada rahasia yang dapat ditutup rapat untuk selamanya, pasti akan tiba masanya terbuka."

   Dengan girang Siang Ni lalu duduk di samping ibunya dan siap mendengarkan cerita ibunya dengan penuh perhatian.

   "Nenek moyang Ibumu sesungguhnya bukan orang-orang berderajat rendah." Sui Hong mulai bercerita dengan suara bersemangat dan bangga.

   "Keluarga Pouw semenjak ratusan tahun lalu terkenal sebagai keluarga keturunan bangsawan, bangsawan tinggi yang selain mengabdi kepada negara, juga amat dikenal sebagai pahlawan-pahlawan bangsa, patriot-patriot sejati yang berjiwa besar. Dahulu rakyat di seluruh tanah air mengenal dua saudara Pouw yang hebat. Pouw Goan Keng menjadi Menteri Kesusastraan yang dipuja karena kepandaiannya, sedangkan adiknya Pouw Cong Keng menjadi panglima yang terkenal gigih menghadapi barisan bangsa Kin. Pendeknya pada masa itu, di seluruh negeri tidak ada seorang ahli sastra yang melebihi kakek besarmu Pouw Goan Keng dan tidak ada seorang ahli perang yang melebihi kakek besarmu Pouw Cong Keng."

   Sepasang mata Siang Ni bersinar, mukanya berseri karena ia ikut bangga mendengar akan kehebatan nenek moyang ibunya. Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena tidak ingin mengganggu cerita ibunya.

   "Kakek buyutmu bernama Pouw Bun juga bukan orang sembarangan karena dahulu pernah menjabat kedudukan Jaksa di kota raja. Sayang sekali kakek dan nenekmu meninggal dunia karena sakit ketika ibumu masih kecil. Oleh karena itu, Ibumu dan paman besarmu yang bernama Pouw Keng In tinggal bersama kakek dan nenek buyutmu. Juga paman besarmu Pouw Keng In adalah seorang pencinta bangsa dan dia membuktikan perasaan dan jiwa patriotnya melalui tulisan-tulisannya, berupa sajak-sajak yang bersemangat. Akan tetapi...... nasib sudah ditentukan oleh Thian, malapetaka hebat menimpa keluarga Pouw......" Wajah Sui Hong tampak muram dan berduka sekali karena semua peristiwa dahulu terbayang kembali di depan matanya.

   "Nasib buruk apakah yang telah menimpa keluarga kita itu, Ibu?"

   "Ketika hal itu terjadi, Ibumu ini masih muda remaja, sedikit lebih tua daripada engkau, Siang Ni. Malapetaka itu diawali perbuatan seorang pelayan kakekmu bernama Can Sui yang menaruh hati kepada Ibumu dan mau berbuat kurang ajar. Dia dimarahi dan diusir dari rumah. Jahanam itu yang tadinya mengagumi sajak-sajak patriotik Paman besarmu, lalu membawa beberapa tulisan sajak itu kepada pejabat pemerintah Kerajaan Goan. Tentu saja keluarga Pouw lalu dituduh memberontak karena sajak-sajak patriotik itu menyatakan ketidakrelaan hati Paman besarmu melihat tanah air dijajah bangsa Mongol. Akibatnya, rumah kakekmu diserbu pasukan pemerintah. Kakakku Pouw Keng In dan isterinya yang sedang mengandung tua, bersama aku melarikan diri dari kejaran pasukan yang ganas itu. Adapun Kakek dan Nenekku tidak mau meninggalkan rumah dan mereka rela tewas bersama hancurnya rumah kami. Kami bertiga, Kakak Pouw Keng In dan isterinya yang bernama Tan Bi Lian, dan aku sendiri yang melarikan diri......."

   Sampai di sini Sui Hong tak dapat menahan isak tangisnya. Ia teringat betapa kakak dan kakak iparnya telah menjadi korban anak panah.

   "Bagaimana selanjutnya, Ibu?" Siang Ni bertanya, mukanya berubah kemerahan seperti orang marah. Memang gadis ini marah sekali kepada orang yang bernama Can Sui, pengkhianat yang sudah menghancurkan kehidupan keluarga ibunya.

   "Kasihan paman besarmu Pouw Keng In dan isterinya......, mereka telah menjadi korban anak panah ketika kami bertiga dengan nekat menyeberangi sungai. Aku melihat anak panah menancap di tubuh kakakku dan isterinya dan mereka hanyut terbawa air sungai......." Sui Hong menutupi matanya dengan kedua tangan seolah hendak menutupi bayangan peristiwa yang amat menyedihkan itu.

   "Kejam sekali!" Siang Ni berseru dan tampak marah sekali.

   "Ibu, manusia macam apakah yang melakukan perbuatan keji itu?"

   "Dia seorang panglima, Siang Ni, pemimpin dari pasukan yang mengejar kami."

   "Siapakah dia, Ibu? Masih ingatkah siapa orangnya?"

   Tentu saja Sui Hong masih ingat dengan baik siapa adanya panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Kong Tek Kok, panglima besar yang sampai sekarang masih tinggal di kota raja dan panglima itu bahkan telah menjadi guru Siang Ni! Mengingat akan kedudukan Panglima Kong Tek Kok dan kelihaiannya, apalagi kini telah menjadi guru Siang Ni, Sui Hong tidak berani berterus terang. Ia khawatir puterinya akan menjadi nekat dan bagaimana mungkin puterinya mampu melawan Panglima Kong Tek Kok yang menjadi gurunya sendiri?

   "Aku masih ingat orangnya, akan tetapi tidak tahu namanya. Mungkin dia sudah tewas dalam perang. Orang jahat tidak akan selamat, Anakku."

   "Ah, sayang. Kalau Ibu tahu siapa orangnya, aku ingin sekali mencarinya dan membalas dendam atas kekejamannya terhadap keluarga Ibu. Apakah yang membunuh Kakek dan Nenek buyut juga orang itu?"

   "Tentu saja, karena dia yang memimpin pasukan itu."

   "Jahanam keparat! Kemudian bagaimana, Ibu? Bagaimana Ibu sendiri dapat terbebas dari bahaya maut itu?"

   Sui Hong menarik napas panjang.

   "Mungkin karena pada waktu itu Ibumu ini dianggap berwajah cantik......."

   "Sampai sekarang pun Ibu tetap merupakan wanita tercantik di kota raja!" kata Siang Ni bangga sambil menatap wajah ibunya yang memang masih tampak jelita.

   Kembali Sui Hong menarik napas panjang.

   "Itulah salahnya. Kalau saja wajahku buruk, kiranya nasibku tidak seburuk itu."

   "Mengapa Ibu berkata demikian?" Siang Ni merasa penasaran.

   "Bukankah Ibu sekarang hidup bahagia bersama ayah dan aku?"

   Sui Hong merangkul anaknya.

   "Memang begitulah, Siang Ni. Sekarang aku merasa berbahagia, asal saja engkau tidak mengalami segala kesengsaraan yang telah dialami Ibumu, aku sudah merasa senang dan tidak mengharapkan apa-apa lagi."

   "Akan tetapi bagaimana lanjutan cerita tadi, Ibu? Aku ingin sekali mendengar bagaimana Ibu lolos dari bahaya maut. Bukankah tadi Ibu menceritakan bahwa Ibu sedang menyeberangi sungai bersama Paman Pouw Keng In dan Bibi Tan Bi Lian yang tewas terkena anak panah?"

   "Aku agaknya memang belum ditakdirkan mati dan masih harus melanjutkan riwayat hidupku. Pemimpin pasukan itu agaknya tertarik kepadaku dan dia lalu menolongku dari sungai dan menawanku."

   "Hemm, aku sekarang mengerti!" Siang Ni berseru dan Sui Hong kaget sekali, mengira bahwa anaknya entah bagaimana caranya sudah mengetahui tentang pembunuh keluarga Pouw.

   "Apa yang kau mengerti, Siang Ni?" tanyanya cemas.

   Siang Ni tersenyum.

   "Aku dapat menduga kelanjutan ceritamu, Ibu. Tentu sebelum pemimpin pasukan itu berbuat jahat terhadap Ibu, Ayah muncul dan menolong Ibu dari tangannya! Bukankah begitu, Ibu? Ataukah salah dugaanku?"

   Sui Hong menarik napas lega. Memang demikianlah sebaiknya, tidak ada alasan lain yang lebih tepat untuk menceritakan kepada anaknya bagaimana ia bisa menjadi isteri kesembilan dari Pangeran Lu Kok Kong!

   "Engkau cerdik sekali, Siang Ni. Memang, tadinya panglima itu hendak menjadikan aku selirnya akan tetapi aku menolak keras. Untungnya ayahmu mengetahui akan hal itu dan dia berhasil menolongku terbebas dari tangan panglima itu. Kemudian karena ayahmu tidak mempunyai keturunan, dia lalu melamar aku. Aku sendiri, untuk membalas budinya, menerima lamarannya. Demikianlah, Siang Ni. Engkau sekarang tahu betapa menyedihkan riwayatku, maka selama ini aku tidak pernah menceritakannya kepadamu. Untuk apa menggali kenangan lama yang menyedihkan? Keluargaku dahulu, keluarga Pouw, telah musnah. Akan tetapi aku sekarang bukan anggauta keluarga Pouw lagi, dan kita berdua adalah anggauta keluarga Lu."

   "Akan tetapi, Ibu, aku harus mencari jahanam yang menjadi biang keladi musnahnya keluarga Pouw itu! Di manakah kini jahanam Can Sui itu berada, Ibu? Bagaimana pula orangnya, apakah dia memiliki kepandaian silat yang tinggi?"

   Sui Hong menggelengkan kepalanya.

   "Dia orang biasa, tidak pandai ilmu silat dan setelah peristiwa itu, dia menghilang dan aku tidak pernah mendengar lagi tentang dia."

   "Hemm, kalau begitu, aku akan mencari panglima keparat yang telah membunuh Kakek dan Nenek buyut, juga Paman dan Bibi. Aku harus membunuhnya! Ibu, ceritakan padaku bagaimana orangnya? Apakah Ibu tahu dia di mana sekarang dan apakah ilmu silatnya sangat tinggi?"

   "Tentu saja, kalau tidak bagaimana dia bisa menjadi panglima yang memimpin pasukan besar. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa dia dan di mana tinggalnya. Aku pun tidak tahu apakah dia masih hidup ataukah sudah mati......."

   Tiba-tiba Siang Ni melompat berdiri sehingga Sui Hong terkejut. Gadis remaja itu menampar kepalanya sendiri, matanya bersinar-sinar.

   "Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalau Ibu tidak tahu, tentu Ayah mengetahuinya. Bukankah Ayah yang dahulu menolong itu dan menyelamatkan lbu dari tangannya? Ibu, aku hendak menyusul Ayah dan bertanya kepadanya tentang musuh besar itu!"

   Sui Hong mengerutkan alisnya. Ia merasa khawatir sekali melihat sikap anaknya. Tentu saja Pangeran Lu Kok Kong tahu siapa sebenarnya musuh besar yang telah membasmi keluarga Pouw. Akan tetapi ia maklum bahwa suaminya tidak akan mau menceritakan siapa orang itu kepada Siang Ni, apalagi karena agaknya suaminya memang tidak menghendaki dilakukannya balas dendam kepada panglima yang kini malah menjadi guru Siang Ni itu. Biarpun demikian, kalau anak ini terus mendesak ayahnya yang amat menyayang puterinya itu, bagaimana?

   "Siang Ni, engkau jangan tergesa-gesa. Ayahmu sedang menghadap Sribaginda Kaisar di Istana, kalau sekarang tidak sedang dalam persidangan, tentu sedang mengadakan pembicaraan penting dengan para pembesar lain. Bagaimana engkau berani mengganggunya? Tunggulah kalau Ayahmu sudah pulang, nanti engkau boleh bicara perlahan-lahan. Aku pun sangsi apakah Ayahmu tahu siapa orang itu."

   "Mustahil kalau Ayah tidak tahu! Aku sudah tidak sabar lagi menanti, Ibu. Ayah terkadang sampai jauh malam baru pulang. Biar aku mencarinya sekarang!" Tanpa dapat dicegah lagi gadis itu keluar dari gedung dan berjalan cepat mencari ayahnya di istana kaisar.

   Di kota raja, Lu Siang Ni sudah amat dikenal, bahkan di lingkungan istana, gadis ini pun dikenal. Semua penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang istana mengenal baik Siang Ni. Maka ketika ia tiba di situ, tanpa kesulitan Siang Ni diperkenankan memasuki pintu gerbang. Waktu itu, matahari telah turun ke barat dan cuaca sudah mulai remang. Setelah bertanya ke sana-sini, akhirnya Siang Ni mendapat keterangan bahwa ayahnya sudah keluar dari istana dan sedang mengadakan pembicaraan dengan Pangeran Sun, seorang pangeran tua yang menjadi penasehat kaisar di waktu itu.

   Siang Ni merasa kecewa. Gadis ini maklum bahwa Pangeran Sun yang tua itu amat keras dalam tata-tertib istananya, bahkan lebih tertib daripada istana kaisar sendiri. Pangeran Sun mempergunakan tangan besi dalam aturan rumah tangganya sehingga tidak seperti di istana lain, di istana Pangeran Sun ini ia tidak bisa bertindak seenaknya. Dengan berkeras, para penjaga menolaknya untuk masuk. Mereka minta maaf dan mempersilakan nona itu menunggu ayahnya di kamar tunggu yang berada di depan. Ia tidak diperbolehkan masuk begitu saja mengganggu pembicaraan penting antara ayahnya dan Pangeran Sun.

   Perundingan dua orang pangeran itu amat penting dan siapapun juga tidak boleh mengganggu sebelum Pangeran Sun memberi tanda. Penjaga yang berani mengganggu dan memasuki kamar perundingan pangeran tua itu, tanpa ampun lagi pasti akan dipecat, bahkan mungkin sekali dihukum!

   Karena tidak sabar menanti di situ tanpa mengetahui kapan ayahnya akan keluar, Siang Ni lalu meninggalkan gedung Pangeran Sun. Daripada duduk menunggu di situ lebih baik berjalan-jalan di kompleks perumahan istana yang amat indah itu, melihat-lihat kebun bunga yang indah atau mengunjungi beberapa orang puteri pangeran yang dikenalnya. Akan tetapi pada saat itu, para puteri sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing dan Siang Ni merasa tidak enak kalau mengganggu mereka dengan kunjungan resmi. Gadis ini lalu mencari tempat sunyi dan melompat ke atas genteng!

   Memang sejak kecilnya Siang Ni terkenal bandel dan nakal. Apalagi setelah ia memiliki kepandaian silat. Sering kali ia berlari-larian di atas genteng istana yang tebal kuat dan enak dipakai tempat berlari-larian! Seringkali ia dikejar para pengawal karena mereka mengira ia seorang penjahat yang hendak mencuri atau mengacau di istana. Akan tetapi setelah para pengawal tahu bahwa gadis itu bukan lain adalah murid tunggal Panglima Besar Kong Tek Kok yang mereka takuti, tidak ada orang berani mengganggunya. Apalagi di samping menjadi murid Panglima Kong, gadis itu juga puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar di kota raja!

   Setelah berada di atas genteng, Siang Ni menjadi gembira sekali. Angkasa yarg sudah gelap tampak indah seperti beluderu hitam dihias ribuan bintang seperti permata manikam yang gemerlapan. Ia lalu mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari ke sana-sini dengan cepat sekali.

   Dahulu ketika ia mulai belajar ilmu berlari cepat, suhunya pernah mengajaknya berlari-larian di atas genteng rumah-rumah gedung istana ini dan memang tidak ada tempat lain yang lebih baik untuk berlatih lari di atas genteng. Gedungnya besar-besar dan tinggi-tinggi, dan letaknya sambung menyambung. Gentengnya tebal kuat dan letaknya yang tinggi rendah itu merupakan tempat yang baik sekali untuk melatih ilmu meringankan tubuh.

   Saking gembiranya bermain-main di tengah udara antara langit berbintang dan puncak-puncak pohon yang tumbuh di dekat bangunan atau di taman-taman bunga, bagaikan seekor burung yang lincah gembira, Siang Ni lupa akan maksud kedatangannya di istana. Lupa bahwa ia sedang menunggu ayahnya untuk segera menanyakan tentang orang yang telah membasmi keluarga Pouw.

   Tiba-tiba berkelebat bayangan tiga orang yang memiliki gerakan cepat. Siang Ni menghentikan larinya dan menghadapi tiga orang itu dan ternyata mereka adalah tiga orang pengawal istana. Para pengawal istana ini berpakaian gagah dengan topi dihias bulu burung garuda, pakaian mereka seragam dan di pinggang mereka tergantung pedang.

   Melihat bahwa yang berdiri di depan mereka adalah Lu Siang Ni, tiga orang pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata.

   "Selamat malam, Lu-siocia. Kami tidak bemaksud mengganggu, hanya kami ingin tahu siapa yang berlari-larian di atas genteng. Kami bertugas jaga malam dengan kawan-kawan di malam ini."

   Siang Ni tersenyum ramah.

   "Tidak apa, aku sedang iseng dan mencari angin karena tidak sabar menanti ayah yang sedang bercakap-cakap di gedung Sun Ong-ya. Apakah kalian melihat ayah sudah pulang?"

   Serentak mereka menjawab.

   "Sudah, Lu-siocia. Kami melihat Lu Ong-ya sudah lama meninggalkan istana dan kendaraannya sudah lama keluar dari pintu gerbang istana."

   Siang Ni tertegun. Saking gembiranya tadi, ia sudah lupa waktu. Sudah berapa lamakah ia berada di atas genteng dan berlari-lari tadi?

   "Oh, terima kasih, aku hendak menyusul ayah kalau begitu!" Setelah berkata demikian, ia lalu menggerakkan kedua ujung kakinya dan tubuhnya melesat dengan gerakan indah, melayang turun dari atas wuwungan dengan cara membuat pok-sai (salto), kedua kaki dirapatkan, kedua lengan direntangkan dan tubuhnya melengkung seperti busur. Setelah tiba di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, tubuhnya merupakan bayangan hitam yang berkelebat lenyap dalam kegelapan.

   Tiga orang pengawal yang berada di atas genteng memandang kagum sekali, kemudian mereka saling pandang dengan mata besinar.

   "Aduh hebatnya Nona itu......" kata yang pertama.

   "Amat cantik jelita dan gagah......" kata yang kedua.

   "Gerakan melompat tadi bukan main indahnya, sepuluh tahun lagi mempelajarinya, belum tentu aku sanggup meniru gerakan seperti tadi," kata yang ketiga.

   Kemudian mereka termenung, tenggelam dalam lamunan masing-masing sambil memandang ke atas, ke angkasa penuh bintang. Bagi mereka, Siang Ni seolah-olah merupakan sebuah di antara ribuan bintang itu. Indah dipandang, boleh dikenang, akan tetapi sukar dicapai tangan!

   Sementara itu, di gedung Pangeran Lu Kok Kong terjadi hal yang hebat. Telah lama sebelum pangeran itu pulang dari istana, di dekat gedung Pangeran Lu berkelebat dua sosok bayangan orang yang luar biasa cepatnya sehingga seorang ahli sekalipun akan sukar melihat mereka. Hanya kadang-kadang saja bayangan itu berkelebat, tanpa dapat dilihat di mana sebenarnya orang yang memiliki bayangan itu.

   "Suhu, dia lama amat pulangnya. Apakah kita tidak lebih baik menyusulnya ke istana?" terdengar suara seorang di antara mereka yang ternyata adalah seorang pemuda tampan gagah dengan suara lembut.

   Kakek yang merupakan bayangan kedua menggelengkan kepala dan berkata.

   "Sabarlah, dia pasti akan pulang. Istana sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Terlampau besar resikonya untuk menyerbu ke sana. Tentu saja kita tidak perlu takut menghadapi para perajurit pengawal, akan tetapi kalau sampai kita ketahuan dan dikeroyok puluhan orang pengawal sebelum urusan kita beres, bukankah hal itu akan menghambat pekerjaan kita bahkan mungkin akan menggagalkan usaha kita?"

   Pemuda itu mengangguk-angguk, membenarkan pendapat gurunya.

   "Maafkan teecu (murid), Suhu. Tadi teecu terburu nafsu dan kurang sabar," katanya dan kakek itu tersenyum.

   Tak lama kemudian terdengar suara roda kendaraan kereta yang ditarik dua ekor kuda besar memasuki halaman yang luas dan pintu kereta terbuka. Pangeran Lu Kok Kong dengan pakaian kebesaran yang indah turun dari kendaraannya dan berjalan masuk diiringkan para pelayan yang menyambutnya. Langkahnya tegap dan wajahnya yang masih tampan itu berseri ketika dia melihat sembilan orang selir dan isterinya menyambutnya di ruangan dalam.

   Setelah membagi senyum kepada semua isterinya, Pangeran Lu mencari-cari dengan pandang matanya dan bertanya.

   "Di mana Siang Ni?" Pangeran ini memang selalu menanyakan puterinya kalau dia pulang dan puteri kesayangan itu tidak tampak. Apalagi dia tahu bahwa Siang Ni tadi telah meninggalkan rumah sebelum dia pergi ke istana kaisar. Dan dia juga melihat betapa wajah selirnya yang termuda dan tersayang, muram seperti orang yang gelisah dan bersedih. Pertanyaan itu pun dia tujukan kepada Sui Hong sambil melangkah ke arah kamar isterinya yang paling muda itu. Sui Hong mengikuti suaminya dari belakang dan isteri-isterinya .yang lain mengundurkan diri ke kamar masing-masing.

   "Di mana Siang Ni?" Pangeran Lu kembali bertanya setelah mereka berada di dalam kamar.

   "Apakah Paduka belum bertemu dengannya?" Sui Hong balas bertanya dengan wajah khawatir.

   Pangeran Lu Kok Kong menggelengkan kepalanya.

   "Apakah yang telah terjadi? Engkau kelihatan gelisah."

   "Ia tadi....... bertanya tentang riwayatku, tentang ayah bunda dan saudara-saudaraku......."

   "Hemm...... lalu bagaimana?" suaminya mendesak sambil mengerutkan alisnya.

   Mendengar pertanyaan ini, Sui Hong menangis.

   "Ia mendesak terus...... agaknya sudah curiga sejak lama dan saya...... saya akhirnya tidak dapat menolak lagi, terpaksa saya bercerita tentang semua hal yang telah terjadi dahulu......."

   Pangeran Lu menjadi pucat seketika.

   "Apa? Kauceritakan juga tentang Panglima Kong.......?"

   Sui Hong menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya menahan tangis.

   "Aihh".. kalau saja permintaan saya sejak dahulu Paduka penuhi....... kalau saja Paduka sudah membalaskan sakit hati keluarga saya kepada Panglima Kong dan Siang Ni tidak menjadi muridnya, mungkin tidak akan terjadi hal ini......."

   Pangeran Lu maklum apa yang dimaksudkan isterinya. Dia menghela napas panjang lalu berkata lembut.

   "Hong-moi (Dinda Hong), sejak dahulu engkau pun tahu bahwa kedudukan Panglima Besar Kong Tek Kok amat kuat. Tentu saja aku dapat menjatuhkannya melalui tangan Kaisar. Akan tetapi pengikutnya amat banyak, di belakangnya berdiri pasukan yang ratusan ribu jumlahnya. Selain kepandaian silatnya sendiri amat tinggi, juga dia memiliki banyak perwira pembantu yang lihai. Menghadapi kekuatan seperti itu, mengingat akan kedudukanku, tidak selayaknya kalau aku memusuhinya. Kekuatan seperti itu amat dibutuhkan untuk mempertahankan berdirinya Kerajaan Goan, amat penting bagi negara dan bangsa Mongol, maka permintaanmu dahulu itu terpaksa tidak dapat kulaksanakan. Apalagi kalau diingat bahwa dialah orang yang telah menjodohkan kita, bukan? Karena itu pula, diam-diam aku membiarkan anak kita Siang Ni menjadi muridnya."

   Sui Hong menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan kecemasan dan kebingungan.

   

"Saya dapat menerima alasan Paduka itu, maka sampai sekian lamanya saya membungkam dan tidak pernah mengganggu Paduka dengan urusan itu. Akan tetapi sekarang Siang Ni sudah dewasa, sudah pandai berpikir dan pandai sekali berusaha rriembuka rahasia keluarga saya. Kalau nanti ia datang dan mendesak Paduka, lalu bagaimana baiknya?"

   "Hemm, jangan khawatir, serahkan saja hal itu kepadaku......."

   Tiba-tiba Pangeran Lu dan Pouw Sui Hong terkejut bukan main ketika dari atas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda. Begitu pemuda itu bergerak maju, tangan kirinya sudah mencengkeram leher baju Pangeran Lu Kok Kong, lalu ditariknya mendekat.

   "Engkau yang bernama Lu Kok Kong?" bentak pemuda itu dengan suara mengandung penuh kebencian.

   Pangeran Lu mencoba untuk meronta, akan tetapi tangan yang mencengkeram leher bajunya itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu bergerak.

   "Siapakah engkau orang muda yang kurang ajar?" Pangeran Lu balas membentak.

   "Lepaskan atau aku akan menyuruh para pengawal menangkapmu!"

   Akan tetapi pemuda itu tersenyum mengejek.

   "Panggillah semua anjingmu! Mereka yang pingsan tidak akan mampu mendengarmu. Hayo jawab, benarkah engkau yang bernama Lu Kok Kong?"

   "Benar, dan engkau ini siapa? Apa kehendakmu? Lepaskan aku!"

   Wajah yang tampan itu tiba-tiba berubah menjadi beringas dan suaranya mendesis di telinga Pangeran Lu.

   "Dengarlah, hai anjing busuk! Mengapa keluarga Pouw dari So-couw dibasmi Kaisar? Hayo jawab!"

   Sui Hong mengeluarkan seruan kaget. Nyonya ini sejak tadi telah berdiri menggigil dengan sepasang mata terbelalak memandang pemuda itu. Ia hampir saja mengeluarkan jeritan ngeri ketika melihat betapa wajah pemuda itu seperti pinang dibelah dua dengan wajah kakaknya yang sudah tewas. Benar-benar tidak ada bedanya dengan wajah Pouw Keng In, kakaknya. Hal ini membuatnya terkesima sehingga ia hanya terbelalak memandang bengong dan tidak dapat mengeluarkan suara.

   Pemuda itu mengerling kepadanya, akan tetapi hanya sekejap mata saja, kemudian kembali mendesak Pangeran Lu.

   "Hayo katakan, mengapa keluarga Pouw dibasmi? Apa kesalahan keluarga Pouw di So-couw itu?"

   Pangeran Lu Kok Kong bukan seorang penakut. Biarpun dalam cengkeraman pemuda itu dia sama sekali tidak berdaya, suaranya masih tenang ketika ia menjawab.

   "Keluarga itu bermaksud memberontak, maka pemerintah menjatuhkan hukuman mati kepada mereka."

   "Dasar anjing penjajah! Panglima yang memimpin pasukan pembasmi keluarga Pouw itu, siapa namanya? Cepat kau sebutkan namanya!"

   Dalam keadaan lain, kiranya Pangeran Lu Kok Kong tidak akan mau mengaku karena dia bukan seorang yang berjiwa pengecut dan pengkhianat. Akan tetapi sekarang keadaannya lain. Dia pikir lebih baik kalau dia berterus terang sehingga dapat memancing pemuda ini agar mendatangi Panglima Kong Tek Kok. Kalau pemuda ini berani mendatangi gedung Panglima Kong, pasti dia akan dapat ditangkap atau dibunuh!

   "Panglima itu adalah Kong Tek Kok. Dialah yang membasmi keluarga Pouw. Akan tetapi aku tidak melakukan sesuatu dalam pelaksanaan hukuman itu. Mengapa engkau datang menghinaku? Siapakah engkau?"

   Pemuda itu tertawa, wajahnya yang tampan kelihatan menyeramkan.

   "Engkau, bandot tua masih menanyakan lagi dosamu? Seorang gadis keluarga Pouw ditawan dan diberikan padamu, menjadi permainanmu, engkau hina sehingga tewas di tanganmu! Masih juga engkau bertanya lagi?" Sambil berkata demikian, pemuda itu mencabut pedangnya.

   "Orang macam engkau ini harus mampus!"

   "Jangan......! Dia tidak bersalah......!" Sui Hong menjerit dan menubruk maju. Akan tetapi terlambat karena pedang itu sudah berkelebat dan tahu-tahu leher Pangeran Lu telah terpenggal!

   Sui Hong hanya menubruk jenazah yang bagian lehernya masih menyemburkan darah! Melihat ini Sui Hong menjerit keras dan roboh pingsan. Darah suaminya mengenai muka dan pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang amat mengerikan.

   Pemuda itu melompat keluar kamar melalui jendela, lalu dengan gerakan ringan sekali dia melompat ke atas genteng.

   "Bangsat jangan lari!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Siang Ni cepat melakukan pengejaran.

   Gadis itu baru saja tiba di rumahnya dari istana kaisar dan alangkah heran dan kagetnya ketika melihat beberapa orang perajurit penjaga menggeletak kaku tertotok di pinggir pintu depan. Cepat ia lari dan kebetulan sekali ia melihat bayangan seorang pemuda melayang ke atas genteng. Maka ia pun cepat membentak dan mengejar dengan lompatan kilat ke atas genteng. Akan tetapi ternyata gerakan pemuda yang dikejarnya itu amat cepat. Siang Ni mengeluarkan panah tangan yang selalu dibawa di samping pedangnya. Menyambitkan panah tangan merupakan keahlian gurunya dan ia pun sudah mempelajarinya dengan baik.

   "Penjahat, berhenti kau atau rasakan panah tanganku!"

   Namun pemuda itu tidak mempedulikan gertakan ini dan terus berloncatan di atas wuwungan rumah. Siang Ni menyambitkan panahnya. Tiga batang panah menyambar ke arah tubuh belakang pemuda itu, mengarah tengkuk, punggung, dan pinggang!

   Pemuda itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan cepat dia memutar pedangnya, sambil berpok-sai (bersalto) di udara. Dengan gerakan yang amat hebat ini dia pun dapat terhindar dari serangan panah. Dia mengeluarkan seruan kagum dan menghentikan larinya, berdiri menghadapi Siang Ni.

   Sinar lampu dari bawah dan cahaya bintang di langit hanya memberi penerangan remang-remang saja, namun Siang Ni dapat melihat jelas bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

   "Siapa engkau yang begini kurang ajar berani memasuki rumah orang dengan pedang di tangan dan menotok para perajurit jaga?" bentak Siang Ni yang juga tadi terkejut sekali melihat orang yang dikejarnya mampu menghindarkan diri dari serangan tiga batang anak panahnya. Tidak sembarang orang mampu menghindarkan diri dari serangan anak panahnya itu.

   Pemuda itu tersenyum, agaknya tertarik kepada gadis remaja yang lincah galak dan juga lihai itu. Gerakannya ketika mengejarnya, juga serangan anak panahnya yang amat berbahaya tadi, sudah nnenunjukkan bahwa gadis remaja ini lihai bukan main.

   "Engkau menanyakan namaku ada urusan apakah? Kalau engkau ingin berkenalan denganku, perkenalkanlah, namaku Suma Cun Giok."

   Siang Ni membanting kaki kirinya, terdengar suara keras dan genteng yang diinjaknya itu hancur berkeping-keping!

   "Bangsat tak tahu malu! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku melihat engkau keluar dari gedung membawa pedang, apakah engkau seorang maling yang hendak mencuri?"

   "Huh, siapa mau mencuri? Aku datang mencari musuh besarku, si keparat hidung belang Lu Kok Kong dan......."

   Akan tetapi Siang Ni sudah membentak marah sekali dan pedangnya berkelebat cepat menusuk tenggorokan Suma Cun Giok. Mendengar ayahnya dimaki keparat hidung belang, tanpa ingin tahu lebih jauh urusannya, ia tidak dapat menahan diri lagi dan langsung menyerang dengan jurus mematikan!

   Melihat gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, Suma Cun Giok cepat melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.

   "Tranggg......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya melompat ke belakang dengan kaget. Pertemuan kedua pedang tadi membuat tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat!

   Suma Cun Giok maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia tidak ingin bertempur melawan gadis remaja yang cantik lincah menarik ini. Pula karena tugasnya belum selesai, dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan wuwungan gedung itu.

   "Jahanam, jangan lari!"

   Siang Ni mengejar sambil melepas panah tangan yang dapat dihindarkan oleh Cun Giok. Pada saat itu, terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Siang Ni terkejut dan terpaksa menghentikan pengejarannya, lalu melompat kembali ke bawah dan berlari cepat memasuki gedung. Di ruangan depan ia melihat dua orang penjaga juga menggeletak pingsan tertotok.

   "Keparat......!" Gadis itu memaki marah dan merasa mendongkol bahwa tadi ia tidak sempat merobohkan pemuda itu. Ia lalu berlari masuk dengan hati gelisah, karena ratap tangis yang didengarnya kini semakin riuh dan datangnya dari kamar ayah ibunya. Hati gadis yang sebelumnya tak pernah mengenal rasa takut itu mulai cemas dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ngeri ia membayangkan apa yang terjadi di dalam kamar ayah ibunya darimana terdengar ratap tangis yang memilukan itu.

   Ketika Siang Ni tiba di depan pintu kamar ayah ibunya dan melihat bahwa yang menangis itu adalah para ibu tirinya dan beberapa orang pelayan wanita yang memenuhi kamar itu, ia segera menerobos masuk dan mendorong beberapa orang pelayan ke kanan kiri. Akhirnya ia dapat melihat apa yang ditangisi mereka itu.

   Wajah Siang Ni seketika pucat, matanya terbelalak melihat tubuh ayahnya menggeletak di atas lantai dalam keadaan mengerikan sekali. Kepala ayahnya terpisah dari leher dan ibunya juga menggeletak berlepotan darah di dekat ayahnya! Siang Ni tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Digosok-gosoknya kedua matanya dan dipandangnya sekali lagi ayah ibunya yang menggeletak mandi darah di lantai itu. Kedua kakinya mulai menggigil, matanya berkunang-kunang dan ia menubruk maju.

   "Ayah.......! Ibu.......!!" Siang Ni memeluk tubuh mereka, tidak peduli pakaian dan kedua tangannya penuh darah yang belum membeku. Didekapnya tubuh ayah ibunya, digoyang-goyangkan dan dipanggil-panggilnya. Kemudian ia terasa agak lega melihat ibunya siuman dan ternyata ibunya tidak terluka, hanya berlepotan darah ayahnya, seperti juga ia. Akan tetapi ibunya seperti orang kehilangan kesadaran, matanya memandang kosong, mulutnya tak mampu bersuara.

   "Ibu......! Apa yang telah terjadi.......?" Kemudian ia memeluk ayahnya.

   "Ayah, siapakah yang melakukan ini......?" Tiba-tiba ia teringat akan pemuda yang tadi diserangnya, maka ia menjadi beringas.

   "Keparat jahanam keji! Aku harus mengadu nyawa denganmu!" bentaknya nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ. Kemudian ia mencabut pedangnya dan melompat keluar seperti orang gila, menerjang mereka yang menghalang sehingga beberapa orang pelayan terpelanting jatuh. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan tubuhnya berkelebat keluar dari gedung itu.

   Bagaikan seekor burung garuda marah, Siang Ni melayang ke atas genteng dan ia berlari ke arah di mana ia bertemu dengan pemuda yang mengaku bernama Suma Cun Giok itu. Setelah tiba di sana, ia tidak melihat bayangan seorang pun. Ia tercengang dan bingung. Ke mana ia harus mengejar? Ke mana perginya pemuda yang telah membunuh ayahnya itu? Ia termangu, kemudian terbayang di depan matanya keadaan ayah dan ibunya. Ia memejamkan kedua matanya dan air mata menitik deras seperti air hujan.

   "Ayaaaah...... Ibu.......!" Tersedulah Siang Ni dan hampir saja ia terguling dari atas genteng. Kedua kakinya menggigil dan seluruh tubuh gemetar. Dengan jerit memilukan ia melompat turun dan menerobos masuk lagi ke dalam kamar maut itu, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh ayah dan ibunya bergantian. Pemandangan yang amat mengharukan ini membuat para ibu tirinya makin riuh meratap dan menangis, bahkan beberapa orang di antaranya ada yang jatuh pingsan sehingga suasananya semakin memilukan.

   "Teecu (murid) sudah berhasil menewaskan Pangeran Lu Kok Kong yang jahat dan mata keranjang itu, Suhu. Sudah terbalas kiranya sakit hati Bibi Pouw Sui Hong yang menjadi korbannya," kata Suma Cun Giok kepada suhunya setelah mereka bertemu di atas genteng.

   "Hampir saja teecu terlibat dalam perkelahian dengan seorang gadis remaja yang lihai sekali. Entah siapa gadis itu, teecu tidak mau melayaninya berkelahi, khawatir kalau Suhu terlalu lama menunggu teecu di sini," demikian Suma Cun Giok menceritakan pelaksanaan tugasnya untuk membalas dendam keluarga Pouw.

   Pemuda yang membunuh Pangeran Lu Kok Kong itu adalah Suma Cun Giok, putera mendiang Pouw Keng In. Dia melakukan perjalanan bersama suhunya, yaitu Suma Tiang Bun, pendekar patriotik yang tinggi ilmunya. Seperti telah kita ketahui, guru dan murid ini telah menolong keluarga Siok di kota Ci-bun, bahkan kemudian mereka mengantar Nona Siok Eng menuju ke Propinsi Shan-tung dan atas persetujuan gurunya, dia ditunangkan dengan gadis itu.

   Setelah meninggalkan keluarga Siok yang kini tinggal bersama mantu sulungnya di Shan-tung, Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok, murid atau anak angkatnya itu, melakukan perjalanan ke kota raja. Terlebih dahulu Suma Tiang Bun mengajak muridnya ke So-couw untuk melakukan penyelidikan tentang keluarga Pouw. Tanpa banyak kesulitan mereka dapat mengumpulkan dari para penduduk yang sudah puluhan tahun tinggal di situ. Mereka dapat mendengar cerita para penduduk tua tentang terbasminya keluarga Pouw oleh pasukan Kerajaan Mongol.

   Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi sekitar duapuluh tahun yang lalu, dan seperti pada umumnya orang suka sekali membumbui setiap cerita tentang sebuah peristiwa yang tersiar melewati mulutnya menurut komentar, pendapat dan pandangan yang sesuai dengan seleranya sendiri, maka apa yang didengar oleh Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok sudah simpang siur dan kacau, yang terkadang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi pada pokoknya, guru dan murid itu mendengar betapa seluruh keluarga Pouw telah dibunuh, dan hanya seorang gadis bernama Pouw Sui Hong yang tidak dibunuh, melainkan ditawan.

   Akan tetapi, demikian menurut berita yang mereka dapatkan, keadaan Pouw Sui Hong yang dahulu menjadi bunga tercantik kota So-couw itu lebih menyedihkan lagi, karena gadis itu dibawa ke kota raja dan menjadi permainan para bangsawan di kota raja. Kemudian Pouw Sui Hong terjatuh ke tangan Pangeran Lu Kok Kong yang terkenal mata keranjang dan akhirnya gadis yang bernasib malang itu mati penuh kesengsaraan di gedung Pangeran Lu itu. Demikianlah berita yang didengar oleh Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok!

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Cun Giok mendengar cerita mereka itu. Dendam sakit hati berkobar dalam kepalanya lalu membara dalam dadanya. Dendam kebenciannya pertama-tama ditujukan kepada Pangeran Lu Kok Kong yang sudah merusak kehidupan bibinya, dan dendamnya yang kedua ditujukan kepada panglima pasukan yang belum diketahui siapa orangnya karena di antara para penduduk So-couw yang memberi keterangan padanya, tak seorang pun mengenal siapa adanya panglima pasukan pembasmi itu.

   Demikianlah, bersama gurunya Cun Giok pergi ke kota raja. Karena belum tahu siapa adanya panglima pasukan pembasmi keluarganya, Suma Cun Giok lebih dulu mendatangi gedung Pangeran Lu Kok Kong yang tentu saja amat mudah dicari. Gurunya hanya menanti di atas genteng kalau-kalau muridnya terancam bahaya. Setelah dia melihat muridnya berhasil memasuki gedung tanpa banyak kesukaran dan membantu merobohkan beberapa orang perajurit yang menjaga di luar, Suma Tiang Bun meninggalkan gedung dan menanti muridnya agak jauh sehingga dia tidak melihat ketika Siang Ni menyerang Cun Giok.

   Seperti telah diceritakan, setelah menewaskan Pangeran Lu Kok Kong dan menghindarkan perkelahian dengan gadis remaja cantik yang menyerangnya, Cun Giok menemui suhunya dan menceritakan hasil pembalasan dendamnya.

   "Dan tahukah engkau siapa yang memimpin pasukan pembasmi keluarga orang tuamu?" tanya Suma Tiang Bun.

   "Sudah, Suhu. Menurut orang she Lu itu, panglima keparat itu adalah seorang panglima besar bernama Kong Tek Kok."

   Mendengar nama ini, Suma Tiang Bun tampak terkejut.

   "Dia.......??"

   "Kenalkah Suhu kepadanya?"

   Suma Tiang Bun menggelengkan kepalanya.

   "Bagaimana aku bisa mengenal orang macam itu? Akan tetapi aku sudah mendengar namanya. Dia adalah seorang panglima besar yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh sekali. Bagaimana keluargamu sampai terbasmi oleh dia?"

   "Siapa tahu kalau dahulu pangkatnya tidak setinggi sekarang, Suhu."

   "Mungkin juga. Kabarnya dia lihai sekali. Kita harus berhati-hati."

   Mereka lalu pergi untuk mencari keterangan di mana adanya gedung tempat tinggal Panglima Besar Kong Tek Kok. Seperti juga Pangeran Lu, Panglima Kong Tek Kok adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali di kota raja. Maka mudah saja bagi guru dan murid itu untuk mendapatkan keterangan di mana gedungnya.

   Malam itu telah larut, menjelang tengah malam. Biarpun penduduk kota raja sudah banyak yang menutup pintu rumah dan juga semua toko sudah tutup serta keadaan di jalan umum sudah sepi karena jarang ada penduduk yang keluyuran di waktu tengah malam begitu, namun tampak banyak sekali pasukan dan para perwira pengawal istana hilir mudik di jalan-jalan raya. Dari sikap dan wajah mereka dapat diduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Melihat ini, tanpa bertanya para penduduk cepat-cepat menutup pintu rumah dan bersembunyi dalam kamar.

   Memang para pengawal istana itu sedang menghadapi tugas berat. Berita tentang terbunuhnya Pangeran Lu Kok Kong cepat tersiar dan seluruh tenaga pasukan pengawal dikerahkan untuk menangkap pembunuh itu yang diduga masih berkeliaran di dalam kota raja.

   Juga Kong Tek Kok, panglima besar yang sedang enak-enak mencari angin di ruangan belakang, mengalami peristiwa hebat. Panglima ini tentu saja sudah mendengar tentang pembunuhan atas diri Pangeran Lu. Akan tetapi dia tidak begitu memusingkan, dan tidak mau bersusah-payah mencari sendiri pembunuh itu, melainkan memerintahkan bawahannya untuk bekerja keras mengerahkan pasukan mencari, mengejar dan menangkap pembunuh itu. Dia sendiri enak-enak mencari angin di ruangan belakang, duduk bersandar di kursi dan seorang selirnya memegang kipas bulu, mengipasinya. Memang pada waktu itu musim panas membuat hawa di dalam rumah tak tertahankan panasnya.

   Kong Tek Kok sudah kelihatan tua, akan tetapi masih gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu tampak kokoh kuat. Dia memakai baju tipis sutera, dan kepalanya tidak bertopi dan rambutnya digelung ke atas agar lehernya tidak tertutup. Akan tetapi sebagai seorang panglima besar yang tahu bahwa banyak sekali musuh negara yang ingin membunuhnya dan maklum akan bahaya yang selalu mengintainya, di mana pun dia berada, dalam keadaan beristirahat sekalipun, di atas meja dekatnya selain terdapat secawan arak yang masih penuh karena baru diisi, juga terdapat panah tangannya dan sepasang pedangnya!

   Seorang selir muda memijit-mijit kakinya dan seorang lagi mengipasinya. Panglima itu tampak mengantuk, kedua matanya dipejamkan untuk lebih menikmati tiupan angin dan pijatan kakinya. Kalau sekiranya yang terancam bahaya atau yang diserbu penjahat itu istana kaisar, tentu Kong Tek Kok tidak akan enak-enak seperti itu. Pasti dia akan turun tangan sendiri menjaga keselamatan kaisar sekeluarganya dan menangkap penjahat. Akan tetapi sekarang yang terbunuh hanya Pangeran Lu. Dia tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Pangeran Lu Kok Kong, kecuali bahwa puteri pangeran itu menjadi muridnya.

   Teringat kepada Siang Ni, panglima itu tersenyum aneh. Akhir-akhir ini dia amat tertarik kepada muridnya. Kalau dulu dia tertarik dan suka karena muridnya itu berbakat dan cerdik, dapat memahami tiap ilmu silat baru yang dipelajarinya dengan cepat, sekarang dia amat tertarik dan suka sekali kepada muridnya itu karena kini muridnya yang mulai dewasa tampak begitu cantik jelita menggairahkan. Para selirnya sama sekali tidak ada daya tariknya kalau dibandingkan dengan kecantikan muridnya itu. Tentu saja perasaan tergila-gila ini ditahannya saja karena betapapun juga, Kong Tek Kok belum begitu gila untuk berani bermain gila terhadap puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong yang berpengaruh di istana Kaisar.

   Kini, begitu terbunuhnya Pangeran Lu oleh penjahat membuat Panglima Kong Tek Kok termenung. Setelah pangeran itu tidak ada di dunia, dan Siang Ni adalah muridnya, hemmm, kiranya hasrat hatinya itu tidak akan demikian sukar lagi, tidak sesukar mencapai bintang di langit! Inilah pula sebabnya mengapa panglima ini seakan-akan tidak peduli menghadapi peristiwa pembunuhan yang menggemparkan kota raja itu dan dia enak-enak saja duduk makan angin di ruangan belakang gedungnya.

   Akan tetapi, tiba-tiba Panglima Kong Tek Kok mendorong selirnya yang mengipasinya sehingga wanita itu jatuh terpelanting dan kaki panglima itu menendang selir yang memijati kakinya sehingga selir itu pun roboh. Dengan cepat sekali Panglima Kong Tek Kok menggulingkan tubuhnya dari tempat duduknya. Gerakan ini memang tepat sekali karena terdengar suara keras ketika tempat duduknya itu pecah berantakan terkena sambaran sebuah pelor besi yang besar dan berat!

   "Keparat jangan curang!" serunya sambil menyambar senjatanya, yaitu sepasang pedang dan anak panah tangan yang terletak di atas meja.

   Sebagai jawaban atas teriakannya itu, dari atas genteng melayang turun dua bayangan orang yang gerakannya cepat dan ringan sekali bagaikan dua ekor burung saja. Bayangan dua orang itu melayang turun ke arah belakang rumah.

   Dengan berani Kong Tek Kok melompat melalui pintu belakang dan di lain saat dia telah berhadapan dengan dua orang yang sudah berdiri menanti di kebun belakang rumahnya. Lampu yang tergantung di situ cukup terang sehingga Panglima Kong dapat melihat wajah dua orang itu dengan jelas.

   Mereka adalah seorang kakek yang sikapnya gagah dan seorang pemuda yang tampan. Mereka berdiri dengan sikap tenang dan memandang kepada Panglima Kong Tek Kok dengan sinar mata tajam. Kong Tek Kok memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal mereka. Hatinya agak gentar juga melihat kakek yang sikapnya tenang dan penuh wibawa itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sudah banyak mengalami pertempuran besar, dia terlalu percaya akan kepandaian sendiri dan dia bersikap tenang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang dari dunia kang-ouw, maka Panglima Kong menahan kemarahannya dan bersikap agak sopan. Dia menjura dan menegur.

   "Siapakah kalian, dari golongan mana dan ada keperluan apa malam-malam begini datang berkunjung dengan cara yang tidak bersahabat?"

   Pemuda itu, Suma Cun Giok, melangkah maju dan melintangkan pedang di depan dada, telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Panglima Kong dan dengan suara yang mengandung kebencian dia bertanya.

   "Apakah engkau Panglima Kong Tek Kok?"

   Panglima Kong tersenyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah pemuda di depannya itu.

   "Benar, akulah orangnya yang disebut Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok, juga ada yang menyebutkan julukan Si Panah Sakti!" Dia mengangguk-angguk sombong, lalu balas bertanya.

   "Dan engkau ini orang muda !ancang kurang ajar, siapakah engkau dan ada keperluan apa masuk ke sini seperti maling?"

   "Jahanam keji, ingatkah engkau kepada keluarga Pouw di So-couw?" Cun Giok bertanya marah.

   "Keluarga Pouw? Yang mana?" Tentu saja Panglima Kong tidak dapat mengingat begitu saja karena hal itu sudah lewat selama duapuluh tahun.

   Akan tetapi Suma Cun Giok menganggap panglima itu berpura-pura, maka dengan mengejek dia menyambung.

   "Benar-benarkah engkau lupa atau pura-pura lupa? Engkau membasmi keluarga Pouw di So-couw, membunuh Ayah Ibuku dengan anak panah di sungai dan menawan Bibiku yang kemudian engkau jual kepada Pangeran Lu......!" Suma Cun Giok tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking marahnya.

   Wajah Panglima Kong Tek Kok berubah dan pandang matanya menaruh curiga, agaknya dia tidak percaya.

   "Mereka sudah habis semua, tidak ada anak...... bagaimana engkau mengaku anak mereka?"

   "Keparat jahanam! Thian tidak mengijinkan engkau membasmi seluruh keluarga dan Ibuku tidak tewas oleh anak panahmu. Aku ditakdirkan lahir untuk membalas dendam setinggi gunung sedalam lautan ini kepadamu! Terimalah pembalasanku!"

   Setelah berkata demikian, Suma Cun Giok langsung menyerang, menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan musuh besarnya. Karena amat benci dan marah kepada panglima itu, dalam gebrakan pertama saja Cun Giok sudah mengeluarkan serangan maut yang amat berbahaya. Pedang di tangannya bukan menusuk sembarangan saja. Gerakan pedangnya didorong tenaga sakti yang menimbulkan getaran yang membuat ujung pedangnya tampak menjadi beberapa buah, sukar diduga ke arah mana pedang itu hendak menyerang. Inilah jurus Sian-jin Sia-ciok (Dewa Memanah batu), sebuah jurus pilihan dari ilmu pedang warisan leluhur Suma yang amat hebat.

   Akan tetapi Panglima Kong Tek Kok adalah seorang ahli silat yang selain tinggi tingkat ilmunya, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertempur. Tenaga saktinya amat kuat, gerakannya cepat dan pandang matanya tajam sehingga dia dapat menghadapi serangan Cun Giok itu dengan tenang. Sambil tersenyum mengejek dia mengangkat pedang di tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot.

   "Hemm, engkau yang membunuh Pangeran Lu Kok Kong? Bagus, engkau datang menyerahkan diri!" katanya mengejek.

   Dua pedang bertemu dan alangkah terkejut hati Cun Giok ketika pedangnya menempel pada pedang kiri lawan dan betapa pun dia mengerahkan tenaga menarik, pedangnya tidak dapat terlepas! Pada saat itu pedang di tangan kanan Panglima Kong meluncur, menusuk ke arah dada Cun Giok dan panglima itu tertawa bergelak. Dalam pengerahan lweekang (tenaga dalam) masih dapat tertawa bergelak membuktikan betapa hebatnya tingkat kepandaian panglima itu. Suma Tiang Bun yang menonton dari samping juga kaget melihat kelihaian Panglima Kong Tek Kok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)