PENDEKAR TANPA BAYANGAN JILID 10




   "Hemm, keluarga Chao memang tidak bersalah. Akan tetapi gadis pemberontak itu harus ditangkap dan dihukum mati! Saya telah mengerahkan para pembantu saya untuk mencari, mengejar dan menangkapnya!" kata Panglima Kim Bayan sambil mengepal tinju.

   "Ah, yang menjadi gara-gara adalah Lai-ciangkun itu! Dia yang melakukan pemerasan! Dia yang merampas dua orang dari keluarga Chao itu! Kenapa putera-putera kami yang disalahkan?"

   "Saya akan melaporkan ke kota raja dan Perwira Lai akan saya tangkap karena dia melakukan penyelewengan. Sayang selama ini tidak ada penduduk yang berani melapor sehingga kami tidak mengetahui akan perbuatannya. Akan tetapi, saya harap Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menegur agar putera ji-wi tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan nama ji-wi sendiri. Dan sekali lagi, kami akan menyuruh keluarga Chao Kung kembali ke rumah mereka dan kami harap jangan ada yang mengganggu mereka karena mereka sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya menjadi korban dan ditolong oleh gadis pakaian putih itu. Gadis itulah yang harus disalahkan bukan keluarga Chao Kung."

   Pertemuan itu selesai dan pada hari itu juga, Perwira Lai Koan ditangkap dan dipenjara, menanti keputusan dari kota raja. Sebagai penggantinya, ditunjuk seorang perwira lain yang dipesan agar pemilihan tenaga kerja dilakukan sebagaimana mestinya, yaitu hanya mengambil seorang laki-laki saja dari sebuah keluarga, dan laki-laki itu pun mendapat upah sebagaimana mestinya seperti yang ditentukan pemerintah kerajaan.

   Adapun Chao Kung sekeluarga boleh kembali ke rumah mereka dengan jaminan bahwa mereka tidak akan diganggu oleh para pejabat di Cin-yang. Tentu saja diam-diam Chao Kung, Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng berterima kasih sekali kepada Liu Ceng yang telah menyelamatkan mereka. Dengan rahasia mereka bersembahyang untuk keselamatan nona penolong itu, tidak berani terang-terangan karena mereka tahu bahwa gadis itu dianggap pemberontak dan menjadi buronan.

   Pemuda itu berjalan santai menuju ke utara, ke kota raja. Pakaiannya sederhana dan wajahnya yang tampan dengan sinar mata lembut itu tampak muram. Pemuda berusia sekitar duapuluh dua tahun ini adalah Pouw Cun Giok yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan). Semenjak kematian Lu Siang Ni, adik misannya, Cun Giok merasa sedih dan batinnya tertekan. Dia pun tidak menggunakan marga Suma lagi karena Suma adalah marga gurunya yang sudah meninggal dunia. Dia keturunan marga Pouw, hanya satu-satunya dialah keturunan keluarga Pouw yang besar. Maka sejak kematian Siang Ni, dia menggunakan she (marga) Pouw.

   Kini dia melangkah perlahan sambil melamun, terbenam ke dalam duka. Belum juga kesedihannya menipis karena kematian adik misannya, Lu Siang Ni secara amat menyedihkan itu, dia bertemu dengan Cu Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong Majikan Bukit Merak dan timbul pula keributan karena kehadirannya!

   Ai Yin adalah seorang gadis yang amat baik, selain cantik jelita juga lihai ilmu silatnya. Gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, bahkan membelanya sampai berselisih dengan kakak seperguruan dan dengan ayahnya sendiri sehingga akhirrya gadis itu terpaksa pergi meninggalkan Bukit Merak! Kembali dia yang menjadi gara-gara sehingga Ai Yin bertentangan dengan ayahnya dan suhengnya sendiri!

   Cun Giok merasa demikian sedih sehingga tubuhnya terasa lemas dan lelah. Melihat sebatang pohon
besar yang rindang, dia segera menghentikan perjalanannya, duduk di bawah pohon itu yang melindungi dirinya dari sinar matahari yang mulai panas. Makin dalam pikirannya tenggelam. kepada masa lalu, mengenangkan keadaan dirinya sejak kecil, dia merasa semakin tertekan perasaan sedih.

   Ayah kandungnya tewas terbunuh ketika dia belum lahir dan ibunya meninggal dunia ketika dia terlahir. Dia yatim piatu, tidak pernah melihat ayah ibunya. Kemudian, gurunya, Suma Tiang Bun, menjadi pengganti orang tuanya, akan tetapi gurunya itu kini pun telah tiada, juga terbunuh oleh pembunuh ayah kandungnya dulu. Oleh Panglima Kong Tek Kok, musuh besarnya yang telah dapat terbunuh oleh dia dan mendiang Lu Siang Ni, adik misannya. Akan tetapi Siang Ni membunuh diri. Ibu Siang Ni, yaitu bibinya, juga telah meninggal dunia.

   Dia telah kehilangan semua orang itu, semua anggauta keluarganya, dan dia hidup sebatang kara, tiada sanak keluarga, tiada teman, tiada tempat tinggal! Ke mana dia harus pergi? Bahkan gurunya yang menjadi pengganti orang tuanya telah tiada. Satu-satunya orang yang dekat dengan dia hanyalah Pak-kong Lojin, sukongnya (kakek gurunya) yang juga kini dapat disebut menjadi gurunya karena dia telah menerima gemblengan dari Pak-kong Lojin yang hidup sebagai seorang petani miskin di Ta-pie-san. Akan tetapi kakek gurunya ini telah tua sekali, usianya sudah delapanpuluh lima tahun dan ingin hidup menyendiri di tempat sunyi itu.

   Ketika tangannya hendak mengambil saputangan dalam saku bajunya untuk menghapus keringatnya, tiba-tiba jari tangannya menyentuh benda keras. Dikeluarkannya benda itu yang ternyata adalah sebuah tusuk sanggul terbuat dari perak dan membentuk sebatang pohon yang-liu (cemara). Tusuk konde pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan!

   Terbayanglah wajah Siok Eng dalam benaknya. Gadis yang manis, puteri Paman Siok Kan yang telah ditunangkan kepadanya. Mengapa selama ini dia tidak pernah ingat kepada Siok Eng? Harus diakuinya bahwa dia mau dijadikan calon suami Siok Eng karena itu sangat dikehendaki mendiang suhunya, Suma Tiang Bun. Dia tidak mau mengecewakan suhunya. Dan memang dia merasa suka kepada Siok Eng yang manis. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah teringat kepadanya?

   Dia meragu apakah dia mencinta gadis tunangannya itu! Bahkan setelah dia bertemu dengan adik misannya, Lu Siang Ni yang telah tewas, kemudian bertemu dengan Cu Ai Yin, melihat gadis-gadis cantik itu memiliki ilmu silat yang amat lihai, dia merasakan kekurangan pada diri Siok Eng. Siok Eng gadis yang lemah!

   Adakah cinta di hatinya terhadap Siok Eng yang telah menjadi calon isterinya? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, dia telah diikat tali perjodohan dengan gadis itu dan bukan sikap seorang jantan kalau mengingkari ikatan itu dan melanggar janji! Tidak, dia tidak akan melanggar janji! Akan tetapi dia merasa malu kalau harus berkunjung kepada tunangannya di Cin-yang itu. Dia kini seorang pemuda yang tiada keluarga, tiada tempat tinggal, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak berpenghasilan. Bagaimana mungkin dia berkunjung dalam keadaan begini? Kalau sudah menikah dengan Siok Eng, apa yang dapat diberikan kepada isterinya? Rumah pun dia tidak punya!

   Sering dia mendengar orang-orang berkata dengan wajah serius bahwa modal orang menikah dan membangun rumah tangga adalah cinta! Dulu dia sendiri membenarkan pendapat ini, akan tetapi setelah dia banyak merantau dan banyak melihat betapa rumah tangga yang dibangun bermodalkan cinta saja menjadi berantakan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat lain kecuali cinta. Dia melihat betapa cinta merupakan batang pohon dan sebuah pohon baru dapat hidup sempuma kalau ada cabang, ranting, daun, bunga dan buahnya. Kalau hanya ada batangnya saja pohon itu akan mati juga pada akhimya. Membentuk rumah tangga membutuhkan pertama memang cinta kedua pihak, akan tetapi bukan hanya itu.

   Ada pula syarat lain yang juga amat penting seperti sumber nafkah karena kalau perut kelaparan mana dapat mencinta? Hidup pun terancam kematian! Sumber nafkah, tempat tinggal, segala kebutuhan hidup di luar makan, hubungan antara anggauta keluarga, kecocokan watak dan selera, kesabaran, dan masih banyak lagi. Tanpa syarat-syarat lain itu, kalau hanya ada cinta saja, kehidupan rumah tangga tidak akan berjalan mulus. Betapa banyaknya pasangan yang sebelum menikah bersumpah disaksikan bumi dan langit bahwa mereka saling mencinta sampai mati, baru menjadi suami isteri beberapa lamanya saja sudah bercerai dan saling membenci! Cinta mereka berubah menjadi benci yang demikian mendalam sehingga mereka tidak peduli akan nasib anak-anak mereka setelah terjadi perceraian!

   Cun Giok membiarkan pikirannya melayang-layang, melamun tidak karuan. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda datang dari arah selatan. Ketika dia melihat bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian perwira, Cun Giok cepat menyembunyikan diri dengan melompat ke atas dan terlindung daun-daun yang lebat.

   Rombongan itu terdiri dari enam orang, semua berpakaian perwira yang gagah, dengan pedang tergantung di pinggang masing-masing. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang tak begitu jauh dari tempat Cun Giok bersembunyi. Karena ingin mengetahui apa yang dilakukan rombongan itu, yang mungkin juga mencarinya sehubungan dengan bentrokan antara dia dan Kong Sek putera mendiang Panglima Kong Tek Kok itu, maka Cun Giok lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, melayang atau melompat dari pohon ke pohon lain tanpa menimbulkan suara berisik seperti seekor burung saja. Akhirnya dia berada di pohon besar, di atas enam orang yang menghentikan kuda mereka itu. Cun Giok mendengarkan percakapan mereka.

   "Benarkah gadis pemberontak yang lihai itu telah tertangkap?" tanya seorang perwira tinggi kurus setengah tua kepada rekannya yang masih muda.

   "Benar, Kim Thai-ciangkun sendiri yang turun tangan dan dibantu oleh belasan orang perwira, baru dia dapat menangkap perempuan itu! Kini ia ditawan di kelenteng tua di bukit depan itu, dijaga oleh para perwira pembantu. Kim Thai-ciangkun menanti anak buahnya mengambil sebuah kereta kerangkeng untuk membawanya ke Cin-yang di mana ia akan diadili dan dihukum!"

   >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
M a a f H a l a m a n 62 R u s a k !!
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

   tua. Maka kini dia cepat melompat menjauhi rombongan itu dan mempergunakan ilmunya berlari cepat, mendahului mereka menuju ke bukit itu.
Di lereng bukit itu Cun Giok melihat sebuah kuil tua dan di luar kuil terdapat belasan orang pengawal yang melihat pakaiannya bukan perajurit-perajurit biasa. Mereka adalah perwira-perwira pembantu Panglima Kim Bayan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh. Lima orang perwira menjaga di depan kuil, lima lagi menjaga di belakang, dan di kanan dan kiri kuil masing-masing terdapat tiga orang perwira. Semua ada enambelas orang. Cun Giok dapat menduga bahwa mereka bukan perajurit sembarangan. Akan tetapi, bagaimana besar pun bahayanya, dia harus menyelamatkan Ai Yin. Andaikata yang ditawan itu orang lain, kalau orang itu tidak bersalah, dia pun siap untuk menolongnya. Apalagi yang ditawan adalah Cu Ai Yin, gadis yang telah tiga kali menyelamatkan nyawanya. Pertama ketika menolong dia yang roboh pingsan di tepi sungai, kedua kalinya ketika dia diserang ayah gadis itu, dan ketiga ketika dia hendak dibunuh Kong Sek. Tentu dia akan siap menolong dan berani menempuh bahaya yang bagaimanapun besarnya!

   Cun Giok mendekati kuil itu dengan cara bergerak cepat dari semak ke semak, dari pohon ke pohon. Karena gerakannya cepat bukan main, maka sukarlah mengikuti gerakannya dengan pandang mata. Ilmunya berlari cepat yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi) memang telah mencapai titik tinggi sekali sehingga saking cepatnya dia bergerak, Cun Giok mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan). Akhirnya dia berhenti bergerak dan sembunyi di dalam pohon terdekat dengan kuil, dan dia melihat betapa tidak mungkin baginya untuk menghampiri kuil karena penjagaannya demikian ketat. Dia harus dapat mengalihkan perhatian penjaga yang jumlahnya hanya tiga orang di sebelah kiri agar terbuka jalan baginya untuk dapat memasuki kuil tua.

   Cun Giok melompat turun ke belakang batang pohon agar tidak terlihat, dan mengambil lima butir batu kecil, lalu melompat lagi ke atas pohon. Kemudian, dari dalam sebatang pohon terdekat, dia menyambitkan lima butir batu kecil itu ke arah lima orang yang berjaga di bagian belakang kuil.

   Cun Giok selain hebat gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) juga dia mahir menggunakan senjata rahasia apa saja. Dia telah menguasai bidikan yang amat tepat yang disebut Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Seratus Kaki). Karena ketika menyambit dia menggunakan sin-kang (tenaga sakti), maka luncuran lima buah kerikil itu cepat sekali dan lima orang perwira yang berada di situ tidak sempat mengelak. Mereka sama sekali tidak menyangka akan diserang orang, maka batu-batu itu menyambar dengan tepat. Cun Giok telah mengukur dan membatasi tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka, hanya cukup menimbulkan kegaduhan sehingga menarik tiga orang yang berjaga di sebelah kiri. Perhitungannya memang tepat. Lima orang itu berseru kaget, heran dan juga kesakitan. Batu kerikil yang mengenai tubuh mereka merobek baju berikut kulit tubuh mereka, mendatangkan rasa pedih dan nyeri.

   Seruan lima orang itu tentu saja menarik perhatian tiga orang yang berjaga di bagian kiri dan berada paling dekat dengan mereka. Tiga orang itu segera berlarian ke arah belakang untuk membantu kalau-kalau lima orang rekan mereka terancam bahaya. Cun Giok menggunakan kesempatan ini untuk berkelebat masuk ke kuil melalui pintu di sebelah kiri yang telah ditinggalkan tiga orang penjaganya.

   Kuil itu cukup luas, akan tetapi keadaannya sudah banyak yang rusak. Banyak ruangan tidak tertutup atap lagi dan tembok-temboknya ditumbuhi lumut. Karena sudah puluhan tahun tidak terpakai dan terawat, maka di dalamnya banyak tumbuh semak-semak. Cun Giok mencari-cari dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.

   Gadis itu berada dalam sebuah kamar kosong di mana terdapat sebuah meja yang sudah lapuk. Gadis itu duduk membelakangi Cun Giok yang muncul di ambang pintu yang tak berdaun lagi, dan ia duduk bersila di atas lantai. Dari sikap duduknya, dengan punggung tegak lurus, Cun Giok maklum bahwa gadis itu sedang Siu-lian (samadhi).

   Karena sejak semula ia mengira bahwa yang tertawan adalah Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, maka Cun Giok merasa heran sekali mengapa Ai Yin menyerah untuk ditawan begitu saja, padahal kenyataannya gadis itu tidak dibelenggu dan masih bebas dalam kamar itu. Rasanya tidak mungkin seorang gadis yang amat lihai, pemberani dan keras seperti Ai Yin begitu mudah mengalah!

   "Nona Cu......!" Cun Giok memanggil lirih sambil melangkah masuk ke kamar itu.

   Gadis itu bangkit dengan perlahan lalu memutar tubuhnya menghadapi Cun Giok. Terkejutlah pemuda itu ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin!

   "Ah, maafkan aku, Nona. Apakah Nona yang disebut Pek-eng Sianli?"

   "Benar, siapa engkau dan mau apa datang ke sini?" tanya Pek-eng Sianli Liu Ceng dengan lembut.

   Cun Giok merasa bodoh dan malu. Gadis ini sama sekali bukan Ai Yin walaupun tidak kalah cantiknya. Namun perbedaannya amat mencolok. Kalau Ai Yin keras hati dan galak, sebaliknya gadis ini lemah lembut dan sukarlah membayangkan bahwa gadis seperti ini pandai ilmu silat sehingga dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih).

   "Maaf, siapa pun adanya engkau, Nona, ketika mendengar bahwa ada seorang gadis yang ditawan oleh pasukan kerajaan, aku datang untuk menolong dan membebaskanmu."

   Gadis itu menghela napas panjang.

   "Ah, engkau membuat bebanku lebih berat lagi. Sekarang selain harus membela diri, aku juga harus melindungimu! Sobat, perbuatanmu ini baik sekali dan aku berterima kasih, akan tetapi juga bodoh."

   "Akan tetapi aku......."

   "Awas......!" Gadis itu memotong kata-kata Cun Giok dan pada saat itu sebuah benda dilempar masuk ke kamar itu dan terdengar ledakan disusul mengepulnya asap kemerahan.

   "Tahan napas!" Gadis itu, Ceng Ceng, berseru.

   Cun Giok menurut dan selagi mereka digelapkan asap kemerahan tebal itu, sebuah tangan yang halus menyentuh lengannya.

   "Cepat, telan ini......" Ceng Ceng berkata.

   Cun Giok menerima dan ternyata gadis itu memberinya sebuah pel. Tanpa ragu dia memasukkannya ke dalam mulut dan menelannya. Dia merasa yakin bahwa gadis yang akan ditolongnya itu tidak akan tega meracuninya. Terasa betapa pel itu hancur di kerongkongannya dan rasanya pahit namun berbau harum.

   "Sekarang boleh bernapas dan mari ikut aku. Pegang tanganku!" terdengar gadis itu berkata dan sebuah tangan yang telapakannya hangat dan halus memegang tangan Cun Giok.

   Pemuda itu menurut saja ditarik keluar dari kamar itu menuju ke belakang. Dia pun berani bernapas dan ternyata asap kemerahan itu berbau amis, akan tetapi tidak mempengaruhi atau mengganggunya.

   Begitu mereka keluar dari kuil bagian belakang, tiba-tiba mereka dikepung banyak orang. Cun Giok maklum bahwa enam belas orang perwira yang tadi menjaga kuil, kini ditambah dengan enam orang perwira lain yang dilihatnya dalam perjalanan tadi. Semua berjumlah duapuluh dua orang dan mereka mengepung dengan pedang di tangan!

   "Menyerahlah atau kalian berdua akan mati!" bentak seorang dari mereka sambil menodongkan pedangnya.

   "Engkau larilah menyelamatkan diri, biar aku yang menahan mereka!" kata Ceng Ceng yang cepat bergerak ke depan. Kaki tangannya bergerak sedemikian cepatnya, tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan putih dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang telah roboh oleh tendangan kaki dan tamparan tangannya!

   Kini mengertilah Cun Giok mengapa gadis itu dijuluki Dewi Bayangan Putih! Dia merasa kagum akan tetapi tentu saja dia tidak mau menaati permintaan gadis itu untuk melarikan diri: Biarpun gadis itu lihai, namun dikeroyok demikian banyaknya perwira yang memegang pedang sedangkan gadis itu bertangan kosong, dapat membahayakan gadis itu.

   "Orang-orang yang curang. Begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!" bentaknya dan tiba-tiba tampak sinar keemasan bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berpelantingan, pedang mereka ada yang patah dan banyak yang terlepas dari pegangan! Dalam waktu singkat, Cun Giok sudah merobohkan enam orang pengeroyok!

   Tiba-tiba gadis itu berseru.

   "Kita pergi!" Dan Cun Giok merasa betapa tangannya dipegang gadis itu dan dibawa melompat! Biarpun dia tidak tahu mengapa gadis itu tadi menyerah saja ditawan dan kini melawan lalu tiba-tiba hendak melarikan diri, dia tidak sempat bertanya dan dia pun segera bergerak cepat, melepaskan tangannya dari pegangan gadis itu dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat bagaikan terbang!

   Setelah jauh meninggalkan bukit itu dan tidak tampak ada perwira yang melakukan pengejaran, Ceng Ceng berhenti. Ia memandang Cun Giok dengan mata dilebarkan. Baru saja ia menggunakan ilmu Co-sang-hui (Terbang di Atas Rumput) dengan mengerahkan seluruh ginkangnya. Akan tetapi ternyata pemuda itu dapat mengimbanginya! Juga ia melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan enam orang pengeroyok dengan pedangnya yang bersinar kuning emas!

   Di lain pihak, Cun Giok juga merasa heran bukan main. Dia bermaksud menolong dan membebaskan gadis yang tadinya dikira Cu Ai Yin itu. Ternyata gadis berpakaian putih ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ketika melarikan diri tadi, dia yakin gadis itu memiliki gin-kang yang lebih hebat daripada tingkat Ai Yin. Dia yakin kalau gadis ini mampu membebaskan diri sendiri, akan tetapi mengapa ia membiarkan dirinya ditawan?

   Cun Giok mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat lalu berkata tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.

   "Nona, ternyata engkau lihai sekali. Mengapa engkau membiarkan dirimu ditawan dalam kuil itu? Aku yakin kalau engkau menghendaki, mereka tidak akan mampu menawanmu!"

   Akan tetapi Ceng Ceng berkata.

   "Maaf, nanti saja kita bicara. Sekarang ada urusan yang lebih penting! Mari!" Ia lalu melanjutkan larinya.

   Cun Giok cepat mengikutinya dan kembali mereka berdua berlari cepat memasuki sebuah dusun. Ceng Ceng menuju ke sebuah rumah sederhana dan di depan pintu itu ia disambut sepasang kakek dan nenek berusia sekitar enampuluhan tahun.

   "Ah, syukur engkau dalam keadaan selamat, Nona!" kata nenek itu sambil memegang kedua tangan Ceng Ceng.

   "Paman dan Bibi, tidak banyak waktu lagi. Kalian berdua harus segera pergi dari sini karena anjing-anjing Mongol itu tentu akan segera datang ke sini!"

   Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepalanya dan setelah menghela napas dia berkata.

   "Tidak, Nona. Karena membela kami berdua, Nona sampai ditangkap mereka. Sekarang Nona sudah dapat lolos, sebaiknya cepat melarikan diri dan jangan khawatir tentang diri kami. Kami adalah orang-orang tua yang miskin dan sama sekali tidak mempunyai kesalahan. Kalau mereka mau menangkap kami, biarlah. Akhirnya mereka akan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang yang bersalah. Kami tidak dapat meninggalkan rumah dan dusun kami."

   "Benar, Nona. Selama ini, sebelum engkau datang bermalam di sini, kami tidak pernah diganggu orang. Kalau kami kedua orang tua melarikan diri, akan lari ke mana? Dan kami akan selalu dikejar-kejar sebagai pelarian. Melarikan diri membuktikan bahwa kami berdua mempunyai kesalahan. Padahal kami tidak bersalah apa-apa. Pergilah, Nona. Engkau masih muda dan engkau harus menjaga diri, jangan sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam itu," kata Si Nenek.

   Ceng Ceng merasa terharu dan ia pun mengerti akan pendirian mereka. Ia menghela napas beberapa kali, lalu mengambil dua potong emas dari saku bajunya dan menyerahkan kepada nenek itu.

   "Kalau begitu, saya akan pergi dan terimalah sedikit uang ini, Bibi. Selamat tinggal, Paman dan Bibi."

   Setelah dua potong emas itu diterima Si Nenek, Ceng Ceng lalu memberi isyarat kepada Cun Giok untuk pergi dari situ. Cepat mereka meninggalkan dusun itu dan Ceng Ceng berhenti di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan kecil yang sunyi. Cun Giok mengikutinya dan pemuda itu berkata.

   "Nona, kalau boleh aku mengetahui, apakah yang telah terjadi dan siapa pula kakek dan nenek itu?"

   Ceng Ceng menatap wajah pemuda itu beberapa saat lamanya. Baru sekarang ia memandang wajah pemuda itu dengan seksama. Wajah yang tampan, gagah dan sikapnya sopan dan lembut. Akan tetapi ia harus yakin dulu apakah pemuda ini dapat dipercaya? Dia harus mengenalnya lebih dulu sebelum menceritakan keadaan dirinya dan apa yang telah dialaminya.

   "Maaf, sobat. Harap engkau memperkenalkan diri lebih dulu, baru saya akan dapat menceritakan segalanya. Saya tidak mungkin dapat bercerita kepada seorang yang tidak saya kenal."

   Cun Giok semakin kagum. Gadis ini selain cantik jelita, juga tutur sapa dan sikapnya amat lembut dan penuh kesopanan.

   "Tentu saja, Nona. Perkenalkan, aku bernama Pouw Cun Giok seorang kelana yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sebatang kara yatim piatu tiada sanak keluarga. Kebetulan tadi dalam perjalanan, aku mendengar pembicaraan enam orang perwira yang bicara tentang Pek-eng Sianli yang ditawan di sebuah kuil tua di bukit itu. Tadinya aku mengira bahwa mungkin yang dimaksudkan mereka adalah Pek-hwa Sianli, seorang gadis pendekar yang pernah bertemu denganku. Maka, aku segera pergi ke kuil itu untuk menolongmu. Akan tetapi, ternyata yang akan kutolong itu bukan Pek-hwa Sianli, dan agaknya sama sekali tidak perlu kutolong. Bahkan engkau yang menyelamatkan aku dari asap beracun tadi dengan memberi pel penawarnya. Nah, yang membuat aku heran, bagaimana seorang pendekar wanita lihai seperti engkau ini membiarkan dirimu ditawan?"

   Ceng Ceng tertarik.

   "Nanti dulu, engkau bermarga Pouw? Aku tahu akan keluarga Pouw yang amat terkenal di So-couw, apakah engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan mereka?

   Cun Giok terkejut dan heran.

   "Keluarga Pouw di So-couw? Ah, Nona, benarkah engkau mengenal keluarga Pouw di So-couw? Siapakah di antara mereka yang engkau kenal?" tanya Cun Giok hendak menguji apakah benar gadis ini mengenal keluarga ayahnya di So-couw.

   Ceng Ceng tersenyum. Ia memang seorang yang cerdik dan memiliki perasaan peka. Ia dapat menduga bahwa pemuda itu masih belum percaya bahwa ia mengenal keluarga Pouw di So-couw. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu agaknya memang anggauta keluarga yang amat terkenal itu.

   "Ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Apakah engkau tidak mengenal nama itu?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Nona, aku tidak mengenal nama Ayahmu yang terhormat itu."

   "Ayahku adalah sahabat baik dari keluarga Pouw! Bahkan merupakan sahabat seperjuangan. Ayahku mengenal baik Kakek Pouw Bun dan Paman Pouw Keng In......."

   "Ah, Pouw Keng In adalah Ayah kandungku, Nona Liu!" Cun Giok memotong, girang bahwa dia bertemu dengan puteri sahabat baik ayahnya.

   Akan tetapi Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang menatap wajah Cun Giok amat tajam penuh selidik.

   "Hemm, benarkah itu, sobat? Di mana sekarang tinggalnya Paman Pouw Keng In?"

   Tiba-tiba wajah Cun Giok berubah muram. Ditanya tentang ayahnya, dia merasa sedih sekali.

   "Ayah...... Ayah dan Ibuku sudah tiada, sudah meninggal......" dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan.

   "Semua keluarga Ayah sudah meninggal. Kong-kong (Kakek) Pouw Bun, Ayah Pouw Keng In dan Ibuku, juga Bibi Pouw Sui Hong...... semua sudah tiada, tinggal aku seorang diri......."

   Kembali Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar ini. Ia sudah mendengar dari ayahnya tentang pembantaian keluarga Pouw itu yang menurut ayahnya keluarga itu sudah habis sama sekali karena Pouw Keng In merupakan keturunan terakhir dan ketika dia tewas, belum mempunyai anak. Bagaimana sekarang tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai anak kandung Pouw Keng In? Akan tetapi, pemuda itu agaknya mengenal benar keluarga Pouw.

   "Terus terang saja, aku banyak mendengar tentang keluarga Pouw dari Ayahku karena persahabatan antara Ayah dan mendiang Paman Pouw Keng In amat akrab. Akan tetapi, apa yang didengar Ayah, keluarga itu sudah terbasmi oleh pasukan Mongol dan menurut cerita Ayah, ketika Paman Pouw Keng In tewas terbunuh, dia tidak mempunyai anak. Bagaimana sekarang engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah anak kandungnya? Pula, kalau engkau benar anak kandung mendiang Paman Pouw Keng In, bagaimana engkau tidak mengenal nama Ayahku? Tentu mendiang Paman Pouw Keng In pernah menceritakan kepadamu tentang Ayahku yang menjadi sahabat baiknya itu!"

   Dengan suara mengandung kedukaan Cun Giok menjawab.

   "Tidak aneh kalau engkau meragukan keteranganku, Nona Liu karena sesungguhnya, sejak lahir aku tidak pernah mendapat kesempatan melihat ayah dan ibuku. Ayah tewas terbunuh akan tetapi ibu ketika itu sedang mengandung dan sempat tertolong. Akan tetapi ketika ibu melahirkan aku, ibu meninggal dunia dan aku dirawat dan hidup bersama guruku. Bibi Pouw Sui Hong tertawan dan menjadi selir seorang pangeran. Aku".. aku tak sempat bertemu ayah ibuku, bagaimana mungkin mereka dapat menceritakan tentang ayahmu?" Suaranya mengandung kedukaan sehingga Ceng Ceng yang halus perasaannya itu menjadi sangat terharu.

   "Aduh, maafkan aku, Twako (Kakak), kalau aku tadi meragukan keteranganmu. Kiranya riwayatmu demikian menyedihkan. Kalau aku boleh bertanya, siapa gurumu itu?"

   "Guruku adalah mendiang Suma Tiang Bun......."

   "Ah! Ayah pernah bercerita tentang Suma Tiang Bun yang terkenal sebagai seorang pendekar patriot sejati yang gagah perkasa. Ayah mengenalnya dengan baik: Jadi, pendekar tua itu telah meninggal pula? Ceritamu semakin menarik, Twako. Maukah engkau melanjutkannya?"

   Karena gadis itu ternyata puteri seorang yang menjadi sahabat ayah dan kakeknya, juga sudah mengenal baik gurunya, Cun Giok tidak ragu lagi untuk menceritakan pengalamannya.

   "Setelah menjadi murid dan anak angkat guruku dan menerima gemblengan pula dari Kakek Guruku Pak-kong Lojin, aku lalu pergi ke kota raja untuk membalas musuh besarku. Akan tetapi aku telah berbuat dosa yang besar sekali. Mendengar bahwa Bibi Sui Hong menjadi selir Pangeran Lu Kok Kong, aku mengira hidupnya sengsara dan ia dipaksa oleh pangeran itu, maka pada suatu malam aku membunuh Pangeran Lu Kok Kong! Kemudian ternyata kepadaku bahwa pangeran itu sama sekali tidak jahat, bahkan dicinta oleh Bibi Pouw Sui Hong, juga mereka telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Lu Siang Ni."

   Pemuda itu menghentikan ceritanya dan wajahnya berubah pucat karena dia teringat akan semua itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya.

   "Ah......!" Ceng Ceng terkejut akan tetapi juga tertarik sekali. Melihat pemuda itu demikian berduka, ia tidak berani mendesaknya untuk melanjutkan ceritanya.

   Setelah dapat menenangkan hatinya, Cun Giok melanjutkan ceritanya.

   "Kelakuanku membunuh Pangeran Lu Kok Kong itu membuat Bibi Pouw Sui Hong meninggal dunia saking kaget dan sedihnya. Lu Siang Ni yang juga tinggi ilmu silatnya hendak membalas kematian ibunya, akan tetapi setelah ia mengetahui sebab aku membunuh ayahnya, ia dapat mengerti. Kami berdua lalu membalas dendam kepada panglima yang dulu membasmi keluarga Pouw. Kami berdua berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok di tanah kuburan Bibi Pouw Sui Hong. Akan tetapi Adik misanku itu, Lu Siang Ni juga membunuh diri di depan makam orang tuanya. Ah, aku menyesal sekali, sungguh menyesal sekali."

   Ceng Ceng yang merasa terharu, melihat pemuda itu menangis di depannya. Ia bangkit dan menghampiri, menyentuh pundak Cun Giok dan berkata lembut namun membesarkan hati.

   "Twako, bagiku engkau sama sekali tidak bersalah karena ketika membunuh Pangeran Lu, engkau hendak membalaskan sakit hati bibimu, engkau tidak tahu akan keadaannya. Kesalahanmu hanya bahwa engkau kurang teliti menyelidiki keadaan mereka. Akan tetapi tidak perlu hal-hal yang lalu dikenang dan menjadi tekanan batinmu. Hal yang lalu dapat dijadikan pelajaran agar di masa depan kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Twako, engkau murid seorang pendekar patriot yang sakti dan bijaksana, tentu engkau tahu bahwa menyesali hal yang sudah lalu tidak ada gunanya lagi dan membenamkan diri dalam kesedihan bukanlah sikap seorang pendekar."

   Ucapan itu lembut sekali, lebih bersifat menghibur daripada menegur, dan terasa oleh Cun Giok bagaikan air dingin yang menyiram hati dan pikirannya. Dia mengangkat muka memandang wajah yang cantik dan tampak keibuan itu, lalu tersenyum, menghapus pipinya yang basah.

   "Maafkan aku, Nona Liu......."

   "Jangan sebut Nona, Twako. Orang tua kita bersahabat karib, bukankah kita juga sahabat dan bukan orang lain?"

   "Baiklah, Siauw-moi (Adik Perempuan) ......" Cun Giok kembali tersenyum dan sekali ini bukan senyum paksaan. Hatinya terasa ringan kembali.

   "Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu karena tadi engkau telah menguras semua riwayat diriku."

   Ceng Ceng tersenyum manis. Semakin manis kalau ia tersenyum karena lesung pipi kanan itu tampak semakin nyata.

   "Giok-ko (Kakak Giok), seperti telah kukatakan tadi, ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Dahulu Ayah menjadi seorang panglima Kerajaan Sung yang ikut berperang melawan pasukan Mongol sampai jatuhnya pertahanan terakhir di Kan-ton. Setelah Kerajaan Sung berakhir (tahun 1279) Ayah tidak lagi mencampuri urusan kerajaan dan kini lebih banyak mengasingkan diri dan berjalan-jalan ke gunung-gunung. Aku merupakan anak tunggal. Ibuku masih ada dan aku bernama Liu Ceng, di tempat tinggalku, Ayah dan yang lain-lain biasa menyebutku Ceng Ceng. Aku sejak kecil belajar ilmu silat dari Ayah. Kemudian aku belajar ilmu sastra dan pengobatan dari Susiok (Paman Guru) Im Yang Yok-sian, adik seperguruan Ayah yang menjadi pertapa di Hoa-san. Setelah tamat belajar, dengan perkenan Ayah, aku pergi merantau ke utara untuk melihat keadaan setelah bangsa Mongol memegang pemerintahan, dan menambah pengalaman."

   "Akan tetapi, Ceng-moi, mengapa engkau tadi membiarkan dirimu ditawan dalam kuil? Padahal aku yakin kalau engkau menghendaki, engkau dapat dengan mudah meloloskan diri dan kalau engkau melawan, mereka tidak akan mampu menawanmu!"

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Begini, Giok-ko. Selama dalam perjalanan, aku melaksanakan pesan ayah agar aku selalu menolong rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pembesar Mongol. Nah, aku selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan dengan pengetahuanku tentang pengobatan, aku juga membantu rakyat yang menderita sakit. Aku juga menentang cara kerja pembesar yang melakukan paksaan terhadap rakyat untuk kerja paksa yang sewenang-wenang. Karena aku menentang para pembesar yang sewenang-wenang, memberi hajaran keras kepada mereka, aku lalu dicari dan dikejar-kejar."

   "Dan mereka yang kau tolong lalu memberi julukan Pek-eng Sianli kepadamu, bukan?"

   "Benar, julukan yang terlalu tinggi untukku. Nah, malam tadi, karena aku dikejar-kejar Panglima Kim Bayan yang cukup lihai dan dia membawa banyak pembantu perwira, aku bersembunyi di rumah kakek dan nenek yang sederhana di dusun tadi. Dan inilah kesalahanku! Agaknya ada mata-mata mereka yang mengetahui tempat persembunyianku. Malam tadi Panglima Kim Bayan menyerbu bersama pasukannya. Tentu saja aku melawan, akan tetapi setelah aku merobohkan banyak pengeroyok, Panglima Kim tiba-tiba menangkap kakek dan nenek pemilik rumah dan mengancam akan membunuh mereka kalau aku tidak menyerah. Terpaksa, untuk menyelamatkan mereka, aku menyerah dan ditawan, lalu dibawa ke kuil tadi. Panglima Kim sendiri agaknya puas melihat aku sudah ditawan dan meninggalkan aku di bawah pengawasan orang-orangnya. Tentu dia mengira aku tidak mampu melarikan diri karena para penjaga dibekali obat peledak yang mengandung pembius. Akan tetapi aku selalu bersedia obat penyembuh luka dan obat pemunah racun sehingga aku tidak khawatir. Kemudian engkau datang menolongku!"

   Cun Giok tertawa.

   "Ha-ha-ha, sungguh aku merasa malu, Ceng-moi! Aku telah bertindak tolol, mencoba untuk menolongmu dan sebaliknya malah engkau yang menyelamatkan aku dari asap pembius!"

   "Tidak, Giok-ko. Bagaimanapun juga, aku pun akan bertindak sama kalau aku menjadi engkau. Aku berterima kasih kepadamu. Twako, aku pernah mendengar akan peristiwa hebat di tanah kuburan kota raja itu. Aku mendengar bahwa banyak perajurit dan seorang panglima yang terkenal terbunuh oleh seorang pendekar yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan). Melihat gin-kangmu tadi, aku berani bertaruh bahwa pasti engkau yang berjuluk Bu-eng-cu itu!"

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Memang benar, Ceng-moi. Akulah yang membunuhi mereka, bersama adik misanku Siang Ni. Ah, kalau saja adik misanku Lu Siang Ni tidak membunuh diri, betapa lega dan bahagianya hati kami berdua dapat membalaskan dendam keluarga Pouw."

   "Akan tetapi, mengapa adik misanmu itu membunuh diri, Twako?"

   Cun Giok menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu, Ceng-moi, aku tidak tahu. Musuh besar kami itu adalah gurunya sendiri......"

   Biarpun mulutnya berkata demikian, namun dalam hatinya Cun Giok setengah dapat menduga mengapa Siang Ni demikian bencinya kepada gurunya itu sehingga membacoki tubuh gurunya itu sampai lumat kemudian membunuh diri di depan makam orang tuanya. Satu-satunya kemungkinan hanya bahwa adik misannya itu ternoda dan merasa dirinya hina dan kotor maka tidak ingin melanjutkan hidupnya setelah dapat membalas dendam.

   

   

   "Ah, sudahlah, Giok-ko. Apa yang sudah terjadi tak dapat diubah dan tidak perlu disesalkan. Manusia tidak mungkin dapat mengubah apa yang sudah menjadi garis hidupnya. Mati dan hidup sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan), dan sebab-sebab kematian yang bermacam-macam itu pun tepat dan sesuai dengan Karma masing-masing. Yang penting kita tidak melakukan perbuatan jahat yang berdosa."

   "Akan tetapi aku berdosa, Ceng-moi. .Aku telah membunuh Pangeran Lu sehingga menyebabkan kematian bibiku sendiri."

   "Apa yang kaulakukan memang salah, Giok-ko. Akan tetapi kesalahan itu kaulakukan tanpa kau sadari, tanpa kau sengaja dan kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja bukanlah dosa. Letak kesalahanmu hanyalah bahwa engkau kurang hati-hati, kurang teliti sehingga patut dijadikan pelajaran dan pengalaman yang mendidik."

   Agak ringan rasa hati Cun Giok dan dia merasa kagum bukan main. Gadis ini masih muda, usianya baru sembilanbelas tahun, akan tetapi wawasannya sudah mendalam dan ucapannya mengandung makna yang bukan hanya untuk menghibur, akan tetapi lebih membuka pengertian sehingga meringankan tekanan batin yang dideritanya semenjak Siang Ni membunuh diri di tanah kuburan itu.

   "Ah, aku dapat mengerti maksudmu, Ceng-moi dan terima kasih. Sekarang engkau hendak pergi ke mana, Ceng-moi?"

   "Tadinya aku hendak merantau dan melihat kota raja. Akan tetapi setelah peristiwa ini, Panglima Kim Bayan pasti tidak akan tinggal diam dan aku menjadi seorang buruan seperti engkau, Giok-ko. Aku tidak jadi pergi ke kota raja, aku akan mengunjungi Susiok (Paman Guru) yang bertapa di Hoa-san." Lalu ia memandang wajah Cun Giok dan bertanya.

   "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke mana, Giok-ko?"

   Hati Cun Giok merasa amat kagum dan tertarik kepada gadis yang halus budi ini. Dia ingin lebih memperdalam persahabatannya dengan Ceng Ceng, maka dia berkata dengan suara agak ragu.

   "Ceng-moi. Sudah lama aku mendengar dari Kakek Guru Pak-kong Lojin bahwa ketua Hoa-san-pai yang berada di Pegunungan Hoa-san adalah sahabat karibnya, bahkan mereka berdua telah mengangkat saudara ketika masih muda. Aku ingin juga pergi berkunjung ke Hoa-san-pai karena aku juga tidak mungkin dapat berkunjung ke kota raja. Kalau boleh, aku ingin melakukan perjalanan bersamamu ke Hoa-san. Akan tetapi kalau engkau tidak setuju, tidak mengapa, kita mengambil jalan masing-masing."

   "Ketua Hoa-san-pai? Dia bernama Goat-liang Sanjin dan Paman Guru Im Yang Tok-sian juga bersahabat dengan dia!"

   "Ah, kebetulan sekali! Engkau mengenal para pimpinan Hoa-san-pai, Ceng-moi?"

   Gadis itu tersenyum.

   "Ketika aku digembleng oleh Susiok Im Yang Yok-sian, dua kali aku ikut paman guruku berkunjung ke sana. Hoa-san-pai berada di lereng barat, sedangkan tempat pertapaan paman guruku berada di lereng timur. Aku pernah berjumpa dengan Goat-liang Sanjin dan yang lain-lain, akan tetapi besar kemungkinan mereka tidak ingat kepadaku."

   "Wah, kalau begitu aku tidak akan tersesat mencari Hoa-san-pai, tentu saja kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, Ceng-moi!"

   "Mengapa keberatan? Tidak ada salahnya kalau hanya melakukan perjalanan bersama, Giok-ko."

   "Ah, terima kasih, Ceng-moi!" kata Cun Giok dengan girang.

   "Sambil melakukan perjalanan kita selalu siap untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dan keadilan!"

   "Aku setuju, Giok-ko."

   Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Kalau mereka melewati daerah pegunungan atau hutan yang sepi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi kalau mereka melalui tempat-tempat yang ramai, mereka melakukan perjalanan biasa.

   Selama melakukan perjalanan bersama menuju ke Hoa-san, Cun Giok merasa semakin kagum kepada Ceng Ceng. Dia melihat betapa gadis yang lembut itu amat bijaksana, bahkan dia harus mengakui bahwa seringkali terbuka hatinya menerima petunjuk tentang kehidupan dari gadis itu. Di lain pihak, Ceng Ceng juga kagum dan suka kepada Cun Giok. Baru sekarang ditemukannya seorang pemuda yang selalu bersikap sopan, baik pandang matanya, sikapnya maupun bicaranya. Berdekatan dengan Cun Giok ia merasa terlindung dan aman.

   Di sepanjang perjalanan, kedua orang muda ini selalu mengulurkan tangan untuk menentang kejahatan. Banyak gerombolan-gerombolan penjahat yang suka merampok dan bertindak sewenang-wenang memaksakan kehendak sendiri, menerima hajaran keras dari Bu-eng-cu dan Pek-eng Sianli dan kedua julukan ini menjadi semakin terkenal. Sepak terjang mereka demikian cepat sehingga para lawan mereka hampir tidak sempat mengenali wajah kedua orang pendekar muda itu.

   Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama puluhan hari, Cun Giok dan Ceng Ceng berhenti di sebuah hutan. Bukit Hoa-san sudah tampak dari situ, tak jauh lagi, bahkan mereka sudah berada di kaki bukit. Hubungan antara mereka kini sudah akrab sekali setelah mengalami banyak suka duka selama puluhan hari dalam perjalanan itu.

   "Ceng-moi, mengapa kita berhenti di sini?" tanya Cun Giok sambil menatap wajah gadis itu.

   Mereka berdiri berhadapan dan keduanya merasakan kehangatan kehadiran masing-masing. Kini mereka sudah saling mengenal betul, saling mengetahui dan mengenal watak masing-masing dan diam-diam mereka berdua saling tertarik, walaupun keduanya tak pernah menyatakannya dengan sikap, pandang mata, atau ucapan. Sejenak keduanya berdiri berhadapan dan saling pandang.

   Ceng Ceng melihat betapa wajah pemuda itu menyinarkan pandang mata yang mesra, namun bersih dari nafsu berahi. Ia merasa jantungnya berdebar, akan tetapi dengan cepat ia mampu menguasai perasaan hatinya dan menutupnya dengan senyum manis.

   "Giok-ko, seperti sudah kukatakan dahulu kepadamu, Hoa-san-pai terletak di lereng bukit sebelah barat, sedangkan tempat tinggal Susiok berada di lereng sebelah timur. Kalau dari sini engkau mengambil jalan itu, terus mendaki, di lereng pertama sudah tampak bangunan pusat Hoa-san-pai di lereng tiga. Aku akan mengambil jalan ini ke tempat Susiok. Nah, kita berpisah di sini, Giok-ko."

   Ucapan itu lembut, akan tetapi Cun Giok seolah mendengar kata-kata keras yang membuatnya terkejut.

   "Jadi...... jadi kita...... akan berpisah di sini.......?" tanyanya lirih dan agak gagap.

   Ceng Ceng tersenyum. Entah bagaimana ia sendiri tidak mengerti mengapa melihat kegagapan pemuda itu ia merasa senang sekali! Ia tersenyum manis dan matanya menyinarkan kasih keibuan. Dalam keadaan seperti itu, ia seolah melihat Cun Giok seperti seorang anak-anak yang membutuhkan hiburan dan nasihat.

   "Giok-ko, engkau tentu mengerti bahwa bagi dua orang sahabat, tidak ada pertemuan tanpa perpisahan dan perpisahan pun tidak menutup kemungkinan bertemu kembali."

   Cun Giok menghela napas panjang. Tentu saja dia mengerti, akan tetapi dengan jujur dia berkata.

   "Ceng-moi, sudah puluhan hari kita mengadakan perjalanan bersama, mengalami banyak peristiwa dan pertempuran bersama. Terus terang saja, rasanya amat berat untuk berpisah dari sisimu. Bagaimana kalau aku ikut denganmu ke tempat pertapaan paman gurumu lebih dulu? Aku tidak tergesa-gesa pergi ke Hoa-san-pai, tidak ada urusan khusus."

   Ceng Ceng tersenyum, debar jantungnya semakin menguat, akan tetapi ia tetap tenang ketika berkata lagi dengan suara lembut.

   "Giok-ko, bukannya melarang engkau pergi ke tempat tinggal Susiok, akan tetapi akan tampak janggal kalau aku menghadap paman guruku bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Biarpun kita tidak melanggar kesusilaan, akan tetapi tetap saja tampak janggal dan menimbulkan kesan tidak sopan. Engkau tentu mengerti maksudku, Giok-ko, maka maafkanlah. Kita mengambil jalan masing-masing. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk dapat saling bertemu kembali. Nah, selamat berpisah, Giok-ko."

   Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Cun Giok untuk menjawab. Ia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, lalu tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang melesat ke arah lereng bukit sebelah timur.

   Cun Giok mengikuti bayangan itu dengan pandang matanya. Setelah bayangan itu lenyap dari pandang matanya, dia menghela napas panjang. Tiba-tiba timbul kegelisahan dalam hatinya. Baru sekarang dia merasa banwa dia telah jatuh cinta kepada seorang gadis! Akan tetapi dia teringat kepada Siok Eng dan dia termenung. Dahulu, belum ada perasaan cinta seperti ini dalam hatinya terhadap Siok Eng, walaupun harus dia akui bahwa dia menyukai gadis itu. Bagaimana pun juga, dia telah terikat kepada Siok Eng. Terikat perjodohan! Dulu dia menerima begitu saja untuk menyenangkan hati gurunya. Cun Giok menjadi bimbang, lalu dia melanjutkan perjalanan menuju ke lereng bukit sebelah barat.

   Sama sekali Cun Giok dan Ceng Ceng tidak pernah menduga bahwa baru kemarin terjadi peristiwa yang hebat dan menggemparkan di Bukit Hoa-san.

   Kemarin malam, ketika Goat-liang Sanjin sedang bersila dalam kamarnya, bersamadhi, dan para murid Hoa-san-pai sudah tidur, daun pintu kamar ketua Hoa-san-pai itu diketuk perlahan dari luar.

   Goat-liang Sanjin yang sudah berusia delapanpuluh tahun menduga bahwa yang mengetuk pintu kamarnya tentu seorang di antara para murid tingkat pertama yang mempunyai urusan penting sehingga berani mengetuk daun pintu kamarnya. Maka dia pun membuka matanya dan berkata tenang ke arah pintu.

   "Masuklah!"

   Daun pintu terbuka dari luar dan sesosok tubuh manusia memasuki kamar itu. Tanpa mengangkat mukanya yang ditundukkan, Goat-liang Sanjin bertanya.

   "Keperluan apa yang mendorongmu untuk menemui pinto (aku) malam-malam begini?"

   Akan tetapi orang itu setelah tiba di depan Goat-liang Sanjin yang duduk bersila di atas pembaringan, tanpa mengeluarkan kata-kata sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah kepala kakek itu!

   Goat-liang Sanjin adalah ketua Hoa-san-pai, tentu saja dia telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Dia pun peka sekali dan biar tidak menduga ada orang menyerangnya, namun dia dapat merasakan datangnya serangan. Akan tetapi dia sudah sangat tua, maka begitu dia menangkis, dua lengan bertemu dan Goat-liang Sanjin terjengkang di atas pembaringannya. Bayangan itu kembali menyerang dan kini pukulan telapak tangan kirinya dengan tepat mengenai dada ketua Hoa-san-pai.

   "Plakk......!" Goat-liang Sanjin mengeluh dan kalau tadinya dia hendak bangkit, kini dia terkulai dan roboh di atas pembaringan.

   Orang itu hendak menyusulkan pukulan maut, akan tetapi pada saat itu, dari pintu berlompatan masuk tiga orang laki-laki berpakaian sebagai tosu, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun. Mereka bertiga terkejut melihat Goat-liang Sanjin rebah dan mengeluh kesakitan dan melihat seorang laki-laki muda yang tidak jelas wajahnya karena dia membelakangi lampu kecil di atas meja.

   "Siapa engkau?"

   "Apa yang kaulakukan di sini?"

   Akan tetapi orang itu tidak mempedulikan teguran itu. Dia mengurungkan serangan keduanya dan dengan cepat tubuhnya melompat dan menerobos pintu yang terbuka. Karena tidak tahu apa yang telah terjadi, maka tiga orang tosu (pendeta To) itu tidak menghalangi orang tadi pergi. Mereka cepat melompat ke dekat pembaringan dan begitu melihat keadaan Goat-liang Sanjin mereka terkejut dan marah bukan main karena guru mereka itu telah menderita luka dalam yang amat parah!

   "Cepat tangkap dia......" Goat-liang Sanjin masih dapat berkata lemah dan dia tergolek pingsan.

   Tiga orang tosu itu cepat berlompatan keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Ketika tiga orang tosu itu memeriksa seluruh kompleks bangunan perguruan Hoa-san-pai yang cukup luas, mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan para murid yang bertugas jaga tidak ada yang melihat orang asing memasuki perkampungan mereka.

   Kini dua orang tosu lain yang berpakaian sama dengan mereka, bergabung dengan mereka. Lima orang tosu itu lalu bergegas memasuki kamar guru mereka dan mereka mendapatkan guru mereka yang tua menggeletak pingsan.

   Mereka cepat menyalakan penerangan yang lebih besar dan seorang dari mereka yang paling tua memeriksa keadaan gurunya. Dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya ketika meraba dada Goat-liang Sanjin karena dada itu terasa panas seperti terbakar! Ketika diteliti, ternyata baju kakek itu berlubang dan ada tapak lima buah jari tangan berwarna hitam tergambar pada dada Goat-liang Sanjin.

   "Aih! Suhu telah terkena pukulan beracun yang amat hebat!" katanya dan kini mereka semua melakukan pemeriksaan. Ketika mereka mencoba untuk membantu guru mereka dengan menempelkan tangan pada tubuh yang panas itu, tenaga sin-kang (tenaga sakti) mereka membalik! Tentu saja mereka terkejut sekali dan hanya dapat membalurkan obat luar di dada yang terkena pukulan lima jari tangan menghitam itu. Mereka tidak berani memberi obat dalam karena belum tahu pukulan beracun apa yang melukai guru mereka. Juga semua usaha mereka untuk membuat guru mereka siuman dari pingsannya gagal karena ketika menotok jalan darah tubuh gurunya, hasilnya membuat jalan darah itu semakin kacau!

   Lima orang itu berunding, apa yang harus mereka lakukan dan mereka menduga-duga siapa orangnya yang dapat memukul dan melukai guru mereka. Penyerang itu pasti orang yang memiliki ilmu yang amat dahsyat. Padahal, lima orang tosu itu adalah para murid tingkat pertama dari Goat-liang Sanjin. Bahkan mereka berlima yang diserahi tugas mewakili guru mereka memimpin Partai Persilatan Hoa-san-pai karena guru mereka sudah tua dan hanya lebih banyak bertapa daripada melibatkan diri dalam urusan dunia.

   Lima orang tosu itu adalah orang-orang yang terkenal nama mereka di dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenal Hoa-san Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur dari Hoa-san)? Kalau mereka maju bersama, mereka membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat dan kuat. Bahkan nama mereka juga memakai nama lima unsur itu, yalah Huo (Api), Kim (Emas), Bhok (Kayu), Sui (Air), dan Tho (Tanah).

   Nama mereka adalah Thian Huo Tosu berusia limapuluh tahun dan bertubuh tinggi kurus, menjadi pimpinan dari Ngo-heng-tin mereka, yang kedua Thian Kim Tosu berusia empatpuluh delapan tahun dan bertubuh sedang berwajah tampan, ketiga Thian Bhok Tosu berusia empatpuluh enam tahun bertubuh gendut pendek, keempat Thian Sui Tosu berusia empatpuluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan kelima adalah Thian Tho Tosu berusia empatpuluh dua tahun dan bermuka hitam.

   Kelima orang tosu ini tentu saja sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tangguh. Keistimewaan mereka adalah ilmu Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) dan Ngo-heng Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Unsur) dan puncak kekuatan mereka adalah kalau mereka maju berlima membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur).

   "Heran, siapakah orang yang dapat melukai Suhu seperti ini?" kata Thian Huo Tosu.

   "Luka Suhu amat hebat dan aneh. Bahkan usaha kita untuk mengusir hawa beracun dengan pengerahan sin-kang kita juga gagal!" kata Thian Kim Tosu.

   "Orang itu tentu musuh besar Suhu. Akan tetapi bagaimana mungkin? Melihat bentuk tubuhnya, dia hanya seorang pemuda yang usianya tidak lebih dari duapuluh tahun. Padahal Suhu telah hampir duapuluh tahun tidak mau terlibat urusan dunia! Siapakah laki-laki muda itu? Melihat betapa dia dapat melukai Suhu, dan cara perginya demikian cepat, bahkan tidak ada murid penjaga yang melihatnya, dapat diketahui bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi," kata Thian Bok Tosu.

   "Sudahlah, kiranya tidak perlu untuk memusingkan hal itu pada saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menyembuhkan Suhu yang terluka parah," kata Thian Sui Tosu.

   "Benar sekali!" kata Thian Tho Tosu.

   "Keselamatan dan pulihnya kesehatan Suhu adalah yang paling penting!"

   "Hemm, aku pun memikirkan hal itu. Kukira, hanya satu orang saja yang akan mampu mengobati Suhu sampai sembuh. Orang itu adalah......."

   "Im Yang Yok-sian!" Kata empat orang saudara seperguruannya serempak.

   Thian Huo Tosu mengangguk.

   "Benar, pinto (aku) kira, hanya dialah satu-satunya orang yang dapat mengobati dan menyembuhkan Suhu dan dia tinggal tak jauh dari sini."

   "Kalau begitu, biar aku sekarang juga pergi berkunjung ke sana dan mohon pertolongannya!" kata Thian Tho Tosu yang bermuka hitam.

   "Jangan, Sute. Tidak sopan malam-malam begini mengganggu Yok-sian. Lebih baik besok pagi saja kita berlima yang pergi ke sana. Kalau kita pergi berlima berarti bahwa kita sangat mengharapkan pertolongannya," kata Thian Huo Tosu.

   "Akan tetapi seperti kita sudah mendengar, sudah bertahun-tahun Im Yang Yok-sian bertapa seperti Suhu. Tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Bagaimana kalau beliau menolak permintaan kita?" kata Thian Bhok Tosu dengan suara ragu.

   "Pinto kira, kalau kita berlima yang mohon kepadanya dan yang membutuhkan pertolongan adalah Suhu, dia pasti akan mau menolong."

   Demikianlah, dengan hati gelisah lima orang tosu yang gagah perkasa itu menjaga guru mereka. Hati mereka bukan hanya gelisah, melainkan juga merasa tidak berdaya. Pada keesokan harinya, setelah memesan kepada para murid untuk melakukan penjagaan ketat, Hoa-san Ngo-heng-tin ini meninggalkan perkampungan Hoa-san-pai dan berlari cepat menuju ke lereng bukit sebelah timur. Mereka memang tidak berangkat terlalu pagi agar jangan mengganggu Dewa Obat itu.

   Akan tetapi, ketika lima orang tosu itu tiba di depan pondok sederhana Im Yang Yok-sian, mereka melihat banyak orang dusun, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan pondok dan kelihatan bingung dan gelisah.

   Thian Huo Tosu segera bertanya kepada mereka.

   "Apakah yang terjadi maka kalian berkumpul di sini? Mana Im Yang Yok-sian, kami ingin bertemu dan bicara."

   Seorang dari para penduduk dusun yang sudah tua berkata dengan suara gemetar.

   "Totiang (Bapak Pendeta), tadi ketika dua orang penduduk dusun datang ke sini pagi-pagi untuk minta obat, pintu rumah terbuka dan ketika mereka melihat ke dalam, mereka mendapatkan Im Yang Yok-sian telah tewas menggeletak di lantai!"

   Lima orang tosu itu terkejut sekali dan mereka segera memasuki pondok sederhana itu. Mereka melihat tubuh Dewa Obat itu telah diangkat oleh penduduk dan direbahkan di atas pembaringan kayu. Mereka segera memeriksanya dan mereka terkejut melihat Dewa Obat itu ternyata telah tewas dan di dada dan lambungnya terdapat bekas telapak tangan menghitam! Dewa Obat itu telah dipukul dengan pukulan beracun yang sama dengan yang diderita guru mereka! Tentu oleh orang yang sama pula! Agaknya karena menerima pukulan sampai dua kali, di dada dan lambung, Si Dewa Obat tidak dapat bertahan hidup dan tewas seketika. Hal ini membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian penyerang guru mereka itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARTA KARUN KERAJAAN SUNG

PENDEKAR TANPA BAYANGAN (BU ENG CU)