PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 19
"Juga tidak akan membunuh Kanda Pouw Cun Giok!" Ceng Ceng menyambung cepat.
Kembali Li Hong mendapat kenyataan betapa dua orang itu saling melindungi!
"Baik, aku berjanji pula tidak akan membunuh kalian berdua kalau peta itu diberikan kepada kami," kata Kim Bayan.
Kini tanpa ragu-ragu lagi Ceng Ceng mengambil peta itu dari saku sebelah dalam bajunya dan menyerahkannya kepada Kim Bayan. Panglima itu membuka gulungan peta dan di belakangnya berdiri pula Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang ikut memeriksa peta.
Mereka mengangguk-angguk, lalu Kim Bayan berkata kepada Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Sekarang kami minta kalian menjadi tamu kami untuk sementara. Ingat, Nona Tan Li Hong masih menjadi tawanan kami di tempat terpisah dan kami minta kalian menemani kami mencari harta karun sampai dapat kami temukan. Setelah itu, baru kalian bertiga kami bebaskan. Kalau kalian berdua membuat ulah, terpaksa kami akan tetap menahan Tan Li Hong!"
Cun Giok hendak memprotes, akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika Cun Giok memandangnya, dia tahu bahwa gadis ini minta agar dia menurut saja. Diam-diam Cun Giok semakin kagum kepada Ceng Ceng. Gadis itu setelah diperlakukan sedemikian jahatnya oleh Li Hong, kini malah berusaha menolongnya, bahkan mengorbankan peta yang baginya teramat penting itu. Ini sungguh sukar dipercaya! Akan tetapi dia tidak sampai hati untuk menentang pendapat dan kehendak Ceng Ceng.
Demikianlah, Cun Giok dan Ceng Ceng diajak mendaki puncak bukit dan Li Hong lebih dulu dibawa pergi. Karena itu, mereka tidak berani berbuat apa-apa. Selama Li Hong masih di tangan pihak lawan, mereka berdua tentu saja tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi, mereka diperlakukan sebagai tamu dan mereka tetap waspada. Mereka mendapatkan dua buah kamar terpisah dan sekeliling kamar mereka dijaga ketat oleh anak buah yang berpakaian hitam-hitam. Mereka dilayani dengan baik dan sebagai tamu-tamu yang dihormati.
Sementara itu, Panglima Kim Bayan mengadakan pertemuan dan rapat kilat di ruangan lain yang jauh dari kamar-kamar dua orang tamu setengah tawanan itu. Yang hadir di situ adalah Kim Bayan, Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, Tan Li Hong, dan Kong Sek.
"Paman Kim, mengapa Pouw Cun Giok itu dibiarkan hidup? Aku ingin dia diserahkan padaku agar dapat kupenggal kepalanya dan kucabut jantungnya untuk sembahyang kepada arwah ayahku! Serahkan dia kepadaku, Paman!" kata Kong Sek dengan muka merah dan mata bersinar-sinar. Pemuda ini menaruh dendam sakit hati kepada Pouw Cun Giok yang telah membunuh ayahnya, yaitu Panglima Kong Tek Kok.
Kim Bayan tertawa.
"Ha-ha, orang muda selalu menuruti perasaan saja kurang mempergunakan akal. Lihat, aku menggunakan akal dan buktinya, kita bisa mendapatkan peta tanpa banyak susah payah. Kalau sekarang mereka dibunuh sekadar menuruti kemarahanmu dan kemarahan Li Hong, mungkin kita akan rugi besar."
"Akan tetapi bukankah peta sudah berada di tangan kita?" bantah Kong Sek.
"Mereka tidak ada gunanya lagi dan kalau tidak segera dibunuh, mereka mendapat kesempatan untuk meloloskan diri! Bukankah hal itu amat merugikan kita?"
"Itulah kalau orang muda hanya mempergunakan emosinya, tidak mempergunakan akal pikirannya. Kong-kongcu (Tuan Muda Kong), sekarang aku ingin bertanya kepadamu. Bagaimana kalau nanti setelah kita menemukan tempat harta karun menurut peta, ternyata harta karun itu tidak ada. Mungkin saja peta itu adalah peta palsu yang sengaja dibuat gadis puteri bekas Panglima Liu itu. Nah, apakah sekarang engkau juga masih bernapsu besar untuk segera membunuh dua orang itu?"
Mendengar alasan yang dikemukakan Kim Bayan itu kuat sekali dan memang tentu saja ada kemungkinan mereka mendapatkan peta palsu, Kong Sek mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang. Sebetulnya dia sudah tidak sabar lagi menanti, khawatir kalau-kalau Cun Giok yang Iihai itu akan terlepas lagi. Akan tetapi pada saat itu Li Hong berkata dengan nada suara tegas.
"Benar sekali apa yang dikatakan Panglima Kim tadi! Mereka tidak boleh dibunuh sekarang. Harta karun itu harus ditemukan terlebih dulu agar jerih payah kita tidak sia-sia. Bahkan aku mengusulkan agar mereka berdua itu diajak bersama-sama mencari harta karun karena mungkin mereka lebih mengetahui di mana tempat persembunyian harta karun menurut peta itu."
"Aku tidak setuju!" Kong Sek berkata penasaran. Dia tadinya memang kagum dan tertarik oleh kecantikan Li Hong, akan tetapi mendengar usul tadi dia segera menentangnya.
"Mengajak mereka bersama-sama mencari harta karun, sama saja dengan memberi peluang kepada mereka untuk membebaskan dan melarikan diri."
"Heh-heh, agaknya Kong-kongcu lupa akan siasatku yang ampuh tadi, yang telah berhasil membuat mereka menyerah dan memberikan peta kepada kita. Selama Nona Li Hong bersandiwara menjadi tangkapan dan sandera kita, jangan takut. Aku yakin mereka tidak akan melarikan diri dan meninggalkan Nona Tan. Mereka percaya bahwa kalau mereka berdua pergi, Nona Tan pasti kita bunuh!"
"Tepat sekali ucapan Kim-ciangkun (Panglima Kim) itu. Agar mereka tidak curiga, sebaiknya kalian ajak mereka mencari harta karun dan tinggalkan aku di sini dalam keadaan terjaga ketat, terbelenggu dan terancam. Perlihatkan keadaanku kepada mereka sehingga mereka akan selalu tunduk dan menyerah. Nah, kalau mereka sudah mau diajak mencari harta karun bersama dengan ancaman kalau mereka memberontak aku akan dibunuh kukira tempat persembunyian itu akan dapat ditemukan. Kalau sudah ditemukan, barulah kita membunuh mereka."
Semua orang setuju dengan usul yang dikemukakan Li Hong, bahkan Kong Sek juga setuju. Memang bagi dia, ditemukan atau tidaknya harta karun tidak ada artinya. Dia sudah cukup kaya karena warisan yang ditinggalkan Panglima Kong Tek Kong kepadanya cukup besar. Yang paling penting baginya adalah membalas dendam kematian ayahnya itu. Tentu saja kalau dapat, dia ingin membunuh Pouw Cun Giok sekarang juga.
Akan tetapi dia harus bersabar, tidak berani dia menentang Kim Bayan, apalagi menentang Cui-beng Kui-ong dan Song Bun Mo-li. Dia harus bersabar karena bagaimanapun juga usul Li Hong tadi benar. Pouw Cun Giok tidak akan dapat melarikan diri selama Li Hong menjadi sandera mereka. Pula, kalau sampai harta karun itu bisa didapatkan dan diserahkan kepada Kaisar, hal itu berarti merupakan jasa besar bagi mereka dan tentu mereka akan mendapat imbalan jasa yang besar pula dari Kaisar.
Demikianlah, setelah membuat persiapan dengan mengajak duabelas orang anak buah berpakaian hitam yang disuruh membawa peralatan menggali seperti cangkul, linggis, dan lain-lain, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, Kim Bayan, dan Kong Sek. Ceng Ceng dan Cun Giok terpaksa menyatakan setuju ketika mereka diminta untuk membantu mereka mencari harta karun itu.
Sesungguhnya. Cun Giok tidak rela melihat Ceng Ceng menyerahkan harta karun kepada orang-orang Kerajaan Mongol itu. Bagi dia, harta karun itu seharusnya diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang kelak hendak bangkit dan menentang pemerintah Mongol. Ceng Ceng yang menyerah hanya untuk melindungi Li Hong yang liar, membuat dia merasa penasaran. Akan tetapi karena Ceng Ceng berkeras hendak menyelamatkan Li Hong dengan berkorban menyerahkan peta harta karun, dia pun tidak dapat menolak. Dia tidak mungkin dapat menentang kehendak Ceng Ceng yang dia tahu muncul dari hati yang tulus dan penuh belas kasih!
Sebelum berangkat, sesuai dengan siasat yang diusulkan Li Hong, Ceng Ceng dan Cun Giok diajak ke belakang dan mereka berdua diberi kesempatan melihat Li Hong berada dalam sebuah kamar yang pintunya berterali besi, duduk di atas sebuah kursi dengan kaki tangan terbelenggu dan kamar itu dijaga belasan orang anak buah Bukit Sorga di bagian luarnya, bahkan dalam kamar itu terdapat dua orang anak buah yang bertubuh tinggi besar dan membawa golok telanjang, siap untuk membunuh Li Hong apabila gadis itu berani mencoba untuk meloloskan diri.
Melihat Li Hong duduk membelakangi pintu dalam keadaan menyedihkan itu, Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan berkata kepada Kim Bayan yang mengantar mereka menjenguk tempat tahanan itu.
"Kim-ciangkun, mengapa engkau melanggar janjimu?"
"Ah, aku tidak melanggar janji, Nona Liu Ceng. Bukankah sampai sekarang kami tidak membunuh Nona Tan Li Hong? Lihat, ia masih hidup!"
"Akan tetapi engkau memperlakukannya sebagai tawanan, dibelenggu seperti itu!" Ceng Ceng memprotes.
"Kami hanya berjanji tidak akan membunuhnya. Kalau sekarang kami menjaganya dengan ketat, hal itu hanya agar ia tidak dapat melepaskan dan melarikan diri."
"Akan tetapi aku sudah menyerahkan peta harta karun. Semestinya Li Hong engkau bebaskan!"
"Hemm, yang kauserahkan hanya sehelai gambar. Kami tidak tahu apakah peta itu aseli ataukah palsu. Oleh karena itu, untuk sementara Nona Li Hong kami tawan. Kalian bantu kami mencari harta karun itu sampai dapat, barulah Nona Tan Li Hong dan kalian berdua kami bebaskan."
"Engkau curang!" Cun Giok membentak, akan tetapi Ceng Ceng cepat menyentuh lengan Cun Giok. Ia melihat betapa kemarahan Cun Giok membuat dua orang algojo yang berada di kamar tahanan itu mendekati Li Hong dan menempelkan golok di leher gadis tawanan itu.
"Baiklah, Panglima Kim Bayan. Kami akan membantumu mencari harta karun itu," kata pula Ceng Ceng dengan sikap dan suaranya yang tetap sabar dan tenang.
"Akan tetapi kalau sampai engkau melanggar janji, kami berdua akan mengamuk mati-matian!" kata Cun Giok yang hampir tak dapat menahan kemarahannya.
Kim Bayan tersenyum dan diam-diam dia mengagumi kecerdikan Li Hong yang mengatur siasat itu sehingga ternyata berhasil membuat Ceng Ceng dan Cun Giok tak berdaya dan suka membantunya mencari harta karun.
"Sekarang, marilah kita berangkat!" katanya dan mereka lalu keluar, di mana telah menanti Cui-beng Kui-ong, Song-bun Mo-Li, Kong Sek, dan selosin orang anak buah berpakaian hitam.
Di sepanjang perjalanan mencari harta karun itu, Cun Giok hanya diam saja. Hatinya bingung dan juga khawatir sekali. Yang membuat dia bingung adalah sikap Ceng Ceng. Baginya, sikap Ceng Ceng yang menyerah kepada musuh demi melindungi nyawa Li Hong, dan menyerahkan peta bahkan kini ikut membantu mereka mencari harta karun, sungguh dinilai terlalu baik hati sehingga menjadi sikap yang lemah dan bodoh.
Bagaimana mungkin orang-orang macam Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, Kim Bayan, dan Kong Sek dapat dipercaya? Mereka pasti tidak akan menetapi janji. Kalau harta karun itu akhirnya mereka dapatkan, Li Hong, Ceng Ceng dan dia sendiri pasti juga akan dibunuh mereka! Dan yang dia paling khawatirkan adalah keselamatan Ceng Ceng.
Gadis yang berhati mulia dan yang amat dia kasihi itu tidak boleh mati terbunuh. Biarlah andaikata dia dan Li Hong terbunuh, akan tetapi Ceng Ceng harus dapat diselamatkan! Akan tetapi agaknya Ceng Ceng berpikir sebaliknya. Gadis itu memiliki watak seperti Kwan Im Pouwsat, Sang Dewi Belas Kasih, yang rela mengorbankan diri sendiri demi keselamatan orang lain!
Yang membuat hati Cun Giok diam-diam merasa penasaran dan marah kepada Kim Bayan dan kawan-kawannya adalah melihat betapa Ceng Ceng bersungguh-sungguh membantu mereka mencari harta karun! Dia tahu bahwa gadis yang baik budi ini ingin segera dapat membebaskan Li Hong. Maka begitu mereka berangkat, langsung saja Ceng Ceng memberitahu tentang perkiraannya di mana tempat harta karun seperti ditunjukkan dalam peta. Ia mengatakan bahwa menurut perkiraannya, harta karun itu tersimpan di dalam sebuah guha yang terletak di lereng bukit itu.
"Apa?" Cui-beng Kui-ong berkata sambil membelalakkan matanya.
"Harta karun itu berada di bukit milikku ini?"
"Bagaimana engkau dapat menduga demikian, Nona Liu?" tanya Kim Bayan, hampir tidak percaya.
Ceng Ceng mengajak mereka melihat peta itu. Setelah membentangkan peta, ia berkata.
"Lihatlah, gambar naga dan burung Hong itu jelas menunjukkan tempat Kaisar yang tentu saja kota raja Peking. Lingkaran itu berada di tengah lukisan bukit dan bulatan itu menandakan adanya guha. Menurut perkiraanku, bukit yang berada dekat sebelah selatan kota raja adalah bukit ini. Maka sebaiknya kita mencari sebuah guha di lereng pertengahan gunung atau bukit ini. Kalau ternyata perkiraanku keliru, terserah kalian hendak mencari ke mana."
"Hak-hak-hak, bagus sekali! Bukit Sorga ini pemberian Kaisar sendiri kepadaku, berarti bukit ini adalah milikku dan semua yang berada di bukit ini adalah hak milikku! Hak-hak-hak!" Cui-beng Kui-ong tertawa senang.
Diam-diam Kim Bayan mengerutkan alisnya, apalagi ketika melihat betapa Song-bun Moli juga tertawa dan tampak senang sekali mendengar ucapan kakak seperguruannya itu. Tidak mungkin rasanya bagi dia untuk menentang dua orang sakti itu. Akan tetapi kalau harta karun itu diambil oleh mereka berdua, lalu dia mendapatkan apa?
Padahal dialah yang telah berusaha keras untuk merampas peta dari tangan Panglima Liu Bok Eng, kemudian dari tangan Ceng Ceng yang mewarisinya. Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli hanya dimintai bantuannya saja! Sudah sepatutnya kalau dia yang mendapat imbalan jasa.
Kalau harta itu terjatuh ke tangannya, dia mempunyai dua pilihan yang sama-sama menguntungkan. Pertama, kalau dia memiliki sendiri, dia akan menjadi kaya raya. Kalau dia menyerahkannya kepada Kaisar, berarti dia berjasa besar dan tentu mendapat balas jasa berupa pangkat yang lebih tinggi lagi! Akan tetapi bagaimana kalau harta itu terjatuh ke tangan dua orang sakti itu? Dia tidak akan memperoleh apa-apa. Merampas dari tangan mereka tidak mungkin dan melaporkan kepada Kaisar juga percuma karena Cui-beng Kui-ong juga berjasa besar bagi Bangsa Mongol dan disegani oleh Kaisar!
Maka, Kim Bayan menjadi murung ketika mereka mencari-cari guha itu. Tiba-tiba seorang anak buah Bukit Sorga mendekati Cui-beng Kui-ong, memberi hormat dan berkata dengan lantang.
"Ong-ya, saya pernah melakukan perondaan di sekitar lereng bukit dan melihat bahwa di lereng tengah sebelah selatan terdapat bagian bukit yang berdinding batu panjang dan di sana terdapat beberapa buah guha."
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong yang disebut Ong-ya oleh anak buahnya, sebutan bagi seorang raja, tertawa terbahak-bahak dan mengajak mereka semua mencari guha di lereng sebelah selatan.
Kalau Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli tertawa-tawa gembira, adalah Kim Bayan yang wajahnya menjadi semakin keruh dan muram. Diam-diam Kim Bayan berjalan mendekati Ceng Ceng dan Cun Giok dan setelah mendapat kesempatan karena kakek dan nenek iblis itu sudah berjalan mendahului sehingga terpisah agak jauh dan semua orang, termasuk Kong Sek, dengan hati tegang mencurahkan semua perhatian untuk menemukan guha itu, Kim Bayan berbisik kepada Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Kalau kalian mau membantuku menghalangi kakek dan nenek itu menguasai harta karun, aku akan membebaskan kalian bertiga dan akan memberi bagian kalian dari harta karun itu."
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang.
"Makudmu kami bertiga dengan Li Hong?" tanya Ceng Ceng.
"Tentu saja! Aku dapat mengguna, kekuasaan dan kedudukanku untuk membebaskan kalian bertiga."
"Caranya?" tanya Cun Giok.
"Caranya mudah. Kita harus bekerja sama. Nanti, kalau harta itu benar-benar sudah ditemukan, kalian berdua serang kakek dan nenek itu. Aku percaya kalian akan cukup kuat untuk membuat mereka kerepotan dan kesempatan itu kupergunakan untuk membawa lari dan menyelamatkan harta karun. Setelah itu, kalian boleh melarikan diri dan aku akan membebaskan Li Hong dari tempat tahanan sehingga kalian bertiga akan dapat melarikan diri."
"Akan tetapi bagaimana dengan Kong Sek?"
"Aku kira dia bukan halangan besar bagi kalian dan aku. Mungkin aku akan membunuhnya lebih dulu sebelum melarikan harta itu."
Ceng Ceng mengerutkan alisnya, akan tetapi Cun Giok sudah mengambil keputusan.
"Sangat baik rencana itu! Kami setuju, Panglima Kim Bayan."
"Bagus, dan sekarang mari susul mereka."
Mereka lalu mengejar dan berjalan pula bersama kelompok itu yang amat bersemangat mencari harta karun, atau lebih, tepat mencari guha di mana diperkirakan harta karun itu tersimpan.
Akhirnya terdengar tawa Cui-beng Kui-ong yang berkakakan. Dia yang paling bersemangat selalu berada terdepan. Ketika mereka tiba di daerah berbatu di mana terdapat beberapa buah guha, Cui-beng Kui-ong mencari dan memeriksa setiap guha. Akhirnya dia menemukan guha yang berada di ujung timur, yang terbesar di antara guha-guha itu dan setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti, dia mengeluarkan suara tawanya yang khas.
"Kak-kak-kak-kak! Aku telah menemukannya!!"
Semua orang berlarian menghampiri guha itu. Kakek itu sambil tertawa-tawa berkata.
"Lihat, ketika kuperiksa dan kusingkirkan tanah yang menutupi lantai, terdapat ini. Tak salah lagi, di sini disimpannya harta karun itu. Hak-hak-hak-hak!"
"Hi-hi-hi-hik, sudah kubilang sejak dulu, engkau memang cerdik bukan main, Kui-ong!" Song-bun Moli juga tertawa dengan suara yang melengking aneh sehingga ketika dua suara tawa itu berbaur, semua orang bergidik karena campuran suara itu sama sekali bukan seperti tawa manusia, lebih pantas suara yang keluar dari lubang kubur, suara tawa setan dan iblis!
Kim Bayan mendekati Cun Giok.
"Bersiaplah." katanya lirih.
Cun Giok menggelengkan kepalanya.
"Lihat dulu buktinya," jawabnya dengan bisikan pula.
Kim Bayan mengangguk dan kini dia membantu duabelas orang anak buah Bukit Sorga yang memenuhi perintah Cui-beng Kui-ong melakukan pembersihan di lantai guha itu. Ketika sebuah batu bundar disingkirkan, di bawahnya terdapat sebuah batu besar dan di atas batu besar itu terdapat ukiran huruf
BONG
yang jelas sekali.
"Kak-kak-kak-kak, apa kataku? Inilah tempatnya, heh-heh! Siapa mengira jahanam Bong Thaikam itu menyembunyikan hartanya di sini, di bukit yang telah menjadi milikku! Kak-kak-kak, teruskan gali. Angkat batu itu!"
Ceng Ceng dan Cun Giok bertukar pandang. Memang tidak dapat diragukan lagi. Di situlah terpendam harta karun yang dulu merupakan hasil korupsi Thaikam Bong. Kini keduanya mulai khawatir. Kalau harta itu sudah ditemukan, apakah mereka boleh mengharap orang-orang pengejar harta itu benar-benar akan membebaskan mereka dan Li Hong? Bagaimana kalau mereka ingkar janji? Orang-orang hamba nafsu seperti mereka sungguh harus diragukan kejujurannya.
Cun Giok berbisik kepada Ceng Ceng.
"Kita tunggu harta itu dikeluarkan. Mereka tentu akan bergembira dan lengah. Kita lari kembali ke sana dan membebaskan Li Hong lalu melarikan diri turun bukit."
Ceng Ceng mengangguk tanda setuju. Mereka lalu mendekat dan melihat betapa duabelas orang itu bersusah payah hendak menarik batu yang ada ukiran huruf BONG itu, Cun Giok segera maju dan berkata.
"Biarkan aku yang menyingkirkan batu itu!" Hal ini dilakukan agar mereka semua percaya kepadanya dan menjadi lengah.
Duabelas orang anak buah yang kewalahan itu mundur dan memberi jalan kepada Cun Giok. Pemuda ini mengamati batu besar itu dan membungkuk, memegang kedua tepi batu yang lebarnya sekitar sepanjang lengan. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan sekali berteriak dan menarik, dia berhasil mengangkat batu itu dan melemparkannya keluar guha. Duabelas orang anak buah berpakaian hitam itu bersorak ketika melihat bahwa di dalam lubang di bawah batu tadi terdapat sebuah peti hitam yang terukir indah berbentuk dua ekor naga!
Akan tetapi sorak-sorai duabelas orang itu segera terganti teriakan-teriakan mengaduh dan duabelas orang itu satu demi satu roboh terlempar dan tewas seketika! Kiranya Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengamuk dan membunuhi anak buah sendiri. Tentu saja Kim Bayan dan Kong Sek terkejut bukan main dan mereka berdua melompat ke belakang, takut kalau menjadi korban amukan kakek dan nenek iblis itu.
Setelah duabelas orang itu tewas, Cui-beng Kui-ong lalu membuka tutup peti dan...... ternyata peti itu kosong! Di dasar peti terdapat tulisan huruf
THAI-SAN!
Tidak ada secuil pun emas atau permata. Tidak ada uang setail pun!
Ciu-beng Kui-ong terbelalak dari dia pun mengamuk.
"Jahanam keparat! Aku dibohongi!"
"Kui-ong, harta ini ada yang sudah mengambilnya!" kata Song-bun Moli.
"Siapa berani mendahului aku?" Cui-beng Kui-ong memaki-maki.
"Mungkin disimpan di bagian lain dalam guha ini!" kata Kong Sek.
"Atau di guha-guha yang lain." kata Kim Bayan.
Mereka berempat lalu mencari, memporak-porandakan guha besar itu untuk mencari harta karun.
Tiba-tiba Kim Bayan berseru.
"Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng menghilang!"
Memang dua orang muda itu ketika melihat bahwa peti itu kosong dan isinya hanya tulisan THAI-SAN, cepat pergi mengerahkan gin-kang mereka dan dengan cepat naik ke puncak untuk membebaskan Li Hong!
"Biarkan pergi, tidak ada gunanya lagi!" kata Cui-beng Kui-ong.
"Tapi aku harus membunuh si keparat Pouw Cun Giok!" kata Kong Sek dan dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk mengejar musuh besarnya.
Kim Bayan masih terus membantu dua orang kakek dan nenek itu mencari harta karun. Setelah guha besar diporak-porandakan dan mereka tidak menemukan apa-apa, mereka lalu mencari di guha-guha lainnya yang berada di lereng itu. Mereka mencari dengan teliti, dengan hati tegang seperti yang dialami semua orang yang mencari harta karun dan yang mengharapkan setiap saat akan menemukannya!
Dengan mengerahkan gin-kang mereka, Ceng Ceng dan Cun Giok berlari cepat sekali mendaki bukit itu. Mereka telah mengenal jalan ketika tadi turun menuju ke tempat penyimpanan harta karun sehingga kini dapat menuju ke puncak tanpa ragu lagi.
Setelah memasuki perkampungan anak buah Bukit Sorga, tiba-tiba saja bermunculan sembilan orang laki-laki tinggi besar yang berpakaian serba putih. Mereka berjalan dengan kaku namun cepat sekali dan tahu-tahu sembilan orang itu telah membuat lingkaran mengepung Ceng Ceng dan Cun Giok.
Dua orang muda itu memandang dan mereka terkejut dan merasa ngeri. Mereka itu berujud manusia, namun muka mereka pucat tanpa darah seperti muka mayat dan pandang mata mereka kosong! Ketika sembilan orang itu mengangkat kedua tangan mereka yang tadinya bergantung sehingga gerakan mereka tampak kaku, Cun Giok melihat bahwa jari-jari tangan mereka memiliki kuku yang tebal panjang dan runcing.
"Nanti dulu, sobat-sobat!" Cun Giok berkata kepada mereka, tidak tahu mana yang menjadi petnimpin karena mereka sama semua.
"Jangan salah sangka. Kami berdua adalah tamu-tamu dari Cui-beng Kui-ong! Kami bukan musuh."
Sembilan orang atau sembilan mahluk itu mengeluarkan suara dan sikap mereka mengancam. Mereka mulai bergerak melangkah kaku dan mengitari dua orang muda itu sambil mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh. Mereka terkadang mengadu kedua tangan sendiri dan ketika kuku-kuku jari tangan itu saling beradu terdengar suara berdenting dan bunga api berpijar-pijar! Seolah-olah yang diadukan itu bukan kuku, melainkan ujung-ujung pedang yang ampuh!
"Hati-hati, Ceng-moi. Mereka ini tangguh dan berbahaya!" kata Cun Giok yang kembali merasa kagum karena gadis itu tampak tenang saja. Memang Ceng Ceng selalu dapat bersikap tenang walaupun pada saat itu ia tahu benar betapa lihainya sembilan orang mahluk itu. Tadi ia sudah mengambil sepotong kayu yang akan dijadikan senjata pelindung diri.
Cun Giok tanpa ragu lagi mencabut pedangnya karena dia melihat betapa sembilan orang mahluk itu sama sekali tidak menghiraukan, atau mungkin tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Dengan pedang di tangan dia siap membela diri sendiri dan membela Ceng Ceng.
Tiba-tiba sembilan orang mayat hidup itu berhenti bergerak mengitari mereka dan mulut mereka mengeluarkan suara seperti orang yang dicekik lehernya, tangan kiri mereka menunjuk ke arah Ceng Ceng dan Cun Giok dan...... sembilan sinar hitam meluncur seperti anak panah menyambar tubuh dua orang muda itu! Cun Giok yang sejak tadi memandang dan mengamati penuh perhatian tidak melihat mereka mengambil senjata rahasia, maka tahulah dia bahwa yang menyambar itu adalah senjata rahasia lembut yang agaknya sudah tersembunyi di dalam kuku-kuku runcing itu!
"Trang-trang-trik-trik-trik......!" Pedang Cun Giok dan tongkat Ceng Ceng menangkis runtuh jarum-jarum panjang itu dan sebagian lagi mereka elakkan sehingga jarum-jarum itu meluncur lewat dan mengenai tubuh seorang mayat hidup yang berada di tempat berlawanan! Anehnya, biarpun ada yang terkena jarum kawan sendiri itu di lehernya atau dadanya, mereka seperti tidak merasakan dan jarum-jarum itu mengeluarkan bunyi berdenting seperti mengenai dinding baja!
Akan tetapi, sembilan orang mayat hidup itu masih melanjutkan serangan mereka menggunakan jarum-jarum itu. Kini mereka bergerak lagi mengitari dua orang muda yang selalu waspada itu dan mereka menyerang lagi dengan jarum-jarum mereka. Bukan hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dari kuku jari tangan kiri mereka.
Ceng Ceng dan Cun Giok terpaksa mengerahkan gin-kang mereka dan tubuh mereka berkelebatan. Bahkan tubuh Cun Giok seolah-olah lenyap dan inilah yang membuat dia dijuluki Pendekar Tanpa Bayangan. Ceng Ceng juga berkelebatan mengelak dan tubuhnya berubah menjadi bayangan putih, sesuai dengan julukannya, yaitu Pek-eng Sian-li (Dewi Bayangan Putih).
Biarpun kecepatan gerakan mereka tidak dapat diikuti sembilan orang mayat hidup itu, dan mereka menyerang secara ngawur saja, namun karena serangan itu bertubi-tubi, tetap saja Cun Giok dan Ceng Ceng harus menggunakan pedang dan tongkat mereka yang diputar demikian cepatnya sehingga sinar kedua senjata itu seolah berubah menjadi sinar yang menyelimuti mereka dan menangkis jarum yang menyambar.
Kiranya masing-masing mayat hidup menyimpan lima batang jarum dalam kuku jari tangan kiri mereka. Setelah semua jarum dilepaskan habis dan tidak sebatang pun mengenai dua orang muda itu, lima orang mayat hidup itu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda dan kepungan mereka merapat lalu mereka mulai menyerang dengan kuku-kuku panjang kedua tangannya! Gerakan mereka kaku akan tetapi cepat sekali dan mengandung tenaga kuat.
Ceng Ceng dan Cun Giok menghadapi pengeroyokan mahluk-mahluk aneh itu dengan gerakan yang cepat, mengelak dan membalas secepat kilat.
"Tak-tak-tuk-tuk.......!"
Pemuda dan gadis perkasa itu terkejut bukan main. Pedang Kim-kong-kiam di tangan Cun Giok itu mental ketika membacok atau menusuk tubuh mayat-mayat hidup itu! Seolah bertemu dengan baja yang kuat sekali. Demikian pula semua totokan tongkat Ceng Ceng yang biasanya selalu dapat menotok jalan darah lawan dan membuatnya lumpuh, kini sama sekali tidak ada hasilnya, seolah ia hanya menotok gumpalan baja yang kuat dan tidak memiliki jalan darah!
"Serang matanya!" Cun Giok berseru kepada Ceng Ceng. Dia sendiri lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat, menusuk mata kanan seorang mayat hidup.
Pedang itu menancap ke dalam rongga mata, akan tetapi ketika dicabut, tidak ada darah keluar dan begitu mayat hidup itu menggunakan tangan mengusap matanya yang terluka, mata itu pulih kembali!
Demikian pula dengan Ceng Ceng. Ujung tongkatnya memang dapat menusuk mata lawan, akan tetapi tidak menghasilkan apa-apa, seolah yang ditusuk tidak merasakan sesuatu.
Biarpun semua tusukan yang mengenai mata itu tidak membuat para mayat hidup terluka apalagi roboh, setidaknya membuat mereka agak repot dan memperlambat pengeroyokan mereka yang liar dan buas. Tiba-tiba terdengar mereka melengking dan dari mulut mereka keluar uap hitam yang membuat kepala menjadi pening karena uap hitam itu berbau mayat yang sudah membusuk! Ceng Ceng cepat mengambil sebutir pel berwarna hijau dan menyerahkannya kepada Cun Giok.
"Kulum pel ini!"
Ia sendiri juga memasukkan sebutir pel ke dalam mulut dan mengulumnya. Ketika Cun Giok mengulum pel itu, ia merasa betapa pel itu menyengat rongga mulut dan hidungnya sehingga bau busuk dari mayat-mayat hidup itu tidak terasa oleh penciumannya yang dipenuhi bau harum yang kuat. Kepeningannya hilang dan kembali dia bersama Ceng Ceng mengamuk, menyerang ke arah mata para mayat hidup itu yang tidak kebal, walaupun juga hasilnya tidak banyak.
Mulailah mereka mencari-cari kesempatan untuk melepaskan diri dari kepungan sembilan orang mayat hidup itu. Tentu saja mereka tidak bermaksud melarikan diri sebelum dapat membebaskan Li Hong yang tertawan. Akan tetapi kalau mayat-mayat hidup ini demikian lihai, akan memperlambat usaha mereka membebaskan Li Hong dan kalau sampai Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, Kim Bayan dan Kong Sek datang, mereka berdua tidak saja mustahil untuk membebaskan Li Hong, bahkan mereka sendiri akan terancam bahaya besar.
Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang melengking-lengking dan tampak Li Hong keluar dari gedung, dikejar sedikitnya tigapuluh orang anak buah Bukit Sorga yang berpakaian serba hitam. Ternyata Li Hong yang seperti kita ketahui hanya berpura-pura saja menyerah dan bersekutu membantu Kim Bayan karena melihat sikap Ceng Ceng yang mati-matian membelanya itu lenyap semua kebenciannya terhadap Ceng Ceng dan datang kembali kesadarannya dan wataknya yang gagah.
Ketika mendengar Ceng Ceng dan Cun Giok dikeroyok Kiu-kui-tin (Barisan Sembilan Iblis) yang terdiri dari sembilan orang mayat hidup, segera berlari keluar, diikuti puluhan anak buah Bukit Sorga yang mengira gadis itu hendak ikut mengeroyok Ceng Ceng dan Cun Giok! Para anak buah itu menganggap bahwa Li Hong adalah sekutu yang membantu majikan mereka.
Setelah dekat dan melihat betapa Ceng Ceng dan Cun Giok kewalahan menghadapi pengeroyokan sembilan orang mayat hidup itu Li Hong segera berseru nyaring.
"Pouw-twako dan Ceng Ceng! Serang sambungan tulang kaki dan lengan mereka!" Setelah berkata demikian, ia menyerbu dengan Ban-tok-kiam yang bersinar hijau. Begitu ia menyerang, pedangnya itu membabat ke arah lutut seorang mayat hidup.
"Crakkk!" Sambungan lutut itu terbabat dan putus! Akan tetapi dengan sebelah kaki saja, mayat hidup itu berloncatan dan menyerang Li Hong sambil mengeluarkan suara menjerit-jerit. Li Hong menggerakkan pedangnya lagi dan sambungan lutut kaki yang tinggal satu itu pun buntung. Mayat hidup tanpa kedua kakinya itu masih menggerakkan kedua tangan hendak mencengkeram sambil bergulingan akan tetapi dua kali Ban-tok-kiam menyambar dan sambungan siku mayat hidup itu pun menjadi buntung! Biarpun tinggal badan dan kepala tanpa kaki tangan lagi, mayat hidup itu masih bergulingan akan tetapi tidak berbahaya lagi.
Melihat ini, Cun Giok dan Ceng Ceng girang sekali dan mereka segera meniru cara menyerang Li Hong itu sehingga mayat-mayat hidup itu kini bergelimpangan dengan kaki atau tangan buntung!
"Pengkhianat!" terdengar teriakan marah dan Kong Sek yang baru tiba di situ segera menyerang Li Hong dengan pedangnya.
"Trang! Cringg!!" Li Hong menangkis dua kali sambil mengerahkan tenaganya sehingga Kong Sek terpaksa mundur karena merasa betapa lengannya tergetar hebat dan sinar hijau pedang gadis itu sudah meluncur untuk membalas serangannya.
"Hi-hik, Kong Sek, orang macam engkau ini hendak membunuh Twako Pouw Cun Giok? Melawan aku pun akan roboh tanpa kepala!" Li Hong mengejek dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Akan tetapi, para anak buah Bukit Sorga yang tadinya heran dan bingung melihat betapa Li Hong berbalik membantu musuh, sudah mengepung dan maju mengeroyok!
"Ceng-moi, bantulah Li Hong!" kata Cun Giok.
Melihat betapa kini para mayat hidup itu tidak perlu ditakuti lagi, karena enam orang di antaranya telah menggeletak tak berdaya dengan kedua kaki buntung, sedangkan ia yakin Cun Giok akan mampu merobohkan yang tiga orang lagi karena sudah mengetahui rahasia kelemahan mereka, sedangkan Li Hong kini yang repot dikeroyok oleh Kong Sek dan puluhan orang anak buah Bukit Sorga.
Ceng Ceng segera melompat dan berkelebat ke arah Li Hong dan segera mengamuk. Empat orang roboh begitu terkena totokan tongkatnya. Dua orang gadis ini mengamuk sehingga anak buah Bukit Sorga menjadi gentar karena sebentar saja tidak kurang dari duabelas orang rekan mereka telah roboh! Kong Sek juga menjadi jerih menghadapi dua orang gadis perkasa ini.
Setelah merobohkan sisa mayat hidup yang tinggal tiga orang itu, Cun Giok lalu berseru kepada dua orang gadis yang kini menghadapi pengeroyokan lebih banyak anak buah Bukit Sorga yang sudah berbondong-bondong datang.
"Ceng-moi! Hong-moi! Mari kita pergi sebelum bahaya yang lebih besar datang!"
Ceng Ceng dan Li Hong mengerti apa yang dimaksudkan Cun Giok. Kalau sepasang kakek nenek iblis itu dan Kim Bayan muncul, kiranya akan sulit sekali bagi mereka untuk dapat meloloskan diri. Dengan menggunakan gin-kang mereka yang tinggi, tiga orang itu berkelebat dan berlompatan keluar dari kepungan, lalu berlari cepat seperti terbang menuruni Bukit Sorga.
Kong Sek tidak berani mengejar karena menghadapi Li Hong seorang saja akan sukar baginya untuk menang, apalagi menghadapi mereka bertiga! Anak buah Bukit Sorga mencoba untuk mengejar, akan tetapi mereka tertinggal jauh karena kecepatan lari mereka tidak mungkin mengejar ilmu berlari cepat yang dilakukan tiga orang muda perkasa itu.
Terpaksa Kong Sek kembali ke gedung dan duduk termenung dengan hati kecewa sekali. Pouw Cun Giok sudah berada di tangan untuk ke dua kalinya, akan tetapi lolos dari pembalasan dendamnya!
Pertama, ketika gurunya, Bu-tek Sin-liong Cu Liong dapat menangkap Pouw Cun Giok tanpa melawan dan menyerahkan Cun Giok kepadanya untuk dibawa ke pengadilan kota raja dengan tangan diborgol. Di tengah jalan, dia akan dapat membunuh musuh besarnya itu dengan mudah, akan tetapi muncul sumoinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri gurunya yang membela Cun Giok sehingga musuh besarnya itu lolos dari tangannya.
Sekarang, setelah Cun Giok berada di Bukit Sorga dan kalau saja Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mau membantunya tentu Cun Giok akan dapat dibunuh dengan mudahnya. Akan tetapi sepasang kakek nenek itu begitu tergila-gila mengejar harta karun sehingga mengabaikan penjagaan terhadap Cun Giok dan akibatnya, kembali Cun Giok dapat meloloskan diri!
Tak lama kemudian, Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kim Bayan datang ke perkampungan itu dengan wajah cemberut. Kim Bayan yang bertubuh tinggi besar dan selalu tampak gagah itu kini wajahnya muram alisnya berkerut dan tubuhnya tampak loyo karena menderita kekecewaan berat dan penasaran.
Akan tetapi yang paling marah adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kemarahan mereka itu bertambah beberapa lipat ketika melihat Kiu-Kui-tin barisan sembilan mayat hidup itu berserakan tak berdaya dengan semua kaki mereka buntung terlepas sambungan lututnya dan ada pula yang juga kehilangan lengan yang buntung sebatas siku! Mereka itu masih hidup akan tetapi tidak dapat berbuat apa-apa lagi! Bukan hanya itu, mereka juga banyak anak buah yang tewas dan terluka. Apalagi ketika mendengar bahwa Pouw Cun Giok dan Ceng Ceng lolos dibantu oleh Li Hong yang berkhianat, kemarahan mereka memuncak.
Kakek dan nenek itu mengeluarkan teriakan-teriakan memanjang yang aneh dan mengerikan, dan wajah mereka memang sudah buruk itu kini berkerut-kerut sehingga tampak mengerikan akan tetapi juga lucu. Saking marahnya, Cui-beng Kui-ong seketika membunuh duabelas orang anak buah yang tadinya diserahi tugas menjaga Li Hong. Juga dia membasmi sisa sembilan mayat hidup buatannya dengan membakar mereka menjadi abu!
"Panglima Kim Bayan, engkau juga seorang yang brengsek dan goblok, mengatur siasat yang hanya mendatangkan kegagalan! Coba engkau tidak mencegah Kong Sek membunuh Pouw Cun Giok, tentu dia sudah mati dan mereka tidak begitu kuat lagi dan tidak mungkin dapat lolos! Engkau panglima yang bodoh!"
Wajah Panglima Kim Bayan sebentar pucat sebentar merah. Dia adalah seorang panglima yang dipercaya oleh Kaisar, kedudukannya tinggi dan semua orang menghormatinya. Akan tetapi di sini dia dicaci maki, disebut brengsek, bodoh dan goblok! Akan tetapi karena maklum bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan kakek itu, dia diam saja, bahkan lalu menjura dan berpamit, Cui-beng Kui-ong tidak menjawab dan juga diam saja ketika Panglima Kim Bayan meninggalkan tempat itu dengan hati mengkal, panas dan marah karena telah dihina.
Tiba-tiba Song-bun Moli tertawa dengan suara tawanya yang setengah menangis.
"Hi-hik-hu-hu-huu! Engkau juga seorang tua bangka tolol, Kui-ong! Bagaimana mau mengaku hebat kalau orang setua engkau masih dapat dikibuli anak-anak seperti mereka! Engkau diajak ke tempat kosong, hi-hi-hik!"
Cui-beng Kui-ong melototkan matanya.
"Mo-li, nenek bawel dan cerewet! Engkaulah yang tolol, engkau yang goblok. Aku sudah akan membunuh Tan Li Hong, engkau mencegah dan mengambilnya sebagai murid! Sekarang engkau tahu rasa, ditipu bocah yang kauangkat murid itu. Engkau harus malu dan menampari muka sendiri!"
Kong Sek yang maklum bahwa kalau dia ingin berhasil membalas dendam kepada Pouw Cun Giok, dia harus mendekati kakek dan nenek yang amat sakti ini untuk membantunya atau setidaknya untuk mempelajari ilmu yang tinggi dari mereka. Maka, melihat mereka kini saling maki dan tampak marah, dia lalu melerai dengan mengangkat kedua tangan depan dada lalu berkata dengan hormat.
"Subo dan Suhu harap tidak bertengkar. Dipertengkarkan juga tidak ada gunanya. Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong sudah melarikan diri. Memang hal ini menjengkelkan, akan tetapi saya kira Ceng Ceng tidak menipu kita dengan peta itu. Menurut perkiraan saya, peta itu memang aseli dan buktinya memang benar dapat menemukan tempat disimpannya harta karun oleh mendiang Thaikam Bong. Bukit ini memang dekat dengan kota raja, maka sudah tepat kalau dijadikan tempat menyembunyikan harta itu."
"Akan tetapi peti yang tertanam di situ kosong!" Song-bun Moli semakin marah.
"Keparat orang-orang muda itu, telah berani menipu kita!"
"Saya kira Liu Ceng Ceng itu juga tidak tahu bahwa peti harta itu kosong, Subo. Kalau ia sudah tahu, untuk apa ia mengajak kita ke sana? Tidak ada untungnya bagi gadis itu. Sekarang, yang paling penting, kita harus jangan sampai didahului mereka karena mereka pasti akan mencari harta karun itu."
"Hemm, masuk di akal juga ucapan bocah ini," kata Cui-beng Kui-ong.
"Akan tetapi ke mana lagi mencari harta karun itu? Aku ingin sekali menangkap mereka yang telah membunuh Kiu-kui-tin yang dengan susah payah kubikin!"
"Kalau menurut peta yang telah kita miliki, tidak ada petunjuk lain. Akan tetapi dalam peti itu ada tulisan huruf THAI-SAN, ini berarti bahwa tentu hilangnya harta karun itu ada hubungannya dengan Thai-san atau setidaknya, yang mengambilnya mempunyai hubungan dengan Thai-san. Orang itu pasti seorang vang sombong sekali sehingga setelah herhasil mengambil harta karun, dia meninggalkan huruf Thai-san seolah memberitahu dari mana dia berasal dan menantang orang untuk merampasnya kembali kalau berani!"
Kakek dan nenek itu seolah lupa akan kebiasaan mereka tertawa-tawa aneh. Mereka berdua masih marah sekali karena selain harta karun tak dapat ditemukan, juga tiga orang muda itu lolos, banyak anak buah Bukit Sorga tewas, barisan Kiu-kui-tin terbasmi dan Song-bun Moli kehilangan Li Hong, murid baru yang ternyata berkhianat itu! Kini mendengar ucapan Kong Sek yang menunjukkan betapa cerdiknya pemuda itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alis dan berpikir.
"Hemm...... pencuri harta itu dari Thai-san? Tokoh Thai-san yang berilmu tinggi dan sombong? Pasti ada hubungannya dengan Thai-san-pai (Aliran Persilatan Gunung Agung)! Yang berani mengambil harta karun dari Bukit Sorga, berilmu tinggi dan sombong, tiapa lagi kalau bukan Ketua Thai-san-pai?"
"Suhu, siapakah Ketua Thai-san-pai?"
"Dia menamakan dirinya Thai-san Sianjin (Manusia Dewa Thai-san), akan tetapi nama aselinya Thio Kong dan tentang orang ini, Song-bun Moli lebih mengenalnya!"
"Heh-heh-hi-hi-hik, Thio Kong itu, siapa tidak mengenalnya? Ketika mudanya, dia mata keranjang dan ugal-ugalan, akan tetapi setelah tua dia pura-pura alim, menjadi pendeta dan menjadi Ketua Thai-san-pai! Hi-hi-hu-hu-huuu!" Tawa aneh dari nenek itu kini muncul kembali.
"Hak-hak-hak! Tidak perlu mencela, Mo-li! Lupakah engkau bahwa dulu engkau juga tergila-gila kepadanya dan menjadi seorang di antara kekasihnya?"
"Hi-hi-hi! Itu dulu! Kalau sekarang aku bertemu dengan dia pasti akan kupenggal lehernya, kucabut dan kumakan jantungnya!"
"Ha-ha-hak! Aku percaya itu karena sejak dulu engkau merasa sangat cemburu dan marah yang selalu engkau pendam dalam hatimu."
Melihat kakek dan nenek ini kembali saling bertengkar, Kong Sek cepat menengahi.
"Suhu dan Subo, memang agaknya tepat dugaan Ji-wi (Anda Berdua) bahwa yang mencuri harta karun itu adalah Thai-san Sianjin ketua Thai-san-pai! Kalau bukan orang yang tinggi kedudukannya, lihai ilmu silatnya, dan mempunyai banyak anak buah, tentu tidak akan berani mencuri dari bukit ini, apalagi dengan meninggalkan tanda pengenal THAI-SAN itu! Marilah kita mengejar ke sana agar sekali bertindak kita mendapatkan dua keuntungan, yaitu merampas kembali harta karun dan membunuh Thai-san Sianjin seperti dikehendaki Subo tadi."
Kakek dan nenek itu merasa setuju dan berangkatlah mereka bertiga menuruni Bukit Sorga menuju ke Thai-san. Perjalanan itu amat jauh, akan tetapi kakek dan itu melakukan perjalanan santai karena mereka ingin menikmati keadaan di luar setelah bertahun-tahun mengasingkan diri di Bukit Sorga. Setelah tiba di luar daerah tempat tinggal mereka, kakek dan nenek itu kambuh kembali kesenangan mereka yang bagi Kong Sek amat aneh, menjijikkan dan juga mengerikan.
Baru dia tahu bahwa Cui-beng Kui-ong memiliki kesenangan aneh, yaitu menangkapi gadis yang menarik hatinya, memperkosa dan minum darahnya sebelum dibunuhnya! Song-bun Moli juga melaksanakan kesenangannya yang tidak kalah keji dan seramnya. Setiap kali melihat bayi yang masih menyusu ibunya, yang berwajah montok dan bertubuh sehat, ia lalu menculik bayi itu dan pada keesokan paginya mayat bayi itu dibuang begitu saja dengan tubuh yang tak berdarah lagi!
Kong Sek bergidik ngeri. Dia merasa tidak suka melihat kelambatan perjalanan itu, apalagi melihat kebiasaan aneh yang mengerikan itu, akan tetapi dia tidak berani menegur. Juga dia tidak mau pergi meninggalkan dua orang aneh itu karena dia mengharapkan bantuan mereka untuk dapat membalas dendamnya, yaitu membunuh Pouw Cun Giok! Demikianlah, perjalanan itu dilakukan dengan santai dan lambat.
Setelah jauh meninggalkan Bukit Sorga dengan berlari cepat, tiga orang muda itu berhenti dalam sebuah hutan, di bawah sebatang pohon yang besar dan rindang. Mereka bertiga berdiri saling pandang dan Ceng Ceng sambil tersenyum mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada Li Hong lalu berkata.
"Li Hong, engkau telah menolong dan menyelamatkan kami, sungguh perbuatanmu itu baik sekali dan aku sangat berterima kasih kepadamu!"
Mendengar ini, sepasang mata Li Hong yang memandang wajah Ceng Ceng tiba-tiba berlinang air mata dan ia lalu maju dan merangkul Ceng Ceng.
"Ceng Ceng...... maafkan aku, Ceng Ceng......" Li Hong menangis ketika berangkulan dengan Ceng Ceng.
Ceng Ceng, tersenyum dan mencium pipi yang basah itu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Li Hong, engkau tidak bersalah apa-apa kepadaku," katanya lembut.
Cun Giok tercengang menyaksikan sikap kedua orang gadis cantik itu. Setelah kini dia dapat mengamati dengan jelas Li Hong sebagai seorang gadis, harus dia akui bahwa Li Hong memang merupakan seorang gadis yang cantik menarik. Dia membiarkan dua orang gadis itu berangkulan, setelah Li Hong berhenti menangis, barulah Cun Giok berkata dengan suara mengandung keheranan.
"Ceng-moi dan Hong-moi, marilah kita duduk sambil mengaso dan bicara. Aku sungguh heran melihat kalian berdua. Apakah yang telah terjadi? Aku melihat Hong-moi menyerang Ceng-moi, kemudian ketika melihat Hong-moi ditangkap Kim Bayan dan kawan-kawannya, Ceng-moi mengorbankan petanya untuk menyelamatkan Hong-moi. Kemudian, Hong-moi dengan mati-matian menolong Ceng-moi ketika kami dikeroyok anak buah Bukit Sorga. Apa artinya semua itu?"
"Semua itu membuktikan bahwa Ceng Ceng memang seorang gadis yang amat mulia hatinya, amat baik dan memang sudah sepatutnya kalau...... ia menjadi jodohmu, Twako," kata Li Hong.
Ceng Ceng menghela napas panjang.
"Tidak seperti yang kalian sangka," katanya.
"Ketika melihat Li Hong tertawan dan dijadikan sandera, kemudian kebebasannya hendak ditukar dengan peta harta karun, aku berpendapat bahwa Li Hong setia merahasiakan peta itu. Kalau tidak begitu, bukankah ia sudah hafal pula akan isi peta? Maka, untuk menyelamatkan Li Hong yang begitu setia menjaga kerahasiaan peta itu, aku rela menyerahkan peta kepada mereka."
Li Hong mengusap dua titik air mata yang tersisa di pelupuk matanya, lalu berkata lantang seolah ia mengerahkan kekuatan untuk menegaskan ucapannya.
"Tidak, Ceng Ceng. Aku tidak sebaik itu. Terus terang saja, Ceng Ceng, dan engkau juga Pouw-twako, melihat kemesraan antara kalian berdua, aku menjadi...... cemburu dan marah, suatu sikap yang sebenarnya memalukan!"
"Tidak, Li Hong. Engkau berhak cemburu dan marah karena aku sudah tahu bahwa engkau mencinta Giok-ko dan engkau pernah bilang bahwa engkau tidak ingin bersaing dengan aku. Ternyata akulah yang melanggar penyangkalanku sendiri bahwa aku tidak akan menyainginya......" kata Ceng Ceng.
"Aku yang tidak tahu diri dan aku mengira bahwa Pouw-twako mencinta diriku."
"Hong-moi, engkau tentu mengerti bahwa sikapku yang baik terhadapmu dulu adalah sikap seorang sahabat karena engkau kuanggap sebagai seorang pemuda remaja yang baik dan menyenangkan," Cun Giok membela diri.
"Sudahlah, semua memang salahku. Kalau aku berani membuka penyamaranku, tentu aku tahu bahwa Pouw-twako tidak mencinta aku seperti cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Dan tentu tidak akan terjadi persoalan ini. Seperti kuceritakan tadi, aku menyerang Ceng Ceng karena marah dan cemburu, lalu aku pergi meninggalkan kalian. Aku mendaki bukit untuk mencari sendiri harta karun itu. Bukan karena aku murka dan ingin memiliki harta itu, melainkan untuk mendahului kalian, untuk melampiaskan kemarahanku. Di atas, aku dikalahkan Cui-beng Kui-ong, nyaris dibunuh akan tetapi ditolong Song-bun Moli dan diambil murid. Aku mau saja diambil murid agar aku dapat mempelajari ilmu untuk kelak dapat menandingi kalian berdua! Pada waktu itu aku sungguh-sungguh seperti gila oleh cemburu dan kemarahan dan amat membenci Ceng Ceng. Nah, lega hati ini setelah menceritakan semua perasaanku yang amat jahat itu kepada kalian."
"Akan tetapi"" buktinya sekarang engkau malah menolong kami dan memusuhi mereka. Bagaimana ini?" kata Cun Giok bingung.
"Giok-ko, ini membuktikan bahwa Li Hong tidaklah sejahat seperti yang diakuinya," kata Ceng Ceng tersenyum.
"Kalian berdua belum mengetahui betapa jahatnya aku! Setelah diaku murid oleh Song-bun Moli, aku dipercaya sebagai sekutu mereka. Akan tetapi, entah mengapa, aku tidak sudi membuka rahasia tentang peta yang sudah kuhafal isinya itu. Di lubuk hatiku, aku sebenarnya tidak suka kepada mereka. Aku hanya marah kepada kalian dan hendak menggagalkan kalian menemukan harta itu. Maka aku lalu mengusulkan agar aku dijadikan sandera untuk menjebak kalian. Aku sudah mengenal watak Ceng Ceng yang murah hati walaupun aku sama sekali tidak mengira engkau mau berkorban untukku, Ceng Ceng! Aku tadinya hanya ingin agar Pouw-twako tidak dapat melindungimu kalau kalian menyerah. Siapa tahu, ternyata engkau sungguh-sungguh mau berkorban untukku, mau menyerahkan peta yang amat berharga bagimu itu untuk menyelamatkan aku. Nah, pada saat itulah pikiranku berubah sama sekali. Mendung hitam berupa cemburu dan benci itu seketika menghilang dari hatiku, dan aku melihat betapa engkau seorang yang amat budiman, dan engkau sajalah yang pantas berjodoh dengan Pouw-twako. Maka, ketika kalian memasuki perkampungan dan dikeroyok oleh Kiu-kui-tin, aku segera keluar dan membantu kalian. Nah, sekarang engkau mengetahui semuanya. Aku memang jahat, berbeda dengan engkau yang bijaksana dan berbudi, Ceng Ceng."
Ceng Ceng merangkul Li Hong.
"Sudahlah, Li Hong. Lupakan semua itu. Aku mengerti mengapa engkau menjadi cemburu dan marah. Aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku sendiri juga merasa bersalah. kepadamu."
"Ceng Ceng, kalau engkau benar-benar mau memaafkan aku, aku minta buktinya!"
Ceng Ceng mengangkat alisnya dan memandang heran.
"Membuktikannya? Bagaimana?"
"Dengan mengahgkat aku menjadi adikmu! Nah, maukah engkau menjadi enciku?"
"Mengangkat saudara? Wah, tentu saja aku senang sekali, Li Hong! Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini! Kalau engkau mau menjadi adikku, ah, aku berterima kasih dengan penuh rasa syukur kepada Thian akan karunia ini!"
"Enci Ceng.......!"
"Adik Hong.......!"
Mereka kembali saling rangkul dan saling cium.
Melihat ini, Cun Giok menjadi terharu sekali. Dua orang gadis yang sama cantik jelita, sama gagah perkasa dan biarpun Li Hong memiliki watak yang keras dan liar namun pada dasar hatinya terkandung keadilan dan kegagahan dan kini menjadi adik angkat Ceng Ceng, tentu ia akan mendapat tuntunan yang baik sekali. Sungguh berbahagia sekali Li Hong mendapatkan seorang saudara tua seperti Ceng Ceng! Siapa pun dia yang dapat berdekatan dengan Ceng Ceng, berarti memperoleh kebahagiaan besar. Ceng Ceng bagaikan matahari yang mendatangkan penerangan dalam kehidupan seseorang.
Dan dia telah mendapat balasan cinta dari Ceng Ceng! Sesungguhnya hal ini merupakan kebahagiaan yang tak dapat diukur dalamnya. Akan tetapi apakah dia berhak untuk menjadi jodoh Ceng Ceng? Bukankah dia telah bertunangan dengan Siok Eng? Tiba-tiba kebahagiaan besar karena saling mencinta dengan Ceng Ceng itu membuyar dan kesadaran akan keadaan dirinya terasa bagaikan ujung pedang menusuk perasaan hatinya.
Tidak, dia tidak boleh bertekuk lutut terhadap cintanya sendiri. Cinta memang suci dan bersih, namun dia sama sekali tidak bersih, sama sekali tidak berhak untuk mencinta dan dicintai seorang gadis semulia Ceng Ceng! Dia melakukan dosa besar yang amat memalukan! Merasa betapa perasaan hatinya seperti ditusuk-tusuk, tanpa disadarinya Cun Giok menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah merasa malu menatap dunia.
Ceng Ceng dan Li Hong yang tadinya saling rangkul dengan hati merasa terharu dan berbahagia, melepaskan rangkulan masing-masing ketika mereka melihat keadaan Cun Giok.
"Pouw-twako, engkau kenapakah?" tanya Li Hong.
"Giok-ko, engkau berduka, ada apakah?" tanya pula Ceng Ceng sambil menatap pemuda yang dikasihinya itu penuh selidik.
Cun Giok menghela napas, menurunkan kedua tangannya dan baru menyadari apa yang dia lakukan. Wajahnya tampak pucat dan muram ketika dia memandang kepada Ceng Ceng. Hatinya terasa pedih sekali. Tidak, dia tidak boleh merahasiakan keadaan dirinya. Ini tidak adil dan merupakan penipuan! Dia harus membuka rahasianya!
"Aku berdosa, berdosa besar sekali. Aku berdosa kepadamu, Hong-moi, juga kepadamu, Ceng-moi, harap kalian berdua memaafkan aku."
Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran.
"Twako, apa maksudmu dengan kata-kata itu?" tanya mereka hampir berbareng sambil menatap wajah pemuda itu.
Memang berat sekali rasanya bagi Cun Giok untuk mengatakan apa yang menjadi suara hatinya. Demi kejujuran dan keadilan dia harus mengatakannya, padahal dia maklum bahwa pengakuannya itu jelas akan memutuskan tali percintaan antara dia dengan Ceng Ceng! Hal ini akan terasa berat sekali dan akan menghancurkan hatinya, menghilangkan kebahagiaannya. Setelah menekan semua kegelisahan hatinya dia lalu berkata.
"Kepadamu, Hong-moi, aku minta maaf karena tanpa kusengaja aku telah mengecewakan perasaan hatimu......."
"Ah, tidak, Twako. Bukan salahmu, akulah yang bersalah dan akulah yang sepatutnya minta maaf padamu!" kata Li Hong.
"Dan kepadamu, Ceng-moi aku...... ampunkanlah aku...... sesungguhnya, tidak pantas bagi aku untuk mencintamu karena...... karena...... tidak mungkin kita dapat berjodoh......."
Ceng Ceng terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat, sedangkan Li Hong bangkit berdiri dengan marah.
"Twako, apa-apaan ini? Engkau dan Enci Ceng sudah saling mencinta! Bagaimana engkau sekarang mengatakan bahwa kalian tidak dapat berjodoh? Apa artinya ini? Jelaskan!" bentak Li Hong sambil memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan muka merah.
Akan tetapi Cun Giok tidak mempedulikan Li Hong, pandang matanya tertuju kepada Ceng Ceng dengan sayu.
"Ceng-moi, ketahuilah, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena...... karena...... aku sudah bertunangan dengan seorang gadis lain sejak dua tiga tahun yang lalu......."
"Ahhh......." Ceng Ceng cepat menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan air mata yang mengalir keluar dari kedua matanya.
"Jahanam keparat!!" Li Hong melotot dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.
"Tak kusangka engkau ternyata seorang pemuda hidung belang yang suka mempermainkan wanita! Kalau sudah bertunangan dengan gadis lain, mengapa engkau merayu Enci Ceng Ceng sehingga ia jatuh cinta padamu? Engkau harus malu! Beginikah watak seorang pendekar? Aku harus menghajarmu atas penghinaanmu terhadap Enci Ceng ini!"
Dengan kemarahan meluap-luap Li Hong sudah mencabut Ban-tok-kiam dan sinar hijau bergulung-gulung ketika ia menyerang dengan dahsyat kepada Cun Giok! Pemuda itu cepat menghindarkan diri dari serangan maut itu dengan loncatan ke belakang. Li Hong masih hendak mengejar, akan tetapi Ceng Ceng merangkul pinggangnya dari belakang dan menahannya.
Komentar
Posting Komentar